Lea mengerutkan kening saat suaminya tak kunjung menyusulnya ke meja makan. Wanita itu membangunkan suaminya sampai dua kali, Riko meminta tambahan waktu dengan dalih masih ngantuk dan kelelahan. Setelah kali kedua memasuki kamarnya, Lea kembali ke sana untuk urusan perut. "Suamimu mana, Non? Tumben sudah siang masih belum keluar juga, memang dia nggak kerja?""Barusan sudah aku bangunkan, Bi. Mungkin kelelahan semalam sepertinya Mas Riko nggak bisa tidur." Lea mendorong kursinya, meninggalkan piring yang masih menyisakan beberapa potongan kecil buah segar. "Aku coba susul lagi, Bi. Takut keperluannya ada yang kelupaan."Selimut telah terlipat rapi di atas bantal saat Lea tiba di kamar. Gaduh air yang membentur lantai kamar mandi menandakan kegiatan di dalam sana yang masih belum usai. Sekali lagi Lea memastikan tak ada yang kurang dengan keperluan suaminya. Ketika tangan Lea terulur hendak mengambil bungkus vitamin di nakas, tak sengaja dia menatap layar ponsel suaminya yang menya
Kemarahan Lea nyatanya tak lantas membuatnya melupakan kewajibannya pada sang suami. Meski setengah hati, ia tetap berusaha semampunya menuntaskan dahaga Riko atas dirinya. Berhasil mendaki hingga dua kali, raga kekar bersimbah peluh itu akhirnya tumbang dengan wajah penuh kepuasan. Lea tak bisa memejamkan mata. Biasanya, Riko akan membantunya bebersih sebelum pergi tidur, tapi bukan hal itu yang mengganggunya. Pesan vulgar yang dikirim tanpa nama membuatnya deja vu. Ketakutan itu kembali muncul, bahkan kini lebih parah. Keberadaan janin dalam gua penuh kasihnya membuat rasa takut kehilangan Riko semakin menjadi-jadi. Lea bisa saja berjuang seorang diri, tetapi dia tak bisa membiarkan anaknya tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Jikapun pahitnya suaminya benar-benar dijebak, Lea bertekad untuk mempertahankan hak anak mereka kelak. "Lea."Riko terjaga, rasa kantuk yang menghinggapinya lenyap seketika menyadari ruang di sisinya kosong. Usai melirik jam di nakas, Riko menyibak seli
Lea melihatnya dengan jelas. Melihat bagaimana suaminya terbakar api cemburu. Walau tak sepatah kata pun terlontar dari mulut pria itu, Lea tahu Riko tengah mati-matian berusaha meredam emosinya. "Yang, aku tanya sama kamu. Hal penting apa yang membuatmu harus menemui Bara sepagi ini?""Ck, nggak semua hal harus aku laporkan sama kamu kan, Mas? Toh aku nggak selingkuh.""Lea!" Tegas dan penuh penekanan bibir Riko memanggil istrinya, tapi meski begitu suaranya masih terdengar lembut dan enak didengar. "Aku suamimu, segala hal yang berhubungan denganmu tentu saja menjadi tanggung jawabku. Apa pun, tanpa terkecuali."Hembusan napasnya terdengar berat. Rupanya sesulit itu berusaha bersikap normal sementara hati dibantai rasa cemburu habis-habisan. Riko ingin mengamuk, tapi tak kuasa di hadapan sang istri. "Kalau kamu butuh sesuatu, aku masih sanggup melakukan apa pun untukmu, Yang. Mintalah padaku, jangan lelaki lain karena aku tak suka!""Tapi apa yang aku butuh dari Mas Riko nggak bi
Setibanya di rumah, Riko langsung menuju kamarnya di lantai atas. Tak tahan rasanya mengulur waktu lebih lama lagi demi menjumpai sang istri. Begitu pertemuannya dengan Herman berakhir, ia gegas meminta Rian melajukan kereta besi kembali ke istananya. "Yang?"Lea yang sedang duduk santai menikmati segelas susu dan kudapan kaget melihat kedatangan suaminya yang tiba-tiba. Dia pikir menjelang malam lelaki itu baru tiba di rumah, nyatanya Riko pulang secepat itu. "Lho, Mas. Sudah pulang? Kupikir masih lama." Lea beringsut untuk menyalami suaminya. "Kebetulan tadi cepat selesai jadi aku langsung pulang.""Manggisnya mana?" Perempuan itu bertanya dengan binar penuh harap. "Aku lupa nggak beli, tadi buru-buru banget habis ketemuan sama Herman aku langsung pulang. Lupa nggak mampir."Wajah yang semula sumringah berubah mendung. Lea diam tampak sangat kecewa karena suaminya tak memenuhi keinginannya. "Serius lupa, Yang. Nanti aku keluar lagi buat beli, jangan marah ya?" Memeluk istrinya
Melihat mobil suaminya meninggalkan gerbang pagi itu, Lea gegas masuk ke kamar untuk mengganti baju. Setelah bersabar menunggu hingga tiga hari lamanya, akhirnya tiba juga hari yang dinantinya. Tak sia-sia dia merogoh kocek dalam-dalam, sampai hampir menimbulkan kesalahpahaman antara dirinya dan sang suami. Uang yang Lea keluarkan dia pergunakan untuk menyewa jasa detektif swasta. Ia sempat menginterogasi Bara melalui sambungan telepon. Menggunakan ponsel milik Ferdi demi menjaga perasaan Riko. Pun hal itu dia lakukan di depan Sari dan Asih serta beberapa pengawal yang sedang berlatih di taman samping paviliun. Lea menyambar tas selempangnya, memastikan dompet dan ponsel telah tersimpan rapi di dalamnya. "Non, yakin mau pergi? Bibi takut, Non. Gimana kalau nanti Den Riko ngamuk kalau tau Non Lea pergi diam-diam begini? Bibi harap Non nggak lupa siapa suami Non itu. Den Riko bisa melakukan hal yang sama sekali tak pernah terpikirkan. Tindakannya tak terduga, Non. Bukan apa-apa, Bibi
Tangan Lea terkepal, dadanya bergemuruh hebat. Kata-kata perempuan itu terdengar begitu merendahkannya. Lea merasa terhina sebagai istri. Ia marah dan sangat ingin menyentuh wajah perempuan itu dengan menggunakan sandalnya. Namun, sebisa mungkin Lea menguasai diri untuk tak menuruti amarahnya. Dia bukan perempuan labil, Lea juga harus berpikir dewasa agar orang lain tak dengan mudah merendahkan harga dirinya. Apa untungnya mengamuk, yang ada hanya akan mempermalukan dirinya sendiri."Kamu bilang aku harus mundur? Kenapa bukan kamu saja yang mundur?" tanya Lea masih dengan gaya kalemnya. Wanita berambut sebahu itu tersenyum mengejek. "Jangan bodoh, Lea. Suamimu bertahan denganmu hanya karena kasihan, jangan menyakiti diri sendiri dengan berpura-pura tak tau apa-apa. Kami saling mencintai, Le. Apa perlu aku tunjukkan padamu foto ketika kami sedang memadu kasih? Wajahnya terlihat sangat puas. Memang apa yang bisa dia dapatkan dari wanita hamil ringkih sepertimu! Suamimu lelaki normal
Lea tahu, sepanjang manusia masih menghela napas maka sudah dapat dipastikan mereka akan dihadapkan dengan berbagai macam persoalan. Akan tetapi jika boleh meminta, cukuplah sampai di sini saja ujian pernikahannya. Hampir dua tahun dia menjalani bahtera bersama Riko, dan masalah berat selalu datang menimpa, membuat rumah tangga mereka nyaris kandas. Besar harapan Lea dengan hadirnya calon buah hati mereka, akan dapat semakin menguatkan ikatan batin di antara mereka. Membuat hubungan mereka semakin harmonis dan menumbuhkan cinta semakin besar di hati masing-masing. "Sudah sampai, Non. Saya antar ke atas." Ferdi bersiap melepas safety belt yang membelit dadanya. Lamunan Lea buyar. Ia gegas meraih bingkisan yang disodorkan Sari padanya. "Tidak usah, Bang. Aku langsung naik sendiri saja. Bang Ferdi pulang saja, kasihan Bi Asih kalau kelamaan ditinggal.""Tidak bisa begitu, Non. Ini menyalahi protokol yang sudah ditetapkan. Saya bisa dihukum pak bos kalau sampai dia tau saya melepas ist
Jarum jam menyentuh angka lima sore ketika Lea membuka mata. Rinai gerimis yang dilihatnya dari jendela kaca runtuh kian deras, sesekali kilat menyambar. Suhu udara dari mesin pendingin ruangan terasa lebih dingin, Lea merapatkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Sesaat tatapannya tertumbuk pada segelas minuman yang berada di nakas, masih menguarkan asap tipis yang artinya minuman itu belum lama dibuat. Lea meraihnya, menikmati susu dengan rasa cokelat yang mampu menghangatkan tubuhnya dalam sekejap. "Ini masih ada kesalahan, coba dicek lebih teliti lagi. Astaga! Sebenarnya apa pekerjaanmu, saya hanya memintamu mengecek saja kenapa masih bisa kecolongan?"Lea menoleh ke arah pintu, suara suaminya terdengar menggelegar di dalam sana. Suaminya memang terkenal dengan image galak dan super disiplin, tapi pria itu juga penyayang dan orang yang memiliki hati hangat sebetulnya. Tak jarang Lea pun sering mendengar suara bernada bentakan, dunia yang keras membuat Riko keras pula mendi
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan