Happy reading🤍
Sulis datang diikuti oleh ke dua anak kembar identiknya, Beryl dan Alby. “Kenapa gak nunggu Omnya sih? Omnya juga pengen ngasih nama,” imbuh Beryl sembari menggamit tangan mungil istrinya.“Bayinya kembar identik juga ya,” Laila berkomentar dengan tersenyum manis menatap Rosa.Rosa menangguk. “Mereka kembar identik. Tapi … yang satu ada tanda lahir di dadanya. Yang satu enggak,”“Nah, ada juga bedanya,” gumam Ana hampir kebingungan. Dulu ia juga tidak bisa membedakan mana Alby atau Beryl.“Kalau masih bayi agak sulit emang. Kecuali udah gede,” tukas Sulis memandang ke dua putranya bergantian dengan mata yang memicing penuh arti.“Apa Mi?” Baik Beryl maupun Alby mendengus pelan.“Kalau udah gede, sikapnya kan beda. Jadi gak bakalan bingung,” imbuh Laila berkomentar. Pasha seketika terkekeh pelan. “Laila, sikap Beryl masih nyebelin gak udah nikah? Dia kan rada-rada sin—”“Sa, kenapa kamu jadi kasar begitu?” tegur dr Zain mengerutkan keningnya. “Tanya aja sama istri gue.”Beryl menja
Ruang tamu keluarga Basalamah terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun AC yang menyala hanya pada suhu normal. Ana duduk dengan punggung tegak, matanya tajam menatap Dasha, sepupunya yang kini datang dengan ekspresi penuh kemarahan.Dasha membanting tasnya ke meja, membuat cangkir teh yang disiapkan Jeena sedikit bergetar. “Kamu pikir kamu siapa, Ana? Berani-beraninya mempermainkan putriku begitu saja!” suaranya menggema di ruangan.Ana tetap tenang, meskipun kedua tangannya saling bertaut di pangkuannya. “Aku tidak mempermainkan siapa pun, Dasha,” jawabnya dingin. “Pasha sendiri yang memutuskan ini. Dia tidak bisa menikahi Selina.”Dasha mencibir, matanya menyipit. “Oh, begitu? Jadi menurutmu, ini semua keputusan Pasha sendiri? Bukan karena kamu dan keluargamu yang ikut campur?”Ana menghela napas panjang. Ia tahu ini akan terjadi. “Dasha,” katanya dengan nada yang lebih terkendali, “Pasha adalah pria dewasa. Dia membuat kesalahan, dan dia memilih untuk bertanggung jawab.”Dasha te
Malam itu, restoran mewah di ibu kota dihiasi lampu gantung kristal yang berkilauan, memberikan suasana romantis yang sempurna. Alby menatap Nadia dengan mata berbinar, tangannya sedikit gemetar saat akhirnya ia berhasil mengungkapkan perasaannya.“Nadia… aku mencintaimu,” katanya dengan suara lembut namun penuh ketegasan. Akhirnya waktu yang telah lama dinantikan tiba. Alby bisa mengungkapkan perasaannya pada Nadia. Nadia terdiam sesaat, lalu tersenyum manis. Pipinya merona. “Alby… aku juga menyukaimu.”Jawaban itu membuat hati Alby melompat girang. Ia nyaris lupa dengan semua kegugupan yang tadi melandanya. Akhirnya cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.“Jadi … maukah kau menjadi kekasihku?” tanya Alby menatap Nadia dengan penuh haru.Nadia mengangguk mantap dengan wajah yang merona seperti kepiting rebus.Di tengah kebahagiaan sebagai sepasang kekasih baru, mereka pun melanjutkan makan malam romantis dengan obrolan ringan dan tawa bahagia.Namun, ketika Alby menoleh sekilas ke si
Keesokan harinya Levina melangkah keluar dari taksi dengan tenang, meskipun hari ini cukup melelahkan. Ia menarik napas dalam sebelum masuk ke rumah Jeena. Hari liburnya sudah berakhir, dan besok ia akan kembali ke Manhattan bersama Jeena.Namun, baru saja ia membuka pintu, suara riang langsung menyambutnya.“Nah, akhirnya pulang juga! Gimana kencannya?”Levina menghentikan langkahnya dan menatap Alby yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu. Pemuda itu memasang ekspresi penuh selidik, bibirnya menyunggingkan senyum iseng. Mengapa pemuda itu ada di sana?Sial, Levina lupa jika Jeena sepupu Alby.“Aku tidak sedang kencan,” jawab Levina datar, lalu berjalan melewatinya.Alby bangkit dari sofa dan mengikuti Levina dengan tangan bersedekap. “Oh, ayolah. Semalam kau pergi dengan cowok. Mana pake dress lagi ehemm… lebih anggun dari biasanya. Jadi, siapa pria beruntung itu?” godanya.Entahlah, Alby merasa senang saja melihat Levina lalu menggodanya.Levina menoleh sekilas, ekspresinya teta
Pagi itu, Dasha terbangun dengan perasaan gelisah. Sejak tadi malam, ia tidak melihat Selina di rumah. Awalnya, ia mengira putrinya hanya pergi keluar sebentar, mungkin untuk mencari udara segar atau bertemu teman. Namun, saat ponselnya terus berdering tanpa jawaban, rasa cemas mulai merayapi dirinya.“Selina, di mana kau?” gumam Dasha sambil terus mencoba menghubungi putrinya.Pelayan rumahnya, Nina, datang dengan wajah khawatir. “Nyonya, kamar Nona Selina kosong. Sepertinya ia tidak pulang sejak tadi malam.”Jantung Dasha berdegup kencang. Dengan cepat, ia menghubungi beberapa orang yang mungkin mengetahui keberadaan Selina. Ia menelepon temannya, sahabat-sahabat Selina, bahkan sopir pribadinya—tetapi tidak ada seorang pun yang tahu di mana putrinya.Siang harinya, rasa panik benar-benar menguasai Dasha. Ia akhirnya pergi ke kantor polisi untuk melaporkan kehilangan Selina.“Apa ada tanda-tanda mencurigakan sebelum Nona Selina menghilang?” tanya salah satu petugas polisi.Dasha mengg
“Ups!” suara Jeena terdengar dari ambang pintu. “Astagfirullah, Sa! Sabar dulu napa,” Rosa tersentak dan langsung menjauh dari Pasha dengan wajah merah padam. Sementara itu, Pasha hanya mendesah panjang dan menoleh ke arah Jeena dengan tatapan tidak terima.“Argh, kau merusak momen romantisku, Jeena,” protes Pasha tidak terima komentar adiknya.Sementara itu, Jeena terkikik, lalu melangkah masuk dengan Manggala yang mengikutinya dari belakang. “Hei, aku hanya ingin melihat gaun pengantin Rosa. Dan wow, kau terlihat menakjubkan, Rosa! Benar kan Mas?” Jeena menoleh ke arah suaminya, memastikan pendapat mereka sama.Manggala yang baru saja masuk mengangguk setuju. “Serius, Rosa terlihat seperti seorang putri.”Rosa tersenyum malu-malu. “Terima kasih.”Pasha mendengus. “Kenapa kalian berdua tiba-tiba muncul di sini, sih?”Jeena meletakkan tangan di pinggangnya. “Tentu saja untuk memastikan pernikahanmu berjalan lancar! Lagipula, aku penasaran dengan ekspresi wajahmu saat melihat Rosa dal
“Kamu benar-benar harus berangkat sekarang?’ suara Rosa terdengar lirih, matanya mulai berkaca-kaca. Entahlah, ia yang terbiasa tegar mendadak menjadi melankolis. Ia merasa berat ditinggalkan Pasha keluar negeri. Pasha mengangguk dengan berat hati. “Aku harus pergi sekarang, Sayang. Tapi aku akan kembali secepatnya.”Rosa menarik napas dalam, menahan emosinya. Ia menatap Pasha dengan penuh perasaan sebelum tangannya meraih tangan lelaki itu, menggenggamnya erat. Kepergian Pasha akan terasa berat. Pasha terbiasa membantu merawat bayi mereka. Ia sangat telaten meskipun masih muda. Selain itu, ia sangat perhatian. “Jaga diri kamu baik-baik. Dan cepat pulang, aku dan bayi-bayi kita menunggumu.”Pasha tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa berat. Ia membungkuk dan mencium bibir Rosa dengan lembut, mencurahkan segala rasa cintanya dalam kecupan itu. Setelahnya, ia bergantian mencium kedua bayi mereka, memastikan dirinya menghafal setiap detail wajah mungil itu sebelum ia pergi.“Aku me
Malam sudah larut. Rumah pun terasa sunyi, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Di dalam kamar, Laila duduk bersila di atas tempat tidur, sibuk menonton video makanan di ponselnya. Matanya berbinar-binar saat melihat gambar es krim cokelat yang meleleh sempurna di atas waffle renyah.Perutnya keroncongan.“Kakak,” panggilnya manja.Beryl yang sudah siap tidur, berbaring dengan santai di sebelahnya, langsung membuka satu mata. “Hmm?”Laila menoleh ke suaminya, lalu menggoyang-goyangkan kakinya seperti anak kecil. “Aku mau es krim coklat…”Beryl mengerjapkan mata, lalu menoleh ke jam dinding. “Sayang, ini udah jam dua belas malam…”Laila mengerucutkan bibir. “Tapi aku pengen…”Beryl menatap istrinya dengan penuh perhatian. Matanya berbinar jahil. Ini kesempatan emas!Dengan gerakan lambat, ia mendekatkan wajahnya ke arah Laila. “Kamu yakin pengen sesuatu yang manis di tengah malam?” bisiknya menggoda.Laila yang awalnya fokus pada es krim, langsung menoleh curiga. “Iya,
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby
Di kediaman Mahesa“Levina…” suara Roger terdengar pelan dan penuh simpati saat ia masuk ke dalam ruang tamu di mana Levina sedang duduk, membaca buku.Levina menatapnya, keningnya berkerut. “Roger? Ada apa?”Hubungannya dengan Roger mulai membaik. Keluarga Roger datang dan meminta maaf pada Mahesa atas apa yang telah Roger lakukan.Roger tersenyum lalu duduk bergabung dengan Levina, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Aku mendengar kabar yang cukup mengejutkan.” Ia mencoba menatap Levina dengan ekspresi prihatin, namun dalam hatinya, ada kepuasan yang terselip. “Aku... aku dengar kalau Alby terlibat hubungan dengan seorang penyanyi pendatang baru. Mereka... kedapatan di beberapa tempat bersama. Selingkuh, mungkin.”Levina hanya mengangkat alis. “Oh,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi lebih lanjut. “Kapan kamu mendengarnya?”Roger sedikit terkejut dengan respons Levina yang begitu datar. “Baru beberapa hari yang lalu. Sepertinya mereka terlihat sangat dekat. Aku h
Di sebuah lounge hotel mewah, Roger duduk menyilangkan kaki sambil menatap layar ponsel. Di sampingnya, seorang wanita berambut panjang duduk dengan senyum menggoda—Bella, penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun.“Jadi... lo cuma mau gue foto bareng dia?” tanya Bella dengan alis terangkat. “That’s it? Gue pikir bakal lebih ekstrem.”Roger tertawa pelan, suaranya tenang namun licik. “Nggak perlu ekstrem. Cukup satu foto. Waktu yang pas, tempat yang pas. Publik akan percaya kalau Alby ternyata sama aja kayak pria lainnya. Dan Levina... perempuan dengan prinsip seperti dia? Dia akan mundur sendiri.”Bella mengangkat bahu. “Easy. Asal bayarannya sepadan.”Roger menyerahkan sebuah cek yang sudah ditandatangani olehnya. “Lihat sendiri.”Bella tersenyum licik. “Deal.”Roger bersandar, lalu menyesap kopinya. Matanya menatap kosong ke depan. “Sorry, Alby... Aku lebih dulu kenal Levina. Dan aku nggak akan biarin kamu ambil Levina,” Roger sudah mendengar kabar tentang Levina yang sudah di
Rumah besar keluarga Ana Basalamah sore itu lebih sunyi dari biasanya. Dedaunan bergerak pelan ditiup angin, dan cahaya matahari yang menembus kaca jendela membuat ruangan terlihat hangat—meski hati sebagian penghuninya masih membeku.Di ruang keluarga, Sagara duduk di atas karpet bulu berwarna krem. Bocah empat tahun itu memeluk boneka dinosaurus hijau miliknya. Matanya masih sembab, dan tak ada satu pun senyum terukir di wajah kecilnya.Pasha duduk tak jauh darinya, memangku salah satu putra kembarnya—Rayyan—yang tengah bermain mobil-mobilan sambil tertawa sendiri. Di sisi lain, Rosa menggendong Rafael yang baru saja tertidur di pangkuannya. “Gara,” panggil Pasha dengan suara pelan.Sagara menoleh perlahan. Ia belum sepenuhnya nyaman, belum juga paham sepenuhnya apa yang terjadi dengan ayahnya.Pasha mencoba tersenyum. “Papa Pasha bawa mainan, mau lihat?”Bocah itu hanya mengangguk kecil. Pasha mengeluarkan satu set puzzle binatang dari dalam tasnya.“Coba tebak ini apa?” Ia mengang