Langit siang itu mendung, seolah ikut berduka bersama hati semua yang hadir di pemakaman Rian. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga mawar putih yang berjejer di sekitar makam. Rina berdiri di dekat peti yang perlahan diturunkan ke liang lahat, tangan kecil Keisha menggenggam erat jemarinya. Wajah Rina tampak lelah, dengan mata sembab yang tak berhenti menangis sejak kabar duka itu menghampirinya. Di seberang sana, Arya berdiri mematung. Mantan suami Rina itu mengenakan kemeja hitam sederhana, namun raut wajahnya sarat penyesalan. Ia bukan hanya datang sebagai seorang mantan suami yang ingin memberikan penghormatan terakhir, tetapi juga sebagai mantan karyawan Rian, pria yang dulu memberinya kesempatan ketika ia nyaris kehilangan segalanya. Arya menarik napas dalam-dalam, menatap Rina yang tampak rapuh. Sudah lama sekali ia tak melihat wanita itu sedekat ini. Ada perasaan bersalah yang menghantam hatinya, mengingat semua kesalahan yang pernah ia lakukan. Tapi ka
Hana duduk di sebuah kafe kecil yang tidak terlalu ramai. Tangan mungilnya menggenggam cangkir kopi yang sejak tadi tak disentuh. Tatapannya kosong, jauh menerawang ke luar jendela. Sejak Arya mengusirnya beberapa minggu lalu, hidupnya bak kapal yang kehilangan arah. Rencana besarnya untuk mendapatkan Arya telah hancur lebur. Bahkan kebohongannya soal kehamilan pun tak lagi berarti apa-apa.Namun, malam itu, Hana memutuskan untuk tidak menyerah. Ia tahu Arya adalah kunci untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, termasuk kehidupan yang lebih baik. Tapi kali ini, ia harus bermain lebih cerdas. Ia harus menyusun rencana yang lebih matang.“Kalau cuma menangis dan diam, aku nggak akan dapat apa-apa,” gumamnya pelan pada dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. “Aku harus kembali ke Arya. Itu satu-satunya jalan.”Hana tahu, Arya sekarang bekerja di perusahaan Rina. Fakta itu membuatnya semakin percaya bahwa ia masih memiliki kesempatan untuk mendekati p
Rina duduk di sofa ruang tamu dengan wajah tegang. Jari-jarinya terus menggenggam erat ponselnya. Ia baru saja selesai berbicara dengan asisten Rian, meminta bantuan untuk menyelidiki lebih dalam tentang kematian suaminya. Sudah beberapa minggu sejak penusukan itu terjadi, tapi semua masih terasa segar. Luka di hatinya belum juga sembuh, apalagi kenyataan bahwa pelakunya masih menyimpan misteri besar. “Kalau ada perkembangan, tolong kabari saya secepatnya,” ujar Rina sebelum menutup telepon. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya terus berputar-putar. Siapa sebenarnya yang berada di balik tragedi itu? Rian tidak mungkin dibunuh hanya karena alasan sepele, apalagi penusuknya sudah tertangkap tapi tidak mau mengakui siapa dalang di balik perintahnya. Semua ini terlalu rumit, dan Rina merasa seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Suara ketukan di pintu kembali membuyarkan lamunannya. Sekilas ia merasa enggan untuk membuka, takut kalau-ka
Di sebuah ruang kantor yang disinari lampu temaram, Arya duduk di kursinya sambil memandangi layar laptop. Jemarinya mengetik cepat, fokus sepenuhnya pada laporan yang harus segera ia selesaikan. Di sisi lain ruangan, Rina berdiri dengan map di tangan, mengamati beberapa dokumen yang baru saja diserahkan Arya kepadanya. Wanita itu mengerutkan alis, membaca dengan cermat setiap detail."Ini bagus," kata Rina akhirnya, suaranya terdengar puas. "Kamu memang selalu bisa bikin kerjaan terasa lebih mudah."Arya tersenyum kecil, menatap Rina sekilas. "Ya kan udah tugas saya buat bikin Ibu Rina nggak pusing. Kalau atasan stres, nanti kerjaan kita semua berantakan."Rina terkekeh pelan, tapi ada rasa lega di wajahnya. Hubungannya dengan Arya sebagai atasan dan asisten memang semakin erat belakangan ini. Bukan hanya karena Arya selalu sigap membantu, tapi juga karena pria itu tahu bagaimana caranya membuat beban pekerjaan yang berat terasa lebih ringan. Arya bukan hanya seorang pekerja keras, t
"Menyerahlah, Bram! Kamu sudah dikepung!" Teriak polisi yang sudah mengepung rumah Bram.Suasana di rumah itu terasa mencekam. Adu tembak antara kubu Bram dan polisi terus bersautan. Berulang kali lelaki itu pindah rumah karena menghindari kejaran polisi. Dan sekarang, mereka menemukannya. Ia ditangkap di sebuah rumah kecil di sudut kota. Meskipun sempat melawan, Bram akhirnya tidak berdaya saat polisi berhasil mengepungnya.Bram langsung dibawa ke kantor polisi. Tidak untuk dimintai keterangan melainkan sudah menjadi tersangka. Wajahnya terlihat kesal saat melihat Arya dan pengacaranya ada disana. "Bajingan kalian semua! Ingat, meski aku dipenjara, aku masih bisa membalas perbuatan kalian!" Ancam Bram.Sementara itu, Jova berdiri di dekat pintu, menunggu dengan hati penuh kegelisahan. Meski Bram telah melakukan banyak kesalahan, sebagai istri, ia tetap setia berada di sisinya.---"Jova?" panggil Bram ketika ia melihat istrinya dari balik jeruji besi. Suaranya serak, nadanya datar,
"Aku hamil, Bram. Anak kita...."Di dalam penjara, Bram duduk termenung, kata-kata Jova terus terngiang-ngiang di kepalanya. Matanya menatap kosong ke langit-langit yang bercat pudar. Suara gemerisik rantai dan langkah para napi lain bergema di telinganya, namun pikirannya melayang pada Jova, istrinya. Wanita yang tetap setia, meski dia telah melukainya berkali-kali, baik dengan kata-kata kasar maupun tindakan yang dingin.Bram menghela napas panjang. Rasa bersalah menggerogoti hatinya, tetapi untuk meminta maaf, dia masih belum sanggup melakukannya. Ego di hatinya masih terlalu besar. “Aku akan memiliki anak...” gumam Bram, hampir tak terdengar.Bram menatap tangannya yang penuh luka dan bekas goresan. Ia sadar bahwa hidupnya penuh dosa, penuh kebencian. Jika ia terus hidup seperti ini, anaknya mungkin akan tumbuh tanpa seorang ayah atau lebih buruk lagi, menjadi korban dendam yang terus ia pelihara.Bram mengepalkan tangannya. “Aku harus berubah. Demi Jova. Demi anakku,” bisiknya p
Rina berjalan menyusuri koridor gedung perusahaan dengan langkah tegas. Senyum tersungging di bibirnya setelah berhasil memenangkan tender besar berkat kerja keras Arya dan juga timnya. "Sepertinya, aku harus memberi hadiah untuk mereka atas kerja keras ini," gumam Rina. Wanita cantik itu pun menatap Arya yang berjalan di belakangnya. "Arya, kamu booking restoran langganan kita. Ajak semua tim untuk makan disana. Bilang, itu adalah bentuk syukur kita atas kemenangan kita tadi."Arya pun mengangguk. "Baik, Bu."---Sementara itu, Hana yang saat ini sudah bekerja menjadi sekretaris Arya merasa kesal dan marah. Perhatian pria itu kini hanya tertuju pada Rina. Ditambah lagi, Arya kerap menyebut nama Rina saat mereka pergi bersama.“Kalau begini terus, dia akan sepenuhnya jatuh ke tangan Rina,” gumam Hana dengan rasa iri.---Suatu siang, saat rapat selesai, Rina memanggil Arya ke ruangannya.“Arya, aku butuh laporan perkembangan proyek ‘NovaTech’ segera. Investor menantikan pembaruan mi
"Sepertinya, wanita ini bisa diajak kerjasama. Aku bisa memanfaatkannya untuk mendekati Arya!"Kohar pun mengirim pesan pada Hana dan mengajaknya bertemu di sebuah restoran di sudut kota agar tidak diketahui oleh polisi karena dia masuk dalam DPO."Kemana dia? Kenapa lama sekali tak datang? Apa dia tidak mau datang?" Gumam Kohar sambil terus memandang pintu masuk. Berulang kali Kohar melirik jam tangan yang melingkar di tangannya, hampir 30 menit dia menunggu, tetapi sosok yang ditunggu tak kunjung datang.Beberapa saat kemudian, suara high heel yang beradu dengan lantai terdengar. Seorang wanita cantik yang mengenakan gaun berwarna ungu berjalan mendekatinya. Sesaat, Kohar terpana melihat wajah cantik wanita itu. “Hana,” Kohar menyapanya dengan senyum yang penuh arti. “Silakan duduk.” Hana memandang Kohar dengan sedikit curiga sebelum akhirnya duduk di depannya. “Kenapa kau menghubungiku? Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya tanpa basa-basi. Kohar menyandarkan tubuhnya ke kur
"Rina, kenapa kamu masih menerima aku di sini sekarang Padahal, katamu, dulu aku samhat kejam padam?"tanya Arya saat mereka duduk santai di ruang tamu.Rina tersenyum lembut. "Karena aku tahu, di dalam hatiku, aku masih peduli padamu. Apalagi ada Keisha. Dia membutuhkan ayahnya, Arya."Arya merasa ada kehangatan di hatinya mendengar jawaban itu. Ia menoleh ke arah Rina lagi, dan untuk pertama kalinya ia merasa yakin tentang sesuatu."Rina, aku ingin mengatakan sesuatu."Rina menatapnya dengan penasaran. "Apa itu, Arya?"Arya mengulurkan tangan, menggenggam tangan Rina dengan lembut. "Aku tahu aku belum sepenuhnya mengingat masa lalu kita. Tapi aku tahu satu hal dengan pasti—aku merasa hidupku lebih berarti sejak aku di sini bersamamu dan Keisha."Rina tertegun. Ia bisa merasakan ketulusan dalam suara Arya."Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, atau bahkan terlalu cepat," lanjut Arya, "tapi aku ingin memperbaiki semua kesalahan di masa lalu. Aku ingin memulai kembali. Jadi, Rina... mau
"Ahh... kepalaku...!" desahnya, suaranya hampir seperti rintihan.Rina yang sedang di dapur langsung berlari ke ruang tamu. "Arya, ada apa? Kamu sakit?" tanyanya panik.Arya menggeleng lemah sambil terus memegangi kepalanya. "Entah kenapa... kepalaku tiba-tiba sakit sekali, Rina."Rina meraih lengan Arya, membantunya duduk lebih nyaman. "Tunggu di sini, aku ambilkan air putih," katanya, lalu berlari ke dapur.Setelah Arya minum, rasa sakitnya sedikit mereda. Namun, matanya masih menunjukkan kebingungan. "Rina... aku tadi melihat sesuatu," katanya pelan."Apa yang kamu lihat?" tanya Rina, duduk di sampingnya."Sebuah... tempat. Ada taman, dan aku sedang bermain dengan seorang anak kecil. Aku rasa itu Keisha... tapi aku tidak yakin. Rasanya begitu nyata," jawab Arya sambil memijit pelipisnya.Mendengar itu, hati Rina tergetar. "Arya, mungkin itu bagian dari ingatanmu yang kembali," katanya dengan suara lembut."Tapi kenapa ini terasa sangat menyakitkan? Aku seperti sedang dipaksa mengin
“Ini foto-foto kita dulu,” kata Rina dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Rina membawa album foto lama. Ia menaruhnya di meja. Arya yang sedang duduk d ruang tamu sambil menonton televisi pun mengalihkan perhatiannya.Arya menatap album itu dengan ekspresi campur aduk. Ia membuka halaman pertama dan melihat gambar pernikahan mereka. Rina terlihat cantik dengan gaun putihnya, sementara ia—Arya—memegang tangan wanita itu dengan wajah datar.Arya menatap Rina, matanya penuh pertanyaan. “Jadi, kamu istriku?"Rina menggeleng, membuat Arya mengerutkan keningnya. "Dulu, kita memang pernah menikah selama 3 tahun. Namun setelah itu, kita bercerai," terang Rina.Arya menatap Rina. "Kenapa aku bisa menceraikan wanita sebaik kamu?”Rina terdiam. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan air mata yang menggenang di matanya. “Itu cerita yang panjang, Arya. Dan mungkin bukan saatnya kita membahasnya sekarang,” jawabnya pelan.Arya tidak memaksa. Melihat wajah sendu Rina saat dia bertanya tadi, memb
"Aku harus membantu Arya keluar, Karina tidak bisa seenaknya pada Arya hanya karena Arya tidak mengingat siapa dirinya. Tapi, aku tidak bisa melakukannya sendiri, Karina tidak akan melepaskan Arya jika aku kesana sendirian."Rina menggenggam surat yang ditulis Arya erat-erat. Dengan langkah mantap, ia memasuki kantor polisi, matanya penuh tekad.Seorang petugas yang sedang duduk di meja depan mengangkat wajahnya. "Selamat sore, Bu. Ada yang bisa kami bantu?"Rina meletakkan surat itu di atas meja. "Saya ingin melaporkan seseorang yang ditahan secara paksa. Ini surat dari korban yang berhasil menyuruh seseorang untuk membantunya keluar dari rumah tempat itu."Petugas membaca surat itu dengan seksama. Wajahnya berubah serius. "Siapa yang Anda maksud? Dan di mana lokasi penahanannya?""Namanya Arya. Dia ditahan di rumah seseorang bernama Karina. Dia adalah dokter yang merawat Arya, dan dari apa yang saya tahu, Arya dipaksa tinggal di sana tanpa keinginannya," jelas Rina dengan suara berg
Di rumah Rina, Keisha tampak sedang menggambar di ruang tamu ketika ia mendengar pembantunya, Mbak Ani, berbicara di dapur."Kasihan Mbak Rina ya, Mas Arya kayaknya nggak datang lagi. Padahal Keisha senang banget waktu dia mampir," ujar Mbak Ani sambil mencuci piring.Keisha yang penasaran segera menghampiri. "Mbak Ani, Om Arya nggak datang lagi ya?" tanyanya polos.Mbak Ani terkejut, lalu tersenyum kecil. "Keisha, mungkin Om Arya lagi sibuk. Nanti juga dia datang lagi, kok."Tapi Keisha tidak puas dengan jawaban itu. Ia tahu sesuatu sedang terjadi, tapi ia tidak tahu apa."Keisha harus cari Om Arya," gumamnya sambil kembali ke ruang tamu.---Di rumah Karina, Mbok Darmi membaca surat Arya dengan hati yang pilu. "Ya Allah, Den. Maafkan si Mbok jika belum bisa membantu Aden saat ini," ucapnya sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya.Ia tahu membantu Arya berarti melanggar perintah Karina, tapi hatinya tidak tega melihat lelaki itu terus menderita.Malam itu, ketika Karina suda
"Mama! Mama!" teriak Keisha saat Rina baru saja memarkir mobilnya. Gadis itu berlari keluar dengan wajah penuh semangat. "Mama, Om Arya tadi ke sini!" Seru Keisha sambil melompat-lompat.Rina terhenti sejenak, hatinya berdegup kencang. "Apa? Om Arya? Keisha, kamu jangan bercanda, ya," katanya dengan suara gemetar."Tapi beneran, Ma! Tadi Om Arya ke sini. Dia main sama Keisha. Om Arya juga nanya banyak hal!" seru gadis kecil itu.Rina memandang putrinya dengan mata berkaca-kaca. Ia tak ingin terlalu berharap, tapi ada getaran dalam hatinya mendengar nama Arya. "Keisha, Om Arya bilang apa saja?"Keisha mengerutkan alis, mencoba mengingat. "Hmm... Om Arya tanya soal Mama, soal rumah ini. Terus dia juga nanya apa Keisha ingat Om Arya dulu sering main sama Keisha."Rina tak bisa menahan senyumnya. Ia ingin percaya bahwa Arya mulai mengingat sesuatu. Tapi ia harus memastikan semuanya terlebih dahulu."Keisha," kata Rina sambil memegang pundak putrinya, "lain kali kalau Om Arya datang lagi,
"Mbok, Karina sudah pergi?" Tanya Arya pada Mbok Ratmi, ART di rumah Karina."Sudah, Den. Tadi Nona bilang, kalau Den butuh apa-apa. Biar Mbok aja yang belikan. Aden nggak boleh pergi sendiri," jawab Mbok Ratmi.Arya tersenyum. Wanita itu masih saja mengekangnya. Padahal, kemarin dia sudah berjanji tidak akan mengurungnya lagi."Tapi, Mbok. Kemarin aku bertemu temen, katanya aku ini sudah punya anak dan istri. Aku harus mencari tahu Mbok, apa benar yang dikatakan oleh temanku kemarin. Apa Mbok nggak kasihan dengan anak istriku kalau seandainya apa yang dikatakan oleh temanku itu benar?" Mbok Ratmi terdiam. Benar juga apa yang dikatakan oleh Arya. Kasihan anak dan istrinya kalau memang itu benar.Arya memegang lengan Mbok Ratmi. "Mbok, boleh ya? Izinkan saya keluar. Nanti saya akan kembali sebelum Nona pulang. Please?" Pinta Arya sambil mengatupkan tangan di dada.Setelah wanita paruh baya itu mengangguk. Arya pun pergi meninggalkan rumah Karina. Dia harus mencari tahu, siapa Rina dan
Setahun Kemudian"Mama, kenapa Om Arya nggak sembuh-sembuh sakitnya? Keisha kangen, pengen main sama Om Arya," rengek gadis kecil berkuncir kuda itu.Rina tersenyum lembut, lalu duduk di samping putrinya. "Keisha kan tahu, kalau Om Arya sedang sakit dan nggak ingat kita. Kita tunggu saja, ya. Mama juga nggak tahu sekarang Om Arya tinggal di mana," ujar Rina sabar.Gadis kecil itu memberengut, kemudian masuk ke kamarnya. Rina menghela napas panjang. Dalam hatinya, ia ingin mencari tahu keberadaan Arya. Tapi, untuk apa? Arya tidak mengingatnya sama sekali. Ia juga takut kehadirannya justru membuat Arya tak nyaman."Bagaimana kabarmu sekarang, Arya?" bisik Rina pada dirinya sendiri.---Di Tempat LainArya melirik ke arah pintu dengan gelisah. Ia sudah tidak tahan lagi hidup seperti ini, terkurung di rumah Karina. "Karin, aku mau beli sabun. Sabunku habis," katanya sambil mengambil jaket."Sabun apa? Biar Bibi yang beli. Kamu di rumah aja!" Karina mengawasi Arya tajam. "Kamu kan sering n
“Kenapa Rina tak pernah muncul lagi?” Arya bertanya suatu malam pada Karina, yang duduk di kursi di sudut kamar.Sudah dua minggu sejak Rina dan Keisha berhenti datang ke rumah sakit. Arya mulai menyadari ada yang hilang di hatinya. Meski dia tak ingat tentang hubungannya dengan Rina, tetapi keberadaan mereka membuat hatinya terasa nyaman. Karina menatapnya dengan senyum samar, tapi matanya menyiratkan emosi yang tertahan. “Mungkin dia merasa kamu tidak membutuhkannya lagi. Kadang, orang memilih pergi daripada melihat seseorang yang mereka sayangi menderita.”Arya mengernyit. “Tapi... aku merasa berbeda. Seolah aku membutuhkan mereka.”Karina segera menyela, menggenggam tangannya dengan lembut. “Arya, jangan paksa dirimu untuk mengingat jika itu membuat kepalamu sakit. Biarkan semua berjalan dengan perlahan. Lama-kelamaan, kamu juga ingat nanti." Karina memaksakan senyumnya. Meski dalam hati, dia merasa takut jika Arya mengingat masa lalunya. ---Beberapa hari kemudian, dokter sudah