Inara berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan Alma, lalu meraih tubuh kecil itu ke dalam pelukannya.
Dia mengusap punggung putrinya dengan lembut, mencoba menenangkannya.“Sabar, ya, Sayang ...,” bisiknya, mencoba menjaga agar nada suaranya tak bergetar. “Papa pasti akan punya waktu buat Alma nanti.”Untungnya, gadis kecil itu cukup mudah ditenangkan. Dalam pelukan Inara, ia mengangguk pelan, meskipun wajahnya masih terlihat murung.Sementara itu, Inara merasakan sesak yang makin dalam, hingga tanpa suara, air matanya kembali menggenang di pelupuknya.Seketika ia berpikir, apakah keputusannya untuk berpisah dengan Damian sudah benar?Hatinya terus mempertanyakan. Takut salah mengambil keputusan.nNamun, jika terus bertahan, dia hanya akan tersakiti melihat sang suami yang lebih memedulikan mantan kekasihnya dibanding dirinya.Inara menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hati dan tekadnya. Setelah beberapa sHakim kembali membuka persidangan setelah mediasi tidak mencapai kesepakatan. Inara bangkit dan menyerahkan beberapa lembar foto kepada hakim. “Yang Mulia, saya memiliki bukti bahwa suami saya menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya. Inilah salah satu alasannya saya ingin berpisah, karena dia berselingkuh dan lupa tanggung jawab pada istri dan anaknya.”Hakim mengamati foto-foto itu dengan saksama, lalu bertanya, “Bisa dijelaskan ini foto apa?”Inara menghela napas berat, menatap tajam ke arah Damian sebelum kembali berbicara. “Ini foto saat Damian menemui wanita lain dalam hal ini mantan kekasihnya di rumahnya saat malam tiba. Saya mendapatkannya karena saya curiga dengan sikapnya karena akhir-akhir itu suami saya ternyata sering berbohong demi menemui wanita lain. Sayangnya, saya tidak punya bukti saat suami saya menemui wanita lain ketika saya tertidur dan pulang ketika dini hari.”Ruangan mendadak hening. Damian mengepalkan tangan di pangk
Keesokan paginya, Damian terbangun dan langsung mengedarkan pandangan. Butuh beberapa detik hingga ia menyadari bahwa sedang tak berada di apartemennya. Dia duduk di tepi ranjang sambil memijat kepala yang masih terasa berdenyut, padahal seingatnya, ia hanya minum sedikit tadi malam sekadar untuk mengusir stres karena masalahnya. Dia merasa gagal karena tak bisa mempertahankan keutuhan keluarganya. Klek!Pintu terbuka. Damian bisa melihat Gilang—sepupu sekaligus sahabatnya kini berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada. “Aku baru mau bangunin kamu, tapi baguslah kalau sudah bangun,” kata Gilang.Damian tidak menjawab. Dia menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Tiba-tiba ia bangkit dan berjalan ke arah dinding. Gilang yang tak tahu Damian akan melakukan apa, hanya diam, mengamati. Hingga ia dibuat tersentak ketika Damian tiba-tiba menabrakkan kepala ke tembok sambil berteriak histeris. “Astaga!
Setelah kasus perceraiannya dengan Damian Selesai, Inara akhirnya mulai bekerja pada perusahaan fashion yang baru diakuisisi oleh perusahaan keluarganya. Meskipun begitu, sebenarnya Inara juga masih sangat terpukul atas perceraiannya dengan Damian. Dia tak pernah menyangka waktu berjodohnya dengan Damian hanya sampai 6 tahun saja. Namun, ia tak bisa tinggal meratapi karena hidup terus berlanjut. Memikirkan Alma yang harus selalu sehat dan bahagia membuat Inara berusaha fokus menatap hidupnya yang baru, walaupun harus susah payah memendam luka hatinya. Mobil yang membawanya kini tiba di depan gedung kantornya. Sopir segera keluar dan membukakan pintu mobil untuknya.Begitu mobil kembali berlalu, Inara langsung dikejutkan oleh kedatangan seorang pria yang membawa buket bunga berisi mawar putih dan lily yang segar.“Kak Daffa?” Inara menyapa. Raut wajahnya sedikit bingung melihat Daffa sepagi ini sudah di sini.“Aku ke sini khusu
Damian baru bisa menghela napas lega ketika akhirnya berhasil menenangkan Vano dengan berjanji akan membelikan mainan baru. Dia tidak bisa berbohong, kalau menurutnya Vano terlalu rewel. Berbeda dengan Alma, yang selalu pasrah ketika ia berasalan sibuk dan tidak bisa ditemani bermain. Damian menggeleng karena lagi-lagi pikirannya harus mengantarnya pada Alma dan juga rasa bersalahnya yang semakin dalam. “Kalau begitu, Om harus pergi karena mau bekerja,” ucap Damian, bangkit dari duduknya. Vano hanya mengangguk pasrah, sementara Selena berdiri di dekat pintu, memperhatikan dengan tatapan sulit ditebak. Lebih pada tidak terima karena Damian terlalu sebentar di rumahnya, padahal ia sengaja cuti agar bisa bersama Damian lebih lama. Dia sengaja memanfaatkan kesempatan itu karena setahunya, Damian mungkin tidak bekerja setelah sidang cerai dengan Inara. Dia pasti butuh waktu memperbaiki suasana hatinya, tetapi kenyataannya di luar dugaan. Pria itu melangkah keluar tanpa menoleh
Mobil mewah itu melaju tenang membelah jalanan ibu kota menuju Kantor Pusat Genus Group. Di kursi penumpang, Rafiq dan Inara tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Rafiq—yang di antara saudara-saudaranya, memang paling dikenal gila bekerja. Saat ini, bahkan sedang sibuk berkerja melalui Ipad-nya. Berbeda dengan Inara yang hanya memainkan ponsel, membalas beberapa pesan masuk di sana. Tak berselang lama, Rafiq yang semula fokus bekerja tak sengaja melihat sang adik bertukar pesan dengan Daffa. Dia tahu, karena sedikit mengintip. “Tadi Daffa ke kantor, ya?” tanya Rafiq akhirnya. Inara mengangguk, menutup ponsel, lalu menyimpannya dalam tas. “Iya, dia datang cuma sebentar buat kasih ucapan selamat. Bawa bunga juga.” Sudut bibir Rafiq tertarik membentuk senyuman yang penuh arti. “Dipikir-pikir, dia itu juga sangat peduli sama kamu. Saat di rumah sakit kemarin, dia juga selalu datang menemanimu.” “Soalnya kami udah kenal dari lama, Kak.” Inara tak mau ambil pusing.
Damian kini duduk di sudut kafe, bersembunyi di balik buku yang dia bentangkan di depan wajahnya sejak tadi. Entah apa yang dia pikirkan sampai memutuskan mengikuti Inara hingga masuk ke kafe ini. Dia sesekali mengintip, mengamati Inara duduk di meja dekat jendela bersama pria itu, sesekali mereka saling tertawa bersama membuat Damian jealous. “Sok kegantengan banget jadi orang!” Dia menggerutu. Bola matanya berputar, menunjukkan kalau ia sedang kesal. “Ganteng juga tidak! Lebih ganteng aku ke mana-mana.” Mantan suami Inara itu memasang telinga baik-baik mendengarkan pembicaraan mereka. Ia mengangguk-angguk saat tahu mereka hanya membicarakan seputar perusahaan, desain, dan proyek terbaru. Sepertinya dia tahu banyak soal desain. Begitu yang Damian pikirkan. Paling tidak, ia merasa lega karena Inara dan teman pria itu hanya membicarakan pekerjaan, tidak ada hal lain. Soal perasaan, mungkin. Hanya saja, seiring berjalannya waktu, ekspresi mereka terlihat lebih santai dari se
Inara tersenyum bengis mendengar perkataan Damian yang menurutnya sangat tidak tahu diri itu. Luka yang pria itu torehkan masih menganga dan kini Damian tiba-tiba datang seolah-olah masih punya hak untuk Inara? Wanita itu menggeleng tak percaya, amarahnya sudah akan meledak, tetapi ia menahan diri. “Harus bisa” Suara Inara penuh penekanan. “Kamu harus ingat kalau kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, Mas. Tidak seharusnya kamu ada di sini dan mengomentari hal yang bukan urusanmu.” Deg! Damian tersentak, kata-kata Inara bagaikan palu godam yang menghantam ulu hatinya. Tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kalimat itu sangat menyakitkan bagi Damian. Damian menelan ludah, merasakan tenggorokannya mengering. Matanya mulai memanas, begitu dadanya yang terasa sangat sesak. Ia masih tak bisa menerima kenyataan itu. Tiba-tiba, tangannya terulur menggenggam tangan Inara. Perlahan berlutut, memasang wajah penuh rasa bersalah. “Ra … Aku sungguh-sungguh minta maaf atas semua ya
Damian berusaha fokus bekerja, meski saat ini pikirannya sedikit kacau setelah pertemuannya dengan Inara kemarin. Kata-kata mantan istrinya itu cukup membekas di kepala dan menusuk hingga ke dasar hatinya.Dia bolak-balik membaca laporan saat terdengar pintu ruangannya diketuk sebelum akhirnya terbuka. Sekretarisnya masuk dengan ekspresi serius. Namun, Damian tak begitu peduli. Hanya menatap Andrew sekilas, lantas kembali fokus bekerja. “Pak, kita ada masalah.” Andrew berkata tanpa basa-basi.Damian mengerutkan kening, tetap fokus pada lembaran kertas di hadapannya seakan-akan menganggap perkataan Andrew hanya perkata biasa saja. “Masalah apa?”“Mahacitra mengganti pemasok tekstil untuk proyek terbaru mereka. Artinya, mereka tidak lagi memakai bahan dari perusahaan kita.”Damian sontak mengangkat wajah. “Apa?!” pekiknya nyaris tak percaya dengan apa yang didengar. “Iya, Pak. Mereka beralih ke Gemilang Textile sebagai pemasok ut
Suasana di dalam mobil itu cukup sunyi. Rafa duduk tenang sambil melipat tangan di dada. Damian fokus menyetir, sesekali melihat ke arah Inara dan Alma yang berada di jok tengah. Inara terus menatap ke kuar jendela, wajahnya tampak muram, seakan tak suka berada di situasi ini.Tiba-tiba, suara kecil Alma memecah keheningan.“Bunda ...,” panggilnya seraya menyentuh lengan Inara membuat wanita itu sontak menoleh.“Iya, Sayang. Kenapa?” Inara bertanya lembut.“Kalau Papa udah enggak bikin salah lagi, Bunda mau tidak, maafin Papa?”Inara sedikit terkejut mendengar pertanyaan polos putrinya. Ia menelan ludah, seolah mencari jawaban yang tepat.Sementara itu, Damian melirik mereka dari spion tengah sambil tersenyum kecil, menunggu jawaban dari mantan istrinya tersebut.“Kenapa Alma tiba-tiba bertanya seperti itu?” Inara mengangkat alis. Dalam hati, rada kesal pada Damian. Pasti pria itu sudah mengatakan hal
Hari ini, Alma sudah siap pulang, tetapi Inara masih menemui dokter untuk membahas kondisi terakhirnya.Sementara itu, Damian tetap di ruang rawat, menemani putrinya yang tengah duduk di ranjang dengan wajah berbinar, penuh semangat.“Papa ... Papa ikut Alma dan Bunda pulang ke rumah Oma, kan?” tanya Alma tiba-tiba, menatap sang papa penuh harap.Damian terdiam sejenak. Ada jeda singkat sebelum akhirnya dia menggeleng pelan. “Papa tidak bisa ikut pulang ke sana, Sayang.”Alma mengernyit, penasaran. “Terus Papa bobo di mana?”“Papa bobo di apartemen, Sayang.” Damian tersenyum, berusaha terlihat baik-baik saja di depan putrinya. “Nanti kapan-kapan kalau Alma mau, bisa bobo di apartemen Papa.”Namun, bukannya senang, wajah Alma malah berubah cemberut. Bocah perempuan itu menyilangkan tangan di dada. “Kenapa Papa tidak ikut pulang aja? Papa bertengkar sama Bunda, ya?”Damian menghela napas, menatap mata putrinya lekat. Dia t
“Apa yang kamu katakan, Inara?” Damian bertanya sambil menatap dalam ke arah wanita itu. Ada kepedihan di matanya, seolah tuduhan Inara telah melukai sesuatu dalam dirinya.“Mana mungkin aku melakukannya?” Suaranya bergetar kini.Namun, bukannya langsung percaya, Inara justru tersenyum miris, menatap Damian masih penuh dengan rasa curiga. Pria itu, terlalu banyak membohonginya semenjak Selena hadir dalam hidup mereka. “Mengapa tidak? Bukankah kamu selalu ada untuk Selena?” Suara Inara cukup dingin, menusuk hingga ke dasar hati Damian. “Bahkan, dulu ketika aku dan Selena membutuhkanmu di saat bersamaan, kamu lebih memilih membantu dia lebih dulu, dibanding aku sebagai istrimu. Jadi, bukan tidak mungkin, kamu juga membantunya kabur karena kasihan padanya.”Damian terkesiap. Kata-kata Inara makin membuatnya sesak dan merasa bersalah. Tak bisa mengelak, karena ia memang selalu tak bisa menolak membantu Selena. Namun, itu dulu. Bukan sekarang.Sebuah gelengan diberikan Damian, tidak perca
Inara menelan ludah, tangannya refleks menggenggam erat selimut Alma. “Kok bisa?” tanyanya dengan suara bergetar, nyaris berbisik. “Dia melarikan diri lewat pintu belakang rumahnya bersama putranya. Polisi sempat mengejar, tapi kehilangan jejak,” jawab Rafa dengan nada serius. “Sampai sekarang, polisi masih terus mencarinya.” Inara menggigit bibir bawahnya sambil menggeleng pelan. Selena benar-benar licik! “Aku cuma mau bilang, Kakak jaga diri dan jaga Alma baik-baik,” lanjut Rafa, suaranya terdengar makin tegas. “Takutnya Selena tidak akan tinggal diam setelah ini. Dia mungkin akan mencari celah untuk kembali mengusik Kakak ... atau bahkan Alma.” Kepalan tangan Inara kian erat. Hidupnya sudah cukup kacau karena Selena. Rumah tangganya porak-poranda, dan lebih dari itu, putrinya kini mengalami penyakit serius karena perbuatan Selena. Setelah sambungan telepon dengan Rafa berakhir, Inara menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin Selena bisa lolos b
Damian mengeratkan rahang. Terlintas di benaknya, bayangan rumah yang penuh kenangan itu kini tinggal puing-puing. Juga bagaimana putrinya berjuang di kolam yang hampir merenggut nyawanya, di mana insiden itu ada campur tangan Selena.“Kami menyerahkan semuanya kepada pihak berwenang dan percaya pada proses hukum yang berlaku.”Setelah mengucapkan itu, Damian melangkah masuk ke gedung PrimaTex, meninggalkan para wartawan yang masih terus melemparkan pertanyaan. Keamanan segera bergerak cepat untuk menutup akses, memastikan tidak ada yang mencoba masuk.Begitu berada di dalam lift, Damian menarik napas panjang. Masalah Selena ternyata berdampak luas. Namun, ia tidak akan membiarkan hal itu menghancurkan reputasi perusahaannya.Lebih dari itu, ia tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi niatnya untuk mendapatkan kembali keluarganya.Di tempat lain, tepatnya di rumah Selena yang mendadak terasa pengap, wanita itu mondar-mandir g
“Aku tidak bisa,” jawab Damian akhirnya. Tidak mau diperdaya lagi oleh Selena. Sudah cukup rumah tangganya hancur gara-gara wanita yang seharusnya tidak pernah muncul lagi dalam kehidupannya itu.“Tapi, Mas! Aku punya anak! Vano butuh aku! Kalau aku dibawa polisi, bagaimana dengannya? Kamu tidak lupa, kan, kalau di sini aku tidak punya siapa-siapa?”Damian terdiam. Tidak melupakan hal itu. Selena selalu menggunakan kalimat itu sebagai senjata agar ia padanya. Sekilas, Damian juga mengingat bocah kecil yang selama ini dikasihani karena harus tumbuh tanpa sosok ayah.Damian peduli pada Vano dengan maksud agar bocah itu merasakan kasih sayang ayah meskipun bukan dari ayah kandung, tetapi seketika ingatannya juga tertuju pada Alma.Putrinya itu harus kehilangan kasih sayang ayah karena Damian tanpa sadar mengabaikan peran sebagai ayah untuk putri kandungnya, demi rasa kasihannya pada Selena dan Vano. Inara sering kali mengingatkan, tetapi ia
Damian berdiri mematung di ambang pintu, menatap Inara berdiri di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Meski demikian, Damian tetap menunggu wanita itu melanjutkan kalimatnya.Helaan napas Inara terdengar selang beberapa saat, wanita dengan tahi lalat di pipi kanan itu tersenyum sebelum akhirnya berkata, “Sebenarnya, ini tidak pantas kukatakan, mengingat hubungan kita sudah berakhir.”Mendengarnya, Damian seketika menahan napas. Kata-kata itu terdengar sederhana, tetapi menamparnya, cukup untuk menyakitinya lebih dari yang ia bayangkan.“Tapi, aku hanya ingin kamu tau satu hal.” Inara menatap Damian dalam-dalam. “Selena ingin kembali padamu. Dia pernah mengatakan padaku bahwa cepat atau lambat, dia akan merebutmu dariku. Dia juga bilang kalau kalian masih punya rasa satu sama lain makanya kamu tidak bisa mengabaikannya setiap kali ia meminta bantuan.”Damian membeku. Napasnya tercekat, bahkan untuk menelan ludahnya saja, ia cukup kesusa
Inara melangkah masuk ke ruang rawat putrinya dengan kedua tangan penuh kantong berisi sarapan dan beberapa jajanan kecil pagi itu.Akan tetapi, langkahnya begitu saja terhenti ketika pandangannya tertuju ke ranjang Alma. Bukan ibunya yang ada di sana seperti saat ia pamit keluar tadi, melainkan Damian. Pria itu benar-benar datang pagi-pagi sekali, duduk di tepi ranjang, dan tampak berbicara seru dengan Alma sambil menunjukkan sesuatu di ponselnya.Pandangan Inara menyapu pada sofa yang tak jauh dari ranjang, sebuah boneka beruang besar tergeletak di tempat tidur, betul-betul sesuai dengan permintaan Alma, bahkan sama persis dengan boneka lamanya.Senyum tipis muncul di wajah Inara. Dadanya langsung menghangat melihat Damian benar-benar memenuhi janji kali ini. Walaupun, sebenarnya Inara sudah tidak ingin berharap banyak, tetapi setidaknya, Damian tak membuat putri mereka kecewa kalo ini.Berjalan mendekat, Inara meletakkan bar
Selena mengerjap pelan, wajahnya tampak lugu, seolah-olah tak mengerti arah pembicaraan Damian.“Ma—maksudmu apa, Mas? Apa yang kulakukan?” Nada suara wanita itu terdengar bergetar, tetapi ia tetap berusaha terlihat seakan-akan tak ada sesuatu yang terjadi.Damian tertawa sinis, sorot tajam tatapannya terlihat penuh dengan kekecewaan. Sekarang, ia baru menyadari sepenuhnya, betapa banyak kebohongan yang telah ia telan mentah-mentah dari wanita yang ia kira betul-betul membutuhkan bantuannya selama ini.“Jangan pura-pura bodoh, Selena!” bentak Damian. Telunjuknya langsung teracung tajam pada Selena. Menggertakkan rahang, menahan amarah yang sudah meluap-luap di dadanya. “Kamu sengaja menyuruh Vano mendorong Alma ke kolam tadi?”Raut wajah Selena seketika berubah, nyaris terlihat seperti orang panik. Namun, dalam hitungan detik, ekspresinya langsung berubah, memelas.“Mas, kamu bicara apa?” Selena tertawa kecil. Tawa yang mencoba