Part 99"Haruskah aku melaporkan ini pada Mas jaya?"Reni menoleh ke arah keponakannya itu. "Kau percaya pada suamimu itu?"Mariana mengendikkan bahunya, ragu."Entahlah.""Sebaiknya jangan, Ana. bukankah dia juga pernah membohongimu? Kalau dia tau takutnya nanti jadi makin runyam.""Apa kita perlu memberi tahu Om Farish, ia kan dekat dengan keluarga kita, dia juga baik selalu membantu--""No, no no, biarpun dekat, dia hanya orang luar, Ana. Tidak. masalah ini tidak boleh sampai ke luar. Bisa-bisa media akan memberitakan hal miring. Ini aib keluarga, tak boleh sampai keluar dulu.""Terus hanya kita saja yang tahu, Tante? Kakek bagaimana?"Reni menggeleng pelan. "Tidak, kasihan kakekmu, sakitnya nanti kambuh lagi. akhir-akhir ini beliau sedang membaik. Kau tahu bukan kakekmu pernah bedrest selama berbulan-bulan, tante tidak mau menambah beban pikirannya di saat usianya sudah senja.""Tapi kita bisa apa, tante? Kita butuh perlindungan. papaku gak mungkin, karena sudah tak punya kekuat
part 100"Daddy, cepat sembuh daddy! Varo sama mommy nunggu daddy di sini."Hana termangu sendiri di tempatnya duduk, seraya memangku Alvaro yang mulai kelelahan dan mengantuk. Hana mengirimkan pesan pada Derry kalau dia sudah berada di Puskesmas. Dia juga mengirim share lokasinya saat ini. Ya, untuk saat ini hanya Pak Derry, satu-satunya orang kepercayaannya, di kala keluarga sang suaminya tak peduli. Ia tak ingin ambil pusing untuk hal itu. "Apa aku perlu menghubungi Ayah? Apa tidak apa-apa kalau ayah mendengar berita ini? Aku takut kondisi ayah, tapi kalau tidak diberi tahu, beliau pasti akan marah." Hana bermonolog sendiri. Wanita itu menatap nanar ke arah Putra. yang masih terbaring. Matanya terpejam sempurna dengan kondisi wajah babak belur. Istirahatnya kali ini tampak nyenyak setelah diberi obat.Tiga jam kkemudian ...Pak Derry dan Pak Jay datang bersama. Mereka terlihat panik."Bagaimana kondisi Tuan, Nyonya?" "Sudah ditangani oleh dokterz tapi masih belum sadar, Pak.
Part 101"Kau harus ...." Ucapan Wijaya mengambang di udara. Ia masih menatap lekat gadis itu."Harus apa?" Yolanda merasa gugup dan salah tingkah."Ehemm! Yolaa!!" teriak suara dari dalam menyadarkan mereka.Yola menoleh sejenak. "Maaf Tuan, sepertinya Tuan Bama membutuhkan saya.""Oh iya, aku akan mengirimu pesan," ucap Wijaya setengah berbisik.Lelaki itu menghela napas kasar usai melihat gadis itu kembali masuk dalam kamar ayah mertuanya.'Aku harus bisa memanfaatkannya.'Teringat lagi beberapa waktu yang lalu mengenai keuarganya yang kini kondisinya makin memprihatinkan. Ibundanya terjerat pinjaman online dan pinjaman bank keliling demi memenuhi kebutuhan hidupnya juga menebus obat sang suami. Sudah dijelaskan sebelumnya di sini, bila Mariana menguasai uang Wijaya. Itulah yang membuat wijaya pusing harus putar otak tiap hari demi keinginan dan tuntutan ibunya. Hingga lelaki itu tak mampu berpikir jernih dan mau saja apa yang diperintahkan oleh Heri. karena Heri menjaminkan ha
Part 102"Tentu saja tidak. Pegang saja kata-kataku!" tandas Wijaya mantap.Mau tak mau Yolanda mengangguk. "kau tinggal melakukannya sesuai rencana saja. kita akan berkomunikasi via handphone. Sekarang kembalilah ke kamarmu. Jangan sampai ada yang tahu tentang rencana ini. Atau kau tahu sendiri akibatnya.""Ya, baiklah."Gadis itupun segera pergi meninggalkan gudang belakang dan kembali ke kamarnya, untunglah hari itu, tak ada yang melihatnya. Begitu juga dengan Wijaya, setelah menyelesaikan misinya ia kembali beristirahat. sesuai perintah dari Heri."Kau dari mana saja, Mas?" tanya mariana saat ia membuka pintu kamar dan mendapati Mariana berdiri di dekat jendela."Aku habis cari angin, di sini gerah," sahut Wijaya sekenanya.Mariana menatapnya penuh selidik. "Gerah? kau tak merasakan AC ini menyala dan udaranya dingin?""Emmh, ya, maksudku aku ingin udara segar di luar ruangan," jawab Wijaya kikuk. "Benarkah? Kau sungguh mencurigakan!" pungkas Mariana."Bener dong, sayang, buat
Part 103Bama terjatuh dari kursi rodanya dan kepalanya terantuk aspal. Darah segar mulai berceceran. Dan seketika itu pandangannya berubah gelap.Sementara itu mobil yang menabraknya langsung tancap gas dan lari meninggalkan Bama yang tergeletak sendirian tanpa pertolongan.Menyadari sang majikan yang belum kembali, Pak Agus segera mengecek keberadaannya. Pria itu sangat terkejut saat melihat sang majiakn tergeletak sendirian dengan kondisi tak berdaya. Sedangkan Yolanda menghilang, entah tak terlihat jejaknya.Gegas ia membawanya ke rumah sakit terdekat dan langsung memberi tahu Mariana.***Dering ponsel Mariana berbunyi, wanita yang tengah duduk bersantai di ruang tamu itu segera menatap layar ponselnya.Melihat nama sang sopir tertera di sana, ia pun segera menerima panggilan itu."Hallo, ada apa, Pak Agus?" tanya Mariana to the points.""Hallo Non, Tuan ..." jawab Pak Agus sedikit ragu."Kenapa dengan ayah?""Tuan mengalami kecelakaan tabrak lari, Non. Sekarang Tuan Bama sudah
Part 104"Iya, Mas Bama meninggal karena kecelakaan. Tabrak lari."Untuk beberapa saat Putra tak bisa berpikir dengan jernih. Ia benar-benar shock dengan apa yang terjadi pada keluarganya. Kejadian ini begitu cepat, padahal ia belum pulih betul.Tampak embun tebal menggenang di pelupuk mata.Hana ikut merasakan kesedihan yang sama. Putra terduduk di lantai. 'Ayah, Mas Bama ...' lirihnya dalam hati.Hana mengisik bahu suaminya, memberikannya ketenangan. Wanita itupun mengangguk dan berusaha memberikan semangat untuk sang suami."A, harus kuat ya! Aku yakin A Putra pasti kuat menghadapi ini semua. Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan kita. Kita bisa bersabar dan jalani ini semua dengan pasrah dan tetap berdoa. Ayo A, bangun! Mulai sekarang Aa harus sehat dan semangat lagi, kami semua membutuhkanmu."Mendengar ucapan Hana membuat setitik cahaya kesejukan menelusup ke dalam hatinya. "Baiklah, Hana. Terima kasih sudah menyadarkanku dan menguatkanku kembali."Putra b
Part 105Yolanda merasa kesal dengan ucapan salah satu preman yang mengejeknya.'Ck! Apa benar yang mereka katakan? Kalau begitu lebih baik aku kabur saja dari sini. Aku punya uang, aku bisa pergi. Ya, pergi.' Yolanda menunggu para preman itu pergi dan tak mengawasinya lagi. Ia pun berjalan ke arah belakang. Menoleh ke kanan dan kiri berharap tak ada yang tahu. Namun sayang, sampai di pintu belakang, ia tak bisa membuka handlenya."Kenapa susah sekali sih!" gerutunya sendiri.Saat ia berbalik, rupanya salah seorang pria sudah berdiri tak jauh darinya."Hahaha, ternyata kelinci kecil mau coba kabur ya? Tak semudah itu kau bisa keluar dari sini!" tandasnya seraya menatap tajam ke arah Yolanda. "Bos sudah menugaskan kami untuk menjagamu di sini Seketika Yolanda tertunduk. "Aku hanya laper, Om, pengin makan dan jajan. Masak aku gak boleh keluar?" elak Yola lagi."Kau lapar?""Iya.""Kau tunggu di sini dan jangan kemana-mana."Yolanda mengangguk. Dan secara terpaksa, gadis itu kembali k
Part 106 Wijaya tertawa mendengar perkataan Yolanda. "Kenapa Tuan tertawa? Saya serius Tuan, saya tidak mau tinggal di sini. Tolong berikan saya tempat tinggal yang lebih layak.""Hmmm ... Iya baiklah kalau itu yang kau inginkan tapi dengan satu syarat. Kau harus menurut padaku, Cantik!""Pasti Tuan, saya akan menurutinya. Saya akan lakukan apapun perintah, Tuan." "Oke aku pegang kata-katamu."Wijaya memberitahu anak buahnya yang lain untuk segera mengantar Yolanda ke suatu tempat.Mendengar hal itu, Yolanda tersenyum karena ia akan terbebas dari tempat kumuh itu."Ah, yang penting aku keluar dulu dari sini, hal selanjutnya akan kupikirkan nanti," batinnya.Gadis itu masuk ke dalam mobil Wijaya. Begitu pula dengan Wijaya. Ia menatap gadis itu sejenak. "Kau sudah siap?""Yolanda mengangguk.""Kalau kau sudah memilih untuk ikut denganku, maka tidak ada jalan untuk kembali."Mobil Wijaya melaju dengan kecepatan kencang. Kendaraan roda empat itu tengah menyusuri jalanan malam. Wijaya
Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja