Bab 17Keadaan semakin memanas"Ya Allah ... nggak tega aku melihat keadaan Mas Tamam. Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa mendoakan dia, semoga dia kuat menghadapi masalah yang menimpanya," ucap Tarfi'ah ngomong sendiri. Hatinya bergemuruh hebat memikirkan itu. Ya, dia ada di rumahnya sendiri sekarang. Sudah selesai mandi dan sudah memakai baju juga. Duduk santai sambil menunggu magrib. "Mbak Arsilla juga kebangetan. Dia selingkuh bahkan melakukan layaknya hubungan suami istri saat mau mendekati Magrib seperti ini," ucap Tarfi'ah lirih. Sangat menyayangkan kejadian itu. Menyayangkan perbuatan yang dilakukan oleh Arsilla. Dia tak melakukan itu, tapi dia merasa malu sendiri. Dari kejadian yang menimpa tetangganya itu, dia selalu kepikiran. Dia juga jadi ikutan nggak tenang. "Aku kok kepikiran mereka terus, ya? Lebay nggak sih aku ini? Apa segitunya aku kalau menginginkan Mas Tamam? Ya Allah ... astagfirullah ... apa-apaan aku ini?" tanya Tarfi'ah ngomong sendiri. Kemudian dia mengusa
Bab 18Sidang lanjutan dimulai"Nathan, kamu kenapa? Kok bisa kamu tengkar sama Nabilla di sekolah?" tanya Razmi kepada anaknya. Sambil menunggu adzan isya' Razmi berusaha ngobrol berdua dengan anaknya. Ingin bicara dari ke hati dengan anak keduanya itu."Nabilla kok, Ma, yang mulai duluan! Nathan diserang, makanya Nathan ngelawan, nggak mungkin kan, Nathan diam saja?" jawab Nathan dengan ekspresi tak suka. Dia masih kesal dengan Nabilla. Ekspresinya tak bisa dibohongi. Razmi mendengar itu hanya bisa menghela napas panjang. Menatap Nathan dengan tatapan penuh kasih sayang. Dia merasa bersalah. Walau bukan dirinya yang membuat kesalahan, tapi dia tetap merasa bersalah. "Kamu laki-laki, harusnya ngalah sama perempuan. Biar tak tengkar dengan Nabilla. Mama malu kamu ribut seperti ini," ucap Razmi pelan. Karena mamanya ngomong pelan, cukup membuat Nathan jadi merasa bersalah sendiri. Nathan mengerucutkan bibirnya. Pertanda dia sangat kesal. Bukan kesal dengan mamanya, tapi kesal dengan
Bab 19Pemutaran Chat di Hape"Sidang ke dua ini kok aku yang deg-degan parah, ya?" ucap Tarfi'ah. Dia mondar-mandir nggak jelas. Pikirannya bercabang. Pikirannya tak tenang. Dia sadar, kalau masalah sidang itu bukan masalah dia dan bukan urusan dia. Tapi, dia benar-benar kepikiran, cukup membuatnya tak tenang. Nabilla hanya bisa melihat tantenya itu mondar-mandir. Dia mau tanya, tapi dia tak berani. "Tante Fiah kenapa, ya? Nampaknya dia lagi banyak pikiran," tanya Nabilla dalam hati. Mau tanya tapi dia tak berani. Entah sudah berapa kali Tarfi'ah menoleh ke arah jam. Dalam keadaan cemas seperti itu, jarum jam seolah merasa tak berputar baginya. Karena Tarfi'ah terus menoleh ke arah jam, Nabilla pun mengikuti. Melihat tantenya gelisah tak tenang, ia pun juga merasa seperti itu. "Astagfirullah ...." ucap Tarfi'ah begitu saja. Saat matanya menatap ke arah Nabilla. Dia baru sadar kalau dia tak sendirian di rumah. Ada Nabilla yang butuh ia temani. "Nabilla laper nggak?" tanya Tarfi
