“Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Ibu Athania berada di Gandarawa?” tanyaku suatu waktu, yang mana hari itu aku tidak banyak kegiatan di dalam istana kerajaan bangsa jin ini. Salah satu dayang pribadi Ibu Athania, ibu dari Reynaldi atau lelaki yang dikenal sebagai raja gandarawa atau Raja Gandarakala itu memanggilku agar aku senantiasa masuk ke kamarnya. “Aku hidup di tahun 70-an, saat itu aku menempati sebuah rumah tua bersama keluargaku...” “Ibu Athania sudah menikah?” “Belum? Kenapa? Kau ingat akan legenda klasik perihal istri yang ditinggal suaminya bekerja, akan tetapi tiba-tiba si suami malah berbalik pulang, dan belakangan kita menganggap lelaki yang menyerupai suaminya itu adalah bangsa Gandarawa? Apa itu yang ada di dalam pikiranmu?” jelas Athania tampak tersenyum. Perempuan itu rupanya bisa membaca isi pikiranku. “Bagaimana bisa Ibu tahu?” “Aku tahu, sayang. Kau pasti berpikir seperti itu. Jawabanku adalah tidak. Aku sama sekali belum menikah saat itu, dan sepe
“Aku berkali-kali memikirkannya, sayangku... aku memikirkan alasan mengapa aku begitu tergila-gila olehnya. Bukan hanya ketampanannya saja, tetapi kehadiran sosoknya... walau, orang-orang yang saat itu berusaha mengobatiku berkata, mahluk yang mendekatiku—yang membuatku jatuh cinta adalah genderuwo berbulu hitam lebat dengan pandangan merah menusuk. Mereka semua berkata demikian agar aku sadar dan tidak lagi terpikat dengan suamiku kini... tapi, semuanya tak kudengar... pesona suamiku terlalu kuat sehingga yang kupikirkan hanyalah dirinya saja...” “Lalu? Kapan mulanya Ibu berada di sini, dan memutuskan hidup di sini?” “Ibu juga lupa kapan kiranya. Tapi, yang pasti sejak kejadian itu, satu-satunya ingatan Ibu tentang dunia manusia hanyalah, diriku yang terbaring sakit di kamarku, sementara suamiku senantiasa menjagaku, hingga tak lama kemudian, tahu-tahu aku sudah berada di dunia yang indah ini. Dalam beberapa hari kemudian aku sudah menikah dengan suamiku, dan selang setahun kemudi
Malam itu, aku benar-benar tidak jadi mempertanyakannya kepada Raja Gandarakala alias Reynaldi—apakah cinta ini benar-benar murni atau lelaki penguasa bangsa Gandarawa itu memengaruhiku dengan mantera pemikat yang membuatku tergila-gila. Aku tak mempertanyakan hal itu lagi, karena sebelum aku larut ke dalam tarian malam itu, entah kenapa aku jadi memiliki pemikiran lain. Kupikir, agaknya tak masalah bila aku mencintainya karena mantera-mantera Reynaldi. Melihat kehidupan Athania yang begitu menyenangkan di dunia Gandarawa; punya wajah awet muda, dicintai rakyatnya, dan menjadi berkuasa atas bangsa ini, yang mana kelak bila aku menikah dengan Reynaldi, maka aku pun akan memiliki kehidupan seperti itu. Aku pun jadi meragukan pula, bahwa apabila cintaku benar-benar nyata kepada Mas Budi, kenapa pula aku begitu mudahnya terpedaya oleh Reynaldi. Apa karena kekuatan sihirnya lebih besar dari tulusnya cintaku? Aku tak tahu, yang jelas, kalau memang itu yang terjadi, berarti begitu rapuhnya
Saat kedua mataku terbuka, aku sudah berada di kamar rumah sakit. Aku sungguh tidak tahu apa yang terjadi padaku, tapi satu hal yang pasti, aku sudah berada kembali di dunia manusia. Berpapasan dengan orang-orang dan mendengar obrolan orang di luar rumah sakit. Ketika aku menoleh ke samping ranjangku, tepat di ranjang sebelahku, di balik gelebaran tirai itu bisa kulihat Budiman meringkuk di sana. Apa dia mencariku? Batinku. Apa dia tidak tahu bahwa aku tak lama lagi akan benar-benar menjadi permaisuri dari bangsa Gandarawa. Menjadi permaisuri sebagaimana yang selalu diimpikan oleh orang-orang—setidaknya kalangan anak gadis yang sedang bermain-main dengan masa depannya. Aku melihat ke arah Mas Budi yang tampak lemah terbaring di ranjang. Begitupun aku. Menari semalaman. Meski tubuhku sengaja dilemaskan, dan membiarkan dayang-dayang itu mengendalikan seluruh anggota tubuhku, aku tetap merasa energiku terkuras habis. “Maafkan aku Mas Budi... sebaiknya kita selesaikan saja...” gumamku
Aku menyalak. Aku akui, aku tetap bersikukuh memegang pisau dapur pemotong daging itu kala Mas Budi terus memintaku untuk meletakkan pisau yang pastinya telah membuat ia ketakutan. Jelas sekali di hadapanku bagaimana rautnya ketika menatapku. Saat aku mengiriminya tatapan nanar, ia sama sekali tidak membalasnya. “Simpan dulu pisaumu, Wirda,” kata Mas Budi terlihat sedikit gemetar tatkala tatapanku begitu intens dan serius saat bersinggungan pandangnya. Ya, kami jadi seperti seseorang yang terlihat sedang bermain adu kekuatan dalam bersitatap. “Dengar, Mas. Aku tidak mau pindah rumah!” kataku sembari berlalu kemudian kembali ke dapur. Kembali memotong daging sapi sisa itu dengan kekuatan yang cukup besar di atas talenan yang tak kalah besarnya pula. BRAAAK...BRAAK... BRAAK. “Apa kau tidak menyadarinya, Wirda?... Sejak kita berada di rumah ini, hal-hal aneh selalu datang menyertai kita. Kau seharusnya sepenuhnya menyadari itu, Wirda. Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Kita
Pagi itu, tepat setelah Mas Budi berangkat kerja, aku seperti biasa disibukkan dengan hal-ihwal rumah tangga. Kendati tidak terlalu banyak bahan makanan yang terdapat dalam lemari pendingin pun, aku tetap memasak seadanya. Kemudian mencuci pakaian dan menjemur. Kupikir, aku kembali ke rutinitasku. Menjadi seorang istri manusia. Tak ada yang istimewa dari pekerjaanku selain rasa letih dan kemampuan mengolah kesabaran yang semakin meningkat. Tatkala aku sedang membersihkan bufet ruang tamu, di mana aku bisa melihat foto-foto kebersamaan kami di sana, bahkan aku bisa melihat betapa berdebunya foto pernikahan kami—tanpa sengaja aku menjatuhkan beberapa tumpukan buku yang tersimpan di pinggiran bufet. Aku pun menjatuhkan vas bunga. Untung saja tidak pecah, batinku. Bila vas itu sampai pecah, Mas Budi pasti akan berpikiran aneh-aneh, sepertihalnya aku yang dianggap tidak menghargai pemberiannya, atau aku yang sudah lelah menjalin hubungan pernikahan dengannya. Padahal aku tahu itu hanya b
“Halo?” ujar suara lelaki dari seberang telepon. Aku masih termenung, seolah menikmati suara lelaki bernada agak berat dan maskulin itu. Bersama itu pula, entah kenapa dadaku terasa berdegup kencang. Napasku memburu seraya mendengar suara lelaki ini. “Halo?” katanya lagi. “Halo...” akhirnya aku menjawabnya. “Siapa ini?” “Aku Wirda... istri Budiman...” “Wirda? Wirda yang itu! Ya, Wirda ada apa? Apa ada yang bisa kubantu? Di mana Budiman?” “Mas Budi sedang bekerja... a-aku bisa minta tolong kepada Dokter Rizal?” “Tentu saja. Apa yang bisa kubantu?” “D-Dokter... aku sedang tidak enak badan... aku merasakan sakit di sekitar dadaku, dan saat ini tidak ada siapapun di rumah... Mas Budi sedang bekerja di kantor seperti biasa, dan nomornya sedang sulit dihubungi... aku tidak tahu harus menelepon siapa lagi, Dok... kebetulan sekali Mas Budi meninggalkan buku teleponnya di rumah dan aku menemukan nomor teleponmu di sini... tolong, Dok... entah ini berhubungan dengan paru-paruku atau ja
Paras lelaki itu semakin dekat. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Namun, semakin lama sosoknya semakin mendekati serambi, aku merasa Dokter Rizal mengingatkanku pada sosok Gantara, panglima perang dari kerajaan Gandarawa yang juga berperan penting dalam membawaku ke negeri gaib itu, kala kami menunggu Reynaldi alias Raja Gandarawa datang menjemputku beberapa waktu lalu. “Wirda?” sapanya. Ia tampak mengernyitkan keningnya ketika melihatku yang tampak merenung sendiri Aku memang melamun sesaat, seolah kesadaranku terserap entah ke mana. Hal disebabkan karena aku begitu makin terpikat oleh Dokter Rizal yang parasnya makin mengingatkanku pada sosok panglima perang itu. Tubuhnya tampak kekar di balik kemejanya, juga sorot matanya yang awas di balik kacamatanya seakan membuatku luluh. Jelas, aku bertanya-tanya pada diriku. Apakah aku sudah rusak?! Bagaimana mungkin aku yang telah mencintai Reynaldi—yang bahkan aku mengkhianati perkawinanku dengan Mas Budi—sekarang aku malah mencoba me
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K