Andin melihat Lukman langsung, dia tidak tahu apa lagi yang akan dikatakan mantan adik iparnya itu. "Kamu mau ngomong apa? Kayaknya serius banget," ucap Andin. "Iya, ini penting banget. Sebenarnya aku tidak mau membawa kamu dalam masalah perusahaanku, tapi aku tidsk bisa berbuat apapun lagi." "Apa yang terjadi dengan perusahaanmu?" Andin cukup tertarik dengan informasi yang akan dikatakan Lukman.Selama tinggal bersama Lukman beberapa hari itu, Andin jadi tahu kalau Lukman bukan orang yang akan mengeluh di depan orang lain. Apa lagi menceritakan kesusahan yang dia alami. Andin tidak tahu apakah memang sifat Lukman memang sudah seperti itu sejak dulu, atau sifat tersebut muncul setelah mengalami berbagai kejadian dalam hidupnya. "Perusahaanku sekarang sedang dalam masalah finansial, beberapa proyek yang telah ditanda tangan membatalkan kontraknya. Mereka bahkan tidak membayar uang ganti rugi. Saham perusahaan juga tiap hari makin turun, jika kondisi ini terus berlanjut akan ada ba
Andin mencoba membuka pintu ruangan tempat dirinya dan Siska disekap, yang tentu saja terkunci. "Gimana nih, Ndin. Kita tidak bisa keluar dari sini." "Bentar, jangan panik dulu. Kita cari jalan keluar lain. Aku yakin ada." Andin mengalihkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan, hingga matanya menemukan jendela yang ukurannya cukup untuk dirinya dan Siska. "Siska, kita bisa keluar dari sana. Masalahnya jendela itu terlalu tinggi, kita tidak bisa menggapainya," ucap Andin. "Kamu benar, Ndin. Kita pakai apa ya?" Keduanya pun mulai mencari cara lagi. Jika pintu terkunci, jalan satu-satunya hanyalah jendela tersebut. Ruangan itu juga sepertinya ruangan terbengkalai, cukup banyak barang perabotan yang sudah tidak digunakan. "Gimana kalau kita naik ke kursi ini? Walau agak rapuh, semoga saja bisa kita gunakan." Siska membawa kursi kayu yang cukup tinggi. "Sepertinya masih belum sampai, Sis. Jendelanya masih lebih tinggi sedikit," ujar Andin. "Kita coba saja, dari pada kita terkurung
Dewi berdiri tegak di tengah ruangan yang redup, cahaya yang samar-samar menyinari wajahnya yang penuh dengan ekspresi kekecewaan. Di sekelilingnya terdapat empat sosok pria besar yang seharusnya bertanggung jawab atas tugas mereka dengan baik. Namun, alih-alih menunjukkan dedikasi, mereka lalai. Wajah Dewi memancar kemerahan, tidak hanya karena kecewa, tetapi juga karena amarah yang menggebu di dalam dirinya. Matanya berkilat, mengisyaratkan bahwa ia kesulitan untuk meredam emosi yang meluap-luap di dalam dirinya. "Sialan! Kalian semua bodoh!" bentak Dewi, suaranya bergema di dinding-dinding ruangan. "Bagaimana bisa dua wanita itu kabur dari sini!"Para pria itu menghentikan aktivitas mereka dan menundukkan kepala, berusaha menghindari tatapan tajam dari Dewi. Mereka merasakan ketegangan di udara, menyadari betul bahwa kelalaian terhadap tugas membuat keadaan menjadi kacau. Konsekuensinya terbayang jelas di benak mereka. "Kami minta maaf," ucap salah satu dari mereka, suaranya geme
Pagi itu Lukman kembali memasuki kantor. Udara segar pagi tidak mampu menghilangkan beban berat yang menumpuk di pundaknya. Perasaan cemas dan gelisah tentang nasib perusahaannya terus mengganggunya, menyulitkan setiap langkah yang dia ambil.Lukman duduk di meja kerjanya yang penuh dengan tumpukan berkas dan laporan keuangan. Dia memandangi layar komputernya dengan pandangan kosong, mencoba mencari solusi dari situasi keuangan yang semakin memburuk. Namun, semakin dia mencoba, semakin tidak ada jawaban yang muncul.Dia meremas-remas rambutnya dengan frustrasi, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya berteriak dalam keputusasaan. Dia tidak bisa membiarkan perusahaannya jatuh ke dalam jurang kebangkrutan."Bagaimana keadaan hari ini, Luk?" Suara rekannya, membuyarkan lamunannya.Lukman mengangkat pandangannya dan menyunggingkan senyum pahit. "Masih sama. Situasi semakin memburuk."Alex mengangguk. "Aku tahu ini sulit, tapi kau harus tetap kuat. Kita akan mencari jalan keluar bers
Lukman merasa rasa khawatir itu semakin membesar memenuhi hatinya saat mobilnya melaju dengan cepat menuju rumah Siska. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban. Di manakah Andin dan Siska? Mengapa mereka tidak merespons panggilannya?Saat mobilnya tiba di depan rumah orang tua Siska, Lukman menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari mobil. Dia mengetuk pintu rumah dengan cepat, berharap untuk mendapatkan jawaban yang dia cari.Namun, ketika pintu terbuka, wajah Siska tidak terlihat di balik pintu. Lukman semakin gelisah."Siska ada di rumah?" tanyanya, suaranya dingin seperti biasa.Pembantu rumah tangga di keluarga Siska yang membuka pintu menggeleng. "Maaf, Mbak Siska tidak ada di rumah. Dia pergi bersama Mbak Andin sejak kemarin."Lukman merasa seolah-olah dunia di sekitarnya runtuh. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menunjukkan ekspresi cemas yang terpancar di wajahnya. "Mereka berdua tidak ada di rumah?" ulangnya, suaranya serak.Pembantu
Dewi duduk di ruangan yang sunyi, bayang-bayang menari-nari di dinding-dinding yang sepi. Telepon genggamnya terjatuh dengan suara gemuruh karena kabar yang tidak menyenangkan, seperti guntur di tengah hari yang cerah.Saat mendengar berita itu, wajahnya seketika kehilangan warna, ekspresinya membeku. Napasnya terengah-engah, mencoba menenangkan diri di tengah-tengah badai emosi yang melanda pikirannya. Namun, amarah yang berkobar di dalam dirinya terasa semakin sulit untuk diredam.Dengan susah payah, Dewi menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gelombang amarah yang mengancam untuk meluluhlantakkan segalanya di sekitarnya. "Katakan padaku bahwa kau sedang bercanda." Dewi menggertakkan rahangnya, suaranya bergetar oleh emosi yang melanda."Kami belum berhasil menemukan mereka," jawab suara pria di seberang sana dengan nada yang penuh penyesalan, mengakui kegagalan mereka dalam melindungi yang mereka cintai.Kata-kata itu terasa seperti pukulan di dada Dewi, mengejutkan dirinya. H
Langit masih cerah ketika Andin dan Siska berjalan menyusuri jalan setapak yang tak dikenal. Cahaya matahari yang terang memancar dari langit biru, memberi sedikit hawa penghiburan. Namun, keadaan sekitar tetap asing bagi mereka, tanpa tanda-tanda apa pun yang bisa memberikan petunjuk tentang arah atau lokasi mereka.Mereka memandang sekeliling, mencoba mencari petunjuk atau mengarahkan mereka ke tempat yang lebih aman. Namun, pemandangan sekitar terasa begitu asing bagi mereka, tanpa satu pun yang mereka kenal.Dalam keadaan yang semakin membingungkan, Andin dan Siska merasa terombang-ambing, tidak tahu harus ke mana. Mereka terus berjalan, memperhatikan setiap detail sekeliling. "Tidak ada yang familiar," ucap Andin dengan napas yang terengah-engah, suaranya menciut. Matanya memandang sekeliling.Siska mengangguk setuju, merasakan kebingungan yang sama seperti sahabatnya. Hatinya berdebar-debar, tidak tahu harus ke mana mereka harus melangkah."Aku tidak tahu kita berada di mana."
Lukman merasa kakinya berat saat melintasi jalan yang mengarah ke rumahnya. Cahaya bulan purnama berusaha menembus awan hitam yang menggantung rendah di langit, menciptakan suasana yang gelap. Helaan nafasnya membeku di udara dingin malam itu, menghasilkan semacam kabut tipis di depannya saat ia terus berjalan, langkah demi langkah, menuju rumahnya yang teduh. Rumah itu terlihat seperti pulau yang terisolasi, memberikan perasaan kedamaian namun juga kesepian yang melingkupi Lukman di malam yang hening.Pintu rumahnya terbuka tanpa suara, memperlihatkan keheningan yang menghantui. Langkahnya terdengar berat di lantai kayu yang renyah, menggetarkan kesunyian yang mendominasi ruangan. Lukman mencoba memanggil namanya, tetapi tidak ada jawaban yang terdengar. Ruangan itu terasa sepi, seolah-olah menjadi sebuah makam yang ditinggalkan, di mana kehadiran manusia tidak lagi terasa. Hatinya berdebar keras, terasa seperti terkurung dalam kegelapan yang menakutkan, sementara kekhawatirannya sem
Andin yang malu atas sikap suaminya hanya bisa merona sembari memalingkan wajahnya. Bahkan, pertanyaan Lukman barusan tidak dia jawab karena rasanya malu sekali menjawabnya. Lukman yang sudah tak tahan langsung mencium bibir sang istri, akan tetapi Andin malah kembali memalingkan wajahnya membuat Lukman semakin penasaran dibuatnya."Kamu sengaja menggodaku ya, Andin?" tanya Lukman mencium leher sang istri yang seketika melenguh, menikmati sensasi yang sudah beberapa hari ini tidak dia rasakan karena banyaknya kesibukan."Kamu suka, 'kan?" bisik Lukman dengan suara lirih.Andin hanya mengangguk. "Maaf karena akhir-akhir ini aku belum sempat melayanimu, kamu tahu kalau si kembar ingin selalu tidur dengan kita, jadi sulit sekali mencuri waktu untuk kita bersama," ucap Andin."Ya ... itulah mengapa aku ingin meminta jatahku har ini selagi Daniel dan Dania menginap di rumah kakekmu, aku mau kita melewati malam bersama, sepuasnya," kata Lukman."Namun, sesungguhnya tak ada kata puas untuk b
Berbeda dengan dulu, kini Andin dan Lukman harus mempersiapkan segala keperluan bayi jika hendak jalan-jalan meskipun hanya jalan-jalan ke komplek dekat rumah. Selain membawa beberapa botol susu, Andin juga membawa dua stroller untuk membuat Daniel dan Dania.Kebetulan cuaca sore ini sangat bagus, tidak panas dan tidak mendung sehingga sangat cocok untuk membawa bayi keluar rumah. Sebab, bayi juga perlu keluar rumah untuk menstimulasi penglihatan dan pendengarannya, dan yang paling penting adalah untuk mengusir rasa bosan ibunya.Keduanya berjalan beriringan, masing-masing mendorong satu stroller dengan wajah yang tak luput memberi senyuman bahagia. Hingga sampai di taman, Lukman membawa istrinya duduk sementara si kembar dibiarkan melihat indahnya langit yang biru cerah nan memesona."Mereka kelihatan senang," ujar Lukman mengamati raut wajah Daniel dan Dania yang sumeringah."Iya, aku juga senang karena sudah lama ga keluar rumah. Rasanya nikmat bisa menghirup udara segar, apalagi c
Andin dan Lukman berada di Swiss selama lima hari. Mereka berjalan-jalan dan membeli berbagai benda-benda khas di negara tersebut untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh seperti keju, cokelat susu, lonceng, kotak musik, dan masih banyak lagi.Setelah puas berbelanja dan jalan-jalan, mereka akhirnya pulang karena masa cuti Lukman juga sudah habis hingga esok. Kalau ditambah, dia merasa kasihan kepada sekretaris dan asistennya yang menghandle semua pekerjaan Lukman sebagain pimpinan perusahaan.Keesokan harinya, mereka sudah sampai di Indonesia dan pulang ke rumah Bambang untuk membuka semua yang telah mereka beli. Andin memberikan semuanya kepada sang nenek dan juga paman-pamannya yang menyambut Andin dengan suka cita dan penuh kerinduan setelah satu minggu mereka tidak berjumpa"Kamu senang liburan di sana?" tanya sang nenek kepada Andin."Senang sekali, kalau ada kesempatan liburan lagi aku ingin ke sana lagi, di sana suasananya tenang dan sejuk, aku suka sekali. Lain kali kita pergi k
Hubungan Andin dan kakeknya, Bambang serta keluarganya semakin membaik. Mereka sudah tidak sungkan lagi dan menganggap Andin adalah anak kecil yang sangat dimanja. Semua keinginan Andin dipenuhi, bahkan paman-pamannya datang setiap hari untuk memberikan hadiah apa saja kepadanya.Tak jarang, Andin diajak keluar untuk makan siang bahkan bermain di timezone karena Bambang pernah mengatakan kalau Andin masih suka bermain di wahana permainan seperti itu meskipun usianya sudah dewasa. Andin sangat bahagia, dia tidak bisa memiliki anak, dan kini dialah yang menjadi seorang anak bagi kakek dan paman-pamannya.Hubungan yang membaik itu juga berimbas pada perusahaan Lukman, Bambang menggelontorkan banyak dana untuk memperbesar perusahaan itu sebagai wujud rasa terima kasih atas karena Lukman telah tulus menerima Andin dengan segala masa lalu dan juga kekurangannya.Lukman menerimanya dengan senang hati, sebab dengan kemajuan perusahaan, itu berarti dia juga bisa membahagiakan Andin lebih dari
"Mau sarapan apa?" Suara Andin membuat Lukman terperangah ketika lelaki itu duduk di meja makan untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor.Suasana rumah Andin mulai mengalami sedikit perubahan karena Andin sudah kembali berbicara kepada suaminya setelah beberapa hari mogok bicara. Lukman merasa lega, dia bisa berangkat ke kantor dengan tenang. Namun meski begitu, masalah yang sebenarnya belumlah selesai dan Lukman tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya."Apa saja asalkan dimasak oleh istriku," jawab Lukman.Andin dengan cekatan memanggang roti tawar di dalam pemanggang lalu menggoreng telur setengah matang. Sambil menunggu telur yang berada di dalam penggorengan, wanita itu mengiris bawang bombai yang dia masak sebentar di samping telur, lalu mengiris beberapa sayuran mentah untuk dibuat sandwich.Andin sendiri tidak membicarakan masalah yang tengah dia hadapi, bahkan setelah melihat konferensi pers kemarin, Andin sama sekali tidak membicarakan kakeknya seolah konferensi pers itu
Bambang Sukseno adalah pengusaha paling sukses hingga dinobatkan menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia. Dia memiliki banyak relasi dan jangkauan yang luas naik di dalam maupun luar negeri, sehingga namanya sangat tersohor dan dikenal semua lapisan masyarakat di Indonesia.Bahkan, Bambang seringkali masuk pemberitaan acara atau akun gossip yang suka sekali meliput kegiatan keluarganya, baik di rumah maupun saat liburan bersama, sebab keluarga Bambang adalah keluarga yang harmonis, keluarga cemara yang sempurna. Lelaki itu bahkan dijuluki family man karena dianggap sangat romantis tanpa adanya pemberitaan miring yang menimpa keluarganya.Namun, konferensi pers yang dilakukannya di hadapan awak media hari ini seakan mematahkan semua persepsi tersebut. Bambang mengakui semua dosa-dosanya, dia mengumumkannya kepada dunia bahwa dia bukanlah manusia yang sempurna. Bambang tidak sebaik yang oranng-orang kira.“Saya melakukan konferesni pers ini untuk mengatakan bahwa saya memiliki ist
"Andin, Sayang ... sudah, ya, maafkan aku. Ayo kita pulang!" ajak Lukman.Lukman merangkul Andin dengan penuh kesabaran, lalu memeluknya berharap wanita itu bisa lebih tenang. Dengan wajah cemas sekaligus panik, lelaki itu mengajak Andin pulang sebab kalau sudah begini, nasehat, saran, dan penjelasan apa pun takkan bisa masuk ke dalam perenungan.Lukman sendiri tidak menyangka kalau reaksi Andin akan seperti ini. Pikirannya hanya membayangkan kalau Andin akan bahagia karena ternyata masih memiliki kakek yang masih hidup dan memiliki ikatan darah yang kuat, sebab Bambang adalah ayah kandung dari Rendi Irawan.Namun, ternyata reaksi Andin sungguh tak terduga. Andin marah, tidak terima, bahkan menangis histeris menyalahkan Bambang."Pak Bambang, saya sangat terkejut dengan apa yang telah terjadi, mohon maaf atas kekacauan ini. Saya akan mencoba membicarakan ini kepada istri di rumah ketika dia sudah tenang. Kami pamit ya, Pak!" ucap Lukman masih sambil memeluk Andin yang kini menangis da
"Jadi, kamu adalah anak Rendi? Kamu adalah cucuku ...." ucap Bambang dengan suara lirih.Pertanyaan sekaligus ungkapan itu membuat Andin tercengang, antara percaya dan tidak percaya, semua itu sulit untuk dipercaya. Bambang sendiri terisak sementara Andin merasakan tubuhnya seperti membeku, tidak bisa bergerak sama sekali. Wanita itu syok atas apa yang telah didengarnya barusan."Pantas kamu mirip sekali dengan anakku, bahkan aku sampai mengira kalau kalian adalah orang yang sama meskipun tidak mungkin juga rasanya. Aku ... aku minta maaf, cucuku, aku sudah menelantarkanmu hingga kamu mengalami banyak hal yang berat semasa kamu ditinggalkan ayah dan ibumu," papar Bambang masih terisak.Dada Andin kini kembang kempis, tangannya mengepal kuat dengan tatapan mata yang tertuju pada sosok lelaki tua yang mengaku sebagai kakeknya. "Selama ini, saya hidup sebatang kara. Jadi, saya tidak bisa percaya begitu saja atas apa yang Bapak katakan," sahut Andin tegas dengan tatapan tajam.Sahutan it
Andin, Lukman, Bambang, dan juga sekretarisnya telah selesai dengan hidangan utama mereka dan mulai menikmati dessert berupa puding serta buah yang segar, lalu ditutup kembali dengan teh yang kembali diisi oleh pelayan karena Bambang mengatakan bahwa mereka akan di sana untuk beberapa lama lagi.Ya, Andin baru ingat kalau Bambang tadi berkata ingin mengobrol dengannya dan juga Lukman sehingga dia tidak bisa pergi cepat-cepat dari sana. Entah apa yang akan Bambang bicarakan, yang pasti Andin hanya berpikir kalau lelaki tua itu mungkin ingin membicarakan masalah kerja samanya bersama Lukman.Andin tidak banyak bicara apalagi membantah, dia manut dan duduk mendampingi suaminya. Ada secercah senang dalam hatinya, juga perasaan dihargai karena dilibatkan dalam pekerjaan sang suami.Dan benar saja, sekretaris Bambang mengeluarkan sebuah berkas yang harus Lukman tandatangani. Dia menyimpannya di atas meja yang sudah dibereskan dan dibersihkan oleh pelayan beberapa saat yang lalu, setelah itu