Bab 20Satu Tamparan"Lagi-lagi menunggu mereka terasa lama," ucap Tarfi'ah ngomong sendiri. Nabilla sudah tidur. Seperti kemarin, Tarfi'ah menunggu tetangganya itu pulang sidang, duduk di teras depan rumahnya.Ia terus scroll sosial media. Tapi dia tak menemukan apa-apa. Karena sidang kali ini sidang tertutup. "Kalau kemarin aku menemukan sesuatu di sosial media, sekarang aku harus cari tahu di mana? Sidangnya berjalan tertutup," ucap Tarfi'ah masih ngomong sendiri. Ia menoleh ke arah jalan. Berharap saat ia menoleh ke arah jalan, matanya melihat Tamam datang. "Kok lama sekali, ya? Semoga sidangnya tidak terjadi huru-hara!" ucap Tarfi'ah. Suasana hatinya memang sangat cemas. Berkali-kali dia menautkan sepuluh jemarinya. Berkali-kali dia meremas jemarinya sendiri. Agar dia bisa sedikit saja merasakan tenangnya hati. "Segininya kah aku mengharapkan Mas Tamam? Atau aku cemas karena hanya rasa simpati saja?" ucap Tarfi'ah dalam hati. Dia sendiri terkadang juga bingung dengan hati d
Bab 21Saling Menyalahkan"Arsilla!"Plak!Satu tamparan mendarat kilat di pipi perempuan yang sedang kalap itu. Arsilla nyaris terjungkal ke lantai karena saking kuatnya Tamam menamparnya."Aow!" ucap Arsilla seraya memegang pipinya, yang terasa panas.Tanpa dikomando, tetangga berdatangan, saat mendengar suara lantang keributan itu. Cukup membuat Tamam bingung sebenarnya. Tapi emosi sudah terlanjur memuncak. Napasnya sudah memburu."Kamu menamparku, Mas?" tanya Arsilla dengan mata menyalang. Nada suaranya terdengar bergetar. Tamam mengedarkan pandang. Orang-orang yang mendengar keributan mereka, sudah saling berdatangan. Bahkan semakin ramai. Semakin banyak yang datang."Maafkan aku Tarfi'ah! Aku nitip Nabilla di sini dulu! Akan aku selesaikan masalahku dengan Arsilla!" ucap Tamam kepada tetangganya itu. Tarfi'ah diam saja. Karena dia masih syok. Tak menanggapi apa pun. Bahkan menganggukkan kepala saja tidak.Karena tetangga pada datang, akhirnya Tamam segera mendekati Arsilla. Mera
Bab 22Bisik-bisik Tetangga"Jadi kamu kena denda potong kambing dan uang?" tanya Teguh untuk lebih memastikan. Anton menganggukkan kepalanya pelan. Anton sudah menceritakan masalah sidang tertutupnya itu pada Teguh. Ya, Anton sekarang ada di rumah Teguh lagi. Karena dia tak tahu mau ke mana. Razmi benar-bener sudah tak mau menerimanya. Sudah mengharamkan Anton jika menginjakkan kaki di rumahnya. Razmi benar-bener sudah tak sudi lagi. Sudah sangat jijik melihat paras lelaki yang telah memberikan dia dua anak itu. "Iya, pusing aku!" balas Anton. Teguh menghela napas panjang. Kemudian mengacak rambutnya kasar. Walau bukan masalah dia, tapi tetap saja ia seolah juga ikut merasakan. Ikut merasa sesaknya masalah temannya itu. "Yaudah, nikmati dan jalani saja!" balas Teguh. Anton menghela napas panjang. Menggigit bibir bawahnya pelan. "Entahlah, engap aku dengan masalah ini," ucap Anton. Teguh mencebikan mulutnya."Aku saja ikutan engap, apalagi kamu! Itulah ... nikmat hanya sesaat, tap
Bab 23Rencana dijalankan"Hemm, Si Fiah langsung masuk ke dalam rumah. Nggak jadi belanja dia. Pasti dia terkejut melihat rambutku yang basah ini! Mampus kamu Tarfi'ah! Nggak akan aku diam saja! Perawan tua nggak tahu malu!" ucap Arsilla dalam hati. Dia sangat puas sekali. "Pagi-pagi udah seger aja Mbak Silla," ledek salah satu ibu-ibu yang ikut belanja. Yang lainnya menyenggol lengan yang bertanya. Nyengir."He he he, iya," balas Arsilla dengan memaniskan senyumnya. Tangannya memilah dan memilih sayuran yang akan dia beli. Sorot mata bahagia yang Arsilla pancarkan. Tetangga yang ikut belanja saling memainkan bibirnya, saling senggol, pertanda mereka risih dengan kelakuan Arsilla. Tapi Arsilla tetap saja santai, seolah dia tak pernah membuat huru-hara."Eh, kapan ini motong kambingnya?""Secepatnya, Bu. Tenang saja. Sebagai warga yang baik, pasti saya akan turuti peraturan desa ini. Walau sebenarnya saya sama sekali tak bersalah. Karena saya difitnah! Saya dijebak!" jawab Arsilla.
Bab 24Perlu Bicara"Dek, kita perlu bicara!" ucap Anton kepada Razmi. Pagi ini Anton memang pergi ke rumah Razmi. Dia tak masuk kerja. Ijin terlebih dahulu. Karena hatinya benar-benar sedang berkemelut hebat. Tak tenang, galau, dilema. Membuat dia tak fokus untuk kerja. "Tak ada yang perlu dibicarakan! Semuanya sudah cukup jelas, bahkan sangat jelas! Jadi apa lagi yang perlu dibicarakan? Sungguh memalukan. Tapi, nampaknya yang melakukan tak punya malu!" balas Razmi. Anton berusaha menarik pergelangan tangan Razmi. Tapi Razmi terus menolaknya. Anton sebenarnya sangat sakit hati dengar ucapan Razmi. Tapi dia harus tetap bersabar demi mendapatkan maaf dan kesempatan lagi dari Razmi. "Razmi, aku mohon, tolong kasih aku kesempatan satu kali lagi. Aku janji akan berubah. Aku janji akan setia sama kamu!" ucap Anton. Razmi menyeringai kecut. Kepalanya geleng-geleng heran dengan sikap kekeuh Anton yang menurut Razmi tak tahu malu itu. "Tapi sayangnya aku sudah tak percaya dengan janjimu!
Bab 40Ektra Part 2Lamaran berjalan dengan lancar. Selain lamaran, pembahasan pernikahan sekalian sudah di rundingkan. Semuanya setuju, semuanya merestui. Karena mereka sama-sama tahu betul bagaimana perjuangan cinta anak mereka. Dua keluarga sepakat, acara pernikahan akan digelar semeriah mungkin. Kalau Nabilla sendiri, dia menginginkan pernikahan yang sederhana saja. Begitu juga dengan Nando. Tapi, mereka juga tak bisa menolak keinginan keluarga besar. Nabilla anak pertama dan tunggal. Jadi Nathan menginginkan yang terbaik tentunya. Begitu juga dengan Marlina dan Farhan, Nando juga anak tunggal mereka. Tentu saja tak lega, jika pernikahan anak mereka digelar sederhana. Nabilla dan Nando akhirnya nurut saja. Bagi mereka yang penting semuanya merestui. Itu udah lebih dari cukup.*************************"Kamu deg-degan nggak?" tanya Nando lewat sambungan telpon. Mereka sudah tak diijinkan untuk bertemu. Istilah ngomongnya mereka sedang dipingit."Iya. Kamu sendiri gimana? Deg-deg
Bab 39Ekstra Part 1"Kalian masih muda. Yakin mau menikah muda?" tanya Nathan kepada anaknya. Cukup terkejut mendengar pengakuan Nabilla. Ya, Nabilla sudah menceritakan semuanya kepada ayahnya. Nathan tentu saja tercengang mendengar itu. Karena dia pikir, masih banyak yang harus Nabilla kejar. Apalagi, Nabilla termasuk siswa berprestasi. Tapi cinta dia kepada satu laki-laki memang tidak main-main. Itu yang Nathan lihat. "Nabilla yakin ayah, tapi ... kalau Ayah tak mengijinkan, maka Nabilla juga nggak akan mungkin melawan Ayah. Karena bagi Nabilla, ayah segalanya! Tak akan mungkin Nabilla temukan, cinta tulus dari laki-laki selain ayah!" jawab Nabilla. Cukup menyentuh hati yang mendengarnya. Nathan menarik napasnya sejenak. Dia tak menyangka kalau anaknya akan berkata seperti itu. Hatinya terenyuh, saat anaknya bicara seperti itu. Meyakinkan kalau anaknya sangat mencintainya, sangat menghormati dan menghargai keputusannya. Walau keputusannya nanti, mungkin bisa dibilang tak sejala
Bab 38Ending"Seperti itulah ceritanya, kenapa mamamu Amelia sampai sekarang, masih di penjara sampai detik ini! Dia merasa bersalah dan dia menyerahkan diri!" ucap Marlina. Dia menjelaskan semuanya. Di situ juga ada Nathan dan William. Tapi tidak ada Nabilla. Ya, kejadian kecelakaan yang dibuat Amelia di masa lalu, membuat ingatan Nando hilang. Vonis dokter mengatakan memori ingatan Nando hilang. Penyembuhan otak tidak mudah, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk pulih. Walau tidak pulih seutuhnya, seperti sedia kala. Amelia menyerahkan diri, karena terus menerus dihantui rasa bersalah. Apalagi, kalau melihat Nando kesakitan, jika dia ingin mengingat sesuatu. Bukan hanya Amelia yang masuk penjara, tapi Jambrong juga. Polisi berhasil menangkapnya. Amelia sendiri yang melaporkannya. "Jadi Mama kandungku, Mama Marlina?" tanya balik Nando. Marlina menganggukkan kepalanya. Kemudian refleks Nando memeluk perempuan yang telah melahirkannya. "Maafkan aku, jika selama ini aku tak meng
Bab 37Akhirnya."Marlina!" sapa Amelia setelah dia tiba di ruang Nabilla. Tentu saja semua yang ada di ruangan itu menoleh ke arah suara. "Amelia?" balas Marlina. Terkejut dan tak percaya, jika Amelia datang menemuinya.Amelia terkejut melihat Nabilla yang sama dengan Nando. Lemah tak berdaya di pembaringan. "Astaga ... apa yang aku lakukan? Mungkin Nathan perasaannya juga sama yang aku rasakan saat ini. Khawatir dengan keadaan putrinya! Kenapa aku jahat sekali!?" Maki Amelia dalam hati. Ya, dia memaki dirinya sendiri. Dengan langkah pelan dan badan gemetar, Amelia masuk ke ruangan Nabilla. Matanya tak lepas memandang ke arah gadis itu. Gadis yang selama ini dia benci. Gadis yang selama ini, ia inginkan celaka. Nathan dan Marlina bingung melihat tingkah Amelia. Ada rasa was-was juga. Was-was jika Amelia menyerang Nabilla. Ya, pikirkan mereka masih negatif thinking dengannya. "Ada apa, Amelia?" tanya Marlina. Ditanya seperti itu, Amelia terkejut. Dia baru sadar kalau dia datang k
Bab 36Detik-detik Akhir"Sejak kapan kamu di sini?" tanya Amelia kepada Marlina. Yang ditanya masih terus mengontrol emosinya."Tak penting kamu tahu sejak kapan aku di sini. Kenapa kamu menghilang?" jawab dan tanya balik Marlina. Amelia membuang muka begitu saja. Tak langsung menjawabnya."Bukan urusanmu!" balas Amelia ketus. Cukup membuat Marlina terkejut tentunya."Bukan urusanku kamu bilang? Kamu pergi membawa anakku! Dan kamu bilang itu bukan urusanku? Ternyata kamu tega sekali. Bukan hanya tega tapi juga kejam!" sungut Marlina. Amelia masih membuang muka. Dia tak berani menatap wajah Marlina. "Dia sekarang anakku! Bahkan secara negara dia sudah sah menjadi anakku! Kamu tak ada hak atas dia!" balas Amelia. Mendengar itu tentu saja membuat Marlina sakit hati. "Dia tetap batal jika menyentuhmu Amelia! Karena secara agama dia putraku! Kamu sangat jahat!" Marlina mengingatkan akan takdir yang sesungguhnya. "Persetan! Nando anakku, sampai kapan pun dia anakku! Jangan harap kamu bi
Bab 35Keadaan"Nak, bangun! Nabilla bangun! Ayah mohon!" ucap Nathan. Dia sudah sampai di rumah sakit. Nabilla tak sadarkan diri. Air mata terus berjatuhan. Dadanya sangat sesak. Napasnya seolah tersumbat. Yang ia pikirkan hanyalah keselamatan Nabilla. Hanya itu. Tak ada yang lain lagi.Panggilan telpon dari segala penjuru tak ia respon. Sekarang fokusnya hanya ke Nabilla. Nabilla segalanya baginya. Marlina sudah sampai di rumah sakit. Dia saat ini ada di ruangan Nabilla. Dia baru saja dari ruangan Nando. Nando masih sama keadaannya. Belum sadarkan diri juga. Amelia belum sampai di rumah sakit. Dia masih syok di rumahnya. Syok mendengar Nando kecelakaan. Padahal dia berharap, kabar seperti ini, tidak untuknya. Tapi untuk Nathan dan William. "Nak, bangun!" ucap Marlina lirih di dekat telinga Nabilla. Nathan menoleh ke arah Marlina. Melihat Nabilla melakukan itu, hatinya terasa terenyuh. "Bagaimana keadaan Nando?" tanya Nathan. Yang ditanya menoleh ke arah Nathan. Dia menarik napa
