Sakti menyambar gelas di sudut meja kerjanya dan meneguknya sampai habis. Seharian ini dia langsung disibukkan dengan berbagai macam hal, ia bahkan terlambat menyantap makan siangnya dan tak sempat mengecek ponsel. Ia menghempaskan bobot di kursi kebesarannya sekembalinya dari ruang rapat, menghela napas sejenak sebelum kembali memeriksa tumpukan dokumen di meja. Tiba-tiba saja benda pipih yang sejak pagi ini dia abaikan, bergetar. Sakti menyipit melihat nama yang muncul pada layar lalu mengambilnya dengan cepat. "Kenapa, Oma? Oma baik-baik saja, kan? Sedang apa istriku sekarang?" Sakti memberondong neneknya dengan banyak pertanyaan. "Itu dia yang mau Oma bicarakan sama kamu. Ke mana saja kamu, dari pagi dihubungi tidak dijawab? Pesan Oma bahkan nggak dibalaa." Suara Sinta terdengar sarat akan kecemasan. "Maaf, Oma. Seharian ini aku sibuk menghadiri rapat dan mempelajari beberapa dokumen penting. Memangnya ada apa?""Istrimu, Nak. Dia
Mirna masih tak habis pikir, bagaimana bisa Chava dengan mudah mematahkan jebakan yang telah ia siapkan. Di antara banyaknya usaha, tak satu pun berhasil memerangkap wanita muda yang juga istri dari keponakannya itu. Mirna salah telah meremehkan Chava. Bukan kemenangan yang dia dapat, justru rasa malu. Sia-sia saja ia habiskan banyak uang dan tenaga kalau harus berakhir kecewa seperti ini. Menginjakkan kaki di rumah pukul lima sore, kaki Mirna rasanya mau patah. Chava balik mengerjai dengan mengajaknya terus berkeliling pusat perbelanjaan. "Mama dari mana saja? Katanya hari ini nggak ada kegiatan, tapi pulang sampai sesore ini.""Kamu itu sudah gadis, usiamu sudah pantas untuk berkeluarga. Jangan nempel terus sama Mama! Pergilah cari calon suami, atau mau Mama carikan jodoh?"Menikah dengan dilandasi cinta saja terkadang berakhir perceraian, apalagi dijodohkan. Pernikahan seperti itu sama sekali tak terbayang dalam benak Lea. Kalaupun menikah, dia sendiri yang akan memilih calonnya.
Tak ada yang bisa Sakti lakukan saat ini selain hanya pasrah mendengar tuduhan demi tuduhan yang dilayangkan Chava padanya. Wanita itu memang tak berontak ketika ia gendong dan baringkan ke kasur, tetapi mulutnya tak henti merepet meski wajahnya tampak pucat dan badannya lemas. "Kamu tadi ada salah makan, nggak? Atau bisa jadi masuk angin." Tangannya masih bergerak lembut membalurkan minyak kayu putih pada punggung sang istri. Seharian ini jadwal Sakti memang sangat padat, ada banyak hal yang harus dia urus, tapi dia seharian berada dalam ruangan berpendingin udara dan tak berkeringat sama sekali. Bisa Sakti pastikan tubuhnya tak bau seperti yang dituduhkan Chava. "Apa jangan-jangan gara-gara makan caviar ya, Mas?"Nyaris saja Sakti tersedak ludahnya sendiri usai mendengar perkataan Chava barusan. Meski kurang dari setahun usia pernikahan mereka, tetapi ia mulai paham betul apa-apa saja yang disukai Chava, pun sebaliknya. Terdengar aneh rasanya Chava mengkonsumsi caviar sedangkan S
"Mas." Chava menghambur memeluk suaminya begitu Sakti datang. Rasa takut yang semula bersarang dalam dada perlahan berkurang. Ya, Chava menemukan tempat yang tepat untuk membagi semua yang dirasakannya. "Oma, Mas." Bahu wanita itu makin bergetar, beberapa waktu belakangan ini hubungannya dengan Sinta memang sudah jauh lebih dekat. Tak ada lagi canggung atau sungkan, mereka benar-benar telah saling menerima kehadiran masing-masing. "Oma akan baik-baik saja. Beliau perempuan kuat dan hebat, sama sepertimu." Sakti merapatkan pelukan. Sepanjang perjalanan pulang pria itu tak tenang, khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada Chava tetapi Sakti tak mendapat jawaban setiap kali bertanya pada sang istri kecuali tangisan wanita itu. Sakti menghubungi Marni, dan barulah mengetahui alasan Chava menangis ketakutan memintanya cepat pulang. Sinta terpeleset ketika hendak ke kamar mandi, beruntungnya Chava datang untuk mengecek keadaan wanita tua itu hingga Sinta bisa secepatnya mendapatkan pertol
Terkadang seseorang ditakdirkan hadir dalam kehidupan orang lain bukan untuk menjadi bagian dari hidupnya, melainkan seperti penguji. Ya, penguji kehidupan. Sama seperti Azzam yang pernah sempat menempati ruang hati Chava, bagaimana Chava mengabdikan diri sepenuhnya tetapi kemudian ia dibuang. Hingga pada akhirnya, Azzam sampai pada titik penyesalan. Merayu wanita yang telah ia sia-siakan di masa lalu agar mau kembali padanya. Sayang, tak secuil pun cinta itu tersisa di hati Chava untuk mantan suaminya. Pun dengan Sakti. Kehadiran Mayang telah menjadi pelajaran hidup paling berharga untuknya. "Mobil pinjam dari mana? Kamu kan sudah miskin sekarang, jangan sok kaya. Kebanyakan gaya taunya ngutang sana sini ujung-ujungnya frustasi." Cibiran Rangga menusuk hingga jantung, tapi Sakti tak mau ambil pusing. Ia mengajak Chava berjalan menuju kedai bakso yang dipadati pembeli. "Jangan termakan apa pun yang dikatakan mereka, Yang. Tujuan kita ke sini buat makan, jadi jangan sampai kebersam
Chava tak bisa menahan laju air matanya manakala melihat benda pipih di tangannya itu menunjukkan garis dua. Meski samar, Chava yakin jika dirinya memang tengah mengandung saat ini. Pengalaman pertama kehamilannya membuatnya yakin kalau benih Sakti tengah bersemayam menjadi bukti cinta mereka. Terlebih, ia baru menyadari kalau ternyata sudah lebih dari satu bulan ini dia tak mendapatkan tamu bulanan. "Bagaimana hasilnya, Yang?" Sakti mengambil alih benda di tangan istrinya. "Garis dua, ya Tuhan. Oma, aku mau punya anak."Sementara Sinta memeriksa hasil alat penguji kehamilan, Sakti mendekap tubuh istrinya erat. Pria itu menghujani pucuk kepala Chava dengan kecupan, bibirnya tak henti menggumamkan kata terima kasih. "Lanjut bawa ke dokter, Nak buat diperiksa. Ini sih sudah bisa dipastikan kalau istrimu benar-benar hamil. Selamat ya, Sayang."Chava tak menyahut, dadanya buncah akan kebahagiaan. Lidahnya terlalu sulit sekadar mengucap sepatah kata, yang jelas Chava amat bahagia. Sakt
Mendadak Sakti merasa mulas. Ditatap sedemikian rupa oleh Chava membuatnya salah tingkah. Sakti takut, tapi bukan lantaran ada sesuatu yang ia sembunyikan dari sang istri. Yang paling Sakti takutkan adalah kehilangan Chava. "Makan dulu, yuk. Nanti baru Mas jelaskan." Sakti menuntun istrinya. "Mas lapar banget? Sudah nggak tahan?" Alih-alih menurut, Chava justru bergeming di tempat. Rasa lapar mendadak sirna gara-gara penasaran dengan isi pesan yang dikirim dengan nomor tanpa nama. "Ck, bukan Mas yang lapar, Mas masih bisa nahan tapi kamu kan ibu hamil, harus teratur makannya.""Aku juga belum lapar, masih bisa tahan juga. Atau jangan-jangan Mas sengaja ngulur waktu, iya? Mau berkelit? Atau lagi mikir nyari alasan yang logis biar aku bisa maklum, begitu?"Chava mendelik ketika tawa suaminya terdengar meledak memenuhi seluruh ruangan. Chava benci reaksi lelaki itu, seolah dirinya sedang membuat lelucon. "Kamu kalau cemburu kenapa gemesin banget sih, Yang?" Mencolek dagu Chava yang m
Langit jingga mengantar Sakti menuju satu tempat. Rasa penasarannya harus terpuaskan atau dia tak akan bisa tidur dengan nyenyak karena terus berselimut keresahan. Hanya ada dua kemungkinan yang bisa saja menjadi kerikil dalam rumah tangganya dengan Chava. Ya, masing-masing dari mantan mereka. Azzam dan Mayang. Kecurigaan Sakti terhadap Azzam membawanya pada satu masalah baru. Berdasarkan informasi yang didapat dari orang kepercayaannya, ternyata mantan suami Chava itu terbukti bersih. Jauh dari apa yang Sakti tuduhkan selama ini. "Kalau bukan dia, lalu siapa lagi?" Sakti mendesah, berkali-kali lelaki di hadapannya itu mengelak. Menegaskan kalau bukan Azzam pelakunya. Sama sekali tak ada gambaran dalang di balik pengirim pesan misterius itu. Satu-satunya orang yang berpeluang menjadi tersangka, terbukti tak bersalah dan Sakti percaya sepenuhnya pada apa yang dikatakan orang suruhannya. "Kami masih berusaha menyelidikinya, Pak. Bapak tenang saja, secepatnya saya akan segera menemuk
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan