Tangan Lea terkepal, dadanya bergemuruh hebat. Kata-kata perempuan itu terdengar begitu merendahkannya. Lea merasa terhina sebagai istri. Ia marah dan sangat ingin menyentuh wajah perempuan itu dengan menggunakan sandalnya. Namun, sebisa mungkin Lea menguasai diri untuk tak menuruti amarahnya. Dia bukan perempuan labil, Lea juga harus berpikir dewasa agar orang lain tak dengan mudah merendahkan harga dirinya. Apa untungnya mengamuk, yang ada hanya akan mempermalukan dirinya sendiri."Kamu bilang aku harus mundur? Kenapa bukan kamu saja yang mundur?" tanya Lea masih dengan gaya kalemnya. Wanita berambut sebahu itu tersenyum mengejek. "Jangan bodoh, Lea. Suamimu bertahan denganmu hanya karena kasihan, jangan menyakiti diri sendiri dengan berpura-pura tak tau apa-apa. Kami saling mencintai, Le. Apa perlu aku tunjukkan padamu foto ketika kami sedang memadu kasih? Wajahnya terlihat sangat puas. Memang apa yang bisa dia dapatkan dari wanita hamil ringkih sepertimu! Suamimu lelaki normal
Lea tahu, sepanjang manusia masih menghela napas maka sudah dapat dipastikan mereka akan dihadapkan dengan berbagai macam persoalan. Akan tetapi jika boleh meminta, cukuplah sampai di sini saja ujian pernikahannya. Hampir dua tahun dia menjalani bahtera bersama Riko, dan masalah berat selalu datang menimpa, membuat rumah tangga mereka nyaris kandas. Besar harapan Lea dengan hadirnya calon buah hati mereka, akan dapat semakin menguatkan ikatan batin di antara mereka. Membuat hubungan mereka semakin harmonis dan menumbuhkan cinta semakin besar di hati masing-masing. "Sudah sampai, Non. Saya antar ke atas." Ferdi bersiap melepas safety belt yang membelit dadanya. Lamunan Lea buyar. Ia gegas meraih bingkisan yang disodorkan Sari padanya. "Tidak usah, Bang. Aku langsung naik sendiri saja. Bang Ferdi pulang saja, kasihan Bi Asih kalau kelamaan ditinggal.""Tidak bisa begitu, Non. Ini menyalahi protokol yang sudah ditetapkan. Saya bisa dihukum pak bos kalau sampai dia tau saya melepas ist
Jarum jam menyentuh angka lima sore ketika Lea membuka mata. Rinai gerimis yang dilihatnya dari jendela kaca runtuh kian deras, sesekali kilat menyambar. Suhu udara dari mesin pendingin ruangan terasa lebih dingin, Lea merapatkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Sesaat tatapannya tertumbuk pada segelas minuman yang berada di nakas, masih menguarkan asap tipis yang artinya minuman itu belum lama dibuat. Lea meraihnya, menikmati susu dengan rasa cokelat yang mampu menghangatkan tubuhnya dalam sekejap. "Ini masih ada kesalahan, coba dicek lebih teliti lagi. Astaga! Sebenarnya apa pekerjaanmu, saya hanya memintamu mengecek saja kenapa masih bisa kecolongan?"Lea menoleh ke arah pintu, suara suaminya terdengar menggelegar di dalam sana. Suaminya memang terkenal dengan image galak dan super disiplin, tapi pria itu juga penyayang dan orang yang memiliki hati hangat sebetulnya. Tak jarang Lea pun sering mendengar suara bernada bentakan, dunia yang keras membuat Riko keras pula mendi
"Kenapa, Mas?" Lea mengulangi pertanyaannya. Wajah suaminya terlihat sangat serius, tatapannya yang kosong membuat Lea tahu suaminya tengah berpikir keras. "Bara minta aku buat datang ke rumahnya lusa. Katanya ada hal penting yang nggak bisa dia ceritakan di telepon.""Kenapa nggak ngomong langsung saja?"Lea mana tahu kalau suaminya sedang memberikan hukuman pada Bara dalam bentuk skorsing selama sebulan penuh. Pun Riko masih belum mau menceritakannya karena ia pikir tak penting juga Lea mengetahui perasaan Bara terhadapnya. "Aku juga nggak tau. Ya sudah, pokoknya kita ke sana sama-sama. Aku nggak enak soalnya sepanjang dia ikut aku hampir nggak pernah dia minta sesuatu sama aku."Lea mengacungkan jempol, ia kembali memainkan ponselnya. Demi mengusir rasa bosan, Lea berselancar di akun media sosialnya sementara Riko melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Pintu diketuk, Andi dan dua orang staff memasuki ruangan. Lea membungkuk sopan seraya melempar senyum lalu kembali fokus
