Part 18Setelah Pak RT pergi, aku beranikan diri menatap manik mata Tuan Putra yang kecoklatan penuh pesona."Maaf Tuan, kenapa jawabnya seperti tadi? Apa maksudnya? Bikin orang jadi salah paham aja!" gerutuku. Dia tampak santai, tapi tak kunjung menjawab perkataanku."Tuan?" panggilku dengan nada pelan."Ya?""Tuan tahu gak maksud ucapannya Pak RT tadi? Tuan kan majikan saya bukan calon suami saya. Saya tidak enak sama omongan orang-orang kampung yang kadang suka dilebih-lebihkan.""Kalau begitu sesuai ucapan Pak RT, saya akan menghalalkanmu," jawabnya terkesan mantap."Hah?" Aku terperanjat kaget dengan ucapannya. Sungguh tak habis pikir dengan ucapan pria tampan di sebelahku ini. Kok bisa? Apa yang dia suka dariku?"Kenapa terkejut? Saya merasa nyaman sama kamu. Terlebih Alvaro, dia sudah sangat cocok denganmu," jawabnya lagi. Jantungku makin bertalu dibuatnya."Hah? Tapi itu--"Jantungku berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya. Apa ini artinya dia sedang melamarku? Rasanya ti
Part 19Tuan Putra sudah berada di belakang kemudi. Bapak dan ibupun sudah berada di jok belakang. Tadi dibantu oleh perawat yang bertugas. Perihal pembayaran Rumah Sakit tadi, akan saya tanyakan di rumah saja ketika sudah sampai."Sudah siap?" tanya Tuan Putra."Sudah, Tuan," sahut ibu sambil tersenyum.Mobil melaju dengan pelan. Sesekali Alvaro berceloteh riang. Dia menunjuk sesuatu yang dinilainya takjub. "Mommy, itu apa?""Mommy, itu apa?""Mommy, itu apa?"Dan pertanyaan lain yang serupa. Aku tersenyum.dan menjelaskan semua yang dia tanyakan. Meski memakan waktu lebih lama, akhirnya sampai juga di rumah. "Makasih ya, Nak," ujar bapak pada Tuan Putra saat ia membantunya masuk ke dalam rumah."Iya, bapak istirahat biar cepat sembuh," sahutnya.Ibu tersenyum, raut wajahnya pun terlihat sangat lelah. Ia masih menemani bapak agar bisa beristirahat.Gegas aku ke dapur, membuatkan teh manis hangat untuk mereka. Bapak, ibu dan Tuan Putra, agar badan mereka segar.Aku segera ke warung
Part 20Tetiba Alvaro mendorong wajah sang ayah dengan tangan mungilnya. "Daddy, jangan mayahin mommy! Kasihan Mommy," pungkasnya."Kamu belain mommy-mu ini?" tanya Tuan Putra, kini ia menatap sang anaknya yang lucu menggemaskan."Iya. Aku sayang mommy!" ungkap Alvaro lagi seraya menyandarkan kepalanya di bahuku."Jangan mayahin mommy, Vayo yang salah," ungkapnya lirih. Sepertinya dia sudah hampir menangis, karena gerak bibirnya yang cemberut dengan mata yang berkaca-kaca. Aku langsung mengecup pipinya dengan lembut. "Enggak sayang, daddymu gak marah kok. Tadi dia hanya bercanda saja," sahutku menenangkan Alvaro yang rupanya salah paham.Tuan Putra tampak menahan senyumannya lalu membelai kepala anaknya. "Maafin daddy ya!"Alvaro justru makin menyembunyikan wajahnya. "Mommy, ayo pulang!""Iya, ayo pulang," sahutku."Ayo sama daddy, Varo!" ujar Tuan Putra."Gak mau! Daddy mayah-mayah teyus! Nanti cepat tua loh!" tukas Alvaro, membuatku tertawa lirih karena kepolosan anak kecil ini.
Part 21"Neng ...!" panggil ibu.Aku menoleh ke arahnya begitu pula dengan Tuan Putra. "Neng, jadi selama ini Tuan Putra tidur di luar?""Iya, Bu.""Ya Allah, kasihan banget atuh, Neng. Kenapa gak disuruh tidur aja di--""Gak apa-apa, Bu. Saya malah menikmatinya, karena tak perlu pakai pendingin ruangan," jawab Tuan Putra."Jangan atuh ah, nanti sakit, masuk angin kalau tidur di teras terus. Kasihan Tuan, Neng.""Tapi itu atas kemauan Tuan sendi--""Sudah, mulai malam ini biar Tuan Putra tidur sama Alvaro di kamar kamu. Terus kamu tidur sama Husna. Jangan begini, kasihan. Angin malam itu gak baik untuk kesehatan."Aku mengangguk mengiyakan ucapan ibu. "Jangan begini lagi atuh, Neng. Tuan adalah tamu di rumah kita, harusnya kita menyambutnya dengan baik.""Sudah, Bu, jangan salahkan Hana. Saya tidur di luar karena saya cuma ingin menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, Bu.""Sudah, sekarang ada ibu. Ibu percaya Tuan teh gak akan melakukan sesuatu yang buruk. Maafin kami ya, Tuan.
Part 22"Kamu sudah terlanjur masuk dalam kehidupan saya, jadi saya tidak akan pernah melepaskanmu.""Ma-af, Tuan. Apa Tuan benar-benar mencintai saya? Atau hanya merasa kasihan pada saya saja? Karena semua itu akan sangat berbeda bila--""Jujur saja awalnya semua karena Alvaro. Tapi akhir-akhir ini saya memang jatuh hati padamu.""Ke-napa?""Saya mencintaimu, dan tak ada alasan mengenai hal itu," ungkap Tuan Putra menegaskan.Setelah mengatakan hal itu, Tuan Putra justru pergi meninggalkanku dalam perasaan yang semrawut tak menentu. Antara senang, terharu tapi juga takut. Terlebih Tuan Putra adalah orang yang sangat kaya, mana mungkin bisa jatuh cinta pada wanita miskin seperti aku ini. Apalagi pasti banyak wanita berkelas yang ada di sekelilingnya dan pasti mereka akan selalu menarik perhatiannya.Kulihat penampilanku sendiri yang alakadarnya. Baju kusam dan murahan, juga semua yang serba apa adanya. Tak ada yang istimewa dalam diri ini. Rasanya mustahil bila Tuan jatuh hati padaku
Part 23"Tuan, tolong jangan bercanda. Pernikahan adalah hal yang sakral. Kalaupun saya ingin menikah, tolong nikahi saya secara resmi," sahutku lagi.Ya, tentu saja aku tidak ingin menikah secara siri. Selain diakui agama, tentu harus diakui juga oleh negara. Tuan Putra tersenyum. "Ya, saya akan mengurus berkas-berkasnya."Ibu dan bapak hanya tertawa melihat kami berdebat. “Ya sudah, bapak dan ibu sudah paham dengan keinginan kalian. Kami memang memberi restu. Tapi Nak Putra, bolehkah kami minta satu persyaratan?”“Iya, Pak, katakan saja, kalau bisa, saya akan menyanggupi persyaratannya.”“Begini, Nak, alangkah baiknya kamu mengabari maksud baikmu ini pada keluarga. Kami tidak mau kejadian yang dulu terulang lagi pada Hana.”“Maksud bapak?”“Ya, keluarga mantan mertua Hana sebenarnya tidak menyetujui pernikahan mereka. Tapi mereka bersikeras tetap menikah karena saling cinta. Tapi akhirnya jadi seperti ini. Suami Hana tiba-tiba menceraikannya. Kami tidak ingin Hana kembali terluka.
"Tidak, Sayang. Kami masih belum resmi, jadi panggilannya masih seperti biasa," jawabku.Kendaraan roda empat yang kami tumpangi sudah hampir sampai di pusat kota. Mobil berhenti di sebuah apotik dan toko alat kesehatan yang cukup besar. “Kita berhenti di sini, Tuan?” tanya Arga. Adik kecilku memang terlihat antusias.“Iya, turun dulu yuk. Kita perlu cari alat bantu jalan buat bapak,” sahut Tuan Putra yang membuatku tertegun.Kami langsung turun dari mobil. Tuan Putra masuk ke dalam apotek sementara kami menunggu di luar saja. Lelaki itu benar-benar membeli alat bantu jalan untuk lansia atau walker.Setelah itu kami pun pergi menuju ke toko alat tulis dan perlengkapan sekolah. “Kok kesini, Tuan?” tanya Arga lagi. Adik laki-lakiku ini memang-benar-benar kritis. Banyak tanya dan rasa ingin tahunya begitu tinggi.“Iya, sekarang kamu pilih saja apa yang ingin kamu beli," jawab Tuan Putra.“Beneran, Tuan?” tanyanya dengan mata berbinar. “Iya, silakan pilih saja. Tas, sepatu, buku atau a
Part 24"Cieee ... Tuan benar-benar jatuh cinta ya sama teteh?" seru Husna yang tiba-tiba datang menggoda kami. "Mana hanphone Tuan? Sini biar saya foto," ujar gadis itu lagi. Entah kenapa Tuan Putra justru menuruti ucapan adikku. Handphone sudah ada di tangan Husna dan menggulirkannya ke bagian kamera. Persis kameramen saja dia mengatur gaya.Aku berdiri bersisian dengan Tuan Putra yang tengah menggendong Alvaro. Entah berapa kali Husna memotretku. Gadis itu tersenyum kala melihat hasil jepretannya di galeri handphone."Terima kasih ya, Husna, kamu memang adik ipar yang pengertian," ucap Tuan Putra saat melihat ponselnya. Lagi-lagi dia tersenyum.Selepas dari butik, kami segera mencari warung makan. Tapi kali ini tidak makan di tempat, melainkan dibungkus untuk oleh-oleh agar bisa makan bersama di rumah.Tak hanya makanan berupa nasi dan lauk pauknya, Tuan Putra membelikan buah-buahan serta susu dan cemilan lain.Di luar dugaanku, Tuan Putra juga membelikan aneka sembako alias baha
Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja