Aku terus mencari Wirda di pohon itu. Tapi, seperti yang dikatakan oleh hantu perempuan ini. Wirda tak ada. Dan aku hanya seorang diri di atas pohon besar ini. Bertikai dengan ketakutanku sendiri. “Sudah kubilang. Istrimu tidak ada di sana, Budi. Turunlah. Malam semakin larut dan mendung.” “Tidak!” “Jangan keras kepala! Turun!” “Siapa kau berhak mengatur-ngaturku!” “Aku peduli padamu!” “Kenapa pula kau peduli padaku! Kau hanyalah...” sebentar, aku memerhatikan perempuan bergaun serba merah itu melayang. Wajah mengerikan yang semula ditunjukkan olehnya, perlahan-lahan berubah menjadi sosok yang mencengangkan. Entah, apakah itu adalah wujud aslinya atau justru hanya sekadar wajah penggoda saja—pasalnya kini wajah perempuan itu begitu cerah, putih bening seolah aku bisa melihat aliran darah di sekitar dua pipinya yang agak kemerahan. Paras oriental perempuan melayang itu kini begitu menggetarkanku. Apa-apaan ini? Pikirku dalam batin, bisa-bisanya ada seorang perempuan aneh, atau
Jin perempuan itu membawaku melayang melewati orang-orang yang membawa keranda. Dan sungguh ganjil, selama aku melewati sekumpulan orang bermuka rata itu, ketika kabut berhasil menyapu mereka, baik suara maupun rombongan orang itu ikut menghilang bersama kabut.Sementara Kinanti, terus membawaku hingga aku diajaknya ke suatu perhutanan. Kupikir, ini adalah hutan yang terletak tak jauh dari lokasi perumahan kami tinggal. Tapi, ada yang aneh dari hutan yang seingatku tampak sebagaimana hutan pada umumnya. Kali ini, yang kulihat lain. Tepat di bibir hutan itu, kulihat ada gapura. Sementara di dalamnya, begitu ramai oleh aktivitas orang.Seperti pasar, pikirku. Dan kupikir, meski ini malam, daerah itu terlihat begitu penuh hiruk pikuk. Aku melihat orang berlalu-lalang. Banyak pula pedagang dan pejalan kaki di dalam sana. Dan yang semakin aneh lagi adalah hutan itu telah berubah menjadi suatu perkotaan! Rupanya seperti kota-kota zaman penjajahan Belanda, seperti Batavia tempo dulu ataupun
“Lihat itu. Ya, di atas pohon sana, dekat bangunan mirip hotel-hotel tua peninggalan Belanda, gerombolan perempuan bergaun cantik di balkon itu sedang membicarakanmu sembari cekikikan. Kau tahu mereka siapa?” tanya Kinanti membuatku bingung.“Tidak. Apakah mereka peri juga?” kataku malah bertanya balik, sebab kulihat paras mereka sama menariknya dengan golongan peri yang digambarkan kecantikannya oleh Kinanti.“Bukan,” katanya sembari tersenyum kecil. “Mereka adalah entitas lain. Mereka para kuntilanak.”“Yang benar saja!””“Mereka adalah golongan orang yang paling sering tertawa, bahkan dalam keadaan sedih sekalipun. Sangat tidak manusiawi bagi kalian, dan bagi kami mereka seperti golongan perempuan-perempuan jet set, noni-noni Belanda yang doyang arisan serta bergosip tentang banyak hal. Dan, jangan salah. Sepertihalnya kaum sosialita di dalam kaummu, mereka pun punya sistem hierarki.”“Apa bedanya dengan para peri?”“Peri pada umumnya tidak berwujud. Itu wujud aslinya. Tapi, mereka
Mulutku mencium tanah basah. Ketika mataku selarut-larut tersadar, kepalaku lantas terasa berat dan saat aku mencoba bangkit lalu berjalan, langkahku payah dan limbung hingga satu batang pohon besar kini menjadi tumpuanku berjalan. Seperti yang kuduga, aku kembali di dunia nyata. Kini, aku berada di hutan sebagaimana yang kukenal selama ini. Bukan kota megah yang mirip kota-kota kanal di Eropa. “Wirda...” gumamku berat. Aku berusaha berjalan lurus, tapi selayaknya orang mabuk, aku kembali terjerembab lagi, lagi, dan lagi. Hingga hampir saja aku tercebur ke sebuah sungai deras. Jika aku tak berusaha sadar, mungkin kepalaku sudah terbentur bahkan pecah di antara bebatuan besar dan tajam, yang tersembunyi oleh aliran deras sungai itu. “Asal kau tahu, Budiman. Semua yang kaulihat barusan bukanlah kebohongan. Bukan pula mimpi,” gumam seorang perempuan membuatku sedikit terkesiap. Aku yang sedang terduduk lemah di bawah pohon besar di tepi sungai itu, melihat Kinanti baru saja menembus
Tak lama setelah melihat Kinanti berbicara sendiri ke arah pepohonan, saat itu juga kepalaku kembali pusing dan pandanganku segera menggelap. Perutku kembali mual, bersama itu pula seluruh tubuhku rasanya remuk. Namun, ketika pandangan gelap itu perlahan-lahan menerang, tiba-tiba saja aku merasakan keganjilan semakin nyata. Aku sudah berada di ruang tamu rumah, dan kulihat rumahku sudah dipenuhi banyak orang, terutama anggota keluarga. “Budi! Budi! Budi sudah sadar!” Aku kenal suara itu. Itu seperti suara Lukas. Kawan lamaku, yang memang sudah cukup dekat dengan keluargaku. “Ya Tuhan, Budi! Budi! Sadarlah... kenapa kalian ini... kenapa tiba-tiba pingsan bersamaan begini!” ujar ibuku, Roslina. “Ma,” kataku lemah. “Minumlah dulu. Lihatlah kau begitu pucat.” “Budi... sudah hampir dua hari kau pingsan, dan sungguh tak ada yang bisa memindahkan tubuhmu dari sofa ruang tamu sini. Saat paman meminta Lukas dan Jarwo untuk mengangkatmu ke ranjang kamar, tubuhmu terasa berat sekali. Bahk
Saat itu juga, pamanku lantas membantuku berjalan ke arah kamar. Kurasakan tubuhku memang berat dan lemas sekali, seolah tulang-tulangku rentan lepas dari tempatnya. “Seharusnya kau tidak perlu memaksa dirimu, Bud,” kata Adrian. Aku hanya menggeleng sembari menampilkan senyum kecut. Dalam langkah yang berat dan lemah itu, akhirnya aku tiba juga di bibir pintu kamar kami. Aku melihat wajah Wirda yang cerah itu tampak sudah bisa bercengkerama dengan adikku, Kenanga, yang datang langsung bersama ibu dan pamanku, setelah Jarwo dan Lukas pastinya menghubungi mereka. “Mas Budi!..” kata Wirda lantas buru-buru turun dari ranjangnya, begitu juga adikku yang langsung menatapku dengan cemas. “Mas...” kata Kenanga lantas membawaku ke ranjang bersama pamanku. “Akhirnya, Mas bangun. Kemarin kawan-kawan Mas sama sekali tidak bisa mengangkat tubuh Mas,” kata Kenanga. Wirda pun tampak membantu mereka. Setelah aku berada di ranjang, bayangan melihat Wirda sedang disetubuhi mahluk berbulu dan berm
Setelah keluargaku kembali pulang tiga hari lalu, kami kembali melalui hari-hari kami seperti semula. Dingin, tanpa banyak bicara, dan perlahan, hari-demi-hari, kulihat kembali Wirda mulai bertingkah aneh, seperti ia sering menonton televisi hingga larut malam dalam keadaan lampu padam, (padahal sebelumnya Wirda sangat anti bila nonton TV, lampunya dipadamkan, bahkan saat tidur pun. Sebelum Wirda tidur lelap, aku biasanya dilarang mematikan lampu lebih dulu). “Kamu nggak tidur.” “Kamu istirahatlah, Mas. Mulai besok kamu sudah mulai kerja, kan?” “Ya...” sebentar aku melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir setengah dua belas malam. “Ini sudah larut, sayang. Ayo tidur.” “Sebentar. Aku masih mau menonton. Ini sedang seru.” “Kamu nonton apa?” “Dunia dalam berita” Wirda tampak tersenyum aneh sekali, membuat bulu kudukku agak merinding. Apa pula senyuman itu, pikirku. “Ayolah. Ini sudah larut... bukankah besok kamu mau ke rumah sakit?” “Tidak! Aku tidak mau ke rumah sakit lagi! Ap
Namun, saat aku kembali memfokuskan lagi telingaku, sudah tidak kudengar lagi suara itu. Seolah itu semua hanyalah reaksi dari stres yang bertumpuk. “Kupikir, aku sudah gila...” Maka dari itu pula, selama beberapa hari ini, aku tidak bisa fokus kerja di kantor. Saat aku mesti melakukan pembukuan bank, aku hampir saja terlelap di atas mejaku. Kalau saja bukan karena Sekarsari, salah satu rekan kantorku itu membangunkanku, mungkin aku sudah kena marah bosku. “Kenapa? Kuperhatikan sudah hampir tiga hari ini kau terus mengantuk di jam kerja. Dan sudah beberapa minggu terakhir, wajahmu pucat dan ditekuk seperti itu. Apa kau tahu, semua orang di kantor sempat membicarakanmu di saat jam makan siang?” kata Sekarsari, yang meja kerjanya berada di sampingku. Aku hanya terkekeh kecut. “Maaf, bukannya aku ikut campur dalam masalah rumah tanggamu, tapi keadaanmu benar-benar kentara sekali, Bud,” kata Sekar. “Ya, maaf, bila keadaanku telah membuat kalian cemas.” “Tapi, kau sudah sehat
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K