"Ikut denganku nanti, Fer!" Kalimat yang lebih mirip titah daripada ajakan itu lolos dari bibir Riko. Mengingat kondisi Lea yang seringkali tak bisa diprediksi, Riko mengambil jalan tengah mengajak Ferdi untuk menjadi sopir dadakan untuk mengantarnya ke tempat Bara. Lokasinya yang cukup jauh menjadi bahan pertimbangan Riko mengajak salah satu orang kepercayaannya itu. "Siap, Bos! Mau berangkat jam berapa biar saya siapkan semuanya.""Jam delapan saja. Kira-kira sampai di sana belum terlalu sore.""Baik, Bos. Saya siapkan mobil dulu," ujar Ferdi yang kemudian langsung melarikan diri ke garasi. Inilah yang disukai Riko dari Ferdi. Cara kerjanya hampir mirip dengan Bara. Cepat, sigap, penuh perhitungan, dan tak banyak bicara. Riko masih didera rasa penasaran dengan alasan Bara memintanya untuk datang, tapi dia enggan terlalu bertanya bertanya. Dia memang tak terlalu mencampuri urusan pribadi orang-orang yang bekerja dengannya selagi hal itu tak mengurangi kinerja mereka. "Sudah siap
Wanita itu terpaku di tempat, luar biasa malu sehingga membuatnya tak bisa bernapas dengan benar. Salahkan dirinya yang bodoh, seharusnya Indah sadar diri apa yang menyebabkan mereka terjebak di dalam kamar yang sama. Hal yang membuat Bara menyebutkan namanya dalam janji suci pernikahan. Namun, rupanya sepertinya hanya dia seorang yang menerima pernikahan ini dengan sepenuh hati. Menjalankan kewajibannya sebagai istri, tapi tidak dengan pria di hadapannya. Bagi Bara, mungkin pernikahan itu terjadi hanya demi bakti pria itu terhadap ibunya. Tak lebih. Tanpa kata, sembari menelan kekecewaannya, Indah kembali ke kamar mandi. Bulir bening berjatuhan ketika dia melucuti pakaiannya haram yang dikenakannya dan menukarnya dengan piyama tidur lengan panjang. 'Sadar, Ndah. Kalian menikah karena dijodohkan. Mas Bara terpaksa menerima permintaan ibunya, lalu apa yang kamu harapkan?'Indah menggeleng. Usai membasuh wajah, wanita itu ke luar dari kamar mandi dan mendapati lelaki yang baru saja m
Bara menarik lengan Indah yang hendak pergi meninggalkan kamar. Setitik penyesalan muncul membuat perasaan bersalah serasa mencekik pria itu. Sungguh, Bara pun tak tahu mengapa dia bisa berbuat sedemikian kasar pada Indah, hanya saja perasaannya masih kacau. Ia terlampau kecewa karena Indah bersedia menerima perjodohan ini, padahal andai wanita itu menolak tentunya pernikahan ini tak pernah terjadi. "Tetaplah di sini! Tidur di ranjang, biar aku yang tidur di sofa." titah pria itu dengan suara dingin membekukan. "Tidak perlu mengasihaniku, toh sebentar lagi kita bukan siapa-siapa.""Jangan keras kepala! Pikirkan baik-baik, seandainya aku mengabulkan keinginanmu, kira-kira apa yang akan terjadi pada bapakmu? Pada orang tuaku?""Daripada Mas Bara tersiksa beristrikan perempuan sepertiku, lebih baik pahit sekarang daripada menahan luka. Rasa malu yang ditanggung kedua orang tua kita hanya akan bertahan sebentar saja, paling lama setahun orang-orang akan lupa. Sementara luka hati ini? B
Bara menatap piring-piring yang tersusun rapi di tengah ruangan, di bawahnya dibentangkan tikar. Bangunan sederhana itu tak memiliki ruang makan khusus, ruang tengah yang sedikit lapang yang sering dialihkan fungsi menjadi tempat berkumpul.Pria itu melirik istrinya yang masih berada di dapur, sibuk memindahkan peralatan makan untuk dibawa ke depan."Biar aku saja." Mengambil alih tumpukan piring yang sedang dibawa Indah, lalu meletakkannya di dekat wadah nasi."Duduk di sini saja, Nak. Temani, Bapak. Itu biarkan Indah sama Buliknya saja yang selesaikan," ucap Hadi begitu melihat menantunya hendak kembali ke dapur."Iya, Pak."Bara mengangsurkan tubuhnya, duduk bersila berdampingan dengan ayah dari perempuan yang telah menjadi istrinya. Tak lama, Indah muncul dengan wanita paruh baya membawa wadah di masing-masing tangannya. "Banyak sekali masakannya hari ini, Wat?" Hadi melihat piring-piring dengan menu makanan yang berbeda. "Anak kita yang masak, Bang. Indah bilang sekali-sekali