Part 25“Tuan, jangan nyosor dulu, kalian kan belum resmi menikah!” teguran dari Husna membuat Putra salah tingkah.Entah kenapa, nalurinya sebagai lelaki saat berdekatan dengan Hana membbuatnya tak bisa menahan diri. Seolah ada magnet yang menariknya. Setelah berpamitan pada semuanya, Putra langsung masuk ke dalam mobil.Lian, sang sopir sekaligus asisten pribadinya segera melajukan mobilnya. “Kita langsung pulang, Tuan?” “Ya.”Putra menghela napasnya dalam-dalam. Ia mengambil ponsel dan kembali menatap foto-foto yang dipotret oleh Husna. Tersenyum sejenak saat menatap Hana. Entahlah kapan tepatnya perasaan itu datang, tiba-tiba saja dadanya berdebar kencang saat tengah bersamanya. Ada gelenyar aneh saat berdekatan dengannya. Lelaki itu tersenyum sejenak, menjadikan foto bertiga itu menjadi wallpaper handphonenya. Senyuman Hana yang terlihat tulus makin membuatnya cantik.YA, setidaknya sejak mengenal Hana kehidupannya berubah menjadi lebih berwarna. Terlebih Alvaro pun sangat
Part 26"A-apa? Me-meniikah?""Apa kamu udah gak waras, Putra? Kau akan menikah dengan seorang pembantu?" seru Reni tak percaya.Bahkan Bambang pun sampai kesulitan menelan makanan. Mendadak hatinya diliputi perasaan cemburu. Kenapa bisa sang mantan istri justru akan menikah dengan Putra? "Sudah, jangan ribut. Lanjutkan makan kalian. Setelah ini, kita perlu bicara, Putra," ucap Mahesa tegas.Putra menanggapinya dengan santai. Tak peduli dengan tatapan penuh tanya para saudaranya, terlebih Mariana yang tampak begitu shock. Putra melanjutkan makannya lalu minum air putih tanpa ragu lagi.Baik Reni maupun saudara yang lainnya menatap Putra dengan heran. Masa sih seorang majikan menikah dengan pembantu, seperti cerita dongeng saja!Pagi ini diwarnai dengan ketegangan yang luar biasa, bagi yang lain, bila Putra sampai menikah dengan Hana, itu artinya sebuah musibah. Mereka tak mau keluarga Mahesa direndahkan oleh yang lain, baik partner bisnisnya maupun keluarga besan dan semua keluarga
Part 27Putra tertegun mendengar jawaban ayahnya. Ia tak percaya semudah itu mendapatkan persetujuan dari sang ayah. Dia memang tahu, almarhumah ibunya memang dari kalangan tak berada, tapi ia pikir ayahnya akan menolak seperti saudaranya yang lain. Ternyata sang ayah justru merestui, mungkin karena beliau mengingat kisah cintanya dulu dengan wanita yang menjadi ibu bagi mereka. "Terima kasih atas kebijakanmu, Ayah. Jadi, apakah Ayah bersedia menjadi saksi pernikahanku nanti?" "Kapan kau akan menikah?""Secepatnya, Ayah. Kami sudah mendaftarkan diri di KUA setempat."Mahesa dibuat terkejut oleh anaknya. Ia benar-benar tak menyangka akan menggelar pernikahan secepat itu. "Tunggu, tunggu, kenapa kamu terkesan buru-buru ingin menikah? Apa kau sudah pernah menidurinya?" tanya Mahesa dengan pertanyaan menohok. "Tidak, itu tidak benar, Ayah.""Lalu kenapa mendadak sekali?"Putra justru tersenyum. "Iya, Ayah. Aku sudah tak sabar ingin punya istri lagi. Ditemani olehnya dan--"Mendadak s
Part 28Putra tersenyum menatap Bambang yang tampak gelisah. Pria itu tak berkutik. Tubuhnya membeku, ia tak pernah menyangka Hana akan membocorkan ini semua. Seketika rasa pusing meledak di kepala. Ia takut Mariana mengetahui rahasianya. Bisa habis dia nanti."Kenapa heran? Hana sudah cerita semua tentangmu juga tentang keluargamu. Kau yang tiba-tiba menceraikannya tanpa sebab lalu tiba-tiba menikah dengan cucu orang kaya," tandas Putra sembari tersenyum kecut.Bambang hanya bisa menelan ludahnya sendiri. Karena tak ingin permaalahannya bertambah, Bambang akhirnya pamit keluar dari ruangan. Meski jantungnya berdebar dengan kencang, takut istrinya yang pencemburu itu tahu. Ia menggelengkan kepalanya perlahan. 'Tidak, masalah ini tidak boleh bocor sampai ke telinga Mariana. Aku harus menyimpannya rapat-rapat.'"Tunggu!" cegah Putra saat Bambang hendak membuka pintu. Pria itu mendekati suami sang keponakannya. "Wanita yang sudah kau ceraikan akan kubahagiakan sepanjang hidupku. Jadi,
