Sambil menggenggam gelas jusnya dengan hati-hati, tatapan Alma yang duduk sebelah Damian langsung berbinar kala melihat Vano menghampirinya dengan senyum lebar. “Hai! Nama kamu Alma, kan?” Vano bertanya ceria.Merasa ragu, Alma tak langsung menjawab, tetapi pada akhirnya ia mengangguk pelan. “Iya, nama kamu siapa?”“Aku Vano. Kamu mau main sama aku, tidak? Acara orang dewasa membosankan.” Vano mengerucutkan bibirnya seolah-olah tak suka berada di tempat ini.Senang sekali Alma ada yang mengajaknya bermain, tetapi ia tak langsung mengiyakan ajakan Vano. Justru, menoleh ke arah Damian dengan tatapan meminta izin. Anak itu, memang selalu diajarkan minta izin pada orang tua jika akan ke mana-mana, agar tak panik dicari.Damian tersenyum dan mengangguk. “Sana main kalau mau, tapi hati-hati, ya, Sayang.”“Baik, Papa!” Dia berseru senang sebelum akhirnya melompat turun dari kursi.Vano menggenggam tangan Alma dan menggandengny
Mendengar itu, dunia terasa berhenti sejenak. Inara melebarkan mata, darahnya seperti membeku di pembuluhnya. Jantungnya berpacu cepat, begitu napasnya tercekat. Namun, ia masih mencoba menentang pikiran buruk itu. Menatap Damian tajam dengan raut takut sekaligus. “Mas, di mana Alma?” tanyanya. Damian tergagap, panik melandanya. Bodoh sekali dia, tak mengawasi putrinya. “Di—dia ....” “DI MANA ALMA?!” Kali ini Inara setengah berteriak. Suaranya menggema, membuat semua orang di ruangan itu terpaku. Suasana mendadak tegang, bahkan lebih tegang daripada saat Inara membuat kekacauan tadi. Damian menelan ludah. “Dia main sama Vano.” Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Main di mana? Hah?!” Sekujur tubuh Inara menegang. Frustrasi dan amarah menggelegak di dadanya. Melihat Damian tak punya jawaban, Inara menggeleng putus asa. Mendorong Damian keras, membuat pria itu terhuyung. Setelah itu, Inara langsung berlari sekencang mungkin menuju kolam belakang. Rafiq, Ra
Tiba di rumah sakit, Alma langsung dibawa ke ruang gawat darurat. Inara dan yang lainnya hanya bisa menunggu di luar ruangan.Gaun basah yang melekat di tubuh Inara sudah tidak dipedulikannya lagi, pikirannya sangat kalut, hanya menginginkan Alma akan baik-baik saja.Dengan mata yang berkaca, menatap dokter penuh harap. “Tolong Selamatkan putri saya, Dok.”“Kami akan bekerja semaksimal mungkin, Bu. Dan, Ibu harap tenang dan tetap doakan yang terbaik untuk Alma,” kata sang dokter sebelum akhirnya berlalu bersamaan dengan pintu ruangan yang ditutup rapat.Lutut Inara hampir saja goyah begitu tubuh putrinya tenggelam di dalam ruangan. Tangannya yang gemetar langsung menggenggam erat lengan Rafiq di sebelahnya. “Kak, aku takut Alma kenapa-kenapa. Kalau sampai sesuatu terjadi padanya ... aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri.”“Jangan bicara seperti itu,” ujar Rafiq, lantas menarik Inara ke dalam pelukannya. “Aku yakin Alma akan baik
Damian membeku seketika. Kata-kata Inara bagaikan pisau yang menghujamnya tanpa ampun. Tatapan wanita itu penuh dengan sorot amaran dan kekecewaan. Tawa sinis dari bibirnya lolos begitu saja. Beralih melipat tangan di depan dada sambil mencondongkan sedikit tubuh ke arah Damian seakan ingin memastikan setiap kata yang diucapkan bisa menusuk mantan suaminya itu lebih dalam.“Atau jangan-jangan selama ini kamu bahkan tidak pernah memikirkannya?” Inara bertanya dengan alis terangkat. “Pasti tidak, karena kamu terlalu sibuk mengurusi mereka.”Damian mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Napasnya mulai berat. Seketika tangannya ikut mengepal, tetapi tak ada satu kata pun yang bisa ia ucapkan. Benar, ia tak pernah mencari tahu tentang kebakaran itu lebih jauh.Rumahnya terbakar karena korsleting listrik, itu yang Damian pikirkan.“Ra, aku juga kehilangan segalanya dalam kebakaran itu.” Akhirnya pria itu bersuara, mencoba membela diri.Inar
“Jadi, Vano yang mendorong Alma?” tanya Inara pelan.Alma mengangguk lemah. Mencoba mengingat kejadian tadi. “Alma udah bilang tidak bisa berenang, tapi dia tetap maksa turun ke kolam. Alma mau pergi ke Bunda, tapi malah didorong. Alma jatuh, deh. Terus … Alma susah napas ….” Mata beningnya mulai berair, napasnya tersengal sedikit. “Oma, Vano jahat … Alma tidak mau main sama Vano lagi.”Damian yang masih berdiri di balik pintu seketika merasakan kepalanya berputar. Seolah-olah ada yang menghantam dadanya dengan kuat. Mulang menggeleng. Menyadari kesalahannya yang benar-benar benar-benar ceroboh. “Aku yang seharusnya melindungi Alma, malah membiarkan dia celaka ….”Tangannya mengepal. Rasa bersalah kian membakar dalam tubuhnya. Dia bahkan tak bisa membela diri sekarang.Wanita paruh baya itu mengusap rambut Alma, berusaha menenangkan sang cucu. “Iya, Sayang … nanti Alma main sama Oma aja, atau sama suster, ya?”Damian m
Damian masih menatap ponselnya di tangan. Melihat nama sekretarisnya tertera di sana. Sejenak, ia melirik ke arah Inara yang sedang mengusap-usap kepala Alma. Putrinya itu masih terlihat lemah. Damian menghela napas, sedikit ragu sebelum akhirnya berkata, “Aku terima telepon di luar sebentar.” Inara hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, tetapi hati kecilnya, sebenarnya ia sangat kesal. Di saat seperti ini pun Damian masih sempat menerima telepon? Tak perlu menebak jauh-jauh, pasti ada hubungannya dengan Selena lagi. Hanya wanita itu yang selalu membuat mantan suaminya itu tak bisa abai, sekalipun saat itu ia juga butuh kehadiran Damian. Hanya saja, Inara tak ada hak untuk protes. Dia tak ada hubungan apa-apa lagi dengan Damian sekarang. Pria itu bangkit dari tepi ranjang, tak menyadari tatapan Inara yang berubah dingin padanya. Segera ia keluar dan menjawab telepon. “Ya, Andrew? Ada info yang kamu dapatkan?” Damian tidak ingin membuang-buang waktu. “Bapak sudah
Selena mengerjap pelan, wajahnya tampak lugu, seolah-olah tak mengerti arah pembicaraan Damian.“Ma—maksudmu apa, Mas? Apa yang kulakukan?” Nada suara wanita itu terdengar bergetar, tetapi ia tetap berusaha terlihat seakan-akan tak ada sesuatu yang terjadi.Damian tertawa sinis, sorot tajam tatapannya terlihat penuh dengan kekecewaan. Sekarang, ia baru menyadari sepenuhnya, betapa banyak kebohongan yang telah ia telan mentah-mentah dari wanita yang ia kira betul-betul membutuhkan bantuannya selama ini.“Jangan pura-pura bodoh, Selena!” bentak Damian. Telunjuknya langsung teracung tajam pada Selena. Menggertakkan rahang, menahan amarah yang sudah meluap-luap di dadanya. “Kamu sengaja menyuruh Vano mendorong Alma ke kolam tadi?”Raut wajah Selena seketika berubah, nyaris terlihat seperti orang panik. Namun, dalam hitungan detik, ekspresinya langsung berubah, memelas.“Mas, kamu bicara apa?” Selena tertawa kecil. Tawa yang mencoba
Inara melangkah masuk ke ruang rawat putrinya dengan kedua tangan penuh kantong berisi sarapan dan beberapa jajanan kecil pagi itu.Akan tetapi, langkahnya begitu saja terhenti ketika pandangannya tertuju ke ranjang Alma. Bukan ibunya yang ada di sana seperti saat ia pamit keluar tadi, melainkan Damian. Pria itu benar-benar datang pagi-pagi sekali, duduk di tepi ranjang, dan tampak berbicara seru dengan Alma sambil menunjukkan sesuatu di ponselnya.Pandangan Inara menyapu pada sofa yang tak jauh dari ranjang, sebuah boneka beruang besar tergeletak di tempat tidur, betul-betul sesuai dengan permintaan Alma, bahkan sama persis dengan boneka lamanya.Senyum tipis muncul di wajah Inara. Dadanya langsung menghangat melihat Damian benar-benar memenuhi janji kali ini. Walaupun, sebenarnya Inara sudah tidak ingin berharap banyak, tetapi setidaknya, Damian tak membuat putri mereka kecewa kalo ini.Berjalan mendekat, Inara meletakkan bar
Suasana di dalam mobil itu cukup sunyi. Rafa duduk tenang sambil melipat tangan di dada. Damian fokus menyetir, sesekali melihat ke arah Inara dan Alma yang berada di jok tengah. Inara terus menatap ke kuar jendela, wajahnya tampak muram, seakan tak suka berada di situasi ini.Tiba-tiba, suara kecil Alma memecah keheningan.“Bunda ...,” panggilnya seraya menyentuh lengan Inara membuat wanita itu sontak menoleh.“Iya, Sayang. Kenapa?” Inara bertanya lembut.“Kalau Papa udah enggak bikin salah lagi, Bunda mau tidak, maafin Papa?”Inara sedikit terkejut mendengar pertanyaan polos putrinya. Ia menelan ludah, seolah mencari jawaban yang tepat.Sementara itu, Damian melirik mereka dari spion tengah sambil tersenyum kecil, menunggu jawaban dari mantan istrinya tersebut.“Kenapa Alma tiba-tiba bertanya seperti itu?” Inara mengangkat alis. Dalam hati, rada kesal pada Damian. Pasti pria itu sudah mengatakan hal
Hari ini, Alma sudah siap pulang, tetapi Inara masih menemui dokter untuk membahas kondisi terakhirnya.Sementara itu, Damian tetap di ruang rawat, menemani putrinya yang tengah duduk di ranjang dengan wajah berbinar, penuh semangat.“Papa ... Papa ikut Alma dan Bunda pulang ke rumah Oma, kan?” tanya Alma tiba-tiba, menatap sang papa penuh harap.Damian terdiam sejenak. Ada jeda singkat sebelum akhirnya dia menggeleng pelan. “Papa tidak bisa ikut pulang ke sana, Sayang.”Alma mengernyit, penasaran. “Terus Papa bobo di mana?”“Papa bobo di apartemen, Sayang.” Damian tersenyum, berusaha terlihat baik-baik saja di depan putrinya. “Nanti kapan-kapan kalau Alma mau, bisa bobo di apartemen Papa.”Namun, bukannya senang, wajah Alma malah berubah cemberut. Bocah perempuan itu menyilangkan tangan di dada. “Kenapa Papa tidak ikut pulang aja? Papa bertengkar sama Bunda, ya?”Damian menghela napas, menatap mata putrinya lekat. Dia t
