“Aku berani bersumpah, tidak selingkuh, tapi aku mengaku salah.” Damian menunduk. Air matanya, akhirnya jatuh juga.
Tiba-tiba, ia melangkah cepat, berlutut di kaki ibunya yang kini sudah duduk di sofa. Tangannya mencengkeram lembut lutut wanita itu. Kepalanya tertunduk dengan bahu yang terguncang oleh tangisan. “Maaf, Bu … maaf ….” Tangis Damian akhirnya pecah, untuk pertama kalinya sejak rumah tangganya berantakan, ia mengakui kesalahan di hadapan orang tuanya. Selama ini, sengaja menyembunyikan, demi menjaga perasaan dan kesehatan orang tuanya. “Aku memang bodoh di sini, Bu. Aku tidak sadar mencampakkan istri dan anakku, selalu menganggap Inara pasti mau memaafkan jika berbuat salah. Ternyata, dia menyerah. Dan, memilih meninggalkanku.” Damian terisak. Melihat putranya yang tampak sangat rapuh, membuat mata Ibu berkaca-kaca. Memang kecewa pada Damian, tetapi namanya orang tuaMeski sedikit meragukan Damian, Inara akhirnya mengiyakan. Sebab, tahu kalau dirinya tidak boleh egois pada Alma seberapa pun luka, sakit hati, dan rusaknya kepercayaan pada mantan suaminya itu. Ia tidak bisa membiarkan pikiran serta perasaannya merenggut hak Alma untuk tidak kehilangan sosok ayah dalam hidupnya. Mau bagaimanapun juga, Alma tetap putri Damian. Tidak ada yang bisa membantah hal itu, sejauh apa pun jarak terbentang. Inara menatap langit dari jendela kantornya sambil menghela napas dalam ketika sambungan telepon dengan Damian telah berakhir. Dia harus belajar menerima kenyataan bahwa meskipun pernikahan mereka telah berakhir, bukan berarti Alma harus berpisah dari ayah kandungnya. Ia tidak mau dicap sebagai ibu yang tega, tidak memiliki hati nurani pada putrinya. Tidak boleh membuat anaknya kekurangan kasih sayang salah satu orang tuanya hanya karena amarah dan rasa kecewanya pada Damian. Mungkin, sekarang Damian benar-benar sudah berubah. Inara kembali beke
Damian menelan ludah. Tenggorokannya mendadak kering. Kata-kata Alma barusan terus menggema di kepalanya, menghantam sisi hatinya yang paling rapuh. Papa, Bunda, dan Alma akan sama-sama terus. Seolah anak kecil itu berharap hujan salju di musim kemarau. Nyatanya, dunia mereka sudah tidak sama lagi. Bahwasanya ‘sama-sama terus’ yang dimaksud hanya ada dalam angan, bukan nyata, atau mungkin tidak akan pernah jadi nyata lagi. Damian tiba-tiba merasa sedih. Di sudut lain, Nenek menatap gambar itu cukup lama, jemarinya sedikit gemetar saat menyentuh sketsa dari tangan mungil Alma dengan polosnya. Matanya mulai berkabut, tetapi ia cepat-cepat mengalihkan pandangan, takut air matanya jatuh di depan sang cucu. Ayah Damian, yang biasanya tegar, kali ini diam cukup lama. Tatapan tajamnya beralih dari gambar itu ke Damian, penuh makna yang bisa diucapkan dengan kata-kata. Di tempatnya duduk, Damian hanya bisa bergeming kaku. Tak bisa membayangkan, bagaimana jadinya kalau Alma tah
Tok ... tok ... tok!Damian sontak menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara ketukan dari luar. Senyumnya mengambang, sangat senang. Inara pasti sudah datang. Itu yang ada di pikirannya sekarang. Buru-buru ia bangkit dari duduknya, melangkah ke pintu, lantas membukanya.Senyum manisnya memancar menyambut Inara yang berdiri di depan pintu. Namun, hanya beberapa saat senyum itu langsung memudar ketika tak sengaja berserobok pandang dengan seorang pria yang berdiri di belakang Inara.Daffa.Alis Damian sedikit berkerut. Sangat kesal melihat pria itu bersama sang mantan. Agaknya ke mana-mana ia memang sengaja membuntuti Inara.Dia kesal karena tak jadi reuni keluarga, rupanya ada tamu tak diundang. Namun, dengan ekspresi datar, tetap mempersilakan mereka masuk.“Masuklah,” ucapnya, bergeser ke samping, memberikan jalan untuk tamunya.Inara melangkah lebih dulu, tetapi saat giliran Daffa hendak menyusul, Damian m
Damian menggandeng tangan mungil Alma menuju lift. Hendak mengantarnya pulang, meski hanya sampai di parkiran.Inara berjalan di sisinya, membawa tas Alma. Di belakang mereka, Daffa seperti bodyguard. Lebih mirip nyamuk di mata Damian. “Papa, inget kan janji Papa?” Tiba-tiba Alma bertanya. Dia mengangkat kepala, menatap Damian dengan mata penuh harap.Damian menoleh, lantas tersenyum kecil. “Janji yang mana, Sayang?”“Papa janji mau ajak Alma main di hari libur nanti.” Alma menyengir, menggoyang-goyangkan tangan Damian.Damian tertawa kecil, lalu mengangguk mantap. “Tentu saja. Papa pasti temani Alma. Memangnya Alma mau liburan ke mana?”Alma mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagu menunjukkan kalau ia sedang berpikir. Detik berikutnya, matanya berbinar. “Taman bermain, tapi pengen ke kebun binatang juga. Terus kita makan es krim. Beli kembang gula yang gede banget. Bunda juga ikut, ya?”Mendengar itu, Damian dan Inara
Ibu menghela napas panjang, seolah sedang menggali kenangan yang sudah lama terkubur pada suatu tempat di sudut hati. Ia menatap sang putra dengan tatapan sendu sebelum akhirnya mulai bercerita.“Dulu, Ibu juga pernah salah paham pada Ayahmu. Sama seperti Inara ke kamu. Bedanya, kamu dan Inara sudah sampai di meja hijau, sedangkan Ibu dan ayahmu hanya pisah rumah. Belum sempat ke meja hijau.”Ibu menarik napas pelan, sebelum melanjutkan, “Itu terjadi, saat kamu masih kecil. Lebih kecil dari Alma.”Mata Damian melotot. Sedikit tak percaya cerita Ibu. Melihat orang tua yang selalu terlihat mesra meski sudah berumur, membuat Damian berpikir kalau mereka mungkin tak pernah menghadapi badai rumah tangga yang sangat besar, sepertinya.“Pisah rumah? Serius, Bu?” Damian memperbaiki posisi duduknya. Mulai tertarik mendengarkan cerita ibunya.Ibu mengangguk. “Iya. Waktu itu, Ibu mengira Ayah sudah tidak mencintai Ibu lagi karena dia selalu menemui
Daffa tak pernah menyangka kalau takdir mempertemukannya kembali dengan Inara setelah 6 tahun lamanya pergi dari mansion keluarga Wardhana.6 tahun lalu, wanita itu memutuskan pergi saat Ayah menentangnya menikah dengan Damian karena keluarga mereka beda kasta, meski begitu sang ayah tetap menjadi wali nikahnya walau pada akhirnya melarang Inara kembali ke rumah.Keluarga Inara saat itu masih mengedepankan budaya pernikahan bisnis agar dua kubu bisnis dapat saling menguatkan. Namun, Inara yang notabene agak keras langsung menolak mentah-mentah karena ingin mempertahankan hubungannya dengan Damian, meskipun tahu risikonya sangat besar.Daffa yang tengah duduk manis di kursi kebesarannya, memutar kursinya menghadap dinding kaca kantor. Matanya terpaku pada ponsel yang menampilkan satu foto di galerinya—foto Inara yang tersenyum manis pada kamera.Foto itu, sengaja ia ambil diam-diam saat mereka SMA.Bibir Daffa tersenyum tipis, ke
