Bab 16Pertemuan"Ayah?" sapa Nabilla. Nathan segera menoleh ke arah anaknya. Mereka beradu pandang sejenak."Iya?" balas Nathan. Nabilla mendekat ke arah ayahnya. "Ada apa?" tanya Nathan setelah Nabilla dekat. Nabilla tak langsung menjawab. Dia masih menata napasnya terlebih dahulu. "Emm, Nabilla kok kangen ya sama Pakde William. Udah lama nggak ke sana," ucap Nabilla, menyampaikan uneg-uneg yang ganjal di hatinya. Nathan menarik napasnya sejenak. Kemudian menganggukkan kepalanya pelan. Karena dia sendiri memang belum ada ke sana lagi. Karena masih disibukan dengan urusan kerjaan dan hal lainnya di luar dugaan. "Kamu mau ke sana?" tanya Nathan untuk lebih memastikan keinginan anaknya. Nabilla menggigit bibir bawahnya terlebih dahulu. Kemudian menganggukkan kepalanya pelan. "Pengen. Kalau Ayah mau anterin," jawab Nabilla. Nathan mengulas senyum tipis. Mengusap kepala anaknya dengan penuh rasa sayang. "Tentu saja Ayah nggak keberatan," balas Nathan. Nabilla seketika melebarkan sen
Bab 17Saling Bicara"Gimana kabarnya, Mas?" tanya Nathan setelah dia ketemu dengan kakak kandungnya. William mengulas senyum mendengarnya. "Seperti yang kamu lihat," jawab William dengan nada pelan. Nathan membalas senyum kakak kandungnya itu. "Pakde," sapa Nabilla. Kemudian dia mencium punggung tangan pakdenya itu. "Makin cantik saja kamu," puji William. Nabilla mengulas senyum. Memerah dan malu-malu mendengar itu. "Pakde bisa saja!" balas Nabilla. William mengusap kepala keponakannya itu, dengan penuh kasih sayang. Nabilla pun merasakan itu. "Jika aku tak masuk sini, mungkin aku sudah menikah dan sudah mempunyai anak!" ucap William dalam hati. Penyesalan itu memang ada. Dia memang datang di akhir cerita. "Owh iya Pakde, ini untuk pakde," ucap Nabilla seraya menyerahkan buah yang ia bawa. William dengan cepat menerimanya. Ekspresi sumringah dia berikan. Senang mendapatkan buah dari keponakannya itu. "Kalian mau jenguk saja, pakde sudah senang. Repot-repot!" balas William. Nab
Bab 18Mendapatkan Jalan Keluar"Bi, boleh minta tolong?" tanya Nando kepada pembantunya. Tentu saja perempuan yang bekerja di rumah ini mengerutkan keningnya tipis. "Minta tolong apa, Mas?" tanya balik asisten rumah tangga mamanya itu. Nando mengusap wajahnya sejenak. Dia memang sedang mengatur rencana, berharap rencananya itu berhasil dengan sukses."Buku Nando ada yang ketinggalan di kamar Mama, katanya sih, Mama masih lama pulangnya. Gimana ya, Bi, caranya biar bisa masuk ke kamar Mama? Bibi ada ide nggak?" jawab dan tanya balik Nando. Walau dia tahu, pembantunya itu pasti juga akan bingung. Yang ditanya mengerutkan keningnya. Memahami dan mencerna terlebih dahulu. Tiba-tiba hatinya menciut begitu saja. "Duh, gimana ya, Mas? Kamar Ibu kan memang selalu dikunci," balas pembantu itu. Nando memainkan ekspresinya. Cukup membuat pembantunya itu merasa iba. "Mana besok harus di kumpulin lagi. Mama pulangnya masih lama, mana PR nya banyak lagi," ucap Nando dengan nada gerutu, untuk m
Bab 19Akta LahirNando duduk di tepian ranjang mamanya. Matanya masih memandang lekat ke arah akta lahir yang masih dia pegang. Masih terus menerka-nerka semampunya.Dadanya naik turun, begitu juga dengan napasnya. Napasnya itu memburu dengan pikiran yang penuh tanda tanya. Berkemelut hebat luar biasa. Rasa ingin tahu menjadi semakin besar. Itu yang dirasakan oleh Nando saat ini. "Mama pernah keceplosan, kalau aku semakin membuktikan kalau aku memang bukan darah dagingnya. Apa itu artinya, aku memang bukan anak kandung Mama dan Papa?" tanya Nando ngomong sendiri. Bertanya pada diri sendiri. Walau dia tahu, yang bisa menjawab ini semua adalah mamanya. Mau bertanya sama papanya, jelas tak mungkin. Karena papanya telah tiada. Nando menarik napasnya kuat. Kemudian dia menghembuskan pelan. Dia berusaha menenangkan hati dan pikirannya, yang memang masih berkemelut hebat. Rasa penasaran itu semakin menjadi. Melihat nama yang tertera di akta lahir itu, cukup membuat area mata Nando memana
Bab 20Flash Back Farhan Jenguk William"Waktunya lima belas menit!" ucap sipir itu. William menganggukkan kepalanya terlebih dahulu."Terimakasih!" balas William. Sipir itu menganggukan kepalanya. William segera melangkahkan kakinya, untuk masuk ke ruang jenguk. Kali ini perasaannya ia rasakan sedikit berbeda."Hai ...." sapa orang yang menjenguknya. William tak langsung menjawab. Matanya menyipit dengan kening melipat, untuk memastikan siapa yang menjenguknya. "Kamu?" ucap William lirih. Seolah masih tak percaya, matanya melihat siapa."Iya, aku!" balas orang yang menjenguk William dengan bibir mengulas senyum. Bibir William sedikit menganga. Bola mata mereka saling beradu pandang. "Silahkan duduk!" pinta seorang lelaki yang menjenguknya. Lelaki di masa lalu. Farhan. William menarik napasnya sejenak, kemudian dia menganggukkan kepalanya. Kemudian duduk berhadapan dengan Farhan. "Bagaimana kabarmu?" tanya Farhan setelah William duduk. Yang ditanya sedikit melempar senyum."Sepe
Bab 21Menjalankan suatu RencanaNabilla dan Nathan sedang duduk berdua di bawah pohon rindang. Hati mereka sebenarnya bukannya tenang, yang ada hanya rasa was-was nggak jelas."Gimana, ada nggak foto yang kamu maksud?" tanya Nando. Mata Nabilla masih fokus ke layar pipih itu. Dia menggelengkan kepalanya pelan. Nando menarik napasnya sejenak. Terus mengontrol diri sendiri, agar tetap bisa menguasai diri."Belum, bentar ya! Masih aku cari ini, belum semuanya aku periksa," jawab Nabilla. Merasa tak enak hati karena telah ditunggu. Ya, jika ditunggu memang ada rasa tak enak. Merasa tak nyaman dalam mencari sesuatu. Itu yang dirasakan oleh Nabilla saat ini. "Iya, santai aja!" Carilah sepuasnya dan seteliti mungkin, biar nggak keselip. Mudah-mudahan ada di hape itu! Jadi rasa penasaranmu, bisa terjawab. Mudah-mudahan aku bisa menjelanskan!" balas Nando. "Iya! Sabar, ya!" Mata Nabilla terus fokus menatap layar pipihnya. Satu persatu file yang ada di dokumen mamanya Nando itu, dia buka den
Bab 22Khawatir"Jadi seperti itu. Dia datang hanya ingin meluapkan uneg-unegnya!" ucap Nathan setelah William menceritakan semuanya. William menganggukkan kepalanya sejenak. "Iya. Tapi aku bisa memaklumi, wajar dia jika dia marah, karena aku memang salah, dia patut memakiku, bahkan dia patut jika ingin membunuhku," balas William. Nathan menelan ludahnya sejenak.Nathan bisa merasakan apa yang Farhan rasakan. Karena dia sendiri juga sampai detik ini, belum bisa melupakan Nabilla. Cuma dia lebih bijak, rumah tangganya tak sampai berantakan. Zahira meninggal karena proses persalinan. "Nabilla memang perempuan baik. Wajar jika dia banyak dicintai!" ucap Nathan dalam hati. "Kamu juga pasti marah denganku. Tapi, berhubung aku ini kakakmu, mungkin kamu memendam rasa marah itu," ucap William. Nathan menarik napasnya sejenak. Menekan dadanya pelan, berharap rasa sesak itu bisa sedikit berkurang."Dulu aku memang sangat marah sama kamu, Mas! Tapi aku terus menenangkan hati dan pikiran, kala
Bab 23Pencarian"Nabilla ke mana, ya? Kok sampai jam segini belum sampai rumahnya?" ucap Nando ngomong sendiri. Telpon itu sudah mati. Nando tak berani mau telpon balik ayahnya Nabilla. Nando mencoba menghubungi nomor Nabilla. Tapi tak ada tanggapan. Cukup membuatnya semakin kepikiran."Astaga ... kalau sampai jam segini Nabilla belum sampai rumah, itu artinya Nabilla belum pegang hapenya. Dia jelas nggak bawa hape ke sekolah!" ucap Nando. Semakin bingung saja bagaimana cara dia menghubungi Nabilla. Nando mengedarkan pandang. Rumah ini sepi. Dia juga sudah mengembalikan hape mamanya di dalam laci. Dia langsung mengambil kunci cadangan, di ruang kerja mamanya. Tanpa minta tolong si Bibi. "Mama udah pulang belum, ya?" tanya Nando dia masih terus mengedarkan pandang. "Ah, nggak ada salahnya aku cek lagi ke kamar Mama!" Nando melangkah menuju ke kamar mamanya. Ingin memastikan mamanya sudah ada di rumah apa belum. Ceklek! Ceklek! Ceklek!Nando memainkan handle pintu kamar mamanya. M