"Hentikan ucapanmu, Reni. Namanya juga jodoh, kita tak bisa menghalangi itu!" sahut Mahesa tegas. "Tapi kan, pernikahan ini bisa dibatalkan""Tidak ada pembatalan pernikahan. Kalau Putra saja mau menjalaninya kenapa kalian mau menghalangi?"Semua terdiam, memandang sang ayah yang tampak begitu tegas. "Apa kau lupa dari mana asal usul ibumu? Mendiang ibumu yang ayah cintai juga dari keluarga sederhana, tapi ayah bisa bahagia bersamanya bahkan ibumu mempersembahkan putra putri seperti kalian. Ingat, Nak, harta ataupun tahta hanya bersifat sementara. Jangan serakah, Nak. Jangan serakah."Mahesa sebenarnya kecewa dengan anak-anak yang yang terlalu mendewakan harta. Sebenarnya itu fitrah manusia yang gampang terlena karena harta. "Kaya ataupun miskin itu sama. Asalkan dia baik dan mau menerima kekurangan dan kelebihan pasangan masing-masing. Ayah paham apa yang dirasakan Putra sekarang. Tujuannya mulia dia ingin menikah, bukan berzina. Jadi kalian harus dengar ini, tak ada lagi yang me
Part 29Tangan Mariana mengepal ia merasa kesal karena disindir oleh Hana.Mahesa tertawa lirih untuk mencairkan suasana yang tampak canggung."Maafkan cucu saya ya, dia sepertinya kurang jalan-jalan. Hahah.""Kakek! Bahkan jalan-jalanku itu ke luar negeri bukan pelosok desa seperti ini!" protes Mariana cemberut. Reni menepuk-nepuk paha Mariana biar dia berhenti berdebat. Karena orang-orang yang berada di luar tampak memperhatikannya. "Jaga sikap, Mariana. Kita orang kaya harus kelihatan anggun dan elegan!" bisik Reni di telinganya."Sudah, sudah, ayo kita makan hidangan dari tuan rumah. Menghormati mereka yang sudah susah payah dan sibuk menyambut kita," ujar Mahesa menengahi. Lelaki tua yang masih gagah dan tegas itupun mengambil salah satu kue nagasari. Dibukanya bungkus daun pisang itu lalu mengunyahnya. Ia tampak menikmatinya.Begitu juga dengan Putra. Ia mengambil salah satu kue dan memakannya. Alvaro langsung beralih dari pangkuan Hana ke pangkuan sang ayah.Mereka pun akhi
Part 30"Hei, kamu siapa tiba-tiba datang dan ingin menghalangi pernikahan ini?" tanya pak RT. Ia berjalan menghampiri lelaki itu dan bermaksud untuk mengusirnya keluar lebih dulu.Tapi bukannya takut, lelaki itu justru datang mendekat menghampiri Hana. Ia berjongkok di samping Hana. "Tanyakan saja pada Hana, siapa aku," ujar lelaki itu lagi serius dan memandang Hana lekat-lekat.Baik Hana dan Putra hanya menatap lelaki itu lalu beralih ke sekitarnya yang juga tampak bingung. Karena memang tak mengenal siapa lelaki asing dan misterius itu."Hana, katakanlah siapa aku ini pada mereka. Apa perlu aku yang mengatakan semuanya?" Ucan pria itu makin membuat terheran-heran."Maaf, anak muda, kami tidak mengenal kamu. Bila ada urusan, silakan tunggu saja di luar sampai acara akad ini selesai," sela Pak Irwanto.Lelaki itu hanya tersenyum. "Tidak Pak Irwanto, saya juga mengenal bapak. Bapak adalah calon mertua saya. Dan urusan saya dengan Hana belum selesai, dia tidak bisa bersikap seenaknya
Part 31"Hana, kamu mendengarku? Saat ini aku sudah menjadi suamimu, jadi jangan panggil Tuan lagi," tandas Putra. Ia pun menganggukkan kepalanya pelan. "Lalu Tuan--, maksudnya suamiku ini mau dipanggil apa?""Terserah, panggilan kesayanganmu saja.""Aa Putra?""Boleh, itu tidak buruk!" ujar Putra seraya tersenyum. Lelaki itu menggenggam tangan sang istri. Ia pun membisikkan sebuah kalimat yang membuat Hana tersipu mendengar ucapan suaminya. Setelah acara akad nikah selesai, langsung dilanjut acara makan bersama keluarga. Ya, seperti yang direncanakan sebelumnya, hanya akad dan syukuran saja, itupun terasa begitu khidmat meski tadi sempat ada insiden tak terduga."Tante, jadi acara pernikahannya cuma begini doang? Gak ada acara lain-lain lagi?" bisik Mariana saat ia mengambil makanan yang sudah disiapkan. "Iya, namanya juga acaranya orang miskin! Putra aja yang bego, mau-maunya nikahin pembantu!" sahut Reni lirih. Mereka mengobrol tapi saling berbisik agar tak terdengar yang lain.
Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja