Aku terduduk, tercenung di tepi ranjang. Tubuhku serasa menggigil usai melihat sesuatu yang mungkin saja tidak nyata. Ini semua karena stres dan beban pikiran lain berjubelan di dalam kepalaku. Bayangan kepala perempuan itu tak ada. Sudah lenyap entah ditelan waktu atau kegelapan, karena setelah kuperiksa di balik gorden tidak ada apa-apa. Hanya nuansa gelap karena malam masih berkuasa. Berbeda denganku yang tidak kuasa lagi menahan rasa gigilku yang datang tanpa sebab. Tak lama, aku turun dari kamarku yang berada di lantai tiga. Aku menuju resepsionis, mencoba meminjam telepon hotel. Karena telepon di kamar tidak bisa digunakan untuk menelepon ke luar hotel. “Terima kasih,” kataku kepada seorang pelayan perempuan yang tampak cukup ramah mengizinkanku meminjam telepon hotel. Aku memutar nomor telepon rumah sembari melihat ke buku kecil yang berisi kumpulan nomor telepon. Bersama itu pula, aku menunggu seseorang menjawab panggilanku. Suara dengung terasa di telingaku hingga teling
Hingga aku pun kemudian kembali ke kamar, seiring rasa gelisahku semakin ketat menyelubungi diriku. Akhirnya setelah di kamar, aku yang mulanya sudah meletakkan beberapa pakaian dari ransel ke lemari, yang telah disediakan oleh hotel tersebut, lantas memulangkan kembali pakaianku ke dalam ransel. Dan lagi. Suara itu kembali memanggilku. Suara perempuan misterius yang entah berasal dari mana. Tapi, jelas aku bisa mendengar suara itu berasal dari sudut-sudut ruangan itu. “Budi... Budi!” Siapa itu, tanyaku dalam hati. “Aku...” katanya lagi membuat tubuhku semakin bergetar. Dia menjawab pertanyaan dalam hatiku. Siapa gerangan mahluk ini. “Aku!” katanya sayup. Suara itu jelas perempuan, dan tak mungkin pula pelayan perempuan tadi berbuat jahil padaku. Untuk apa pula dia jahil? Apa untuk kesenangan dirinya saja? Yang jelas pemikiran ngawur itu sama sekali tidak masuk akal. Maka, ketika suara sayup itu memanggil namaku lagi. Kuputuskan untuk tetap fokus pada aktivitasku yang sedang mem
Aku sudah tak peduli lagi dengan check out hotel. Aku lantas pergi begitu saja ke parkiran hotel kemudian dan buru-buru memasukkan semua kopor dan perlengkapanku ke dalam bagasi mobil. Seraya itu pula, aku kembali melihat ke arah lobi hotel. Masih sunyi, dan tawa perempuan misterius di arah tangga pun telah hilang. Aku langsung melajukan mobilku begitu kencang di jalanan yang luang. Alih-alih terus memikirkan siapa pemilik tawa menyeramkan di tangga hotel itu, aku memilih menyibukkan pikiranku dengan keadaan istriku yang kutinggalkan di rumah. “Oh, Wirda! Kenapa kau tidak membalas teleponku!” kataku di dalam mobil. Emosi menguasaiku. Untung saja aku masih bisa mengendalikan diri seusai mobil sempat oleng dan menabrak pembatas jalan. Waktu yang semestinya ditempuh satu setengah jam, dengan laju mobilku yang kencang, berhasil memotong waktu menjadi dua puluh lima menit. Aku segera memarkirkan mobilku buru-buru. Bersama itu pula, sebelum aku masuk ke rumahku, aku melirik sebentar k
Aku menggebrak-gebrak jendela. Tak mungkin aksiku tidak membuat Wirda terbangun. “Wirda! Bangunlah, sayang! Jangan kau biarkan mahluk laknat itu menguasaimu!” Seraya aku berkata demikian, angin tambah kencang. Aku semakin bisa mendengar desis pohon di tanah lapang itu. Dan sayup-sayup pula, di saat aku sedang panik mendengar istriku kembali berlaku binal lagi, aku bisa mendengar suara seorang perempuan memanggil namaku. “Budi! Budi!” Suara itu kurasa terdengar dari arah tanah lapang di samping rumahku. Ya, tidak salah lagi. Itu memang suara perempuan yang sama dengan yang kudengar di kamar hotelku. Tidak mungkin, pikirku. Tidak mungkin sosok itu mengikutiku hingga ke kawasan perumahan ini. Suasana benar-benar kacau dan mencekam. Perempuan itu memanggil-manggil namaku selalu. Bersama itu pula, desahan istriku masih mengeras di dalam kamar, seolah menggetarkan jendela kamar yang tertutup gorden, sehingga aku tidak bisa memeriksa lebih detail apakah kini memang ada sosok lain yang
