Happy reading gaes
“Ibu, cepat sembuh! Kalau Ibu sudah sembuh, kita akan pergi jalan-jalan ke Selandia Baru. Bukankah Ibu ingin pergi ke sana? Ibu bisa pergi ke Wai Ariki Hot Spring and Spa.”Danar merengkuh tangan keriput ibunya yang masih terbaring lemah di atàs ranjang rumah sakit. Kemudian ia mengecup punggung tangannya dengan penuh kasih sayang. Pria itu duduk di atas sebuah kursi yang berada di samping ranjang. Setiap hari ia selalu datang membesuk ibunya. Tak peduli ia sibuk, ia selalu menyempatkan dirinya untuk datang, memastikan kondisi ibunya. Ia teramat senang sekali saat melihat kondisi kesehatan ibunya sudah mengalami kemajuan saat ini. Dua minggu sudah terhitung ibunya masih terbaring di rumah sakit. Ia harus menjalani perawatan akibat lukanya yang serius. Beberapa kali, Diajeng menjalani operasi pada bagian kakinya. Kakinya mengalami patah tulang sehingga harus dioperasi dan dipasang pen.Diajeng hanya mendesah pelan sembari melirik ke arah putranya yang terlihat begitu berbakti padanya.
Pulang dari gym, Manggala kembali mengantar pulang Pasha. Karena sewaktu pergi ke tempat gym, Manggala menjemput Pasha dengan mobilnya. Selama perjalanan mereka mengobrol banyak hal.Setelah percakapan di tempat gym, Manggala setidaknya merasa sedikit lebih lega, mengetahui alasan yang membuat Embun marah padanya. Karena sudah mengetahui sumber permasalahannya, maka ia berencana akan bicara empat mata dengannya. Hanya saja, Manggala sedikit butuh waktu untuk mempersiapkan pertemuan dengannya. Mungkin ia akan mengajak personel The Great Duke lainnya untuk jalan bersama.Karena Manggala tahu, tak mungkin Embun bersedia diajak ngobrol benar-benar ‘berdua’. “Well, kita akan pergi hiking bagaimana? Atau, piknik ke hutan pinus? Di sana kita bisa melihat pemandangan alam,” ungkap Manggala saat tiba-tiba saja sebuah ide melintas di kepalanya. Ide tersebut muncul saat ia melihat pohon palem yang berjejer di taman. Mungkin, ia akan menyatakan cintanya saat mereka pergi ke tempat itu.Saat ini
Embun mengajak ngobrol malaikat kecilnya. Saat ini mereka sedang berada di kamar mandi. Wanita satu anak itu tengah memandikan anak lelaki tampannya dengan telaten. Ia sangat bahagia bisa mengurus anaknya dengan ke dua tangannya.“Ini siapa?”Embun bertanya sembari menyentuh dadanya menggunakan tangan mungil Sagara. Sagara tertawa melihat ibunya yang berusaha tengah menggodanya. “Mama!” jawab anak itu sembari memperlihatkan gigi bagian depannya yang sudah mulai tumbuh. Tangannya yang lain mencipratkan air pada wajah ibunya hingga membuat Embun ikut terkekeh melihat tingkah lucunya. Sagara senang mandi sembari bermain air dan boneka bebek terbuat dari karet. Asalkan ada mainan di dalam bathtub, ia akan antusias berendam di dalamnya. Embun memanyunkan bibirnya seraya menjawab. “Good! Mama siapa?”Sagara menatap ibunya dengan mengerutkan keningnya. “Mama Gara!”“Pintarnya anak Mama!” tukas Embun dengan mencubit lembut pipi anak itu yang bulat mirip kue bakpao.“Mama, mandi?” ucap Saga
Di atas kursi kebesarannya, Danar memijat pelipisnya dengan kencang. Rasanya, kepalanya ingin meledak. Bukan tanpa alasan, secarik kertas yang berada di atas meja adalah penyebab pria itu langsung terserang sakit kepala yang hebat.Kondisi keuangan perusahaan yang carut marut. Ibunya yang sedang sakit serius. Tambah lagi, sebuah surat gugatan cerai tergolek di atas meja di kantornya. Siang itu, seorang pengacara datang ke perusahaan dan memberikan surat gugatan cerai dari istrinya. Ia dilanda bingung dengan sikap istrinya yang menurutnya labil.Bukankah wanita itu sudah berjanji akan selalu ada mendampingi dirinya saat suka dan duka? Kendati, Danar mengakui, jika dirinya sangat egois dan sekarang sudah mulai mengabaikan keberadaan Mita di sisinya.Brakkk,Danar memukul meja dengan kepalan tangannya. Ia merutuki nasibnya. Mungkin, Mita mengajukan surat gugatan cerai karena kini perusahaan keluarganya nyaris brankut. Jika demikian, Mita tak ubahnya wanita matre seperti wanita yang lain.
Seorang gadis berlari tergesa-gesa saat melihat dua orang pria berpakaian hitam membuntutinya sejak ia turun dari kereta api jurusan Surabaya. Nafasnya tersengal-sengal. Meskipun ia berlari cukup cepat nyatanya ia merasa letih. Grep,“Lepas!” Gadis itu memekik saat seseorang dari arah belakang menangkap tubuhnya. Dalam hitungan beberapa detik ia sudah tak sadarkan diri. Salah satu pria berbaju hitam membiusnya.Gadis itu terbangun di sebuah kamar hotel presidential suit. Tiga jam lamanya, akhirnya gadis itu membelakan matanya. Kepalanya terasa berat seperti dihantam benda solid. Pandangannya juga buram.“Aku di mana?” lirihnya dengan perasaan frustrasi. Namun sedikit kemudian ia menangis. “Ayah! Ayah! Aku di mana?” Hiks, hiks, hiks,“Sudah bangun rupanya,”Suara bariton terdengar menggelegar. Gadis itu mengangkat mata untuk melihat siapa orang yang berbicara padanya. Seketika ia terkejut hingga membuat tubuhnya mundur dan menabrak headboard ranjang.“Kau!” pekik Yasmin dengan nafas y
Hari itu Embun sangat antusias diajak piknik oleh Pasha. Mereka akan pergi ke tempat outbound sekaligus tempat piknik dengan pemandangan hutan pinus yang sangat indah. Karena lokasinya jauh, terpaksa Embun tidak mengajak Sagara. Selain itu juga, Ana melarang Embun membawa Sagara. Bahkan Ana jauh lebih protektif pada cucunya.Oleh karena itu, Embun pun memompa ASI nya dan menaruhnya dalam botol untuk stok Sagara saat merasa haus. Sebetulnya, Ana ingin Embun menikmati masa mudanya yang habis dulu digunakan sepanjang hari di rumah.“Kita jalan sama Tante Sulis juga ‘kan?” tanya Embun pada Pasha yang sedang asik menyemprot parfum ke beberapa titik tubuhnya.“Iya. Tante Sulis ikut.”Pasha menjawab setelah menaruh kembali parfum miliknya ke atas meja nakas.“Mami gak ikut?” Embun menoleh ke arah ibunya yang tengah rebahan dengan Sagara yang berada di sampingnya, memainkan robot.“Gak, ah! Buat anak muda! Mami gak mau,” tolak Ana sembari menahan tawa saat melihat Sagara sedang membongkar rob
Udara daerah puncak terasa sejuk. Semua orang menikmati healing sekaligus refreshing di alam. Mereka menikmati makanan yang sudah dibekal dari rumah.Sulis melahap bekal makanan yang dibawa oleh Embun. Embun yang suka masak, sudah mempersiapkan bekal makanan sejak pagi dibantu oleh koki rumah.“Sepertinya Tante akan gemuk kalau makan makanan bikinanmu Jeen,” komentar Sulis seraya menatap Embun yang terlihat antusias menikmati udara segar di hutan pinus. Tatapannya terpacak pada sebuah ayunan. Namun saat Sulis mengajaknya mengobrol, ia pun menoleh pada Sulis seraya menyematkan senyum tipis. “Tentu Tante. Aku akan memasak setiap hari untuk Tante.”Embun berkomentar dengan kekehan kecil. Obrolan teralihkan saat melihat ke dua sepupunya saling kejar mengejar. “Tan, mereka lagi rebutin apa sih?”Sulis mengedikkan pundaknya dan mendecak pelan. “Biasanya, Beryl suka jahil sama Alby. Jadi, Alby membalasnya,”“Oalah, Beryl memang beda ya Tante. Dia jahil dan sedikit–”“Menyebalkan,” potong Sul
Manggala menerima uluran tangan dari Danar dan menyematkan senyum tipis padanya. “Bagaimana dengan kabar Anda?” Kini giliran Manggala yang bertanya kabar pria dewasa itu. Mereka tetap bersikap baik dan ramah satu sama lain. “Wah, Anda membawa karyawan refreshing,”“Betul, Pak Manggala. Saya sedang mengajak refreshing biar anak-anak semangat bekerja.”Danar menjawab seraya melirik Embun dengan tatapan yang penuh telisik. Ia memindai penampilan mantan istrinya yang terlihat sangat cantik. Ada perasaan yang panas menjalari dadanya melihat kebersamaan Embun dan Manggala di sana.Mereka berduaan. Mereka memang benar-benar pasangan kekasih? Danar mengepalkan ke dua tangan di sisinya. Rasanya ia ingin menyeret Embun dari sana dan membawanya pergi. Menyadari tatapan Danar pada Embun, Manggala merasa tak rela. Ia juga merasa Embun tidak nyaman, sehingga ia lebih suka memalingkan wajahnya.“Jeena, apa kabarmu?”Danar menyapa Embun dengan perasaan tak karuan. Ia berusaha sekuat tenaga menjaga
“Wah, topimu keren banget, Levina. Tapi sepertinya... terlalu besar buat kamu.” Dengan cepat, Alby meraih topi itu dan menaruhnya di kepalanya dengan senyum tengilnya.Bisa-bisanya pemuda berhidung mancung itu menggoda Levina di depan ayah Levina. Bahkan mereka masih berada di lingkungan kantor polisi.Levina sontak terkejut, mencoba meraih topi itu. “By, itu topiku! Apaan sih kamu,” protes Levina dengan wajah serius seperti biasa. Naasnya, topi itu sudah ada di kepala Alby yang tersenyum lebar. Alby memasang wajah sok serius, “Hmm, topi ini lebih cocok di aku, Levina. Coba lihat, kan aku terlihat keren!” Dia mulai berjalan beberapa langkah menjauh, pura-pura seperti seorang model.Sulis yang sedang mengobrol dengan Mahesa hanya mendengus pelan melihat kelakuan mereka. Levina menyipitkan mata dan bersiap-siap mengejar. “Kamu pikir topi itu cocok di kamu? Kalau begitu, aku harus ambil kembali!” Dengan cepat, Levina berlari ke arah Alby.Mereka sudah berada di tempat parkir kantor po
Di kediaman Sulis, suasana menjadi tegang. Sulis hampir saja menjatuhkan gelas tehnya saat seorang polisi mengetuk pintu rumahnya. Dengan wajah cemas, ia buru-buru membuka pintu dan mendapati dua petugas kepolisian berdiri tegap.“Bu Sulis? Kami dari kepolisian ingin berbicara dengan putra Anda, Alby. Ada laporan insiden perkelahian yang melibatkan dirinya.”Sulis merasakan jantungnya hampir berhenti. “Perkelahian? Alby? Tidak mungkin. Dia pianis, bukan petarung jalanan!”Salah satu polisi menunjukkan dokumen laporan. “Kami hanya menjalankan tugas, Bu. Menurut laporan, putra Anda terlibat dalam baku hantam dengan seorang pria bernama Roger, di sebuah pantai di Bali.”Sulis memijit pelipisnya, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba meledak ini. “Ini pasti ada kesalahpahaman. Alby tidak mungkin mencari gara-gara.”Semalam Alby baru pulang namun ia langsung masuk ke dalam kamarnya dan tidak menceritakan apapun soal kejadian di Bali.“Kami akan tetap membutuhkan keterangannya. Bisa kami
Setelah konser selesai, Levina berpikir mereka akan langsung pulang. Namun, Alby malah berbelok ke arah pantai. Tentu saja, pemuda itu tidak akan menyia-nyiakan waktu bersamanya. Ia tahu, sangat sulit mengajak Levina pergi berdua. Dan, ini adalah kesempatan emas baginya. “Aku mau pulang ke hotel,” kata Levina dengan ekspresi datarnya.Alby menoleh sambil tersenyum. “Kau serius? Setelah menghabiskan tiga jam mendengarkan konser tanpa ekspresi, aku yakin kau butuh udara segar.”Levina mendengus. “Konsernya bagus, hanya saja terlalu lama.”Alby terkekeh. “Oh? Lalu kenapa kau ketiduran?”Levina mendelik. “Aku tidak ketiduran.”“Aku harus menyenggolmu supaya kau tidak jatuh dari kursi,” balas Alby sambil menggoda.Levina mendecak, malas berdebat. Mereka berjalan menyusuri pasir pantai yang dingin, diterangi cahaya bulan yang memantul di permukaan laut. Suara deburan ombak menemani langkah mereka.Dari kejauhan, mereka seperti sepasang kekasih yang sedang menghabiskan waktu berduaan.Alby
Levina baru saja selesai minum obat ketika pintu kamar klinik terbuka. Ia mengangkat kepalanya dan terkejut melihat Roger berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh penyesalan.“Levina…” suara Roger terdengar berat. “Aku minta maaf.”Levina terdiam. Perasaannya bercampur aduk. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Roger, dalam keadaan mabuk, mencoba melecehkannya di pantai. Jantungnya berdegup lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena amarah yang masih mengendap.Sebelum Levina sempat merespons, sebuah bayangan melesat di hadapannya.BUGH!Alby, yang tadinya duduk santai di kursi dekat tempat tidur, kini telah menerjang Roger dengan tinjunya.Roger terhuyung ke belakang, terkejut. “Apa-apaan kau?!”Alby, yang biasanya penuh candaan, kini tampak berbeda. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap Roger dengan penuh kebencian. “Kau masih punya muka buat datang ke sini setelah apa yang kau lakukan pada Levina?”Levina terkesiap. Ia tidak menyangka Alby akan bereaksi seperti ini.Roger men
Tiba-tiba, seseorang menangkap tangan Levina.Levina refleks ingin menyerang, tapi pandangannya berputar. Dunia seolah bergoyang, napasnya pendek dan berat. Matanya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Alby.“Levina!” suara Alby penuh kepanikan.Levina mencoba mengatakan sesuatu, tapi suaranya tersendat di tenggorokan. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak bicara. Namun ini untuk pertama kalinya, Levina yang terkenal kuat, dingin dan misterius itu merasa ketakutan dan kepanikan. Jantungnya masih berdegup kencang, tapi kali ini bukan karena takut—melainkan karena keterkejutan yang luar biasa. Ia tidak menyangka jika Roger akan melecehkannya. Ia sangat syok. Insiden yang baru saja terjadi mengingatkannya pada memori tempo dulu yang pernah ia alami.Saat Levina masih duduk di bangku sekolah dasar, ia dilecehkan oleh gurunya di sekolah. Sejak saat itu ia berusaha mati-matian belajar bela diri.“Alby...?”Dalam hitungan detik, tubuh Levina ambruk ke tanah. Alby pun merasa panik. “Levina!” p
Levina menikmati suasana pantai di balkon kamar hotelnya. Ombak berderu pelan, langit keemasan mencerminkan kehangatan yang seharusnya ia rasakan di dalam hatinya. Namun, kenyataannya ia justru merasa gelisah. Sejak pertemuan pertamanya dengan Roger, putra teman ayahnya, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.Roger memang tampan, berpakaian necis, dan memiliki senyum yang bisa membuat wanita jatuh hati dalam hitungan detik. Tapi Levina tahu, di balik pesona itu ada sesuatu yang tidak beres. Dari cara Roger berbicara, dari tatapan matanya yang terlalu tajam dan gerakan tangannya yang selalu berusaha menyentuhnya, Levina merasa ia harus tetap waspada.Hari itu, Roger mengundangnya untuk makan malam di restoran seafood mewah di tepi pantai. Awalnya, Levina ingin menolak, tapi Roger terlalu gigih. “Hanya makan malam santai, Levina. Kau bisa anggap ini sebagai pertemanan,” ujarnya dengan nada santai.Levina akhirnya mengiyakan, namun tetap membatasi diri. Ia mengenakan dress biru sederha
Langit sore berpendar jingga ketika Alby memarkirkan mobilnya di halaman rumah Ana. Ia keluar dengan langkah ringan, meski ada kegelisahan yang bersembunyi di balik tatapan matanya. Rindu dalam dadanya tak bisa lagi ia bendung. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Levina, pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan wanita itu. Ia ingin mengajaknya pergi, mungkin sekadar mengobrol sambil menikmati kopi di kafe favoritnya.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Ana akhirnya membukakan pintu dengan senyum ramah. Namun, ekspresi wajahnya sedikit berubah ketika melihat Alby berdiri di ambang pintu.“Alby? Ada apa?” tanya Ana, meski sudah bisa menebak alasan kedatangannya.Alby mengusap tengkuknya, sedikit canggung. “Aku mau ketemu Levina, Tante. Dia ada?”Ana tersenyum tipis, lalu menghela napas pelan. “Levina sedang pulang kampung. Dia izin libur beberapa hari untuk mengunjungi keluarganya.”Alby tertegun. Matanya berkedip beberapa kali, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Ana mulai mencurigai sesuatu. Beberapa kali ia melihat Alby dan Levina berbincang diam-diam. Tidak seperti biasanya. Mata Ana mengerut curiga, tetapi ia memilih diam. Hanya mengamati dari jauh.Pertama Alby mau menjemput Jeena di bandara. Tunggu, bukan pertama kali. Tapi setahun yang lalu, Alby juga mengantar Jeena ke bandara! Tentu saja, bukan karena tidak ada supir. Alby memang tengah melakukan pendekatan pada Levina. Seperti saat ini, saat yang lain sibuk mengobrol dengan Jeena di ruang tamu, di taman belakang, Alby dan Levina tengah berdiri berhadapan. Seperti biasa, perdebatan kecil pun terjadi di antara mereka.“Kau terlalu keras kepala,” ucap Alby sambil menyilangkan tangan.“Dan kau terlalu sok tahu,” balas Levina, menghela napas panjang.Alby mengangkat dagunya. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kau tidak bisa terus bersembunyi di balik sikap dinginmu.”Levina terdiam. Tatapan matanya lebih lembut dari biasanya. “Alby, kenapa kau selalu ingin mengorek isi kepalaku?”“Kar
Levina menundukkan wajahnya, merasakan telapak tangannya yang mulai berkeringat. Ia tidak menyangka Alby akan mengatakannya secara gamblang seperti ini. Hatinya bergetar, tetapi pikirannya menolak. Ia tidak boleh percaya pada pria seperti Alby. Tidak boleh.Makan siang itu berakhir dalam keheningan. Jeena yang kembali dari toilet hanya mengangkat alis melihat atmosfer yang berbeda antara Levina dan Alby. Namun, ia memilih diam. Tidak mau mengusik apa yang sedang terjadi di antara mereka.Saat mereka kembali ke mobil, Levina tetap menjaga jarak dari Alby. Namun, pria itu tidak menyerah. Bahkan ketika mereka sudah tiba di depan rumah Ana, Alby masih bersikeras ingin berbicara.“Lev, aku serius dengan perasaanku,” ujarnya pelan, tetapi tegas.Levina menatapnya tajam. “Jangan buang waktumu, Alby. Aku tidak akan berubah pikiran.”“Aku tidak meminta jawaban sekarang. Aku akan menunggumu,” Alby tersenyum tipis. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku akan tetap ada. Sampai kapan pun.”Levina mena