Part 92Farish tertawa mendengarnya. "Ya, ya, baiklah. Aku tunggu kedatanganmu kembali setelah berlibur.""Hmmm.""Berapa hari kau di sana?"Putra melirik ke arah Hana. "Mungkin satu minggu, bisa juga lebih, tergantung kemauan istriku.""Wow ... ya sudah kalau begitu. Titip salam buat keluarga kalian di kampung ya!""Iya, Farish. Kami permisi dulu. Ayo, Sayang!" ajak Putra.Farish menatap mereka sejenak. Ia memotret mereka dari belakang, lalu segera mengabarkan masalah ini pada Sasya. Tapi sayangnya, nomor Sasya tidak aktif.Mobil yang dikendarai Putra mulai melaju, membelah jalan raya. Kondisi jalanan ramai lancar. Sebelum benar-benar pulang ke kampung halaman, ia akan ke rumah utama dulu untuk berpamitan pada sang ayah."Aa kenapa tadi ketus sama dia?""Siapa? Farish?""Iya.""Ya, dia itu berbahaya, Sayang. Memang terlihatnya baik dan ramah di depan. Tapi dia tak sebaik yang kamu kira, lebih tepatnya seperti serigala berbulu domba.""Oh.""Ya. Apa kau tidak tahu? Dia tidak punya pe
Part 93"Tunggu!" Putra segera berbalik dan melihat sang kakak berjalan ke arahnya. Reni hendak pergi menghampiri mereka tapi langkahnya segera dicegah oleh sang suami. Heri langsung merangkul Reni seakan tak memperbolehkan wanita itu berbicara pada adiknya sendiri."Ada apa, Mbak?" tanya Putra setengah berteriak."Kalian hati-hati di jalan!" seru Heri seraya melambaikan tangannya. Ia tersenyum lebar. Putra hanya mengangguk lalu membalas lambaian tangannya. Ia sempat melihat ekspresi sang kakak senyum terpaksa.Putra masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan mobil dengan pelan. Hingga mobil mereka keluar dari rumah besar ini, menyusuri jalanan kota yang ramai, menuju ke kota tujuan.Heri mengeratkan pelukannya pada Reni hingga wanita itu tak berkutik."Jangan sekali-kali kau coba bicara pada Putra! Ingat perjanjian kita, Sayang!" bisiknya di telinga penuh intimidasi. "Ayo kita masuk, Sayang. Sekarang kau sudah benar-benar ada dalam genggamanku!" lanjut Heri lagi, cukup membuat Reni
Part 94"Diam! Kalau kau masih ingin melihat ayah kesayanganmu hidup!" Reni shock berat apalagi mendengar ayahnya disebut-sebut. Mata Reni membulat mendengar bentakan orang yang sangat dia cintai. Menikah dengannya sudah 15 tahun yang lalu. Tapi ia tetap setia meski tak ada buah hati diantara mereka. Entah apa yang membuat sikap Heri berubah drastis tak seperti dulu lagi. Kali ini sikap sang suami benar-benar keterlaluan."Bagus, tetaplah seperti ini baby! Jadilah kelinci kecil yang penurut kalau kau masih mau hidup bersamaku."Reni mencoba berontak, mengibaskan tangan sang suami dari wajahnya. Dia langsung berlalu dan hendak meraih ponselnya, tapi sayang, ponsel itu langsung direbut oleh Heri. "Apapun yang kau lakukan, pesan atau apapun itu, aku sudah menyadapnya. Jadi kau tak bisa bersikap macam-macam lagi! Mengerti?!""Kau jahat sekali, Mas! Keluargaku salah apa terhadapmu?! Padahal aku selalu menuruti keinginanmu! Kau minta modal, ayah selalu mengabulkannya, kau juga hidup enak
Part 95 "Tidaakk, A Putraaa ...!" Hana berteriak dalam hati, ia tak mampu bersuara, hanya bisa menutup mulutnya sendiri seraya menangis. Butiran bening itu jatuh berderaian di pipi.Shock tentu saja, karena tak ada yang bisa ia lakukan. Terlebih preman-preman itu menghajarnya habis-habisan. Seolah tanpa ampun.Hana mencari sesuatu dalam mobilnya, Apa yang harus dia lakukan untuk menolong sang suami? Namun dalam kondisi terjepit, ia tak bisa berpikir dengan jernih. Rasa panik dan takut menguasai hatinya. Ponsel dan semua barang yang berharga sudah dirampas para preman itu. Preman yang sengaja menyembunyikan wajahnya dibalik masker warna hitam.Entah kenapa dengan hari ini, musibah dan kesialan menimpanya di saat ia akan pulang kampung. Di siang hari yang panasnya begitu terik, tapi naas menimpanya. Ya, karena jalanan siang itu begitu sepi tak ada lalu lalang kendaraan. Lokasinya pun sudah jauh dari pusat kota."Kenapa tak ada kendaraan yang lewat sama sekali?" lirih Hana.Panik, tak
