"Sabar kenapa sih, emang nyari bukti itu gampang? Periksa email mu, semuanya sudah ku kirim di sana." Suara Laras memeki, memekakkan gendang telinga Lukman."Sialan, santai aja bisa kan? Budeg aku nanti." "Santai, santai tapi caramu mengangkat telpon itu menyebalkan. Sudahlah periksa dulu email mu sekarang, kalau semua bukti yang sudah aku kumpulkan itu kurang, aku akan mengumpulkan lebih banyak lagi." "Oke, tunggu sebentar." Lukman kemudian membuka aplikasi G***l dan mengecek email dari Laras. Di situ tertera bukti perselingkuhan Seno berupa foto maupun video. Ada juga bukti cek in dari hotel di mana Seno dan Dewi menghabiskan malam. "Dasar laki-laki biadab, padahal baru saja dia bertemu dengan istrinya dan membuat keributan seperti itu. Bukannya sadar, tapi malah makin menjadi. Memang sudah waktunya orang itu mendapat balasannya," gerutu Lukman ketika dia melihat foto dari kakak kandungnya dengan kelakuan busuknya. "Gimana?" tanya Laras yang masih menunggu titah selanjutnya dari
"Seno! Seno! Kesini sebentar, Nak!" Seru Bu Sekar. Perempuan tua berbadan gempal itu berlarian kecil untuk mencari keberadaan putranya, berkali-kali dirinya memanggil sang anak tapi tidak ada sahutan. Brak! Pintu kamar Seno dibukanya dengan kasar, yang langsung membangunkan Seno saat itu juga. "Mama! Ngapain sih buka pintu kasar begitu! Aku itu capek, ngantuk. Bisa nggak biarin aku tidur, Ma!" Seno yang baru pulang jam empat subuh, setelah menghadiri party itu tentu murka dengan perbuatan ibunya. "Anak bodoh! Ini bukan waktunya kamu tidur seperti ini! Nih, ada surat buatmu. Kamu pasti emosi saat tahu surat apa itu!" Bu Sekar melempar amplop surat yang dimaksud ke wajah Seno. Karena penasaran, Seno langsung mengeluarkan isi surat dari dalam amplop yang sudah terbuka. Sepertinya sang ibu sudah membaca surat tersebut. "Emang surat apaan sih? Paling juga tagihan rumah seperti biasanya. Gini aja kok ribut macem orang kebakaran jenggot." Dengusan kesal Seno yang belum mengetahui sur
Seno menghentikan mobilnya di parkiran rumah megah Dewi, karena orang tua Dewi di Amerika jadi saat ini hanya ada dia dan para pekerja di rumah tersebut. "Selamat pagi, Mas Seno. Mau ketemu Mbak Dewi ya?" tanya Bibik. "Ya iyalah, masa mau ketemu kamu sih Bik. Mana majikan kamu?" "Mbak Dewi ada di kamarnya, Mas," jawab Bibik dengan wajah masam. Seno menyenggol perempuan paruh baya itu, suasana hatinya sedang tidak baik. Jadi dia lampiaskan pada orang lain. Seno berjalan menuju lantai dua di mana kamar Dewi berada. "Gila ini rumah mewah banget, apa sebaiknya aku ceraikan saja Andin itu? Dengan begitu aku bisa turut menikmati kekayaan Dewi. Lagian Dewi juga sudah cinta mati denganku, tinggal kubuat hamil saja dia. Beres cerita," gumam Seno. Laki-laki bejat yang bahkan tidak bisa memperlakukan istrinya dengan baik itu tengah berangan ingin memanfaatkan perempuan yang mencintai dirinya, niat buruk yang terselubung di hati Seno mulai terlihat ketika Dewi kembali hadir dalam hidupnya.
Hari persidangan pertama telah tiba, Seno, Dewi, dan Bu Sekar telah hadir dengan seorang pengacara yang dijanjikan Dewi. Ketiganya dengan angkuhnya berada di ruang sidang tersebut. "Mas, lihat ternyata pemilik diskotik itu komplotan wanita kampung itu," bisik Dewi.Seno yang semula hanya memperhatikan Andin, dia pun mengalihkan pandangannya ke arah yang dimaksud Dewi. Dengusan kesal pun dia keluarkan saat itu, padahal selama ini Seno sudah banyak bercerita tentang kebusukannya pada orang yang dia kira tidak punya hubungan dengan Andin. "Sialan, ternyata mereka memang sudah memata-matai kita. Aku tidak percaya Andin bisa setega ini denganku, dia sudah lupa daratan. Padahal aku lah yang telah mengangkat nama baiknya, ku jadikan dia istri di saat semua orang menjauhinya karena status sosialnya. Kalau dia tidak menikah denganku, dia itu selamanya akan menjadi pembantu," gerutu Seno. Lelaki itu makin panas dengan perubahan drastis Andin. Istrinya yang selama ini kucel, kurus kering, dan
Beberapa hari setelah sidang cerai itu, Andin masih belum beraktivitas di luar sana. Dia masih menumpang di rumah Lukman, rencananya Andin akan mencairkan asuransi orang tuanya dan akan membeli seunit rumah. Tidak perlu besar yang penting dia bisa tinggal dengan tenang. Pagi ini Andin seperti biasa bangun lebih pagi, walau semua pekerjaan rumah telah dikerjakan oleh Bibik. Namun Andin tidak mau bersantai-santai, dia sadar diri bahwa dirinya hanya menumpang saja. Lagi pula Andin tidak mau menjadi bahan omongan karyawan Lukman, karena masih tinggal seatap dengan orang yang bahkan bukan bagian dari keluarganya lagi. Derap langkah kaki terdengar begitu keras, rupanya Lukman menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Seperti orang yang sedang dikejar setan. "Lukman, kamu tidak sarapan dulu?" tanya Andin yang heran karena Lukman pagi itu melewatkan sarapan pagi. Padahal biasanya keduanya akan menghabiskan sarapan berdua terlebih dahulu, tapi tampaknya Lukman terburu-buru hari ini. "Aku nggak
Andin melihat Lukman langsung, dia tidak tahu apa lagi yang akan dikatakan mantan adik iparnya itu. "Kamu mau ngomong apa? Kayaknya serius banget," ucap Andin. "Iya, ini penting banget. Sebenarnya aku tidak mau membawa kamu dalam masalah perusahaanku, tapi aku tidsk bisa berbuat apapun lagi." "Apa yang terjadi dengan perusahaanmu?" Andin cukup tertarik dengan informasi yang akan dikatakan Lukman.Selama tinggal bersama Lukman beberapa hari itu, Andin jadi tahu kalau Lukman bukan orang yang akan mengeluh di depan orang lain. Apa lagi menceritakan kesusahan yang dia alami. Andin tidak tahu apakah memang sifat Lukman memang sudah seperti itu sejak dulu, atau sifat tersebut muncul setelah mengalami berbagai kejadian dalam hidupnya. "Perusahaanku sekarang sedang dalam masalah finansial, beberapa proyek yang telah ditanda tangan membatalkan kontraknya. Mereka bahkan tidak membayar uang ganti rugi. Saham perusahaan juga tiap hari makin turun, jika kondisi ini terus berlanjut akan ada ba
Andin mencoba membuka pintu ruangan tempat dirinya dan Siska disekap, yang tentu saja terkunci. "Gimana nih, Ndin. Kita tidak bisa keluar dari sini." "Bentar, jangan panik dulu. Kita cari jalan keluar lain. Aku yakin ada." Andin mengalihkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan, hingga matanya menemukan jendela yang ukurannya cukup untuk dirinya dan Siska. "Siska, kita bisa keluar dari sana. Masalahnya jendela itu terlalu tinggi, kita tidak bisa menggapainya," ucap Andin. "Kamu benar, Ndin. Kita pakai apa ya?" Keduanya pun mulai mencari cara lagi. Jika pintu terkunci, jalan satu-satunya hanyalah jendela tersebut. Ruangan itu juga sepertinya ruangan terbengkalai, cukup banyak barang perabotan yang sudah tidak digunakan. "Gimana kalau kita naik ke kursi ini? Walau agak rapuh, semoga saja bisa kita gunakan." Siska membawa kursi kayu yang cukup tinggi. "Sepertinya masih belum sampai, Sis. Jendelanya masih lebih tinggi sedikit," ujar Andin. "Kita coba saja, dari pada kita terkurung
Dewi berdiri tegak di tengah ruangan yang redup, cahaya yang samar-samar menyinari wajahnya yang penuh dengan ekspresi kekecewaan. Di sekelilingnya terdapat empat sosok pria besar yang seharusnya bertanggung jawab atas tugas mereka dengan baik. Namun, alih-alih menunjukkan dedikasi, mereka lalai. Wajah Dewi memancar kemerahan, tidak hanya karena kecewa, tetapi juga karena amarah yang menggebu di dalam dirinya. Matanya berkilat, mengisyaratkan bahwa ia kesulitan untuk meredam emosi yang meluap-luap di dalam dirinya. "Sialan! Kalian semua bodoh!" bentak Dewi, suaranya bergema di dinding-dinding ruangan. "Bagaimana bisa dua wanita itu kabur dari sini!"Para pria itu menghentikan aktivitas mereka dan menundukkan kepala, berusaha menghindari tatapan tajam dari Dewi. Mereka merasakan ketegangan di udara, menyadari betul bahwa kelalaian terhadap tugas membuat keadaan menjadi kacau. Konsekuensinya terbayang jelas di benak mereka. "Kami minta maaf," ucap salah satu dari mereka, suaranya geme
Andin yang malu atas sikap suaminya hanya bisa merona sembari memalingkan wajahnya. Bahkan, pertanyaan Lukman barusan tidak dia jawab karena rasanya malu sekali menjawabnya. Lukman yang sudah tak tahan langsung mencium bibir sang istri, akan tetapi Andin malah kembali memalingkan wajahnya membuat Lukman semakin penasaran dibuatnya."Kamu sengaja menggodaku ya, Andin?" tanya Lukman mencium leher sang istri yang seketika melenguh, menikmati sensasi yang sudah beberapa hari ini tidak dia rasakan karena banyaknya kesibukan."Kamu suka, 'kan?" bisik Lukman dengan suara lirih.Andin hanya mengangguk. "Maaf karena akhir-akhir ini aku belum sempat melayanimu, kamu tahu kalau si kembar ingin selalu tidur dengan kita, jadi sulit sekali mencuri waktu untuk kita bersama," ucap Andin."Ya ... itulah mengapa aku ingin meminta jatahku har ini selagi Daniel dan Dania menginap di rumah kakekmu, aku mau kita melewati malam bersama, sepuasnya," kata Lukman."Namun, sesungguhnya tak ada kata puas untuk b
Berbeda dengan dulu, kini Andin dan Lukman harus mempersiapkan segala keperluan bayi jika hendak jalan-jalan meskipun hanya jalan-jalan ke komplek dekat rumah. Selain membawa beberapa botol susu, Andin juga membawa dua stroller untuk membuat Daniel dan Dania.Kebetulan cuaca sore ini sangat bagus, tidak panas dan tidak mendung sehingga sangat cocok untuk membawa bayi keluar rumah. Sebab, bayi juga perlu keluar rumah untuk menstimulasi penglihatan dan pendengarannya, dan yang paling penting adalah untuk mengusir rasa bosan ibunya.Keduanya berjalan beriringan, masing-masing mendorong satu stroller dengan wajah yang tak luput memberi senyuman bahagia. Hingga sampai di taman, Lukman membawa istrinya duduk sementara si kembar dibiarkan melihat indahnya langit yang biru cerah nan memesona."Mereka kelihatan senang," ujar Lukman mengamati raut wajah Daniel dan Dania yang sumeringah."Iya, aku juga senang karena sudah lama ga keluar rumah. Rasanya nikmat bisa menghirup udara segar, apalagi c
Andin dan Lukman berada di Swiss selama lima hari. Mereka berjalan-jalan dan membeli berbagai benda-benda khas di negara tersebut untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh seperti keju, cokelat susu, lonceng, kotak musik, dan masih banyak lagi.Setelah puas berbelanja dan jalan-jalan, mereka akhirnya pulang karena masa cuti Lukman juga sudah habis hingga esok. Kalau ditambah, dia merasa kasihan kepada sekretaris dan asistennya yang menghandle semua pekerjaan Lukman sebagain pimpinan perusahaan.Keesokan harinya, mereka sudah sampai di Indonesia dan pulang ke rumah Bambang untuk membuka semua yang telah mereka beli. Andin memberikan semuanya kepada sang nenek dan juga paman-pamannya yang menyambut Andin dengan suka cita dan penuh kerinduan setelah satu minggu mereka tidak berjumpa"Kamu senang liburan di sana?" tanya sang nenek kepada Andin."Senang sekali, kalau ada kesempatan liburan lagi aku ingin ke sana lagi, di sana suasananya tenang dan sejuk, aku suka sekali. Lain kali kita pergi k
Hubungan Andin dan kakeknya, Bambang serta keluarganya semakin membaik. Mereka sudah tidak sungkan lagi dan menganggap Andin adalah anak kecil yang sangat dimanja. Semua keinginan Andin dipenuhi, bahkan paman-pamannya datang setiap hari untuk memberikan hadiah apa saja kepadanya.Tak jarang, Andin diajak keluar untuk makan siang bahkan bermain di timezone karena Bambang pernah mengatakan kalau Andin masih suka bermain di wahana permainan seperti itu meskipun usianya sudah dewasa. Andin sangat bahagia, dia tidak bisa memiliki anak, dan kini dialah yang menjadi seorang anak bagi kakek dan paman-pamannya.Hubungan yang membaik itu juga berimbas pada perusahaan Lukman, Bambang menggelontorkan banyak dana untuk memperbesar perusahaan itu sebagai wujud rasa terima kasih atas karena Lukman telah tulus menerima Andin dengan segala masa lalu dan juga kekurangannya.Lukman menerimanya dengan senang hati, sebab dengan kemajuan perusahaan, itu berarti dia juga bisa membahagiakan Andin lebih dari
"Mau sarapan apa?" Suara Andin membuat Lukman terperangah ketika lelaki itu duduk di meja makan untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor.Suasana rumah Andin mulai mengalami sedikit perubahan karena Andin sudah kembali berbicara kepada suaminya setelah beberapa hari mogok bicara. Lukman merasa lega, dia bisa berangkat ke kantor dengan tenang. Namun meski begitu, masalah yang sebenarnya belumlah selesai dan Lukman tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya."Apa saja asalkan dimasak oleh istriku," jawab Lukman.Andin dengan cekatan memanggang roti tawar di dalam pemanggang lalu menggoreng telur setengah matang. Sambil menunggu telur yang berada di dalam penggorengan, wanita itu mengiris bawang bombai yang dia masak sebentar di samping telur, lalu mengiris beberapa sayuran mentah untuk dibuat sandwich.Andin sendiri tidak membicarakan masalah yang tengah dia hadapi, bahkan setelah melihat konferensi pers kemarin, Andin sama sekali tidak membicarakan kakeknya seolah konferensi pers itu
Bambang Sukseno adalah pengusaha paling sukses hingga dinobatkan menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia. Dia memiliki banyak relasi dan jangkauan yang luas naik di dalam maupun luar negeri, sehingga namanya sangat tersohor dan dikenal semua lapisan masyarakat di Indonesia.Bahkan, Bambang seringkali masuk pemberitaan acara atau akun gossip yang suka sekali meliput kegiatan keluarganya, baik di rumah maupun saat liburan bersama, sebab keluarga Bambang adalah keluarga yang harmonis, keluarga cemara yang sempurna. Lelaki itu bahkan dijuluki family man karena dianggap sangat romantis tanpa adanya pemberitaan miring yang menimpa keluarganya.Namun, konferensi pers yang dilakukannya di hadapan awak media hari ini seakan mematahkan semua persepsi tersebut. Bambang mengakui semua dosa-dosanya, dia mengumumkannya kepada dunia bahwa dia bukanlah manusia yang sempurna. Bambang tidak sebaik yang oranng-orang kira.“Saya melakukan konferesni pers ini untuk mengatakan bahwa saya memiliki ist
"Andin, Sayang ... sudah, ya, maafkan aku. Ayo kita pulang!" ajak Lukman.Lukman merangkul Andin dengan penuh kesabaran, lalu memeluknya berharap wanita itu bisa lebih tenang. Dengan wajah cemas sekaligus panik, lelaki itu mengajak Andin pulang sebab kalau sudah begini, nasehat, saran, dan penjelasan apa pun takkan bisa masuk ke dalam perenungan.Lukman sendiri tidak menyangka kalau reaksi Andin akan seperti ini. Pikirannya hanya membayangkan kalau Andin akan bahagia karena ternyata masih memiliki kakek yang masih hidup dan memiliki ikatan darah yang kuat, sebab Bambang adalah ayah kandung dari Rendi Irawan.Namun, ternyata reaksi Andin sungguh tak terduga. Andin marah, tidak terima, bahkan menangis histeris menyalahkan Bambang."Pak Bambang, saya sangat terkejut dengan apa yang telah terjadi, mohon maaf atas kekacauan ini. Saya akan mencoba membicarakan ini kepada istri di rumah ketika dia sudah tenang. Kami pamit ya, Pak!" ucap Lukman masih sambil memeluk Andin yang kini menangis da
"Jadi, kamu adalah anak Rendi? Kamu adalah cucuku ...." ucap Bambang dengan suara lirih.Pertanyaan sekaligus ungkapan itu membuat Andin tercengang, antara percaya dan tidak percaya, semua itu sulit untuk dipercaya. Bambang sendiri terisak sementara Andin merasakan tubuhnya seperti membeku, tidak bisa bergerak sama sekali. Wanita itu syok atas apa yang telah didengarnya barusan."Pantas kamu mirip sekali dengan anakku, bahkan aku sampai mengira kalau kalian adalah orang yang sama meskipun tidak mungkin juga rasanya. Aku ... aku minta maaf, cucuku, aku sudah menelantarkanmu hingga kamu mengalami banyak hal yang berat semasa kamu ditinggalkan ayah dan ibumu," papar Bambang masih terisak.Dada Andin kini kembang kempis, tangannya mengepal kuat dengan tatapan mata yang tertuju pada sosok lelaki tua yang mengaku sebagai kakeknya. "Selama ini, saya hidup sebatang kara. Jadi, saya tidak bisa percaya begitu saja atas apa yang Bapak katakan," sahut Andin tegas dengan tatapan tajam.Sahutan it
Andin, Lukman, Bambang, dan juga sekretarisnya telah selesai dengan hidangan utama mereka dan mulai menikmati dessert berupa puding serta buah yang segar, lalu ditutup kembali dengan teh yang kembali diisi oleh pelayan karena Bambang mengatakan bahwa mereka akan di sana untuk beberapa lama lagi.Ya, Andin baru ingat kalau Bambang tadi berkata ingin mengobrol dengannya dan juga Lukman sehingga dia tidak bisa pergi cepat-cepat dari sana. Entah apa yang akan Bambang bicarakan, yang pasti Andin hanya berpikir kalau lelaki tua itu mungkin ingin membicarakan masalah kerja samanya bersama Lukman.Andin tidak banyak bicara apalagi membantah, dia manut dan duduk mendampingi suaminya. Ada secercah senang dalam hatinya, juga perasaan dihargai karena dilibatkan dalam pekerjaan sang suami.Dan benar saja, sekretaris Bambang mengeluarkan sebuah berkas yang harus Lukman tandatangani. Dia menyimpannya di atas meja yang sudah dibereskan dan dibersihkan oleh pelayan beberapa saat yang lalu, setelah itu