Semua orang yang berada di bawah naungan Infinity Entertainment sedang menikmati pesta. Semua orang bersenang-senang dan bahagia. Bahkan Permata pun tampak tidak terpengaruh dengan ucapan Axel yang merendahkannya beberapa saat lalu. Toh dia sudah membayarnya beserta bunganya.
“Terima kasih kepada semua rekan-rekan yang sudah menerima saya dan menjadikan saya bagian dari keluarga besar Infinity. Saya berharap kita bisa menjalin hubungan baik satu sama lain mulai malam ini.”
Permata Berlian, atau dulu selalu dipanggil dengan Permata, sekarang kembali dengan identitas yang berbeda dan lebih dikenal dengan nama Berlian. Berlian yang tentu saja memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding Permata. Dulu dia dibuang, tapi sekarang semua orang memujinya habis-habisan.
Bahkan dia sekarang bisa menjawab kata-kata Axel yang menyakitkan itu percaya diri yang tinggi. Semua itu tentu karena Berlian, bukan Permata.
“Sebuah kehormatan bagi saya berada di tempat ini, dan terima kasih kepada Pak Gema yang sudah memberikan saya kesempatan untuk bergabung di agensi besar Infinity.”
Ucapan rendah hatinya membuat semua orang yang mendengarkan menjadi terbuai. Mereka menatap Permata dengan tatapan kagum yang begitu tinggi. Tahu jika dirinya sedang dipuji habis-habisan, Permata tersenyum tulus. Namun seperti sebuah magnet dengan kutub yang berlawanan, Permata tanpa sengaja menatap Axel yang berdiri di sudut ruangan. Tatapan lelaki juga mengarah padanya.
Permata dalam hati menertawakan lelaki itu mengingat bagaimana wajah pucat Axel saat dia membalikkan ucapan lelaki itu beberapa saat lalu. Jika Axel ingin menginjaknya di hidupnya yang sekarang, maka lelaki itu tak akan pernah mampu melakukannya, karena Permata tidak akan pernah mengizinkan.
“Apa kamu membutuhkan sesuatu untuk menghilangkan lelah?”
Permata sudah keluar dari hotel bersama dengan seorang lelaki yang menemaninya. Lelaki itu adalah pengawal Permata sekaligus seperti sosok kakak untuknya.
“Aku tidak membutuhkan sesuatu yang seperti itu. Yang aku perlukan adalah bertemu dengan Angkasa dan itu sudah cukup melunturkan semua lelahku,” jawabnya dengan santai membuat lelaki itu tersenyum.
“Kalau begitu kita akan segera pergi dan kamu bisa bertemu dengannya.”
Mengingat Angkasa, Permata mengulum senyumnya. Bagi Permata, tidak ada obat apa pun yang manjur untuknya kecuali bisa memeluk dunianya. Dan Angkasa adalah orangnya.
Tapi sepertinya Permata harus mengulur waktunya lebih lama karena dia harus kembali berhadapan dengan Axel. Perempuan itu baru saja akan sampai di mobilnya ketika Axel mendatanginya. Lelaki bersama Permata itu segera mem-block Axel semata hanya untuk melindungi perempuan itu.
“Apa yang Anda inginkan?” tanya lelaki bernama Denial tersebut dengan dingin.
Permata yang berada di belakang Denial tertutup sempurna dengan tubuh tinggi tegapnya. Meskipun tubuh Permata lebih tinggi dari perempuan Indonesia pada umumnya, tapi itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Denial.
“Saya akan berbicara dengan Permata.” Axel menjawab tidak sabar. “Ini penting.”
Permata tidak mengatakan apa pun dan membiarkan Denial mengurus Axel seorang diri. Dia bahkan dengan santainya bersedekap di depan dada sambil mendengarkan sedikit perdebatan antara Axel dengan Denial.
“Kalau begitu, silakan Anda berbicara. Nona bisa mendengarkannya.”
“Saya ingin berbicara empat mata dengannya. Tanpa Anda di sini!” Suara Axel penuh dengan peringatan. Tapi desisan sinis terdengar dari mulut Denial.
“Sepertinya Anda perlu tahu siapa saya. Saya adalah orang yang akan melindungi Nona Berlian dari sandungan seperti Anda. Saya bahkan lebih dari berhak mendengar apa yang perlu Anda katakan kepada Nona Berlian. Anda tidak perlu khawatir saya akan membocorkan ucapan Anda kepada orang lain.”
“Sandungan?” Alih-alih peduli dengan kalimat yang panjang yang diucapkan Denial, Axel memberikan perhatian lebih pada kata ‘sandungan’ yang diucapkan Denial.
Ekspresi wajahnya menjadi dingin dan membeku. Matanya mengarah pada belakang punggung Denial yang tampak puncak kepala Permata.
“Jadi, apakah Anda ingin berbicara atau tidak?” Denial menegaskan. “Jika tidak, kami akan pergi sekarang.”
Denial masih menjadi perisai untuk Permata dan menghalangi Axel agar tidak mendekat pada perempuan yang sedang dilindunginya itu. Meskipun sendiri, pergerakan Denial sangat terlatih dan itu membuat Axel geram luar biasa.
Bagaimanapun, Axel merasa tidak boleh kehilangan kesempatan. Maka dengan cepat dia berputar dan menarik tangan Permata sampai Permata sedikit terhuyung. Hal itu membuat Denial marah luar biasa.
“Apa yang Anda lakukan?” Denial mendekat pada Axel dan hampir melayangkan pukulan pada lelaki itu, tapi Permata mencegahnya.
“Hentikan Denial.” Begitu kata Permata. Mampu mengendalikan eskpresi wajahnya, Permata mengangguk kepada Denial sehingga membuat lelaki itu menurunkan tangannya.
Axel masih memegang tangan Permata dengan erat tanpa gentar sedikitpun. Mungkin dia berpikir jika dia juga ahli dalam berkelahi.
“Nona baik-baik saja?” Denial mengkhawatirkan Permata yang sedikit terpelanting karena ulah Axel. “Anda bisa melepaskan Nona Berlian?” Meskipun Permata sudah mencegah Denial untuk berhenti, tapi kepalan tangan lelaki itu masih membulat kuat.
“Denial, kami akan berbicara,” putus Permata dengan suaranya yang lembut.
“Tapi, Nona ….”
“Nggak pa-pa.” Permata memutus ucapan Denial. “Kamu boleh mengawasinya.”
Permata memberikan keyakinan kepada Denial dan itu membuat Denial pada akhirnya menurut. Lantas, Permata memberikan kode kepada Denial untuk pergi dari tempatnya. Meskipun berat, tapi Denial melakukannya. Lelaki itu mengambil jarak dan terus memberikan pantauan kepada Berlian.
“Silakan Anda berbicara, Pak. Saya siap mendengarkan. Tapi, lepaskan dulu tangan Anda.” kata Permata sangat sopan namun penuh dengan peringatan.
Axel merasakan gejolak di hatinya saat menatap Permata dalam keremangan malam. Mereka dihujani oleh cahaya lampu temaram, namun itu menambah keindahan dalam diri Permata menguar tak karuan. Menendang semua pujian yang dilontarkan untuk Permata, Axel melepaskan tangannya dan segera berbicara.
“Jauhi Gema!” Itu terdengar seperti perintah. “Kalau kamu mau balas dendam karena kejadian lima tahun yang lalu, maka jangan melibatkan orang yang tidak tahu apa pun tentang urusan kita.”
Bahkan tanpa basa-basi, Axel sudah menembakkan ucapan itu seolah dia tahu, satu-satunya alasan Permata datang kembali ke Indonesia dan bergabung pada Infinity Entertainment adalah semata untuk membalas dendam kepadanya dengan cara mendekati Gema.
Entah kenapa, pernyataan itu membuat Permata geli sehingga dia ingin tertawa. Maka tanpa menahan tawanya, dia mengeluarkan di depan Axel dan itu terdengar seperti hinaan bagi Axel.
“Kenapa Anda mengatakan hal tidak berguna seperti itu, Pak Axel? Itu adalah sebuah tuduhan tak berdasar. Saya bahkan tidak melakukan apa pun. Atau, belum melakukannya? Entahlah.”
Permata mengedikkan bahunya tak acuh. “Tapi …” ada jeda yang sengaja dibuat sebelum Permata melanjutkan.
“Sebenarnya saya tidak pernah mengingat tentang perselisihan kita di masa lalu. Saya kembali ke Indonesia karena di sinilah rumah saya. Saya tidak pernah memedulikan masa lalu yang tidak berguna. Tapi, terima kasih karena Anda sudah mengingatkan saya tentang perselisihan kita. Sepertinya, kehidupan kita kali ini akan lebih berwarna. Bukankah begitu?”
Ucapan Permata membuat udara di sekitar mereka seolah tersedot habis menyisakan atmosfer panas yang begitu tinggi. Axel dengan dingin lantas bersuara kembali.
“Kamu ingin bermain-main denganku?”
“Bukankah Pak Axel suka sekali dengan permainan?”
***
“Tidak ada salahnya, kan kalau kita mencoba bermain-main lagi setelah sekian lama?” Permata ingat betul dengan kejadian lima tahun yang lalu di kamar hotel setelah pernikahannya. Bagaimana Axel yang dengan tidak punya belas kasihan menusuk hati Permata dengan kata-kata tajam yang menyakitkan. Dia dibuang begitu saja setelah Axel berhasil merenggut kesuciannya. Bahkan dengan bangganya Axel mengatakan jika pernikahan yang mereka lakukan semata adalah sebuah permainan. Mengingat itu, amarah Permata seolah menguar begitu saja. Tapi dia tahu jika akal sehatnya harus terus berjalan. Jika dulu Permata begitu mudah untuk ditumbangkan, maka tentu tidak berlaku untuk sekarang. Lima tahun dia berada di negeri orang dengan banyak hal buruk yang pernah terjadi kepadanya, dan itu mampu membuat dirinya berdiri tegak untuk menghadapi dunia. “Jangan berpikir karena kamu sudah berubah, lantas bisa mengubah semuanya. Saya, bahkan masih memandang dirimu seseorang yang pernah dicampakkan. Kamu tetap w
Setelah satu minggu berlalu, akhirnya Permata memulai jadwalnya dengan sebuah pemotretan untuk sebuah majalah fashion. Keberadaannya yang selalu diagung-agungkan menjadikan Permata seperti Tuan Putri yang datang dari sebuah kerajaan. Dia sangat diterima keberadaannya di negeri ini. Semua staf yang bekerja sama dengannya terlihat menikmati pekerjaan mereka. Terlebih lagi, Permata mudah diarahkan oleh sang fotografer sehingga pekerjaan mereka menjadi lebih cepat. Sebelum Permata keluar dari ruangan tersebut, dia menghadap ke semua orang yang ada di sana. “Terima kasih untuk hari ini, Teman-teman. Silakan menikmati makan siang kalian. Senang bekerja sama dengan kalian.” Ucapannya yang tidak seberapa itu mendapatkan tepuk tangan dan ucapan terima kasih berkali-kali dari setiap staf. Untuk merayakan kembalinya dia bekerja, Permata mentraktir semua staf yang ada di sana. Setelahnya, Perempuan itu keluar dari ruangan pemotretan untuk pergi dari tempat itu diikuti oleh manajernya bernama A
“Apa?” Almeda terkejut mendengar jawaban Permata yang baginya sangat tidak masuk akal. “Kita perlu membicarakan ini nanti, Berlian.” Almeda memecahkan keheningan yang beberapa saat lalu menyelimuti mereka.Dalam pikiran Almeda, perusahaan Axel bahkan akan diberikan penolakan pertama dibandingkan perusahaan lain. Ekspresi yang ditunjukkan oleh Almeda kelam luar biasa ketika pikirannya tidak sesuai dengan pikiran Permata. Kalau sekarang mereka hanya berdua saja, sudah pasti Almeda akan mengeluarkan kekesalannya kepada Permata. Bahkan Axel yang mendengar keputusan Permata saja tampak terkejut. Lelaki itu menoleh pada Permata yang ada di sampingnya seolah mencari jawaban atas keputusan perempuan itu. “Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang datang kepada kita, Al. Kita tahu Pak Axel memiliki perusahaan besar dan aku rasa itu sebuah lompatan yang baik untukku berada di sana. Bukankah begitu, Pak Gema?”Permata menatap Gema dengan matanya yang jernih dan entah kenapa itu seperti
“Kontrak akan berjalan selama enam bulan untuk percobaan. Kalau itu membuat pengaruh yang baik bagi perusahaan, maka kontrak akan diperpanjang.” Akhirnya meeting kembali dilakukan keesokan harinya setelah Permata menerima kerja sama dari perusahaan Axel sehari yang lalu. Tampaknya sebelum pertemuan itu dilakukan, Axel dan Gema sudah saling membahas tentang kontrak. Dan bahkan tidak main-main, enam bulan masa percobaan. Itu sedikit mengejutkan. Almeda menoleh kepada Permata dan memberikan kesempatan kepada perempuan itu untuk bicara. “Itu terlalu lama, Pak Gema. Saya bisa melakukannya hanya dalam satu bulan.” Meskipun itu terdengar sangat sombong, tapi Permata tidak akan berbicara besar jika dia tak mampu. “Tapi, Berlian, bukankah lebih baik mengambil jeda waktu juga?” Gema bernegosiasi. “Setelah launching, foto pasti akan disebar ke public dan dari sanalah kita akan tahu seberapa besar antusias konsumen terhadap perhiasan yang dikeluarkan oleh Roque Glacio. Tapi kita harus tah
“Jadi mereka masih bersama?” Permata bergumam dengan suara kecil. Dia tidak pernah menyangka kalau Axel akan bertahan dengan perempuan yang sama dalam waktu yang lama. Pantas saja kalau perempuan itu murka dengan mendatanginya di masa lalu. Perempuan itu pastilah menyangka kalau dia adalah selingkuhan Axel. Apakah mungkin, perempuan itu menguntit dirinya dengan Axel sebelumnya untuk mendapatkan bukti? Lalu, apakah perempuan itu juga sudah tahu kalau Axel hanya menggunakan Permata sebagai mainan? Membuangnya setelah lelaki itu mencapai keinginannya? Apakah jika waktu mempertemukan mereka kembali, perempuan asing itu akan mengenalinya dan menyerangnya lebih dulu? Tapi bukankah itu pantas dilakukan oleh perempuan yang sakit hati karena diduakan? Tiba-tiba saja, perasaan Permata memburuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Dia datang untuk membalaskan dendamnya kepada Axel dan perempuan itu, kenapa melihat kejadian hari ini justru dia merasa dirinyalah yang bersalah karena berada d
“Aku benar-benar akan membuat kamu menyesal sudah membuang Angkasa, Axel. Kamu akan memohon maaf kepadaku atas perbuatan keji yang sudah kamu lakukan kepada putraku.” Batin Permata menjerit pilu. Anak-anak seusia Angkasa masih sangat membutuhkan sosok orang tua yang utuh. Tapi bocah kecil itu justru tidak tahu bagaimana rupa ayahnya, atau bagaimana suaranya. Jika ayahnya meninggal, itu tentu beda permasalah. Sayangnya, ayah Angkasa pun tak tahu kalau dia memiliki putra menggemaskan di dunia ini. Almeda mengusap punggung Permata dan menguatkan perempuan itu. “Jangan tunjukkan kesedihanmu di depannya.” “Aku mengerti.” Selama ini, Permata selalu menunjukkan ekspresi bahagia setiap bersama dengan Angkasa. Seberat apa pun hari yang dilalui, dia akan tetap bersedia menemani putranya belajar jika bocah itu menginginkannya. Malam tiba. Permata membaringkan tubuh lelahnya di atas kasur dan mendesah nyaman. Dia baru saja menidurkan Angkasa di kamar bocah itu dan kini gilirannya mengisti
“Kita akan terus bersama-sama melewati hidup ini. Kamu tidak membutuhkan sosok ayah dalam hidupmu karena Mami yang akan bekerja keras untuk memberikan Apa pun yang Angkasa inginkan. Dan menjadi sosok ayah yang Angkasa butuhkan.” Ucapan itu tegas keluar dari mulut Permata dan disaksikan dengan keheningan malam disertai dengan dentingan jarum jam. Dia sudah menjadi kuat sejak keberadaan Angkasa di dunia ini, dan akan seperti itu selamanya. Setelah menyelimuti putranya, Permata meninggalkan kamar Angkasa dengan langkah lunglai. Dia kembali ke kamarnya, namun sisa malam itu, Permata menghabiskannya dengan duduk diam karena rasa kantuknya lenyap begitu saja. Paginya, Berlian tampak lemah. Matanya sayu dan terlihat mengantuk. Almeda lantas mengeluarkan tanyanya, “Ada apa dengan matamu?” “Aku semalam nggak bisa tidur.” Permata menjawab sebelum masuk ke dalam mobil. Duduk dengan tenang di kursi belakang, kemudian memasang sabuk pengaman. Diikuti Almeda di sampingnya, dan Denial di kursi
“Aku benci ketika mengingat kamu membuatku menjadi seperti seorang pelacur.” Permata tidak peduli dengan pertanyaan Axel. “Aku benci ketika kamu membayarku seolah uangmu bisa menghapus luka yang kamu torehkan kepadaku. Tidak semua perempuan miskin bersedia menjual tubuhnya hanya demi uang, Axel.” Permata dengan berani mengelus dada Axel dengan lembut seolah dia sedang menggoda lelaki itu. Tubuh mereka menempel satu sama lain bahkan mereka bisa mencium aroma parfum keduanya. Permata bisa merasakan tubuh Axel menegang dan rahangnya mengerat. Jari-jarinya bermain di atas dada Axel yang berbalut kemeja putih. Permata tampak sudah berpengalaman melakukan hal itu. “Termasuk aku,” bisik Permata tepat di telinga Axel. Dia lebih berani. “Aku juga tidak akan pernah menjual tubuhku demi uang. Tapi, aku perlu berterima kasih kepadamu. Kalau bukan karena luka yang kamu berikan kepadaku, maka aku mungkin tidak akan berada di titik ini. Bahkan seorang Axel, meminta bekerja sama denganku.” K
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C