“Pisang goreng cokelat keju kesukaan putri Ibu sudah siap!” seru Marlinda dengan ekspresi bahagia dan ceria. Rasa sayang dari seorang Ibu terhadap anaknya, begitu terpancar dari raut wajah Marlinda. Sandrina tersenyum senang dan kini menyambar langsung pisang goreng cokelat keju kesukaannya. Sejak kecil, Ibunya sering membuatkan pisang goreng cokelat seperti ini, maka Sandrina begitu sangat menyukai hingga sampai saat ini. “Waw, ini pasti enak banget.” Ia bersorak gembira. “Tentunya. Silakan dimakan sayang,” ucap Marlinda dengan hangat. Sandrina mengangguk singkat. Dia masih diperlakukan sepeti gadis abg saja oleh Ibunya. Tanpa buang waktu lagi, Sandrina pun sekatang mulai memasukan sepotong pisang itu ke dalam mulutnya. “Tadi pergi ke mana, sayang?” tanya Marlinda sembari meletakan secangkir kopi di meja. “Makan sate di pinggir jalan, ke danau dan keliling aja Bu pakai motor,” jawab Sandrina. “Tumben banget pake motor,” tukas sang Ibu. “Iya Bu. San juga kaget. Tapi kata Hurrai
"Selamat pagi Paaaak!" sapa para staf ketika Hurraim tiba dan berjalan ke ruangannya. Hurraim mengangguk singkat tanpa senyuman di wajahnya. Itu sudah hal biasa bagi segenap pekerja di perusahaan miliknya. Meski jarang diberi senyuman, tapi mereka selalu bersikap ramah tamah dan sopan pada sang CEO. "Bu San!" panggil Juna sembari bangkit dari duduknya. Sandrina baru saja tiba. "Ya? Kabar baik apa yang akan kamu sampaikan?" tembak Sandrina sembari meletakkan tas di mejanya. "Kamu sudah tahu ya? Oh iya, pasti Kiah cerita nih sama Bos nya," tebak Juna. "Belum. Kiah cuma cerita kalau kamu akan datang ke rumah orang tuanya," cakap Sandrina yang kemudian bangkit dari duduknya. Seperti biasa dia harus membuatkan secangkir kopi hangat untuk CEO sekaligus kekasihnya. "Anu, aku disambut dengan baik dan kedua orang tua Kiah bersikap hangat padaku. Mereka sepertinya memberikan lampu hijau pada kami," terang Juna sembari mengikuti Sandrina. Sandrina tersenyum senang. "Syukurlah kalau begitu
Braaaak!Sebuah pintu ditendang dengan kasar. Seorang wanita cantik menatap dingin dan penuh amarah pada dua orang di dalam kamar. Dadanya terasa panas dan rasa cemburu kini menjalar menyayat hati yang terluka. Bagaimana tidak, Sandrina Alexander Raharja menyaksikan perselingkuhan suaminya sendiri dengan perempuan pilihan mertuanya. "Manusia biadab! Hentikan perbuatan kalian!" pekik Sandrina dengan suara dingin dan mata menyala penuh amarah."Sandrina, apa-apaan ini!?" Michael yang sedang menggerayangi tubuh Clara, tampak kaget dan langsung menghentikan gerakannya. Kedua mata melotot penuh amarah pada sang istri yang berani mengacaukan kesenangannya.Sandrina mengepalkan kedua tangannya menahan emosi yang menumpuk di dada. Sungguh tidak pernah dia bayangkan sebelumnya jika seorang suami yang selama ini dicintainya, kini berani menduakan dan mengkhianati janji suci pernikahan. Lelaki yang tiga tahun lalu berusaha mendapatkan Sandrina, berjanji akan membahagiakannya, saat ini juga teng
Michael memelototkan kedua mata dan menatap sengit pada Sandrina. Setelah membaca surat itu, seketika dadanya berdebar kencang dan terasa sesak. Michael tidak menyangka jika Sandrina membawa surat pernyataan bahwa dia yang mengalami kemandulan. Kenyataan ini sungguh membuat Michael merasa terpukul dan tidak percaya. Baru saja dia melepaskan berliannya yaitu Sandrina, tapi kenyataan pahit yang lain kini datang padanya. "Ini pasti bohong!" tampik Michael mencoba mencari kebenaran. "Ini benar, Michael," balas Sandrina. Lorenza yang penasaran, langsung menyambar surat itu. Seperti yang Michael rasakan, dia juga sangat kaget dan syok. "Apa-apaan ini? Michael, ini tidak benar, 'kan?" Michael menggeleng tegang dan mulai panik. Ada rasa tidak terima dalam dadanya. Namun, beberapa waktu lalu dia dan Sandrina memang telah melakukan pemeriksaan kesehatan sistem reproduksi mereka. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Baru saja dia kehilangan sosok istri yang sangat dia cinta demi Clara yang k
Michael menatap serius pada layar monitor yang menunjukan isi di dalam rahim Clara. Dia begitu penasaran apakah Clara hamil atau tidak. Meskipun hamil, nantinya dia ingin melakukan tes DNA. Sang Dokter kandungan kini sedang melakukan pemeriksaan. Alat USG itu sudah berselancar di atas perut rata Clara."Tidak ditemukan tanda-tanda kehamilan di sini," ungkap Dokter kandungan itu yang berhasil membuat Michael terperanjat kaget sekaligus kecewa. Bukan kecewa karena Clara yang tidak mengandung anaknya, tapi dia kecewa karena Clara telah menipunya sehingga membuat dia kehilangan sang istri yang begitu berharga. Tatapan tajam dan dingin itu kembali Clara dapatkan. Bahkan, kini Lorenza yang selalu bersikap manis dan hangat itu tiba-tiba cuek dan judes pada Clara."Bisa-bisanya kamu menipuku, Clara!" Suara bariton itu terdengar menyeramkan di telinga Clara. Michael menatap penuh api kemarahan."Aku lakukan ini karena sangat mencintaimu, Michael. Aku ingin menikah denganmu," ucap Clara dengan
Hari demi hari terus berlalu. Sandrina mencoba untuk terus melupakan Michael dalam hidupnya. Masa lalu biarlah masa lalu, Sandrina tidak ingin mengingatnya lagi. Sudah cukup dia disakiti oleh Michael maupun keluarganya. Sekarang, Sandrina hanya ingin fokus pada kehidupannya. Sebagai seorang janda, Sandrina kini telah bebas dari peraturan suami yang harus dia patuhi. Itu sebabnya sekarang Sandrina mencoba untuk bangkit dan berdiri di atas kakinya sendiri. Perempuan cantik berkulit putih itu kini berencana membuka rumah makan miliknya sendiri. Berbekal pengalaman di pondok indah mertua, sedikit demi sedikit Sandrina bisa memasak makanan khas Indonesia. "Semoga usaha ini berjalan lancar dan aku bisa sukses," ucap Sandrina pada dirinya sendiri. Meskipun Sandrina belum punya anak, tapi dia tetap ingin mendapatkan penghasilan dari usahanya. Selain itu, Sandrina juga tidak ingin terus mengingat penderitaan yang pernah dia rasakan selama tinggal bersama orang tua dan adik Michael yang jahat
Sontak saja Sandrina terperanjat kaget mendengar ucapan lelaki di hadapannya. Awalnya Sandrina bersikap lemah lembut dan merendah karena merasa bersalah. Namun saat melihat sikap lelaki itu yang tampak angkuh, tiba-tiba saja Sandrina merasa kesal dan emosi. Sudah benar dia bicara sopan dengan gaya elegan ingin bertanggung jawab, tapi lelaki itu malah ingin membawanya ke kantor polisi."Eh-eh, tunggu dulu. Jangan seperti ini. Saya akan bertanggung jawab!" teriak Sandrina yang kini sudah diseret paksa oleh dua orang pria yang sepertinya adalah bodyguard si lelaki misterius itu.Hurraim Arkhaziyad, si lelaki bertubuh tinggi itu tidak menggubris. Dia kini masuk ke dalam mobil yang sama dengan Sandrina. Kacamata hitam itu masih menyembunyikan sorot mata kala menatap pada wanita di sampingnya.Sandrina menatap sebal. Ini memang kesalahannya, tapi kenapa orang itu harus membawanya ke kantor polisi. Padahal dia akan bertanggung jawab. Bagaimana pun caranya, Sandrina tidak mau sampai dipenjara
"Tidaaaak! Lepaskan!" pekik Sandrina dengan suara yang lantang dan panik.Jika dulu dia sangat bahagia dipeluk dan dimanja oleh Michael, tapi sekarang justru sebaliknya. Sandrina sangat takut dan membenci pelukan Michael. Mereka sudah resmi bercerai, tidak ada ikatan dan kewajiban lagi di antara keduanya. Sandrina tahu perkara haram dan dosa. "Kamu juga masih cinta 'kan sama aku, Sandrina? Jangan munafik," ucap Michael sembari menatap lekat wajah Sandrina yang tegang dan panik.Sandrina merengkuh tubuhnya sendiri. Dia sangat jijik dengan tindakan Michael padanya. Sekarang, tidak ada lagi tatapan manis dari Sandrina untuk Michael. Teringat kelakuan bejat lelaki itu, Sandrina merasa mual dan muak. "Jangan mimpi!" bentak Sandrina, "Saat kamu mengkhianati aku, maka saat itulah cintaku lenyap untukmu," lanjutnya dengan rahang mengeras dan tatapan penuh kebencian.Michael merasa terhina dan disepelekan. Padahal dia sangat tahu bagaimana Sandrina begitu mencintainya sebelum perselingkuhan
"Selamat pagi Paaaak!" sapa para staf ketika Hurraim tiba dan berjalan ke ruangannya. Hurraim mengangguk singkat tanpa senyuman di wajahnya. Itu sudah hal biasa bagi segenap pekerja di perusahaan miliknya. Meski jarang diberi senyuman, tapi mereka selalu bersikap ramah tamah dan sopan pada sang CEO. "Bu San!" panggil Juna sembari bangkit dari duduknya. Sandrina baru saja tiba. "Ya? Kabar baik apa yang akan kamu sampaikan?" tembak Sandrina sembari meletakkan tas di mejanya. "Kamu sudah tahu ya? Oh iya, pasti Kiah cerita nih sama Bos nya," tebak Juna. "Belum. Kiah cuma cerita kalau kamu akan datang ke rumah orang tuanya," cakap Sandrina yang kemudian bangkit dari duduknya. Seperti biasa dia harus membuatkan secangkir kopi hangat untuk CEO sekaligus kekasihnya. "Anu, aku disambut dengan baik dan kedua orang tua Kiah bersikap hangat padaku. Mereka sepertinya memberikan lampu hijau pada kami," terang Juna sembari mengikuti Sandrina. Sandrina tersenyum senang. "Syukurlah kalau begitu
“Pisang goreng cokelat keju kesukaan putri Ibu sudah siap!” seru Marlinda dengan ekspresi bahagia dan ceria. Rasa sayang dari seorang Ibu terhadap anaknya, begitu terpancar dari raut wajah Marlinda. Sandrina tersenyum senang dan kini menyambar langsung pisang goreng cokelat keju kesukaannya. Sejak kecil, Ibunya sering membuatkan pisang goreng cokelat seperti ini, maka Sandrina begitu sangat menyukai hingga sampai saat ini. “Waw, ini pasti enak banget.” Ia bersorak gembira. “Tentunya. Silakan dimakan sayang,” ucap Marlinda dengan hangat. Sandrina mengangguk singkat. Dia masih diperlakukan sepeti gadis abg saja oleh Ibunya. Tanpa buang waktu lagi, Sandrina pun sekatang mulai memasukan sepotong pisang itu ke dalam mulutnya. “Tadi pergi ke mana, sayang?” tanya Marlinda sembari meletakan secangkir kopi di meja. “Makan sate di pinggir jalan, ke danau dan keliling aja Bu pakai motor,” jawab Sandrina. “Tumben banget pake motor,” tukas sang Ibu. “Iya Bu. San juga kaget. Tapi kata Hurrai
Lorenza duduk termenung di dalam kamar. Sejak tadi dia menunggu kedatangan anak-anaknya untuk menyelesaikan semua kekacauan yang terjadi. Lorenza tidak ingin menjadi orang tua yang egois lagi. Sudah terlalu banyak dosa dan kesalahan yang dia lakukan pada kedua anaknya itu. "Kemana mereka pergi? Aku harap mereka mau memaafkan semua kesalahan aku pada mereka," gumam Lorenza. Tak berapa lama, Michael dan Eleanor pun tiba di rumah mereka. Sang Papi mengantarkan mereka sampai rumah. Namun sebelum benar-benar pulang, mereka menyempatkan diri untuk belanja di supermarket. Tentu saja Papi mereka yang mengajak. Eleanor membeli stok makanan untuk beberapa hari ke depan. Dia juga membelikan makanan kesukaan Maminya. "Papi, mau mampir dulu?" tanya Eleanor. "Nggak, sayang. Papi langsung pulang aja ya. Bunda sudah menunggu di rumah," jawab sang Papi dengan lembut. "Kapan-kapan kenalkan kami padanya," timpal Michael. "Itu pasti. Besok kita bertemu lagi. Banyak kegiatan yang belum kita selesaik
Di sebuah rumah jadul..."Papi akan pertemukan kalian dengan seseorang." Papi Eleanor dan Michael mengajak kedua anaknya masuk. Seorang wanita tua menyambut dengan gembira. Dia adalah orang tua Papi Eleanor, atau lebih tepatnya adalah Nenek mereka. Sampai saat ini, Michael dan Eleanor tidak tahu Nenek mereka dari sang Papi. Namun, hari ini juga mereka akan mengetahuinya. "Putraku yang gagah. Kenapa baru datang? Nggak kangen ya sama masakan Ibu," seru Nenek Masriah sembari mengusap-usap wajah Papi Eleanor. "Kangen, Bu. Ini saya bawa anak-anak ke sini. Ibu pasti mau ketemu mereka juga kan," balas Papi Eleanor. Nenek Marsiah tampak kaget dan sedikit tidak menyangka. Dia pun berjalan ke ruang tamu, di sana Eleanor dan Michael sedang duduk di sofa. "Duh Gusti, cucu-cucu Eyang sudah besar." Ia langsung mendekati Eleanor lalu duduk di sampingnya. Tatapannya begitu mengharukan. Eleanor tersenyum dan menyalami tangan neneknya itu. Mendengar ucapan wanita tua itu, membuat Eleanor mengerti
"Pi, itu Sandrina. Aku ingin bertemu dengannya. Berhenti dulu sebentar," ucap Michael dengan wajah penuh permohonan. Sang Papi menggeleng dan tidak menghentikan kendaraannya. Hal itu sukses membuat Michael kesal. Pasalnya, sang Papi terlihat tidak mengerti keinginannya. "Berhenti atau aku akan membencimu seumur hidup!" ancam Michael. Papinya menarik napas dalam lalu membuangnya kasar. "Ini bukan saatnya, Michael. Sekarang kita akan pergi ke suatu tempat yang menunjukkan bukti bahwa selama ini Papi mencari mu dengan adikmu ini. Jadi, jangan buang-buang waktu lagi.""Tapi aku harus bertemu dengan Sandrina. Dia perempuan yang sangat aku cintai. Aku menyesal karena sudah mengkhianatinya. Karena dia, aku juga mendapat kutukan seperti ini," celoteh Michael sedikit memaksa. "Sudahlah Kak jangan maksa begitu. Nanti juga Kakak akan bertemu lagi dengan Kak San. Lagipula, Kak San terlihat sedang bersama pria. Mungkin itu pacarnya atau calon suaminya," tukas Eleanor yang tampak sebal melihat
Michael sudah selesai diobati. Papinya membawa Michael ke rumah sakit. Awalnya Michael menolak dan bersikukuh tidak mau diobati. Pria itu bahkan seperti tidak merasakan sakit apapun di kepalanya."Sejak kapan kamu pulang ke Indonesia?" tanya Michael dengan ekspresi sinisnya. "Sudah lama, Michael. Tapi Papi minta maaf karena baru sempat menemui kamu sekarang," jawab sang Papi dengan rendah hati."Aku bahkan tidak mengharapkan kamu kembali," ucap Michael ketus. Papi mengusap wajahnya kasar. Sepertinya dia harus menjelaskan kembali seperti kemarin menjelaskan pada Eleanor. Namun, dia tidak begitu yakin apakah Michael akan percaya atau tidak. Kendati demikian, dia akan tetap menjelaskan karena itu sangat perlu diluruskan. "Kak Michael belum tahu penjelasan Papi. Jadi, Kak Michael masih marah dan benci pada Papi," timpal Eleanor. "Penjelasan apa? Kita sudah tahu apa yang terjadi. Jadi, jangan percaya apapun yang dia katakan," ujar Michael yang tampak menekan setiap ucapannya. "Sebenar
Hari ini Sandrina mengunjungi San Kitchen. Wanita cantik itu tampak semangat karena melihat pengunjung yang mulai ramai. Sudah beberapa hari dia tidak mengunjungi San Kitchen dikarenakan sibuk bekerja sebagai sekretaris CEO. "Bu, pemasukan semakin lancar," ucap Zakiah memberikan informasi. Sandrina tersenyum sumringah. "Alhamdulillah, Kiah. Tidak sia-sia kita berjuang.""Iya Bu. Sepertinya kepercayaan kembali mereka miliki," ucap Zakiah. "Itu harus. Kita tidak boleh lalai lagi. Jika ada yang mencurigakan, langsung lapor pada keamanan," imbuh Sandrina dengan serius. Zakiah mengangguk paham. "Iya Bu. Tapi kayaknya sekarang musuh-musuh Bu San udah nggak ada lagi ya. Saya juga udah jarang lihat mantan suami Bu San.""Alhamdulillah mereka sudah tidak mengganggu hidup saya lagi, Kiah. Itu yang saya inginkan. Mungkin mereka sudah mulai tenang dengan kehidupannya. Syukur-syukur mereka bisa hidup rukun tanpa mengusik hidup saya," tutur Sandrina, "bay the way, emangnya kamu sering lihat Mic
Begitu sampai di rumah, Hurraim langsung dihampiri oleh sang Bunda. Ekspresi bundanya terlihat serius sekaligus penuh selidik. Hurraim langsung disuruh duduk di sofa dan berhadapan dengan Pristilla. “Jawab pertanyaan Bunda. Siapa perempuan yang tadi pergi bersamamu?” tanya Pristilla dengan raut wajah serius sekaligus penuh intimidasi. Hurraim menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Benar dugaannya dengan Bastian. Bahwa sang Bunda akan mengetahui masalah ini. Baru beberapa menit lalu dia membahas ini dengan Bastian. “Siapa yang mengadukan ini pada Bunda? Sejak kapan Bunda punya mata-mata untuk mengikuti aku?” tanya Hurraim dsngan tampang sangar dan kesal. Dia berpikir kalau sang bunda menyuruh seseorang untuk memata-matai dirinya. “Jawab saja! Jangan balik nanya. Nggak sopan banget kamu. Bunda tahu sesuatu tentang kamu. Tapi kamu mencoba menutupi dari Bunda? Anak macam apa kamu ini. Selama ini, Bunda selalu melakukan yang terbaik untuk kamu, Hurraim! Apapun tentangmu, sel
Hurraim mengantar Sandrina sampai ke rumahnya. Belanjaan yang banyak itu diangkut oleh Bastian dan dibantu oleh mbak-mbak yang bekerja di rumah Sandrina. Marlinda tampak menatap kaget dan tercengang melihat semua itu. Apa yang Sandrina bawa, sudah seperti hendak melakukan seserahan saja. "Aku pulang dulu. Besok weekend mau ke mana?" tanya Hurraim. "Nggak kemana-mana, sayang. Aku mungkin mau ke San Kitchen aja. Mau cek pemasukan di sana. Dengar-dengar, sekarang pengunjung sudah kembali ramai seperti semula," jawab Sandrina dengan jelas. Hurraim mengangguk singkat. "Oke. Kalau mau jalan, hubungi aku.""Memangnya kamu nggak ada acara dengan keluarga?" tanya Sandrina. "Nggak ada," jawab Hurraim, "Oh ya, aku ingin secepatnya kenalkan kamu pada orang tuaku. Apakah kamu sudah siap?" lanjutnya bertanya. Sandrina tersenyum tipis. Sejujurnya dia masih belum siap, tentu saja karena masih merasa insecure dengan status jandanya. Hurraim adalah lelaki yang belum pernah menikah. Di zaman sekara