Masyaallah tabarakallah, terima kasih sudah singgah di novel Piemar yang baru. Semoga menikmati alur ceritanya. Pun, terima kasih atas support kalian untuk novel ini.
Setiap fajar menyingsing, Embun sudah bangun menyambut pagi dengan penuh syukur. Ia begitu bersemangat setiap kali akan pergi melihat putranya. Namun kali ini ia terlihat waspada mengingat Mita ternyata menghabiskan waktu di rumah lebih lama tak seperti biasanya. Hari itu ia akan mulai memakai cadar kendati ia merasa berat hati sebab seharusnya memakai cadar itu berasal dari hati bukan untuk bersandiwara. Namun ia terpaksa melakukannya demi anaknya. Semalam Gilang mengantarkannya beberapa pakaian yang indah dan berharga mahal sesuai perintah Danar. Embun tersenyum tipis saat melihat di antara tumpukan pakaian itu ada secarik surat yang ditulis langsung oleh Gilang.‘Dear, calon ibu dari bayi anak-anakku, semoga suka dengan pilihanku,’Seketika Embun tersenyum tipis sembari menggelengkan kepalanya pelan. Gerak-geriknya membuat Linda yang baru saja masuk ke dalam kamar itu penasaran.“Mbak Embun sedang lihat apa? Kok senyum-senyum deh,” Linda memanjangkan lehernya demi mengintip kerta
“Tidak semudah itu, J*lang!” Mita yang tengah dikuasai amarah dan kesal semakin mempererat cekalan tangannya pada leher Embun. Embun tidak tinggal diam. Ia berusaha menepis cekalan tangan wanita bermanik hitam bagai malam itu.Nafas Embun pendek-pendek. Namun Mita sama sekali tidak memiliki rasa simpati. Rasa cemburu telah mengendalikan dirinya–menghilangkan setengah kewarasannya.Namun Embun tidak ingin menyerah. Dalam bayangannya ada Sagara yang tengah tersenyum dan berceloteh tak jelas. Ia harus bertahan demi putra semata wayangnya.Dengan sisa kekuatannya, Embun meraih benda apapun yang ada di sampingnya. Satu tangannya akhirnya bisa menggapai parfum yang berada di atas meja rias. Ia pun menyemprotkan parfum itu ke segala arah, terutama pada wajah Mita hingga mengenai matanya.“Oh shit! Dasar Lont*!” umpat Mita dengan kesal.Sontak, karena matanya terasa perih, ia pun melepas ke dua tangannya dan berusaha mengucek matanya. Sementara itu Embun langsung buru-buru berlari menuju pint
Mita meluangkan waktu datang ke kantor suaminya. Ia berjalan dengan wajah dingin. Bahkan ia tidak membalas sapaan para karyawan yang bekerja di sana. Wanita bertubuh jangkung itu tampak bengis dan galak. Beberapa orang karyawan terlihat bergidik ngeri melihat sosok istri Bos mereka yang tak biasanya tampak anggun.Blam!Suara pintu terbuka dengan begitu kerasnya. Beberapa orang yang berada di dalam ruangan CEO sampai terperanjat melihat kedatangan wanita cantik yang terlihat masam.Tatapan Danar bergulir dari layar laptop tertuju pada istrinya. Padahal mereka sedang melaksanakan meeting internal dengan karyawan. Pria dingin itu hanya mendesah pelan melihat kedatangan istrinya. Beruntung meeting baru saja selesai. “Baiklah, meeting selesai. Terima kasih.”Danar menerima laporan notulen dari sekretarisnya. Kemudian ia mengangkat tangannya—memberikan isyarat kepada bawahannya agar keluar dari ruangannya.Danar langsung menyematkan senyuman tipis pada istrinya. “S-Sayang tumben datang
Embun bahkan tak berani mengangkat kepalanya. Ia menunduk dalam, berusaha menyimak perkataan mantan suaminya. Sungguh ia merasa sudah seperti terdakwa yang hendak diadili. Aura sepasang suami istri itu kentara terasa gelap. Ia sudah mempersiapkan diri untuk diadili. Ia siap menerima muntahan amarah dari Danar—yang mungkin marah karena keberadaannya diketahui oleh Mita, padahal ia sudah menyuruhnya mengenakan cadar agar bisa menutupi wajahnya.Pun, Embun sudah siap menghadapi Mita untuk ke dua kalinya. Mungkin, ia akan dipecat dan diusir dari sana. Harapan untuk merawat putra kesayangannya pupus sudah pada akhirnya. Membayangkan semua hal itu terjadi, dada Embun terasa sesak sekali. Ia merasa frustrasi.Suara Danar mengalihkan pikiran Embun yang malang. “Baiklah, Sayang, maafkan Mas yang telah membuatmu salah paham.”Danar membuka suara. Ia memandang istrinya dengan tatapan sayang dan berbicara padanya dengan lembut. Embun hanya menelan salivanya yang mendadak terasa pahit sesaat men
“Dengar! Aku tak sudi menyentuhmu! Aku hanya tak ingin Sagara kelaparan jika ibu susunya sakit! Paham?” ucap Danar dengan nada dingin. Ia selalu pandai mempertahankan raut wajahnya agar terlihat datar. Ia menutupi rasa simpatinya pada wanita cantik di depannya.Kembali, hati Embun tertohok mendengar perkataan pedas mantan suaminya. Memang ia ingin disentuh oleh pria itu? Jawabannya big no! Mereka tidak memiliki hubungan apapun lagi. Embun sudah menduga jawaban yang keluar dari bibirnya.Embun kembali ke kamarnya dengan perasaan pedih. Kata-kata Danar bagaikan ribuan jarum yang menusuk dadanya. Di balik pintu kamar itu, wanita satu anak itu menumpahkan segala kesedihan. Ia menangis dengan lirih. Saat ini ia tengah terluka dan merasa sendirian. Ia merasa terjebak dalam pusaran yang ia ciptakan.“Allah, ini pilihanku. Aku harus bertahan demi Sagara,” gumam Embun dengan menahan sesak di dada. Ia meremat jilbabnya dengan begitu kuat. Ia pun menangis hingga ketiduran di balik pintu. Ia terb
“Bagaimana Mbak?”Embun tergesa-gesa menghampiri Mbak Nuri yang baru saja pulang. Sebuah kesempatan bagi Embun untuk meminta tolong padanya. Ia menitip perhiasan miliknya untuk dijual ke toko perhiasan sebab ia memang tidak bisa keluar rumah. Sore itu kebetulan Mbak Nuri dan Bu Neli pergi keluar untuk belanja kebutuhan bulanan.“Sabar loh, Neng. Mbak baru tiba,” jawab Mbak Nuri sembari membawa barang-barang belanjaan yang begitu banyak. Art lain juga ada yang ikut membantu. Embun pun tersenyum padanya lalu membantunya, membawakan sebagian barang bawaannya.“Maaf, aku tak sabar. Soalnya Aku pengen tahu berapa harga perhiasanku setelah dijual,” ucap Embun dengan antusias. Matanya berbinar-binar penuh harap. Ia yakin perhiasan miliknya berharga lumayan dan bisa membantu membayar hutang ayahnya.Mbak Nuri seketika terdiam kemudian menatap Embun dengan tatapan penuh telisik. “Kita bicara di dalam,” ucap Mbak Nuri membuat Embun mengerutkan keningnya heran. Namun ia hanya mengangguk.Tak lam
Di dalam sebuah kamar mewah bernuansa warna abu-abu dan hitam, seorang pemuda tengah tidur sembari mengigau. Keringat dingin sudah membasahi sekujur tubuhnya. Ia meracau dalam tidurnya.“Pasha, bangun!” Seorang wanita dewasa berusaha membangunkan pemuda itu dengan lembut seraya mengusap kepalanya. Namun seketika ia terperanjat saat menyentuh kulit wajahnya yang terasa panas. “Kau demam, Honey!”“Mami,” seru pemuda itu seraya memegang tangan ibunya dengan erat. Ia tampak mengalami mimpi buruk—yang seringkali muncul. Nafasnya terengah-engah dan matanya berkaca-kaca.“Kenapa Nak?”Sang ibu membantu putranya untuk bangun dan bersandar pada headboard ranjang. Kemudian satu tangannya mengambil air minum. “Minumlah!” Pemuda tampan itu lantas menerima segelas air putih dari ibunya. Ia meneguknya perlahan.“Tenanglah, Nak! Kau hanya bermimpi,” ucap sang ibu kemudian menaruh gelas itu kembali di atas nakas.“Mami, aku bermimpi lagi,” ucapnya dengan suara serak. “Aku pikir dia masih hidup Mam.
Pagi buta, suasana terasa hening. Para penghuni rumah masih terlelap dalam tidur mereka. Kecuali sepasang suami istri yang sudah bangun sejak dini hari. Mereka tampak bersitegang membahas sesuatu.“Sayang, aku cuma seminggu kok di Paris. Lagipula kita ‘kan bisa video call.”Mita menggelayut tangan suaminya dengan begitu mesra. Saat ini ia tengah memelas—meminta ijin pada suaminya akan pergi ke Boulevard Haussmann di Paris. Sebuah pusat butik desainer dan toko pakaian mewah di Pasir. Ia akan jalan-jalan bersama teman sosialitanya sekalian shopping.Tentu saja, Danar keberatan. Dari dulu ia memang tipikal suami yang tidak suka melihat istrinya keluyuran. Bukan karena berpikiran kolot. Dulu ia selalu memberikan ijin Mita bepergian karena urusan pekerjaan maupun hangout bersama teman-temannya.Kondisinya saat ini berbeda. Ia keberatan membiarkan istrinya bepergian jauh dan meninggalkan putra mereka. Seharusnya Mita lebih banyak meluangkan waktu dengan anak mereka. Mita lupa dengan janjin
Malam itu langit tampak gulita tanpa gemintang yang menghiasnya. Ditambah gemerosok angin menyapu dahan-dahan pohon hingga membuatnya bergoyang dan seperti sosok monster yang menakutkan. Namun pemandangan yang sedikit anker itu sama sekali tidak mengurungkan niat seorang gadis cantik untuk berjalan di jalan setapak. Gadis cantik dengan tas ransel yang tercangklong di punggungnya tampak berjalan cepat untuk mencari kendaraan yang akan membawanya keluar kota. Ia merasa sudah tidak aman jika ia kembali ke ibukota atau berada tinggal bersama ke dua orang tuanya di Bandung. Untuk sementara waktu ia akan pergi keluar kota.Peluh sudah membanjiri tubuhnya. Sungguh, ia merasa letih. Namun ia harus segera pergi demi keselamatannya. Gadis itu duduk di halte bus yang sepi. Hanya ada empat orang yang tengah duduk di sana, menunggu bus datang.Drt, drt, drt, Suara ponsel yang gemetar menginterupsi lamunannya. Gadis itu segera mengangkatnya namun sebelumnya ia mencari tempat sepi. Ia tidak mau per
Akhirnya, the Great Duke bisa menyelamatkan gadis bermata biru dan membawanya ke penthouse milik Manggala. Dengan sebuah asumsi dan pertimbangan jika penthouse itu adalah tempat yang paling aman untuk gadis itu tinggal sementara. Manggala sempat skeptis tak bisa melarikan diri dari rumah mafia itu. Namun ia berhasil selamat setelah baku hantam dengannya. Mafia itu tidak sekuat dan sesangar penampilannya. Dari gerakannya, ia terlihat sedang sakit.Namun, saat mereka pulang ke penthouse, ibunya Manggala ternyata tidak berada di sana. Manggala baru saja membaca pesan dari ibunya jika ibunya baru saja dijemput oleh sepupunya—Nadira. Padahal ia akan meminta ijin dan bantuan pada ibunya untuk melindungi gadis itu.Kini ke empat pemuda itu berkumpul di ruang tamu dan mulai menginterogasi gadis bermata biru itu. Gadis lugu itu pun menceritakan secara singkat mengapa ia bisa tertangkap oleh pria berwajah sangar tadi.“Jadi kau dijebak oleh siapa tadi? Teman barumu?”Beryl langsung berkomentar
“Maaf, ada kepentingan apa?” Seorang security bertubuh tinggi besar menghadang jalan Pasha yang tiba-tiba saja datang menghampirinya. Pasha melakukan penyamaran sebagai seorang tukang service AC. Ini semua ide Manggala. Mudah baginya untuk mengetahui siapa saja tamu yang datang ke sana. Sebetulnya security itu sudah tahu siapa saja tamu yang datang. Hanya saja, ia selalu waspada, mengkonfirmasi terlebih dahulu siapa saja tamu yang datang ke sana. Apalagi bosnya seorang yang keji dan tak segan memecat pekerjanya yang tidak mematuhi semua aturannya.Pasha pun menjawab dengan lugas. “Saya tukang service AC langganan rumah ini, Pak. Lihatlah ini kartu nama saya.”Pasha pun memperlihatkan sebuah kartu nama si empunya tukang service.Pucuk dicinta ulam pun tiba, sebuah keberuntungan memihak mereka. Kebetulan, di jalan perumahan mewah itu, ada sebuah mobil khusus bertuliskan service AC. Perumahan mewah itu menyediakan berbagai jenis jasa pemeliharaan rumah termasuk fasilitas demi kenyamanan
“Cepat kau katakan! Di mana gadis itu? Aku sudah membayarnya mahal! Mengapa kamu yang datang?”Pria dengan luka sayat di wajahnya itu memojokan gadis bermata biru ke dinding. Ke dua tangan kekarnya kembali menekan leher gadis itu hingga gadis itu tampak syok. Ia takut jika pria itu akan benar-benar mengakhiri hidupnya hari itu.Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan berderai air mata. Kesialan tengah menyambangi dirinya. “A-aku tidak tahu, Om. Aku tiba-tiba saja berada di kamar itu. Aku tidak ingat apapun lagi. Sungguh, bebaskan aku Om!” jawab gadis itu suara yang terbata-bata. Seingatnya, ia bekerja di sebuah hotel sebagai seorang housekeeper. Saat itu ia kehausan dan minum air berasal dari dalam tumbler miliknya. Namun setelahnya ia merasa pusing dan tingkahnya mulai aneh. Ia menjadi lebih berani dan terkesan tidak tahu malu. Sekonyong-konyong ia sudah berada di dalam kamar mewah hotel.“No! Kau harus bawa gadis itu! Aku cuma pengen dia!” ucap pria itu bernada dingin.
Suasana cafe bergaya retro itu tampak mencekam semenjak kedatangan beberapa orang pria berpakaian serba hitam. Seorang pria yang diduga sebagai ketuanya terlihat paling menonjol di antara yang lain. Wajahnya bukan wajah orang Melayu. Akan tetapi wajahnya mirip blasteran Amerika tengah. Fitur wajahnya tampan namun ada luka sayat melintang di pipinya hingga sekilas tampak menyeramkan bagi siapapun yang melihatnya. Apalagi ditambah bentuk matanya bagaikan mata elang yang tajam.Pria berwajah hispanik itu langsung mendelik ke arah sumber suara—yang tak lain suara Manggala. Ia tidak suka siapapun menginterupsi apa yang dilakukannya.“Siapa kau? Lancang sekali kau ikut campur urusanku!”Sekali hentakan pria itu mendorong gadis muda itu hingga terjatuh ke lantai. Gadis muda itu terlihat kehabisan pasokan oksigen yang membuatnya beberapa kali terbatuk-batuk. Wajahnya yang bersih tampak merah dengan mata yang sayu. Hanya dalam sekali tatapan, Manggala sudah bisa menarik kesimpulan jika gadis i
Di sebuah kafe kopi, tempat nongkrong anak muda, empat pemuda tampan tengah duduk melingkari meja berbentuk bundar. Mereka menghabiskan waktu sore mereka dengan ngopi di kafe di mana ada live music yang disuguhkan di sana.Manggala menyesap kopi Long Black Americano dengan begitu nikmat. Harum aroma kopi dengan rasa yang pahit dan agak sedikit asam memberikan sensasi tersendiri baginya sebagai penikmat kopi. Satu teguk tidaklah cukup. Ia pun mengulanginya hingga tiga kali.Barulah pemuda tampan itu menaruh cangkir kopi itu ke atas meja. Ia pun mulai berkisah pada anggota the Great Duke. Pertama kalinya, secara resmi ia menceritakan isi kepalanya pada sahabatnya. Ia mengatakan pada mereka, jika ia serius menyukai Embun.Ke tiga sahabatnya tidak terlalu terkejut mendengar ungkapan perasaan hatinya pada Embun. Mereka sudah tahu hanya dari melihat bahasa tubuhnya. Beryl pun mulai berkomentar setelah mendengar ungkapan isi hati Manggala.“Kau harus segera menembaknya! Kalau bisa sebelum Emb
Danar menjadi merasa bersalah. Ia bingung harus menjelaskan soal cincin itu. Ia memang sudah lama membeli cincin berlian itu. Sebelumnya ia menaruh cincin berbatu safir itu di dalam ruang kerjanya di rumah. Namun karena merasa tidak aman, ia berniat akan menyimpan cincin itu di ruang kantornya. Sayang, ia malah lupa menaruhnya di dalam laci kamar mereka. Padahal ia menaruhnya di bagian terdalam laci tersebut. Bahkan ia memang melupakan cincin itu.Bagaimana lagi, sebaik atau serapi apapun orang menyembunyikan bau maka akan ketahuan juga. Cincin itu dibeli untuk Embun. Ia ingin memberikan hadiah untuknya.“Mita, saya bisa jelaskan,” imbuh Danar menatap Mita yang memunggunginya. Wanita itu menangis sesenggukan. Hatinya terasa pedih ketika melihat dengan kepala sendiri, suaminya masih mengharapkan mantan istri sirinya. Padahal, Mita sedang berjuang untuk mempertahankan rumah tangganya meskipun dengan hati yang berdarah-darah.“Cukup, Mas!” tukas Mita yang terdengar lirih dan menyerah. Wan
“Bagaimana tadi lesnya?”Ana bertanya pada putrinya yang terlihat ceria setelah belajar bahasa Inggris, meskipun Embun sempat kesal karena tutor bahasa Inggris yang dijanjikan oleh Pasha membatalkan pertemuannya.Embun duduk dan menaruh tas yang dijinjingnya di atas kursi di mana ia duduki. Kemudian ia pun merespon pertanyaan ibunya dengan seutas senyum tipis. Tatapan matanya berbinar terang saat mengingat beberapa menit yang lalu, ketika ia belajar bahasa Inggris bersama Manggala. Di luar dugaan, rupanya Manggala bisa menjelma menjadi sosok guru yang hebat. Ia mengajarinya dengan sangat baik. Yang terpenting, Embun bisa memahami penjelasannya. Baru satu jam tiga puluh menit, namun Embun sudah bisa menguasai conversation dasar. Manggala memforsir dirinya untuk terbiasa bicara dalam bahasa Inggris saat pertemuan. Embun pun mengikuti nasehatnya dan ternyata ia bisa berhasil bicara bahasa Inggris meskipun masih terbata-bata.Padahal niat hati, ia ingin menghindari sosok Manggala karena p
Pada suatu hari minggu yang cerah, Embun sudah tampil cantik dan prima. Ia sudah bersiap-siap akan mulai belajar bahasa Inggris secara private di rumah. Sang kakak sudah mendapatkan seorang tutor bahasa untuknya. Sebelumnya, Ana sudah mencarikan tutor bahasa Inggris langsung ke berbagai lembaga kursus. Kebetulan lembaga kursus itu tidak memiliki tutor dengan jadwal yang kosong. Oleh karena itu ia menyerahkan tugas itu pada Pasha. Sesungguhnya, seluruh keluarga Basalamah pandai dalam berbahasa asing baik bahasa Inggris maupun bahasa Arab. Namun karena semua orang sibuk maka tidak memungkinkan salah satu dari mereka mengajari Embun.“Wah, wah, anak Mami sudah cantik. Semangat sekali mau belajar,” puji Ana—yang sedang menggendong Sagara. Sagara tampak sedang memilin rambut neneknya yang terurai sembari terkekeh geli. Akhir pekan itu, Ana memilih mengasuh cucunya di rumah. Sebuah hobi baru di mana ia bisa mengajak main Sagara. Bukan shopping atau pergi ke spa bersama teman sosialita.U