Sinar matahari pagi menyengatku. Entah sudah berapa lama kau tertidur di kamar. Kulihat dengan mata memicing, jendela kamarku terbuka. Aku mencoba duduk di ranjangku, sembari mengarahkan wajah ke halaman kosong di samping rumahku: di mana hanya ada satu pohon beringin besar yang sakral. Dan hingga saat ini belum ada yang mampu memangkasnya. Sampai otakku mulai memproses dan mengingat semua kejadian malam laknat sebelumnya. Aku melihat mahluk mengerikan berbulu lebat, hitam, dan dengan kekuatan magisnya ia berhasil mengangkat tubuhku tanpa menyentuhku, lalu melemparku ke arah dinding kamar. “Wirda!” Aku mulai menggigil. Rasa cemas kembali menggerayangiku. “Wirda!” Tapi, tak ada jawaban. Aku tak bisa mendengar satu orangpun di rumahku. Semuanya seperti kosong. Kemudian, aku semakin tak bisa berpikir jernih lagi karena ketakutan mulai menguasai diriku. Tubuhku, tanpa kuminta lantas beringsut dari ranjang, lalu hampir saja aku meloncat melalui jendela kamar yang terbuka. Telapak kaki
Tak ada. Aku tak mendengar satu nafaspun berkeliaran di luar pintu. Di luar rumah pun, terasa sunyi. Aku tak mendengar percakapan para penjaga perumahan yang biasanya kerap hadir seratus meter dari jarak rumahku. Tak ada. Aku kemudian meloncat, dan berlari ke arah tanah lapang itu. Kulihat pohon beringin besar itu semakin membesar di depan kedua mataku. Kupikir, (ini hanyalah ketololanku saja), bila Wirda tak ada di rumah berarti dia ada di pohon tersebut. Aku akan mencarinya di setiap ranting dan akar yang menggantung ke tanah. Akan kucari di setiap batang pohonnya yang tebal dan berlumut itu. Aku sama sekali tidak rela bila mahluk itu membawa istriku, apalagi menikahinya. Aku tidak terima. Akan tetapi, langkahku malah goyah. Aku tunggang langgang dan terus terjerembab ke ilalang yang kurasa semakin menghalangi arah pandangku. Di saat aku terjatuh lagi, aku mendadak melihat dua kaki di hadapanku. Mataku memicing ke arah sosok itu. Perempuan. Itu perempuan yang tidak pernah kulihat
Aku terus mencari Wirda di pohon itu. Tapi, seperti yang dikatakan oleh hantu perempuan ini. Wirda tak ada. Dan aku hanya seorang diri di atas pohon besar ini. Bertikai dengan ketakutanku sendiri. “Sudah kubilang. Istrimu tidak ada di sana, Budi. Turunlah. Malam semakin larut dan mendung.” “Tidak!” “Jangan keras kepala! Turun!” “Siapa kau berhak mengatur-ngaturku!” “Aku peduli padamu!” “Kenapa pula kau peduli padaku! Kau hanyalah...” sebentar, aku memerhatikan perempuan bergaun serba merah itu melayang. Wajah mengerikan yang semula ditunjukkan olehnya, perlahan-lahan berubah menjadi sosok yang mencengangkan. Entah, apakah itu adalah wujud aslinya atau justru hanya sekadar wajah penggoda saja—pasalnya kini wajah perempuan itu begitu cerah, putih bening seolah aku bisa melihat aliran darah di sekitar dua pipinya yang agak kemerahan. Paras oriental perempuan melayang itu kini begitu menggetarkanku. Apa-apaan ini? Pikirku dalam batin, bisa-bisanya ada seorang perempuan aneh, atau
Jin perempuan itu membawaku melayang melewati orang-orang yang membawa keranda. Dan sungguh ganjil, selama aku melewati sekumpulan orang bermuka rata itu, ketika kabut berhasil menyapu mereka, baik suara maupun rombongan orang itu ikut menghilang bersama kabut.Sementara Kinanti, terus membawaku hingga aku diajaknya ke suatu perhutanan. Kupikir, ini adalah hutan yang terletak tak jauh dari lokasi perumahan kami tinggal. Tapi, ada yang aneh dari hutan yang seingatku tampak sebagaimana hutan pada umumnya. Kali ini, yang kulihat lain. Tepat di bibir hutan itu, kulihat ada gapura. Sementara di dalamnya, begitu ramai oleh aktivitas orang.Seperti pasar, pikirku. Dan kupikir, meski ini malam, daerah itu terlihat begitu penuh hiruk pikuk. Aku melihat orang berlalu-lalang. Banyak pula pedagang dan pejalan kaki di dalam sana. Dan yang semakin aneh lagi adalah hutan itu telah berubah menjadi suatu perkotaan! Rupanya seperti kota-kota zaman penjajahan Belanda, seperti Batavia tempo dulu ataupun
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K