“Apa yang kamu katakan, Inara?” Damian bertanya sambil menatap dalam ke arah wanita itu. Ada kepedihan di matanya, seolah tuduhan Inara telah melukai sesuatu dalam dirinya.“Mana mungkin aku melakukannya?” Suaranya bergetar kini.Namun, bukannya langsung percaya, Inara justru tersenyum miris, menatap Damian masih penuh dengan rasa curiga. Pria itu, terlalu banyak membohonginya semenjak Selena hadir dalam hidup mereka. “Mengapa tidak? Bukankah kamu selalu ada untuk Selena?” Suara Inara cukup dingin, menusuk hingga ke dasar hati Damian. “Bahkan, dulu ketika aku dan Selena membutuhkanmu di saat bersamaan, kamu lebih memilih membantu dia lebih dulu, dibanding aku sebagai istrimu. Jadi, bukan tidak mungkin, kamu juga membantunya kabur karena kasihan padanya.”Damian terkesiap. Kata-kata Inara makin membuatnya sesak dan merasa bersalah. Tak bisa mengelak, karena ia memang selalu tak bisa menolak membantu Selena. Namun, itu dulu. Bukan sekarang.Sebuah gelengan diberikan Damian, tidak perca
Inara menelan ludah, tangannya refleks menggenggam erat selimut Alma. “Kok bisa?” tanyanya dengan suara bergetar, nyaris berbisik. “Dia melarikan diri lewat pintu belakang rumahnya bersama putranya. Polisi sempat mengejar, tapi kehilangan jejak,” jawab Rafa dengan nada serius. “Sampai sekarang, polisi masih terus mencarinya.” Inara menggigit bibir bawahnya sambil menggeleng pelan. Selena benar-benar licik! “Aku cuma mau bilang, Kakak jaga diri dan jaga Alma baik-baik,” lanjut Rafa, suaranya terdengar makin tegas. “Takutnya Selena tidak akan tinggal diam setelah ini. Dia mungkin akan mencari celah untuk kembali mengusik Kakak ... atau bahkan Alma.” Kepalan tangan Inara kian erat. Hidupnya sudah cukup kacau karena Selena. Rumah tangganya porak-poranda, dan lebih dari itu, putrinya kini mengalami penyakit serius karena perbuatan Selena. Setelah sambungan telepon dengan Rafa berakhir, Inara menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin Selena bisa lolos b
Damian mengeratkan rahang. Terlintas di benaknya, bayangan rumah yang penuh kenangan itu kini tinggal puing-puing. Juga bagaimana putrinya berjuang di kolam yang hampir merenggut nyawanya, di mana insiden itu ada campur tangan Selena.“Kami menyerahkan semuanya kepada pihak berwenang dan percaya pada proses hukum yang berlaku.”Setelah mengucapkan itu, Damian melangkah masuk ke gedung PrimaTex, meninggalkan para wartawan yang masih terus melemparkan pertanyaan. Keamanan segera bergerak cepat untuk menutup akses, memastikan tidak ada yang mencoba masuk.Begitu berada di dalam lift, Damian menarik napas panjang. Masalah Selena ternyata berdampak luas. Namun, ia tidak akan membiarkan hal itu menghancurkan reputasi perusahaannya.Lebih dari itu, ia tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi niatnya untuk mendapatkan kembali keluarganya.Di tempat lain, tepatnya di rumah Selena yang mendadak terasa pengap, wanita itu mondar-mandir g
“Aku tidak bisa,” jawab Damian akhirnya. Tidak mau diperdaya lagi oleh Selena. Sudah cukup rumah tangganya hancur gara-gara wanita yang seharusnya tidak pernah muncul lagi dalam kehidupannya itu.“Tapi, Mas! Aku punya anak! Vano butuh aku! Kalau aku dibawa polisi, bagaimana dengannya? Kamu tidak lupa, kan, kalau di sini aku tidak punya siapa-siapa?”Damian terdiam. Tidak melupakan hal itu. Selena selalu menggunakan kalimat itu sebagai senjata agar ia padanya. Sekilas, Damian juga mengingat bocah kecil yang selama ini dikasihani karena harus tumbuh tanpa sosok ayah.Damian peduli pada Vano dengan maksud agar bocah itu merasakan kasih sayang ayah meskipun bukan dari ayah kandung, tetapi seketika ingatannya juga tertuju pada Alma.Putrinya itu harus kehilangan kasih sayang ayah karena Damian tanpa sadar mengabaikan peran sebagai ayah untuk putri kandungnya, demi rasa kasihannya pada Selena dan Vano. Inara sering kali mengingatkan, tetapi ia
Damian berdiri mematung di ambang pintu, menatap Inara berdiri di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Meski demikian, Damian tetap menunggu wanita itu melanjutkan kalimatnya.Helaan napas Inara terdengar selang beberapa saat, wanita dengan tahi lalat di pipi kanan itu tersenyum sebelum akhirnya berkata, “Sebenarnya, ini tidak pantas kukatakan, mengingat hubungan kita sudah berakhir.”Mendengarnya, Damian seketika menahan napas. Kata-kata itu terdengar sederhana, tetapi menamparnya, cukup untuk menyakitinya lebih dari yang ia bayangkan.“Tapi, aku hanya ingin kamu tau satu hal.” Inara menatap Damian dalam-dalam. “Selena ingin kembali padamu. Dia pernah mengatakan padaku bahwa cepat atau lambat, dia akan merebutmu dariku. Dia juga bilang kalau kalian masih punya rasa satu sama lain makanya kamu tidak bisa mengabaikannya setiap kali ia meminta bantuan.”Damian membeku. Napasnya tercekat, bahkan untuk menelan ludahnya saja, ia cukup kesusa
Inara melangkah masuk ke ruang rawat putrinya dengan kedua tangan penuh kantong berisi sarapan dan beberapa jajanan kecil pagi itu.Akan tetapi, langkahnya begitu saja terhenti ketika pandangannya tertuju ke ranjang Alma. Bukan ibunya yang ada di sana seperti saat ia pamit keluar tadi, melainkan Damian. Pria itu benar-benar datang pagi-pagi sekali, duduk di tepi ranjang, dan tampak berbicara seru dengan Alma sambil menunjukkan sesuatu di ponselnya.Pandangan Inara menyapu pada sofa yang tak jauh dari ranjang, sebuah boneka beruang besar tergeletak di tempat tidur, betul-betul sesuai dengan permintaan Alma, bahkan sama persis dengan boneka lamanya.Senyum tipis muncul di wajah Inara. Dadanya langsung menghangat melihat Damian benar-benar memenuhi janji kali ini. Walaupun, sebenarnya Inara sudah tidak ingin berharap banyak, tetapi setidaknya, Damian tak membuat putri mereka kecewa kalo ini.Berjalan mendekat, Inara meletakkan bar
Selena mengerjap pelan, wajahnya tampak lugu, seolah-olah tak mengerti arah pembicaraan Damian.“Ma—maksudmu apa, Mas? Apa yang kulakukan?” Nada suara wanita itu terdengar bergetar, tetapi ia tetap berusaha terlihat seakan-akan tak ada sesuatu yang terjadi.Damian tertawa sinis, sorot tajam tatapannya terlihat penuh dengan kekecewaan. Sekarang, ia baru menyadari sepenuhnya, betapa banyak kebohongan yang telah ia telan mentah-mentah dari wanita yang ia kira betul-betul membutuhkan bantuannya selama ini.“Jangan pura-pura bodoh, Selena!” bentak Damian. Telunjuknya langsung teracung tajam pada Selena. Menggertakkan rahang, menahan amarah yang sudah meluap-luap di dadanya. “Kamu sengaja menyuruh Vano mendorong Alma ke kolam tadi?”Raut wajah Selena seketika berubah, nyaris terlihat seperti orang panik. Namun, dalam hitungan detik, ekspresinya langsung berubah, memelas.“Mas, kamu bicara apa?” Selena tertawa kecil. Tawa yang mencoba