Setahun kemudian ...Kehidupan Rian aman sejak setahun terakhir ini. Dia berpikir, Bram mungkin sudah menyerah. Saat ini, Keisha tertawa riang di taman bermain, langkah-langkah kecilnya membuat Rian dan Rina tersenyum bahagia."Pelan-pelan, Keisha! Jangan terlalu jauh," ujar Rina sambil memegang kedua tangannya.Rian berdiri di dekat mereka, memegang kamera. "Keisha, lihat Papa! Ayo senyum!"Tawa Keisha menjadi momen kebahagiaan bagi mereka sebagai sebuah keluarga. Namun, tanpa mereka tahu, di balik semak-semak taman, seorang pria berjaket hitam terus mengawasi mereka, la mengetik pesan singkat di ponselnya."Bos, target sudah aman. Kedua bodyguard mereka sudah kami amankan, tinggal eksekusi."Tak lama, muncul balasan pesan di handphone-nya. "Segera laksanakan! Ingat, jangan menimbulkan jejak!""Siap, Bos!"---Hari mulai beranjak gelap. Rian, Rina, dan Keisha berjalan menuju mobil. Suasana tampak tenang, tapi ketenangan itu tak berlangsung lama. Dua pria muncul dari arah parkiran, sa
Langit siang itu mendung, seolah ikut berduka bersama hati semua yang hadir di pemakaman Rian. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga mawar putih yang berjejer di sekitar makam. Rina berdiri di dekat peti yang perlahan diturunkan ke liang lahat, tangan kecil Keisha menggenggam erat jemarinya. Wajah Rina tampak lelah, dengan mata sembab yang tak berhenti menangis sejak kabar duka itu menghampirinya. Di seberang sana, Arya berdiri mematung. Mantan suami Rina itu mengenakan kemeja hitam sederhana, namun raut wajahnya sarat penyesalan. Ia bukan hanya datang sebagai seorang mantan suami yang ingin memberikan penghormatan terakhir, tetapi juga sebagai mantan karyawan Rian, pria yang dulu memberinya kesempatan ketika ia nyaris kehilangan segalanya. Arya menarik napas dalam-dalam, menatap Rina yang tampak rapuh. Sudah lama sekali ia tak melihat wanita itu sedekat ini. Ada perasaan bersalah yang menghantam hatinya, mengingat semua kesalahan yang pernah ia lakukan. Tapi ka
Hana duduk di sebuah kafe kecil yang tidak terlalu ramai. Tangan mungilnya menggenggam cangkir kopi yang sejak tadi tak disentuh. Tatapannya kosong, jauh menerawang ke luar jendela. Sejak Arya mengusirnya beberapa minggu lalu, hidupnya bak kapal yang kehilangan arah. Rencana besarnya untuk mendapatkan Arya telah hancur lebur. Bahkan kebohongannya soal kehamilan pun tak lagi berarti apa-apa.Namun, malam itu, Hana memutuskan untuk tidak menyerah. Ia tahu Arya adalah kunci untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, termasuk kehidupan yang lebih baik. Tapi kali ini, ia harus bermain lebih cerdas. Ia harus menyusun rencana yang lebih matang.“Kalau cuma menangis dan diam, aku nggak akan dapat apa-apa,” gumamnya pelan pada dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. “Aku harus kembali ke Arya. Itu satu-satunya jalan.”Hana tahu, Arya sekarang bekerja di perusahaan Rina. Fakta itu membuatnya semakin percaya bahwa ia masih memiliki kesempatan untuk mendekati p
Rina duduk di sofa ruang tamu dengan wajah tegang. Jari-jarinya terus menggenggam erat ponselnya. Ia baru saja selesai berbicara dengan asisten Rian, meminta bantuan untuk menyelidiki lebih dalam tentang kematian suaminya. Sudah beberapa minggu sejak penusukan itu terjadi, tapi semua masih terasa segar. Luka di hatinya belum juga sembuh, apalagi kenyataan bahwa pelakunya masih menyimpan misteri besar. “Kalau ada perkembangan, tolong kabari saya secepatnya,” ujar Rina sebelum menutup telepon. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya terus berputar-putar. Siapa sebenarnya yang berada di balik tragedi itu? Rian tidak mungkin dibunuh hanya karena alasan sepele, apalagi penusuknya sudah tertangkap tapi tidak mau mengakui siapa dalang di balik perintahnya. Semua ini terlalu rumit, dan Rina merasa seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Suara ketukan di pintu kembali membuyarkan lamunannya. Sekilas ia merasa enggan untuk membuka, takut kalau-ka
Di sebuah ruang kantor yang disinari lampu temaram, Arya duduk di kursinya sambil memandangi layar laptop. Jemarinya mengetik cepat, fokus sepenuhnya pada laporan yang harus segera ia selesaikan. Di sisi lain ruangan, Rina berdiri dengan map di tangan, mengamati beberapa dokumen yang baru saja diserahkan Arya kepadanya. Wanita itu mengerutkan alis, membaca dengan cermat setiap detail."Ini bagus," kata Rina akhirnya, suaranya terdengar puas. "Kamu memang selalu bisa bikin kerjaan terasa lebih mudah."Arya tersenyum kecil, menatap Rina sekilas. "Ya kan udah tugas saya buat bikin Ibu Rina nggak pusing. Kalau atasan stres, nanti kerjaan kita semua berantakan."Rina terkekeh pelan, tapi ada rasa lega di wajahnya. Hubungannya dengan Arya sebagai atasan dan asisten memang semakin erat belakangan ini. Bukan hanya karena Arya selalu sigap membantu, tapi juga karena pria itu tahu bagaimana caranya membuat beban pekerjaan yang berat terasa lebih ringan. Arya bukan hanya seorang pekerja keras, t
"Menyerahlah, Bram! Kamu sudah dikepung!" Teriak polisi yang sudah mengepung rumah Bram.Suasana di rumah itu terasa mencekam. Adu tembak antara kubu Bram dan polisi terus bersautan. Berulang kali lelaki itu pindah rumah karena menghindari kejaran polisi. Dan sekarang, mereka menemukannya. Ia ditangkap di sebuah rumah kecil di sudut kota. Meskipun sempat melawan, Bram akhirnya tidak berdaya saat polisi berhasil mengepungnya.Bram langsung dibawa ke kantor polisi. Tidak untuk dimintai keterangan melainkan sudah menjadi tersangka. Wajahnya terlihat kesal saat melihat Arya dan pengacaranya ada disana. "Bajingan kalian semua! Ingat, meski aku dipenjara, aku masih bisa membalas perbuatan kalian!" Ancam Bram.Sementara itu, Jova berdiri di dekat pintu, menunggu dengan hati penuh kegelisahan. Meski Bram telah melakukan banyak kesalahan, sebagai istri, ia tetap setia berada di sisinya.---"Jova?" panggil Bram ketika ia melihat istrinya dari balik jeruji besi. Suaranya serak, nadanya datar,
"Aku hamil, Bram. Anak kita...."Di dalam penjara, Bram duduk termenung, kata-kata Jova terus terngiang-ngiang di kepalanya. Matanya menatap kosong ke langit-langit yang bercat pudar. Suara gemerisik rantai dan langkah para napi lain bergema di telinganya, namun pikirannya melayang pada Jova, istrinya. Wanita yang tetap setia, meski dia telah melukainya berkali-kali, baik dengan kata-kata kasar maupun tindakan yang dingin.Bram menghela napas panjang. Rasa bersalah menggerogoti hatinya, tetapi untuk meminta maaf, dia masih belum sanggup melakukannya. Ego di hatinya masih terlalu besar. “Aku akan memiliki anak...” gumam Bram, hampir tak terdengar.Bram menatap tangannya yang penuh luka dan bekas goresan. Ia sadar bahwa hidupnya penuh dosa, penuh kebencian. Jika ia terus hidup seperti ini, anaknya mungkin akan tumbuh tanpa seorang ayah atau lebih buruk lagi, menjadi korban dendam yang terus ia pelihara.Bram mengepalkan tangannya. “Aku harus berubah. Demi Jova. Demi anakku,” bisiknya p
Rina berjalan menyusuri koridor gedung perusahaan dengan langkah tegas. Senyum tersungging di bibirnya setelah berhasil memenangkan tender besar berkat kerja keras Arya dan juga timnya. "Sepertinya, aku harus memberi hadiah untuk mereka atas kerja keras ini," gumam Rina. Wanita cantik itu pun menatap Arya yang berjalan di belakangnya. "Arya, kamu booking restoran langganan kita. Ajak semua tim untuk makan disana. Bilang, itu adalah bentuk syukur kita atas kemenangan kita tadi."Arya pun mengangguk. "Baik, Bu."---Sementara itu, Hana yang saat ini sudah bekerja menjadi sekretaris Arya merasa kesal dan marah. Perhatian pria itu kini hanya tertuju pada Rina. Ditambah lagi, Arya kerap menyebut nama Rina saat mereka pergi bersama.“Kalau begini terus, dia akan sepenuhnya jatuh ke tangan Rina,” gumam Hana dengan rasa iri.---Suatu siang, saat rapat selesai, Rina memanggil Arya ke ruangannya.“Arya, aku butuh laporan perkembangan proyek ‘NovaTech’ segera. Investor menantikan pembaruan mi
Arfan terbangun, tangannya mencari sang istri yang biasanya tidur di sampingnya. Semalam, dia sedikit mabuk hingga tak peduli apapun saat pulang. "Kemana Nadin? Apa dia sudah bangun?" Arfan pun keluar kamar dan mendapati rumahnya begitu hening. "Kemana semua orang? Apa Nadin sudah pergi?" "Bibi!" panggilnya. Namun, yang datang bukan Bibi melainkan sang asisten yang datang dengan wajah panik. "Ada apa?" “Pak Arfan, maaf mengganggu, tapi… ini penting,” suara lelaki terdengar tegang. “Katakan saja!” kata Arfan santai. Lelaki itu tidak memiliki firasat apapun. Padahal, hal buruk telah terjadi. “Saya baru saja mendapat kabar dari pihak kepolisian. Istri Anda, Bu Nadin… dia mengalami kecelakaan bersama Bu Karina tadi malam. Dan… mereka tidak selamat.” Dunia Arfan seakan berhenti berputar. “Apa?” Suaranya bergetar. “Kau pasti bercanda, kan?” “Maaf, Pak… ini kenyataan.” Sendok makan yang dia pegang tiba-tiba terjatuh. Tangan dan kakinya melemas, dan dadanya terasa sesak. Dia tidak
"Mama," panggil Nadin saat melihat ibunya baru saja duduk di hadapannya. “Apa yang ingin kau bicarakan sampai memintaku bertemu di sini?” Karina bertanya sambil menyesap kopi yang telah dipesankan putrinya. Tatapannya tajam meneliti ekspresi Nadin. Nadin menarik napas panjang, menekan rasa frustasi yang sudah menumpuk sejak dirinya dan Arfan dipindahkan dari rumah utama keluarga Mahendra. “Aku butuh bantuan Mama,” katanya akhirnya. Karina menyeringai, meletakkan cangkirnya dengan perlahan. “Akhirnya, kau sadar juga kalau kamu butuh Mama.” Nadin mengepalkan tangannya di bawah meja. “Keisha menghancurkan semua rencana kita. Aku sudah hampir membuat Arfan menjadi CEO, tapi dia malah menunjuk suaminya sendiri untuk menggantikannya. Lalu, dia menyingkirkanku dan Arfan dari rumah utama. Ini jelas penghinaan.” Karina tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. “Kau terlalu lambat, Nadin. Seharusnya kau sudah mengantisipasi langkahnya sejak awal. Keisha itu licik. Tapi kau masih punya kes
"Ma, Pa, menurut kalian gimana kalau Arfan dan Nadin tinggal di rumah sendiri," kata Keisha dengan suara tenang, tetapi tegas.Arfan mengernyit, jelas terkejut. "Apa maksudmu, Kak?"Keisha menyilangkan tangan di dadanya. "Aku sudah menyiapkan rumah untuk kalian. Rumah yang lebih besar, lebih nyaman, disana, kalian bisa bebas karena hanya tinggal berdua."Nadin langsung menegang di samping suaminya. Matanya menyipit, mencoba membaca maksud di balik keputusan Keisha. "Kenapa tiba-tiba ingin kami pindah?" tanyanya dengan senyum manis yang dipaksakan.Keisha menatapnya dingin. "Kau hamil, Nadine. Aku ingin kau lebih fokus merawat kandunganmu tanpa terlalu banyak gangguan. Rumah ini terlalu besar untukmu. Dan lagi, kamar kamu kan ada di lantai 2. Bahaya buat ibu hamil tua naik turun tangga."Arfan menghela napas. "Keisha, kalau ini karena masalah jabatan di perusahaan, aku—""Ini tidak ada hubungannya dengan perusahaan," potong Keisha cepat. "Aku hanya ingin memastikan kamu dan istri kamu
"Siapkan ruang meeting, beritahu semua petinggi perusahaan, kita akan mengadakan meeting dadakan satu jam kemudian," perintah Keisha pada aang sekretaris.Satu jam kemudian, semua sudah berkumpul di ruang meeting. Keisha baru saja masuk diikuti oleh Arfan, Rendy dan juga Nadin. Setelah memastikan semua duduk dengan tenang, Keisha pun mulai angkat bicara.“Maaf, jika saya mengadakan rapat secara mendadak. Hal ini berkaitan dengan peralihan sementara kursi kepemimpinan selama saya mengajukan cuti hamil."Arfan tersenyum tipis, sudah yakin bahwa Keisha akan mengumumkan namanya. Bahkan Nadin sudah bersiap untuk menampilkan ekspresi bangga, karena rencana mereka hampir berhasil.Namun, senyum mereka seketika memudar saat Keisha melanjutkan, “Mulai hari ini, suami saya, Rendy, yang akan menggantikan posisi saya sebagai CEO hingga saya kembali.”Ruangan langsung riuh dengan bisikan kaget. Arfan membeku di tempatnya, sementara Nadin mengepalkan tangannya di bawah meja.“Apa?” bisik Nadin deng
Di ruang makan keluarga, suasana penuh kebahagiaan. Rina dan Arya duduk di kursi mereka, menanti kabar penting dari Keisha dan Rendy yang baru saja tiba. Arfan duduk di sebelahnya, sementara Nadin berada di samping suaminya, memasang wajah penasaran. Keisha mengambil napas dalam, lalu menatap semua orang dengan senyum bahagia. “Ma, Pa, aku hamil,” ucapnya pelan, tapi cukup jelas untuk semua mendengar. Rina langsung menutup mulutnya, matanya membesar karena terkejut. “Benarkah, sayang?” Ia segera berdiri dan memeluk putrinya erat. Arya ikut tersenyum lebar. “Ini kabar yang luar biasa, Keisha!” katanya dengan bangga. Arfan, yang duduk di samping Nadin, langsung mengalihkan pandangan ke saudara perempuannya. “Selamat, Keisha. Aku ikut bahagia untukmu dan Rendy.” Di sebelahnya, Nadin juga tersenyum. Sementara semua orang sibuk mengucapkan selamat, Nadin mencengkeram gelasnya erat. Ini dia saatnya. Aku hanya perlu sedikit memainkan peran agar semua berjalan seperti yang kuinginkan.
"Sayang, Mama dan Papa senang kalian mau tinggal disini," kata Rina sambil memeluk putrinya."Aku juga senang, Kak. Dan jika Kakak langsung hamil, aku nggak bisa bayangin, gimana repotnya aku dan Kak Rendy memenuhi ngidamnya dua ibu hamil," Arfan bicara sambil mengedipkan sebelah matanya pada sang kakak.Namun, ada satu orang yang tidak peduli dengan keberadaan Keisha disini, yaitu NadineWanita itu menatap sinis kedatangan kakak iparnya beserta suaminya. Tawa mereka semakin membuat hati Nadin sakit hati. Nadin mengepalkan tangannya. Keisha sekarang berada di rumah ini, lebih dekat dengan Arfan dan keluarganya. Itu berarti rencananya bisa saja berantakan. Jika Keisha menemukan sesuatu tentangnya, maka semuanya bisa hancur.Dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.---Malam itu, seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang makan. Keisha duduk di sebelah Rendy, sementara Arfan duduk berhadapan dengan mereka. Nadin duduk di samping Arfan, tapi perasaannya tidak tenang sama sekali.Ary
Malam itu, di rumah Rendy"Jadi, bagaimana?" ulang Rendy sekali lagi. Namun, bukannya menjawab, Keisha justru memeluk erat Rendy seolah tak ingin berpisah. Rendy bisa merasakan detak jantung Keisha yang berdetak kencang. Senyum pun terbit di bibir Rendy. Lelaki itu pun membalas pelukan wanita yang sangat dia cintai itu.Setelah cukup lama berpelukan, Rendy melepaskan pelukannya. Lelaki itu menatap Keisha dalam, memberi ruang agar wanita itu bisa berpikir. “Aku tidak akan memaksa, Keisha. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri,” ucapnya lembut.Keisha mengangkat wajahnya, menatap mata Rendy dengan sorot ragu. “Aku takut.”Rendy tersenyum tipis. “Takut apa?”Keisha menggigit bibirnya, suaranya bergetar saat berbicara, “Takut kehilanganmu.”Rendy menghela napas, lalu meraih tangan Keisha dan menggenggamnya erat. “Kau tidak akan kehilangan aku, Keisha.”Keisha menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. “Dulu, aku pernah jatuh cinta. Entah apa alasannya, dia tiba-tiba pergi
"Kurang ajar! Rupanya, dia ingin main-main denganku. Jangan sebut aku Rendy jika tak bisa membuatku jatuh dalam pelukanku!" batin Rendy. Saat Dante meninggalkan mereka berdua, Rendy merasa, ini adalah kesempatan bagus untuknya. Dia bisa menghukum Keisha. Rendy pun menggendong tubuh Keisha layaknya karung beras. Lelaki itu kemudian mendudukkannya di mobil kemudian menguncinya. “Rendy! Apa-apaan ini? Buka pintunya!” Keisha berteriak. Memukul-mukul kaca mobil Rendy san berusaha membuka pintunya. Namun sayang, pintu itu telah terkunci. Rendy pun masuk dan duduk di sisi kemudi. Melihat Keisha yang terus memberontak membuat Rendy pun kesal. "Diam Keisha, kamu harus ikut denganku! Atau kalau tidak, jangan salahkan aku kalau mobil ini bergoyang!" "Rendy kamu nggak bis kayak gini sama aku! Buka pintunya Rendy! Buat apa kamu mengunci aku disini? Bukankah kamu sudah memiliki yang lain?" Rendy menggelengkan kepalanya. "Diana bukan kekasihku. Saat ini, aku memang sedang bekerja dengannya me
Keisha menatap nanar foto-foto kebersamaan Rendy dengan wanita yang enrah siapa namanya. Dia pun tak ingin peduli. Yang dia pedulikan hanyalah, sebegitu cepatkah Rendy melupakannya?Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja memikirkan langkah apa yang akan dia ambil. "Apa dia hanya ingin membuatku cemburu? Kalau tidak, untuk apa dia mengirimi aku foto beginian? Berani sekali dia memperlakukanku seperti ini," gumamnya geram. Tak ingin kalah, Keisha segera merencanakan langkah balasan. Jika Rendy bisa bersama wanita lain tanpa peduli padanya, maka dia juga akan melakukan hal yang sama. Wanita itu pun memikirkan cara agar bisa dalam sekejap mencari lelaki tampan, kaya, yang mau dia ajak kerja sama. "Aha! Aku tahu!"Keisha pun mengambil ponselnya kemudian menekan nomor yang dia tuju."Halo, apa tawaranmu masih berlaku?" tanya Keisha pada lelaki di seberang sana.Setelah menutup teleponnya, senyum licik pun terbit di bibir Keisha. "Lihat saja Rendy! Kamu jual, aku beli!" --- Keesokan harinya, d