Entah apa yang terjadi di mansion sana hingga Rafa meneleponnya dengan suara yang terdengar sangat emosi begitu. Selama ini, dia tahu Rafa sangat menyayangi putrinya. Aneh saja, jika tiba-tiba marah dan mengancam akan melempar ke kolam. Takut terjadi apa-apa pada sang putri, Inara langsung mengajak Daffa pulang, meninggalkan acara yang belum selesai. Tak butuh waktu lama, hingga mereka tiba di mansion. Setelah Inara turun dari mobil, Daffa langsung pulang, tak ikut masuk. Gegas, Inara melangkah cepat. Pintu dibukakan oleh pelayan. Langsung saja masuk ke ruang tengah, di mana di sana sudah ada Ibu yang tengah memeluk Alma, Kak Rafiq yang menunduk menutup mulut, menahan senyum. Suster Liana juga tampak menahan diri agar tidak tertawa. Inara masih mencerna apa yang terjadi, hingga putrinya turun dari sofa dan berlari ke arahnya. “Bunda!” Dia berteriak, memeluk kakinya erat-erat, terlihat sangat ketakutan. Inara panik. “Kenapa, Sayang?” Alma menggeleng, tubuh kecilnya
Meskipun sangat kesal dengan perbuatan keponakannya, Rafa tak benar-benar marah, walau sempat mengancam akan melemparnya ke kolam. Nyatanya, ia sangat menyayangi putri kakaknya itu dan tak berani menyakiti keponakan satu-satunya.Bocah itu, datang ke mansion tak sekadar membuat jadi rame dan lebih berwarna, tetapi sekaligus menjadi pemegang tahta tertinggi di rumah. Tuan Besar saja sampai takluk pada Alma. Sangat dimanja. Maklum, cucu pertama.Seperti pagi itu, hujan turun cukup deras. Alma masih berselimut di sofa hanya menggelung tubuhnya malas-malasan sambil nonton kartun.Sang bunda tak henti membujuknya agar bersiap ke sekolah, tetapi gadis kecil itu langsung menggeleng keras.“Tidak mau! Hari ini hujan, Bunda. Nanti Alma basah!” teriaknya.“Ke sekolah pakai mobil, terus Alma diantar ke kelas pakai payung. Jadi, tidak basah, Sayang. Ayo, siap-siap, Alma harus sekolah.” Inara masih mencoba bernegosiasi.Namun, Alma
Mendengar pertanyaan papanya, Alma terlihat berpikir keras. Dahinya mengerut lucu, bibirnya yang penuh bumbu keripik sedikit manyun.“Yang mana, Papa?” tanyanya sambil memiringkan kepala. “Alma ngomongnya kan banyak. Jadi, Alma enggak ingat semua.”Damian terkekeh pelan. Benar juga, Alma bicara tidak hanya sekali dua kali waktu itu. Mungkin, dia juga lupa apa yang akan dikatakan?Hanya saja, Papa Alma itu tidak menyerah begitu saja, tetap mencoba memancing ingatan sang putri. “Waktu itu, Alma bilang kalau Om Daffa enggak sebaik Papa. Terus, Alma mau bilang sesuatu lagi, tapi keburu dipanggil Bunda.”Jari telunjuk mungil itu mengetuk-ngetuk pada dagunya. Terlihat seperti sedang mengingat-ingat.“Alma bilang, Alma pernah .... Pernah apa?” tanya Damian lagi. Sangat berharap Alma masih mengingat ucapannya kala itu.“Ohhh.” Alma akhirnya berseru. “Yang itu, ya .…”Damian mengangguk. Tak bisa menutupi rasa senangnya. “Iya, yan
Begitu masuk mobil, Inara membanting pintu sedikit keras sambil menghela napas panjang, menatap ke luar jendela dengan tangan mengepal kuat. “Apa dia pikir aku akan semudah itu percaya omongan dia?” gumamnya kesal. “Seolah-olah aku enggak bisa bedain mana yang tulus dan mana yang cuma akting.”“Apa dia tidak berkaca? Melihat dirinya yang menghamili mantan kekasihnya?”Suasana hati Inara benar-benar berantakan sekarang. Damian sudah lewat batas. Menuduh tanpa bukti, seolah-olah Inara tidak punya otak untuk menilai sendiri.Ketika mobil melaju, tiba-tiba ponselnya berdering. Panggilan dari Daffa. Dengan enggan, Inara menekan tombol untuk menjawab.“Halo, Kak?”“Ra, kata resepsionis tadi kamu ke kantor?” tanya Daffa di seberang. Suaranya terdengar sedikit panik.Sambil menatap pada jalanan siang itu, Inara menjawab datar. “Hm. Aku titip makan siang buat kamu ke resepsionis. Soalnya, katanya kamu tidak di kantor.”
“Pak, kami melihat Selena dijemput seseorang tidak jauh dari kafe yang Bapak maksud tadi.”Pesan orang kepercayaannya itu membuat Damian duduk tegak. Senang, mulai ada titik terang.“Seseorang? Apa kamu mengenalnya?” balas Damian cepat. “Kami tidak bisa mengenalinya, Pak. Orang itu memakai topi dan masker. Kami sudah coba ikuti. Sayangnya, kami kehilangan jejak di jalan. Mohon maaf, Pak.”Damian berdecak kesal. Harapannya akan kecurigaan pada Selena terjawab, pupus lagi.“Baiklah, tetap awasi dan cari tau pria itu. Lain kali kita harus susun rencana yang lebih terstruktur,” katanya.Damian bangkit dari kursi kebesarannya. Keluar dari ruangan, bahkan kantor. Menuju restoran untuk sekadar menenangkan kepala yang terlalu banyak isinya itu.Terlihat, Andrew dengan setia mengikuti ke mana sang atasan pergi. Damian mulai menyentuh gelas kopi yang masih penuh. Namun, belum sempat meminumnya, pandangannya tak sengaja
Penasaran dengan siapa Selena bertemu di kafe itu, selama meeting, Damian sesekali menyapu sekeliling, memeriksa keberadaan wanita itu. Namun, tak ada.Hingga selesai meeting, Selena tak kunjung menampakkan diri di sana. Namun, hal itu tak membuat Damian lengah. Ia sangat yakin tadi melihat Selena masuk ke kafe. Dan, hari kecilnya juga mengatakan kalau wanita itu akan bertemu seseorang di sini. Seseorang itu yang ingin Damian tahu dan ada urusan apa?Kini, pria itu masih duduk di dalam mobilnya yang terparkir tak jauh dari kafe. Pandangannya tak lepas dari pintu masuk. Barangkali, Selena sebentar lagi akan menunggu. Di samping itu, ia sudah memerintahkan Andrew untuk memeriksa di semua lantai kafe. Mungkin, Selena berada di salah satu lantai.Sayangnya, setelah Andrew kembali, wajahnya justru terlihat gusar.“Gimana?” tanya Damian cepat begitu Andrew naik ke mobil. Pria itu menggeleng. “Tidak ada, Pak. Saya udah cek s
Sementara itu, jauh di rumah Damian sana. Sang pemilik baru saja membuka pintu kamar dan menuruni anak tangga setelah mendapatkan informasi dari ART kalau tamunya sudah tiba.Benar saja, di ruang tamu, terlihat Gilang dan istrinya sudah berada di sana.“Akhirnya keluar juga si pemilik rumah,” goda Gilang sambil menoleh. “Nunggunya masih di batas wajar, kan? Soalnya habis mandi dulu.” Damian mengambil tempat, bergabung dengan sepupunya itu.“Rumah baru kamu keren juga, Dam. Luas, mewah, adem. Kayaknya, aku dan istri kudu punya rumah juga di sekitar sini. Biar kita tetanggaan,” ujar Gilang antusias.“Nanti kita pindah ke sini kalau Damian punya bini, Sayang. Biar aku ada teman ngerumpinya,” sahut Nadira.Tawa Gilang tersembur. Jelas sekali sebuah ejekan halus. “Bisa, bisa. Memangnya rumah segede ini diisi seorang doang, enggak kesepian, Dam?”Damian mengangkat alis tanpa senyum. “Aku udah biasa sendiri.”“Pret!”
Pada akhirnya, Inara tetap pergi, tetapi tidak ditemani Daffa, melainkan bersama asistennya yang sudah Inara anggap sebagai teman.Lagipula, hingga sekarang tunangannya itu tak membalas pesannya untuk sekadar menjelaskan kenapa mendadak kayak menteri saja, susah dihubungi.Keduanya, kini berjalan santai di koridor mall lantai 3. Sesekali tertawa kecil hingga lepas. Ada aja hal lucu yang dibicarakan sampai membahas tren fashion yang terpajang di etalase. Sekarang, Inara sedikit lebih rileks dari sebelumnya.“Udah lama juga baru ngeliat Ibu tertawa lepas gini,” kata Tasya di sela tawa mereka.“Loh, emang kemarin-kemarin tidak?”“Iya, Bu. Wajah Ibu datar saja. Mana minim senyum.”Inara tertawa cekikikan. Kemarin-kemarin beban hidupnya terlalu berat, jadi sedikit banyaknya mempengaruhi senyuman. Ia sedang di fase berdamai dengan kenyataan.“Pokoknya Ibu harus tetap bahagia. Kata orang, akan ada pelangi setelah badai,” kata T
Damian kini berdiri di dekat jendela rumahnya. Tangannya tenggelam pada dua saku celananya. Begitu ia berbalik ke arah pria berseragam security yang menunduk tampak sangat ketakutan di tengah ruang tamu itu, rahangnya langsung mengeras.“Kenapa bisa kamu membiarkan orang asing masuk ke rumah, hah?!” bentaknya membuat pria itu sedikit terlonjak, kemudian menunduk.Tampak jelas ketakutan menghadapi majikannya yang diketahui sedang marah. “Ma—af, Mas. Saya benar-benar minta maaf. Saya kira wanita tadi memang tamu Mas. Dia bilang sudah bikin janji dengan Mas, makanya saya mengizinkan masuk.”Damian menggeleng keras. “Tidak ada yang tau alamat rumah saya di sini. Sekalipun, ada janji. Saya yang akan memberitahumu sendiri. Salahmu, kenapa tidak konfirmasi dulu?!"“Saya salah, Mas. Saya terlalu percaya padanya. Saya janji, kejadian ini tidak akan terulang. Ke depannya, saya akan lebih hati-hati lagi.” Suara sang security itu terdengar penuh sesal. Tubuhn
Mendengar perkataan Selena, Damian terdiam, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Dan, ya ... dia baru sadar sepenuhnya. Diam-diam pergi dari rumah, meninggalkan istrinya yang sedang tertidur karena ia berusaha menjadi bermanfaat untuk orang yang membutuhkannya. Sial!Damian mengusap wajah dengan gusar. Tak mau memperpanjang. “Oh, lupakan kejadian tadi,” katanya pelan, lantas bangkit, mengambil jaket dan kunci mobilnya di atas meja. Tanpa berpamitan, langsung pergi. Tujuannya, pulang ke rumah.Di dalam mobil, tangannya mencengkeram setir dengan keras. Napasnya memburu seolah ia baru saja lari puluhan kilometer. “Kenapa aku sebodoh ini? Kenapa aku bisa sampai tidur di sana?” Dia menyesali diri sambil menggeleng kuat-kuat. Mencoba membuang bayang kejadian yang baru saja terjadi padanya. Itu sesuatu yang buruk baginya.“Inara, maafkan aku.” Suaranya serak. Pandangannya mulai berembun.Walau ia merasa tidak
Damian berdiri kaku. Tatapannya menukik tajam, penuh kemarahan, tak lepas pada wanita yang kini sudah bersandar santai di sofa sambil memainkan ujung piyamanya yang tipis. Jelas, sengaja menggoda Damian.“Kenapa kamu bisa ada di sini, Selena?! Siapa yang kasih kamu masuk?!” Amarah Damian memuncak. Dadanya, bahkan naik turun, tetapi ia tetap menahan diri agar tak bertindak jauh. Entah bagaimana bisa wanita ini tahu alamatnya dan masuk ke rumahnya begitu saja. Tak punya adab sama sekali.Selana tak takut dengan bentakan Damian, justru terkekeh pelan, tanpa beban. “Jangan marah-marah gitu, dong, Mas. Tadi lewat sini, jadi sekalian numpang numpang mandi, kok.” Ia melempar tatapan menggoda ke arah Damian, lalu menepuk sofa di sampingnya. “Security-mu yang kasih kunci. Baik banget, ya?”Damian mencengkeram kepalanya, frustasi. “Sial! Dari mana kamu tau alamatku?”Selena mengangkat bahu. “Rahasia,” ucapnya manja, sebelum bangkit dan berjalan me