Part 96"Lapor, Bos! Kami sudah lakukan sesuai yang bos inginkan!""Bagaimana kondisinya?""Sekarat, Bos, mungkin hampir mati!""Kubilang jangan sampe mati! Harus disiksa pelan-pelan!""Iya, Bos. Sudah sesuai dengan keinginan Anda!""Hahaha ... Bagus, baguss! Gak sia-sia aku sewa kalian! Datanglah ke lokasi ini, ada pekerjaan tambahan untuk kalian! Aku akan kirimkan alamatnya!""Sekarang, Bos?""Ya sekarang, masa lebaran kuda!!" tukas lelaki itu emosi."Baik, Bos. Kami akan segera dataang!" Pria itu mematikan ponselnya dan memberi aba-aba pada rekan yang lain untuk pergi setelah membuat kekacauan."Cabut! Cabut! Bos sudah menunggu!"Mereka saling menganggukkan kepala dan masuk kembali ke mobil meninggalkan Putra yang tergeletak tak berdaya.Sementara itu ...Di ruangan yang cukup gelap, pencahayaan didapat dari ventilasi jendela. Tirai ditutup dengan sempurna meski siang hari. Padahal matahari di luar sangat terik.Pria itu menyeringai, tersenyum penuh kemenangan. Ia bangkit dari ku
Part 97Heri melemparkan ponsel itu, murka. Wajahnya terlihat begitu kesal.Ketiga preman sewaan yang berbadan kekar itu hanya menunduk."Kenapa kalian diam saja?!""Maaf Bos, kami salah ambil. Padahal kami sudah mencarinya tapi tak menemukan ponsel yang lain lagi," sahut seorang pria yang berdiri di tengah menjawab."Iya, Bos, apa yang harus kami lakukan? Apa kami perlu balik lagi kesana dan menggeledahnya lagi!""T*l*l, mereka mungkin sudah tidak adak di sana!""Tapi kami sudah memblokade jalan itu, makanya kami yakin gak ada yang bakalan lewat!""Ah, sudahlah! Lupakan hal itu. Kalian pergilah! Dan jangan tampakkan wajah kalian di hadapanku lagi! Ingat, kalian harus jaga rahasia! Aku akan pesankan tiket ke luar kota untuk kalian!""Lho, katanya ada pekerjaan tambahan lagi, Bos?""Kalian gagal, kenapa minta yang lain? Pergi dengan selamat saja sudah untung!" pungkas Heri lagi."Baik, Bos!""Ingat, jangan sampai berurusan dengan polisi!'"Baik, Bos. Tapi kami butuh tambahan dana! Kal
Part 98"Ada apa, Mariana?"Mariana terkesiap sejenak. Ia teringat ucapan tantenya tadi saat di pusat perbelanjaan, ia harus bersikap sewajarnya seolah tak ada apa-apa.Mariana tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang putih."Itu Om, aku mau pinjam tasnya Tante," sahut Mariana beralasan.Heri mengerutkan keningnya. "Tas?"Mariana mengangguk. "Iya, aku mau ketemu sama teman-teman di cafe.""Bukankah koleksi tasmu lebih banyak dan lebih bagus?""Hmmm iya sih, tapi aku bosan. Sekali-kali aku pengen pake yang model lain seperti milik tante."Meyadari ucapan Mariana, Reni pun mulai bersandiwara, mengikuti permainan sang keponakan."Iya, Ana, masuklah dulu. tante hampir lupa klau kamu mau pinjam tas, padahal kamu sudah bilang pas di jalan pulang," ujar Reni menghampirinya. Ia tersenyum.Tanpa menunggu reaksi dari Heri, Mariana langsung masuk kamar Renni, hal yang jarang ia lakukan sebenarnya, masuk ke kamar orang.Reni mengajak Mariana melihat lemari kacanya yang berisi koleksi tas da
Part 99"Haruskah aku melaporkan ini pada Mas jaya?"Reni menoleh ke arah keponakannya itu. "Kau percaya pada suamimu itu?"Mariana mengendikkan bahunya, ragu."Entahlah.""Sebaiknya jangan, Ana. bukankah dia juga pernah membohongimu? Kalau dia tau takutnya nanti jadi makin runyam.""Apa kita perlu memberi tahu Om Farish, ia kan dekat dengan keluarga kita, dia juga baik selalu membantu--""No, no no, biarpun dekat, dia hanya orang luar, Ana. Tidak. masalah ini tidak boleh sampai ke luar. Bisa-bisa media akan memberitakan hal miring. Ini aib keluarga, tak boleh sampai keluar dulu.""Terus hanya kita saja yang tahu, Tante? Kakek bagaimana?"Reni menggeleng pelan. "Tidak, kasihan kakekmu, sakitnya nanti kambuh lagi. akhir-akhir ini beliau sedang membaik. Kau tahu bukan kakekmu pernah bedrest selama berbulan-bulan, tante tidak mau menambah beban pikirannya di saat usianya sudah senja.""Tapi kita bisa apa, tante? Kita butuh perlindungan. papaku gak mungkin, karena sudah tak punya kekuat
Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja