Bab 3
Memberi Tahu Nathan
"Nathan! Keluar!" Tok! Tok! Tok! Teriak Nabilla. Napasnya terengah-engah. Tangan kecilnya terus menggedor rumah teman sekelasnya itu. Dia tak sabar pintu yang tertutup itu segera terbuka.
"Kayak suara Nabilla! Anak preman itu ngapain ke sini. Nggak sholat magrib apa dia?" ucap Nathan ngomong sendiri. Nggak habis pikir dengan teman sekelasnya itu.
Tok! Tok! Tok!
"Nathan! Cepat keluar! Bud*g atau gimana sih kamu itu?!" teriak Nabilla lagi. Dia memang tak sabar menunggu tanggapan teman sekelasnya itu. Nathan di dalam kamarnya membuang kasar napasnya.
"Astagfirullah ... siapa sih, magrib-magrib kayak gini datang ke rumah?!" tanya Razmi ngomong sendiri. Kemudian dia beranjak dan keluar dari kamarnya.
Ya, suara lantang dan melengking Nabilla, cukup mengganggu gendang telinga satu rumah ini. Razmi melangkah menuju ke kamar anaknya.
Belum sampai mengetuk, pintu kamar anak lelakinya terbuka.
"Magrib-magrib gini siapa yang cari kamu, Than?" tanya Razmi kepada anaknya. Nathan dengan santai mengangkat bahunya. Ekspresi kesal dengan Nabilla sudah dia perlihatkan di depan mamanya.
Razmi mengatur napasnya sejenak. Tak habis pikir anak temannya itu datang di saat hendak mendekati waktu magrib, yang memang kurang sekian menit saja.
"Kayaknya anak nakal itu, Ma!" jawab Nathan. Razmi mengerutkan kening.
"Anak nakal?" Razmi mengulang kata itu. Karena dia memang belum paham maksud anaknya. Nathan manggut-manggut dengan malas.
"Iya ... si Nabilla, suaranya memang ganggu banget," jelas Nathan. Hatinya kesal dengan Nabilla. Karena nggak di sekolah nggak di rumah, dia hanya jadi hama. Alias pengganggu ketenangannya.
"Nathan! Keluar!" Tok! Tok! Tok! Teriak Nabilla lagi. Dia masih terus memanggil dan mengetuk kasar .pintu rumah teman sekelasnya itu.
Razmi menarik napasnya kuat-kuat dan menghembuskan kasar. Begitu juga dengan Nathan. Mereka saling mengontrol diri. Saling mengontrol emosi.
"Astagfirullah ... anak itu sebenarnya diajari tata krama atau nggak, sih?" ucap Razmi kesal. Ya dia mulai kesal dan mulai terganggu dengan ketokan dari Nabilla, yang memang semakin membuatnya tak nyaman.
"Dia kan preman, Ma, yaudah Nathan temui dia dulu!" balas Nathan. Dengan cepat Razmi menganggukkan kepala.
Nathan segera melangkah menuju ke pintu utama rumahnya itu. Pun Razmi, dia penasaran juga kenapa anak tetangganya itu, datang ke sini dengan sangat amat tak sopan seperti itu.
Kreeekk ....
Akhirnya Nathan membuka pintu rumahnya. Hampir saja Nabilla mau mengetuk lagi rumah itu. Lebih tepatnya menggedor. Berhubung pintu rumah itu sudah terbuka, Nabilla merasa lega. Karena bagi Nabilla, menunggu saat pintu rumah itu dibuka, benar-benar terasa lama.
"Heh ... kamu itu sebenarnya diajari tata krama nggak sih?" teriak Nathan, ekspresi wajahnya sudah memerah. Nabilla malah mengacak pinggang seolah menantang. Tak terima juga dia bilang tak diajari tata krama.
"Heh ... santai aja dong! Salah siapa lama buka pintunya?" sungut Nabilla. Nathan seketika membelalakkan matanya.
"Kamu ...."
"Stop! Kok malah bertengkar. Nabilla, kamu tahu nggak kalau sebentar lagi magrib? Harusnya kamu wudlu dan sholat berjamaah sama orang tuamu? Bukan kliyaran ke sini," potong Razmi. Tangan Nathan sudah mengepal. Emosinya sudah terpancing.
"Nah, iya ... dasar preman pasar bumbon!" balas Nathan seraya sedikit mendorong badan Nabilla, Nabilla sedikit mundur beberapa langkah.
"Nathan! Kamu laki-laki nggak boleh kayak gitu sama perempuan!" ucap Razmi, dia tak suka melihat anak lelakinya kasar dengan perempuan.
"Tahu, Ma. Nathan hanya kasar sama dia aja! Dia itu preman pasar bumbon!" balas Nathan. Razmi mengatur napasnya sejenak.
"Nathan ...." ucap Razmi dengan mata mendelik ke arah anak lelakinya. Nathan akhirnya nurut.
"Maaf Tante, aku tahu ini mau dekati Magrib. Aku juga sudah wudlu, eh jadi batal di pegang kura-kura ini!" balas Nabilla seraya menunjuk ke arah Nathan. Seketika mata Nathan mendelik.
"Dasar ...."
"Stop! Nathan, jangan diladenin! Kamu Nabilla, ngapain ke sini?" potong Razmi lagi, kemudian bertanya kepada Nabilla niat dia datang ke rumahnya saat mendekati Magrib seperti ini.
"Namanya juga preman pasar bumbon, Ma, mana tahu dia waktu sholat kayak gini," balas Nathan, mata Nabilla seketika semakin melebar. Bola mata dua bocah kelas tiga sekolah dasar ini, saling beradu pandang.
"Nathan ...." ucap Razmi menepuk pelan bahu anaknya. Nathan memainkan bibirnya ke arah Nabilla.
"Dasar kura-kura! Beraninya hanya ngumpet di tempurung!" balas Nabilla. Belum terima dia dengan sebutan preman pasar bumbon yang di sematkan oleh Nathan.
"Nabilla ... stop! Cepat jawab ngapain kamu ke sini?" tanya Razmi lagi. Mulai kesal dia dengan kedua bocah yang memang tak pernah akur itu jika ketemu.
Nabilla kemudian mengatur napasnya sejenak. Mau menjawab pertanyaan Razmi, dia memainkan bibirnya terlebih dahulu.
"Gini Tante, Billa ke sini, cuma mau kasih tahu kalau papanya Nathan masuk berdua dengan mamaku ke rumah Gita dulu," jawab Nabilla tanpa basa-basi. Seketika kening Razmi melipat. Dia mencerna ucapan anak tetangganya itu.
"Kamu itu ngaco atau gimana? Papanya Nathan lagi beli rokok," balas Razmi. Matanya seketika mendelik mengarah ke arah anak berambut panjang itu.
"Dia memang suka ngaco, Ma! Udah kamu pulang sana! Kalau mau ngerjain aku, di sekolahan saja, jangan di rumah, jangan bawa-bawa orang tua!" sahut Nathan, sok dewasa. Mata Nabilla mendelik mendengar tanggapan dari temannya itu.
"Heh ... yang mau ngerjain kamu siapa? Aku ini ngomong apa adanya. Awas saja kalau papamu sampai ngapa-ngapain mamaku! Habis kamu di sekolahan aku buat!" sungut Nabilla.
Razmi menelan ludah sejenak. Kemudian dia menekan dadanya pelan. Mengontrol hati agar tak terpancing emosi.
"Tapi kalau beli rokok saja, harusnya sudah pulang dan nggak seperti biasanya juga, dia maksa magrib-magrib keluar untuk beli rokok!" ucap Razmi dalam hati.
"Kamu ngancam aku?" sungut Nathan. Matanya melebar mengarah ke arah Nabilla.
"Nggak ada faidahnya juga ngancam kamu Nathan!" sungut Nabill, pun matanya tak kalah melebar. Kedua anak kelas tiga sekolah dasar itu, memang musuh bebuyutan kalau di sekolahan.
"Stop! Stop! Kalian ini ribuuutt ... terus! Nabilla kamu yakin papanya Nathan masuk ke rumah Gita dulu sama mamamu?" tanya Razmi. Nabilla menarik kuat napasnya. Kemudian mengembuskan kasar.
"Ya Allah, Tante ... ini magrib-magrib, ngapain juga aku bohong? Papaku juga sudah datangi rumah Gita dulu kok, kalau nggak percaya ayok kita ke sana!" jawab Nabilla. Razmi kemudian menggigit bibir bawahnya. Nabilla masih terus berusaha meyakinkan Mama teman sekelasnya itu.
"Ok, kita ke sana sekarang, ya! Kalau kamu bohong, Tante marah besar sama kamu! Tante juga nggak akan maafin kamu!" ucap Razmi. Nabilla memutar bola matanya.
"Iya. Ayok buruan ke sana!" ajak Nabilla. Tanpa menunggu tanggapan dari Nathan dan Razmi, Nabilla bergegas menuju ke rumah kosong, yang mana dulu rumah milik temannya. Gita.
Akhirnya Razmi dan Nathan mengikuti langkah kaki Nabilla. Dengan perasaan yang sebenarnya masih belum percaya dengan apa yang dikatakan oleh anak tetangga mereka itu.
"Apa iya, yang dikatakan oleh Nabilla itu benar? Nggak! Aku yakin nggak benar! Mas Anton pamitnya beli rokok, kok, aku yakin Mas Anton setia denganku. Dia tak mungkin bermain api! Mungkin Nabilla mau prank Nathan saja. Mereka kan memang selalu bertengkar!" ucap Razmi dalam hati. Dia terus menenangkan dirinya sendiri. Dia masih percaya kalau anak tetangganya itu hanya prank anaknya saja.
Dengan perasaan yang bergemuruh hebat, perasaan yang bimbang, Razmi tetap melangkah menuju ke rumah kosong yang tak jauh dari rumahnya itu.
Setelah dekat, seketika kakinya menghentikan langkah. Matanya mendelik menatap ke rumah kosong itu. Jantungnya pun ia rasakan seolah sudah tak berdetak lagi. Lututnya pun ia rasakan semakin melemas. Suara riuh sorakan orang-orang yang berkerumun ia dengar.
"Hah? Kok rumah kosong itu sudah ramai dengan kerumunan orang? Benarkah yang dikatakan oleh Nabilla? Ya Allah ... nggak! Aku yakin bukan Mas Anton!" ucap Razmi ngomong sendiri. Bibirnya menganga dengan dada yang naik turun tidak beraturan.
"Ampun, Mas ... ampun ...." Suara yang tak asing di gendang telinganya, kini ia dengar secara langsung. Siapa lagi kalau bukan suara tetangganya. Suara Arsilla. Hingga bola matanya semakin melebar saat ia melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Astagfirullah!" teriak Razmi. Seketika bibirnya ia bungkam dengan kedua tangannya, saat matanya melihat Tamam menarik rambut Arsilla, yang nyaris tanpa busana.
********************************
Bab 4Memalukan"Sabar dong!" ucap Arsilla saat tangan kekasihnya sudah mulai beraksi."Udah nggak tahan!" jawab Anton."Segitunya," balas Arsilla. Kedua insan memang sedang dilanda asmara."Cepetan! Jangan lama-lama juga nanti Razmi curiga," ucap Anton. Napasnya semakin memburu. Dadanya semakin naik turun. Nafsunya sudah memuncak. Sudah tak sabar ingin dia luapkan."Iya tahu ... di rumah juga ada Mas Tamam," balas Arsilla. Tangan masih berusaha melepas bajunya. Sama saja Arsilla sendiri juga demikian. Mereka sama-sama mencari kepuasan diri."Makanya!" ucap Anton kemudian segera memainkan aksinya. Sedangkan Arsilla sudah mulai pasrah dan menikmati.Ya tubuh dua insan yang sedang di mabok asmara ini, sudah menempel layaknya perangko. Menikmati sentuhan demi sentuhan. Tanpa memikirkan apa-apa lagi, kecua
Bab 5Mencoba Menjelaskan"Mas, maafkan aku, aku bisa menjelaskan semuanya!" ucap Arsilla. Perempuan yang masih setengah telanjang itu, ingin mencoba menjelaskan kepada suaminya.Tamam mendorong tubuh istrinya itu, disaat Arsilla berniat ingin mendekat. Dadanya naik turun dan napasnya semakin memburu."Jangan dekat-dekat! Aku jijik sama kamu!" sungut Tamam dengan nada suara yang sangat terdengar kasar di telinga Arsilla. Karena selama ini, dia memang tak pernah di perlakukan seperti itu dengan Tamam. Selama ini Tamam berusaha berkata lembut, berusaha untuk selalu menjaga perasaan istrinya.Tapi kali ini Tamam benar-benar murka. Dia benar-benar kecewa yang sangat mendalam."Aoowww ...." lirih Arsilla. Dia kesakitan karena badannya baru saja membentur tembok rumahnya. Tapi Tamam tak perduli. Rasa sakit di hatinya sangatlah kuat.
Bab 6"Kamu ngusir aku?" tanya Anton seolah tak percaya, kalau istri yang selama ini selalu bersikap lembut, detik ini bisa mengusirnya. "Apakah kurang jelas? Ok aku perjelas lagi. Itu pintu utama rumah ini dan silahkan keluar dari rumah ini!" jelas Razmi seraya menunjuk pintu rumahnya. Anton menganga sejenak, kemudian dia menelan ludah yang terasa susah. "Aku ini suamimu, dosa besar istri ngusir suami! Kamu tahu itu kan? Nggak takut dosa kamu!?" sungut Anton. Razmi seketika membelalak mendengarnya. "Dosa? Hah? Kamu masih bisa ngomong dosa? Nggak malu kamu ngomong seperti itum Kamu tertangkap basah dengan istri orang, apa itu tak dosa? Hah? Owh ... berduaan sama istri orang, apa itu pahala mamanya? Iya? Ck ck ck ck," balas Razmi. Anton menarik napasnya kuat-kuat, mengembuskan dengan kasar. "Itu tak seperti yang kamu pikirkan! Aku di fitnah, aku di jebak! Percaya sama aku!" ucap Anton, berusaha ingin meyakinkan istrinya. Mendengar itu, Razmi menyeringai kecut. Dia sungguh tak habi
Bab 7Pembelaaan Dijebak"Benar-benar memalukan," ucap Bu Laila, ibunya Razmi. Matanya menyalang murka ke arah menantunya. Kabar itu sudah menyebar ke mana-mana. Bahkan ke keluarga besar juga. Cukup membuat syok.Ya, Anton belum mau pergi dari rumah Razmi. Dia berusaha bertahan. Karena sebenarnya dia bingung mau ke mana. Karena dia sendiri juga sebenarnya merasa bersalah. Malu juga mau keluar dari rumah istrinya.Razmi masih di kamar. Dia belum mau keluar. Karena dia sudah tak mau memandang wajah suaminya lagi. Jijik dan kecewa jadi satu, itu yang Razmi rasakan."Aku dijebak, Bu!" ucap Anton. Bu Laila menyeringai kecut. Tak percaya begitu saja."Dijebak? Pandai kamu berkelit ya? Sudah banyak saksi mata, sudah kepergok secara langsung, masih bisa-bisanya kamu berkelit. Kalau si Arsilla yang kamu jebak itu mungkin. Tapi kalau kamu dijebak, itu konyol," jawab Bu Laila. Dari dalam Razmi mendengarnya.Razmi memejamkan mata sejenak, untuk menenangkan hati dan pikirannya. Air mata masih berg
Bab 8Bisik-bisik Tetangga"Aku harus cari cara! Ayo dong mikir! Aku nggak mau kalau sampai digugat cerai sama Razmi. Mau tinggal di mana aku?" ucap Anton dalam hati. Hati dan pikirannya sudah benar-benar resah. Mereka sudah menuju ke Balai Desa dengan mengendarai motor. Razmi sudah tak mau di bonceng oleh Anton. Dia benar-benar merasa jijik dengan lelaki yang masih bergelar suaminya itu. Lagian Razmi pun tahu kalau lelakinya itu belum mandi besar. Sekarang langsung menuju ke Balai Desa. Rasa perselingkuhan masih benar-benar ia rasakan. Sakit hatinya semakin dalam ia rasakan. Selama dalam perjalanan, Anton terus mencerna. Berusaha mencari jalan keluar. Masih memikirkan bagaimana caranya untuk bisa membuat semua percaya dengan apa yang akan dia katakan nanti. "Aku harus bisa membuat semua orang percaya padaku. Biar semua orang menyalahkan Arsilla saja. Aku tak mau kalau sampai di gugat cerai sama Razmi. Bisa jadi gembel aku pisah dari Razmi. Mau tinggal di mana aku? Selama ini aku k
Bab 9Siap-siap"Bikin jelek nama kampung saja!""Hooh, usir saja sudah!""Ya nggak segampang itu ngusir orang, Yu!""Kalau aku jadi Ibu Kepala Desa sudah aku usir dua orang itu! Nggak punya warga kayak mereka juga nggak rugi!""Ya masalahnya bukan kamu, Yu, yang jadi Bu Kades!""La iya ... kan aku bilang kalau aku jadi Bu Kepala Desa. Sayangnya nggak jadi Bu Kades! Bikin sepet mata aja!"Celutukan orang-orang yang hadir di balai desa, dari serius sampai bercandaan, cukup membuat keluarga yang hendak sidang, merasa semakin malu.Hanya diam dan mendengar apa-apa yang mereka katakan. Mau marah juga percuma, karena segitu banyaknya mulut orang, tak mungkin bisa dicegah untuk diam."Kenapa ramai sekali warga yang datang? Nggak punya kerjaan apa ya mereka ini?" gerutu Anton dalam hati. Melihat banyaknya warga yang datang, cukup membuatnya muak. Apalagi pembahasan mereka tentang dirinya dan Arsilla, cukup membuat hati dan pikiran menjadi panas.Bu Laila hanya bisa menahan rasa malu. Pun Raz
Bab 10Cinta Berduri"Tante, Mama sama Papa lama banget ya pulangnya?" tanya Nabilla kepada tetangga sebelah rumahnya. Tarfi'ah, biasa dipanggil Fiah.Bu Ana memang menitipkan cucunya dengan Fiah. Gadis yang sudah berumur. Berkali-kali menjalin hubungan, berkali-kali juga kandas. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk sendiri dulu. Tak mau mengejar dan tak mau juga mengenal. Pasrah dengan takdir yang akan Allah berikan.Fiah mengulas senyum tipis. Kemudian mengusap kepala Nabilla dengan lembut."Sabar ya, Sayang! Mungkin urusan mereka memang belum selesai!" jawab Fiah dengan nada lembut.Nabilla memainkan bibirnya. Hatinya tak tenang sebenarnya. Ingin sekali menyusul kedua orang tuanya. Penasaran dengan keadaan mereka.Tarfi'ah memperhatikan ekspresi Nabilla. Billa memang memainkan sepuluh jemarinya. Raut wajah tak nyaman memang terlihat di mata Tarfi'ah."Nabilla ngantuk?" tanya Tarfi'ah dengan nada pelan. Billa menggeleng pelan. Fiah melipat keningnya sejenak."Billa nampaknya tak nya
Bab 11SIDANG DIMULAICuci kampung adalah kesepakatan warga berdasarkan kebiasaan adat setempat di mana apabila terjadi tindakan asusila maka pelaku dikenai sanksi.Itu juga yang dilakukan oleh orang-orang setempat, di mana Arsilla dan Anton tinggal. Mereka geram, mereka semua panas mendapati salah satu warganya ada yang melakukan tindakan asusila seperti itu. Saat sidang berlangsung, Arsilla dan Anton sangatlah pucat. Keduanya sama-sama keluar keringat dingin. Sama-sama menguatkan diri. Karena sebenarnya sudah ingin sekali lenyap dari muka bumi ini karena malu. Malu? Ya sebenarnya sangat malu. Tapi dikuat-kuatkan. Karena memang bingung mau gimana lagi. Sudah terlanjur ketahuan dan sudah terlanjur basah. Pak Kades Luqman, masih berbasa-basi ucapan pembuka. Entah sudah berapa kali Arsilla dan Anton saling mengusap peluh masing-masing. Keringat dingin masih terus membasahi. Hingga badan terasa panas dingin. Sebenarnya bukan hanya Arsilla dan Anton saja yang merasakan itu, tapi semua
Bab 40Ektra Part 2Lamaran berjalan dengan lancar. Selain lamaran, pembahasan pernikahan sekalian sudah di rundingkan. Semuanya setuju, semuanya merestui. Karena mereka sama-sama tahu betul bagaimana perjuangan cinta anak mereka. Dua keluarga sepakat, acara pernikahan akan digelar semeriah mungkin. Kalau Nabilla sendiri, dia menginginkan pernikahan yang sederhana saja. Begitu juga dengan Nando. Tapi, mereka juga tak bisa menolak keinginan keluarga besar. Nabilla anak pertama dan tunggal. Jadi Nathan menginginkan yang terbaik tentunya. Begitu juga dengan Marlina dan Farhan, Nando juga anak tunggal mereka. Tentu saja tak lega, jika pernikahan anak mereka digelar sederhana. Nabilla dan Nando akhirnya nurut saja. Bagi mereka yang penting semuanya merestui. Itu udah lebih dari cukup.*************************"Kamu deg-degan nggak?" tanya Nando lewat sambungan telpon. Mereka sudah tak diijinkan untuk bertemu. Istilah ngomongnya mereka sedang dipingit."Iya. Kamu sendiri gimana? Deg-deg
Bab 39Ekstra Part 1"Kalian masih muda. Yakin mau menikah muda?" tanya Nathan kepada anaknya. Cukup terkejut mendengar pengakuan Nabilla. Ya, Nabilla sudah menceritakan semuanya kepada ayahnya. Nathan tentu saja tercengang mendengar itu. Karena dia pikir, masih banyak yang harus Nabilla kejar. Apalagi, Nabilla termasuk siswa berprestasi. Tapi cinta dia kepada satu laki-laki memang tidak main-main. Itu yang Nathan lihat. "Nabilla yakin ayah, tapi ... kalau Ayah tak mengijinkan, maka Nabilla juga nggak akan mungkin melawan Ayah. Karena bagi Nabilla, ayah segalanya! Tak akan mungkin Nabilla temukan, cinta tulus dari laki-laki selain ayah!" jawab Nabilla. Cukup menyentuh hati yang mendengarnya. Nathan menarik napasnya sejenak. Dia tak menyangka kalau anaknya akan berkata seperti itu. Hatinya terenyuh, saat anaknya bicara seperti itu. Meyakinkan kalau anaknya sangat mencintainya, sangat menghormati dan menghargai keputusannya. Walau keputusannya nanti, mungkin bisa dibilang tak sejala
Bab 38Ending"Seperti itulah ceritanya, kenapa mamamu Amelia sampai sekarang, masih di penjara sampai detik ini! Dia merasa bersalah dan dia menyerahkan diri!" ucap Marlina. Dia menjelaskan semuanya. Di situ juga ada Nathan dan William. Tapi tidak ada Nabilla. Ya, kejadian kecelakaan yang dibuat Amelia di masa lalu, membuat ingatan Nando hilang. Vonis dokter mengatakan memori ingatan Nando hilang. Penyembuhan otak tidak mudah, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk pulih. Walau tidak pulih seutuhnya, seperti sedia kala. Amelia menyerahkan diri, karena terus menerus dihantui rasa bersalah. Apalagi, kalau melihat Nando kesakitan, jika dia ingin mengingat sesuatu. Bukan hanya Amelia yang masuk penjara, tapi Jambrong juga. Polisi berhasil menangkapnya. Amelia sendiri yang melaporkannya. "Jadi Mama kandungku, Mama Marlina?" tanya balik Nando. Marlina menganggukkan kepalanya. Kemudian refleks Nando memeluk perempuan yang telah melahirkannya. "Maafkan aku, jika selama ini aku tak meng
Bab 37Akhirnya."Marlina!" sapa Amelia setelah dia tiba di ruang Nabilla. Tentu saja semua yang ada di ruangan itu menoleh ke arah suara. "Amelia?" balas Marlina. Terkejut dan tak percaya, jika Amelia datang menemuinya.Amelia terkejut melihat Nabilla yang sama dengan Nando. Lemah tak berdaya di pembaringan. "Astaga ... apa yang aku lakukan? Mungkin Nathan perasaannya juga sama yang aku rasakan saat ini. Khawatir dengan keadaan putrinya! Kenapa aku jahat sekali!?" Maki Amelia dalam hati. Ya, dia memaki dirinya sendiri. Dengan langkah pelan dan badan gemetar, Amelia masuk ke ruangan Nabilla. Matanya tak lepas memandang ke arah gadis itu. Gadis yang selama ini dia benci. Gadis yang selama ini, ia inginkan celaka. Nathan dan Marlina bingung melihat tingkah Amelia. Ada rasa was-was juga. Was-was jika Amelia menyerang Nabilla. Ya, pikirkan mereka masih negatif thinking dengannya. "Ada apa, Amelia?" tanya Marlina. Ditanya seperti itu, Amelia terkejut. Dia baru sadar kalau dia datang k
Bab 36Detik-detik Akhir"Sejak kapan kamu di sini?" tanya Amelia kepada Marlina. Yang ditanya masih terus mengontrol emosinya."Tak penting kamu tahu sejak kapan aku di sini. Kenapa kamu menghilang?" jawab dan tanya balik Marlina. Amelia membuang muka begitu saja. Tak langsung menjawabnya."Bukan urusanmu!" balas Amelia ketus. Cukup membuat Marlina terkejut tentunya."Bukan urusanku kamu bilang? Kamu pergi membawa anakku! Dan kamu bilang itu bukan urusanku? Ternyata kamu tega sekali. Bukan hanya tega tapi juga kejam!" sungut Marlina. Amelia masih membuang muka. Dia tak berani menatap wajah Marlina. "Dia sekarang anakku! Bahkan secara negara dia sudah sah menjadi anakku! Kamu tak ada hak atas dia!" balas Amelia. Mendengar itu tentu saja membuat Marlina sakit hati. "Dia tetap batal jika menyentuhmu Amelia! Karena secara agama dia putraku! Kamu sangat jahat!" Marlina mengingatkan akan takdir yang sesungguhnya. "Persetan! Nando anakku, sampai kapan pun dia anakku! Jangan harap kamu bi
Bab 35Keadaan"Nak, bangun! Nabilla bangun! Ayah mohon!" ucap Nathan. Dia sudah sampai di rumah sakit. Nabilla tak sadarkan diri. Air mata terus berjatuhan. Dadanya sangat sesak. Napasnya seolah tersumbat. Yang ia pikirkan hanyalah keselamatan Nabilla. Hanya itu. Tak ada yang lain lagi.Panggilan telpon dari segala penjuru tak ia respon. Sekarang fokusnya hanya ke Nabilla. Nabilla segalanya baginya. Marlina sudah sampai di rumah sakit. Dia saat ini ada di ruangan Nabilla. Dia baru saja dari ruangan Nando. Nando masih sama keadaannya. Belum sadarkan diri juga. Amelia belum sampai di rumah sakit. Dia masih syok di rumahnya. Syok mendengar Nando kecelakaan. Padahal dia berharap, kabar seperti ini, tidak untuknya. Tapi untuk Nathan dan William. "Nak, bangun!" ucap Marlina lirih di dekat telinga Nabilla. Nathan menoleh ke arah Marlina. Melihat Nabilla melakukan itu, hatinya terasa terenyuh. "Bagaimana keadaan Nando?" tanya Nathan. Yang ditanya menoleh ke arah Nathan. Dia menarik napa
Bab 34Hanya Rencana?"Astagfirullah ...." ucap Nathan saat dia kepleset. Nggak tahu kenapa, tiba-tiba Nathan terpleset. Cukup membuat rasa nyeri di kaki ia rasakan. Dengan perlahan Nathan bangkit. Seketika degub jantungnya berdegub kencang sekali. "Kok, perasaan aku jadi nggak enak gini, ya?" tanya Nathan pada diri sendiri. Ya, dia merasa hatinya sedang tidak baik-baik saja. "Nabilla dan Nando sudah sampai rumah Bu Marlina belum, ya?" tanya Nathan, dia jadi kepikiran dengan mereka. Nathan segera melangkah menuju ke ruang TV dengan sangat pelan-pelan, karena kakinya masih nyeri, belum nyaman. Dia duduk di sana terlebih dahulu. Menenangkan hatinya sejenak, sambil sedikit menekan-nekan kaki yang terasa nyeri itu. "Aku telpon Bu Marlina saja. Tanya mereka sudah sampai apa belum. Kalau aku telpon Nabilla itu terlalu berbahaya. Dia sedang di jalan," gumam Nathan ngomong sendiri. Setelah hatinya sedikit bisa dia kendalikan, Nathan meraih gawainya. Dia segera mencari nomor Bu Marlina.
Bab 33Lanjutan Rencana"Ayah, hari ini Nabilla mau ke rumah Bu Marlina. Ibu yang menolong Nabilla itu. Boleh?" tanya Nabilla kepada ayahnya. Nathan sendiri baru saja selesai bertemu dengan Marlina. Kisah hidupnya cukup membuatnya sesak saat mendengarnya. Ya, Marlina sudah menceritakan semuanya kepada Nathan, masalah Nando hingga jatuh ke tangan Amelia. Cukup menyakitkan dan tentunya cukup bodoh. Itulah yang Nathan pikir, karena dia tak habis pikir, dengan jalan pikir Marlina kala itu. "Mau ayah antar?" tanya Nathan. Nabilla mengulas senyum tipis. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. Nathan melipat keningnya sejenak."Nggak usah, Ayah! Nabilla nanti dijemput Nando. Boleh, kan?" jawab dan tanya lagi Nabilla. Nada tanya yang ia katakan, cukup membuat Nathan tak kuasa untuk menolaknya. Tak tega lebih tepatnya. Nada suara Nabilla terdengar sangat berharap. Berharap untuk diijinkan. Nathan menarik napasnya sejenak. Sebenarnya dia sangat berat untuk melepas Nabilla pergi tanpa dirinya.
Bab 32Menjalankan Rencana"Kamu bodoh sekali Jambrong! Bisa-bisanya kamu gagal culik anak kecil!" Maki Amelia. Sorot mata menyalang, ia lemparkan ke arah lelaki berbadan kekar itu. Dia sudah bersama Jambrong hari ini. Sengaja dia meminta Jambrong untuk datang menemuinya. Semalaman dia tak bisa tidur, gara-gara ucapan Nando, yang telah mengetahui nama Nando Perkasa. Cukup menyita perhatiannya. "Anak itu tak selugu yang kita lihat. Dia itu licik!" balas Jambrong. Amelia nyengir begitu saja. "Halah ... alasan!" sungut Amelia, dengan mata menyalang murka dan memerah. Jambrong menundukan kepalanya. Dia menyadari kalau dia salah. Wajar jika Amelia marah, dia sudah memberikan uang banyak kepada lelaki berbadan kekar itu. Tapi hasilnya tak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Cukup membuat rasa kecewa dan sesak menjadi satu."Selicik-liciknya dia, dia itu anak kecil ... harusnya malu bisa kalah sama anak kecil? Percuma badan gede, tapi kalah sama anak kecil!" Maki Amelia lagi. Rasanya me