Bab 34Hanya Rencana?"Astagfirullah ...." ucap Nathan saat dia kepleset. Nggak tahu kenapa, tiba-tiba Nathan terpleset. Cukup membuat rasa nyeri di kaki ia rasakan. Dengan perlahan Nathan bangkit. Seketika degub jantungnya berdegub kencang sekali. "Kok, perasaan aku jadi nggak enak gini, ya?" tanya Nathan pada diri sendiri. Ya, dia merasa hatinya sedang tidak baik-baik saja. "Nabilla dan Nando sudah sampai rumah Bu Marlina belum, ya?" tanya Nathan, dia jadi kepikiran dengan mereka. Nathan segera melangkah menuju ke ruang TV dengan sangat pelan-pelan, karena kakinya masih nyeri, belum nyaman. Dia duduk di sana terlebih dahulu. Menenangkan hatinya sejenak, sambil sedikit menekan-nekan kaki yang terasa nyeri itu. "Aku telpon Bu Marlina saja. Tanya mereka sudah sampai apa belum. Kalau aku telpon Nabilla itu terlalu berbahaya. Dia sedang di jalan," gumam Nathan ngomong sendiri. Setelah hatinya sedikit bisa dia kendalikan, Nathan meraih gawainya. Dia segera mencari nomor Bu Marlina.
Bab 33Lanjutan Rencana"Ayah, hari ini Nabilla mau ke rumah Bu Marlina. Ibu yang menolong Nabilla itu. Boleh?" tanya Nabilla kepada ayahnya. Nathan sendiri baru saja selesai bertemu dengan Marlina. Kisah hidupnya cukup membuatnya sesak saat mendengarnya. Ya, Marlina sudah menceritakan semuanya kepada Nathan, masalah Nando hingga jatuh ke tangan Amelia. Cukup menyakitkan dan tentunya cukup bodoh. Itulah yang Nathan pikir, karena dia tak habis pikir, dengan jalan pikir Marlina kala itu. "Mau ayah antar?" tanya Nathan. Nabilla mengulas senyum tipis. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. Nathan melipat keningnya sejenak."Nggak usah, Ayah! Nabilla nanti dijemput Nando. Boleh, kan?" jawab dan tanya lagi Nabilla. Nada tanya yang ia katakan, cukup membuat Nathan tak kuasa untuk menolaknya. Tak tega lebih tepatnya. Nada suara Nabilla terdengar sangat berharap. Berharap untuk diijinkan. Nathan menarik napasnya sejenak. Sebenarnya dia sangat berat untuk melepas Nabilla pergi tanpa dirinya.
Bab 32Menjalankan Rencana"Kamu bodoh sekali Jambrong! Bisa-bisanya kamu gagal culik anak kecil!" Maki Amelia. Sorot mata menyalang, ia lemparkan ke arah lelaki berbadan kekar itu. Dia sudah bersama Jambrong hari ini. Sengaja dia meminta Jambrong untuk datang menemuinya. Semalaman dia tak bisa tidur, gara-gara ucapan Nando, yang telah mengetahui nama Nando Perkasa. Cukup menyita perhatiannya. "Anak itu tak selugu yang kita lihat. Dia itu licik!" balas Jambrong. Amelia nyengir begitu saja. "Halah ... alasan!" sungut Amelia, dengan mata menyalang murka dan memerah. Jambrong menundukan kepalanya. Dia menyadari kalau dia salah. Wajar jika Amelia marah, dia sudah memberikan uang banyak kepada lelaki berbadan kekar itu. Tapi hasilnya tak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Cukup membuat rasa kecewa dan sesak menjadi satu."Selicik-liciknya dia, dia itu anak kecil ... harusnya malu bisa kalah sama anak kecil? Percuma badan gede, tapi kalah sama anak kecil!" Maki Amelia lagi. Rasanya me