“Jadi mereka masih bersama?”
Permata bergumam dengan suara kecil. Dia tidak pernah menyangka kalau Axel akan bertahan dengan perempuan yang sama dalam waktu yang lama. Pantas saja kalau perempuan itu murka dengan mendatanginya di masa lalu. Perempuan itu pastilah menyangka kalau dia adalah selingkuhan Axel. Apakah mungkin, perempuan itu menguntit dirinya dengan Axel sebelumnya untuk mendapatkan bukti?
Lalu, apakah perempuan itu juga sudah tahu kalau Axel hanya menggunakan Permata sebagai mainan? Membuangnya setelah lelaki itu mencapai keinginannya? Apakah jika waktu mempertemukan mereka kembali, perempuan asing itu akan mengenalinya dan menyerangnya lebih dulu? Tapi bukankah itu pantas dilakukan oleh perempuan yang sakit hati karena diduakan?
Tiba-tiba saja, perasaan Permata memburuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Dia datang untuk membalaskan dendamnya kepada Axel dan perempuan itu, kenapa melihat kejadian hari ini justru dia merasa dirinyalah yang bersalah karena berada di antara Axel dan perempuan asing tersebut?
“Aku sudah menemukan sekolah yang bagus untuk Angkasa. Sekolah Internasional dengan sistem yang bagus.”
Permata disadarkan oleh ucapan Almeda kepadanya. Dia menoleh pada perempuan yang selalu menemaninya tersebut. Menyingkirkan segala pikiran buruk yang menyerangnya.
“Terima kasih. Maaf kalau selalu merepotkanmu.”
“Kalian memang selalu merepotkan. Bukan hanya Angkasa, tapi kamu juga. Kenapa nggak kamu sebutkan juga kalau kamu sama merepotkannya dengan bocah itu.”
Balasan sinis itu terdengar menyakitkan, tapi tentu saja itu sudah biasa bagi Permata. Bukannya marah, Permata justru tertawa geli. Almeda selalu menjadi sahabat, kakak, dan ibu baginya. Dan dia sangat bersyukur memiliki Almeda di sisinya.
“Tapi, aku nggak pernah menyesal sudah merepotkanmu. Aku akan selalu dan akan terus merepotkan. Jadi kamu nggak boleh bosan.”
“Kalau begitu jangan katakan apa pun tentang itu.” Almeda kembali mencibir dan itu membuat Permata menarik sahabatnya itu kemudian menggandeng tangan kanan Almeda dengan erat.
“Terima kasih, Kakak.” Permata terkikik saat Almeda mencebikkan bibirnya. Namun tak ayal, perempuan itu mengelus tangan Permata dengan sayang.
Permata dulu selalu bertanya pada dirinya sendiri. Bagaimana kalau tidak ada Almeda di sisinya? Apakah hidupnya akan menjadi sebaik ini sekarang? Tapi tentu saja Tuhan selalu akan berlaku adil kepada seseorang yang tidak putus asa sehingga mengirimkan Almeda untuknya.
Hari-hari berikutnya setelah Angkasa resmi sekolah, Permata semakin gila dalam bekerja. Ada banyak sekali pekerjaan bahkan sampai untuk jadwal tahun depan. Almeda selalu mahir dalam memilih proyek besar dan proyek itu selalu sukses besar. Hanya dalam satu bulan Permata memulai pekerjaannya di negeri ini, namanya sudah banyak diperbincangkan.
“Bagaimana dengan dunia peran, Berlian?” tanya Gema saat mereka melakukan pertemuan. “Saya memiliki naskah yang bagus dan entah kenapa saya merasa kamu cocok memerankannya.”
Proyek yang akan dilakukan bersama dengan Axel masih sebulan lagi karena menunggu semua dipersiapkan dengan matang.
“Apa itu film atau drama, Pak?” tanya Permata memastikan.
“Itu drama web. Kamu boleh membacanya lebih dulu naskahnya. Saya akan menunggu keputusanmu.”
Permata berpikir sejenak sebelum dia mengangguk. Bukan masalah kalau dia harus mencoba hal baru. Dia berada di dunia hiburan dan seharusnya dia bisa mengambil kesempatan lebih banyak lagi untuk mendongkrak namanya.
“Baiklah, Pak. Saya akan mempertimbangkan.”
Dengan jawaban Permata tersebut, maka pertemuan itu selesai dilakukan. Dan untuk pertama kalinya, dia akan menjemput putranya ke sekolah. Dia ingin memberikan kejutan kepada Angkasa dengan kedatangannya. Meskipun dia hanya akan berada di dalam mobil.
Setelah sampai di sekolah Angkasa, Almeda yang keluar dan Angkasa segera menemui perempuan itu. Ada senyum cerah yang tercetak di bibir bocah kecil itu. Dan kebahagiaannya bertambah ketika sampai di dalam mobil, ibunya ada di sana.
“Mami … Mami!”
Sebuah pelukan kecil menyapa Permata dengan lembut. “Mami tidak kerja?” tanya Angkasa.
“Mami kerja dong. Tapi Mami ingin menjemput Angkasa. Apa Angkasa senang?”
“Yes, Mami.” Anggukannya penuh semangat membuat Permata tak tahan untuk mencium bocah itu.
“Sekarang, katakan ke Mami, apa yang Angkasa pelajari?”
Bocah itu segera mengeluarkan sesuatu di dalam tasnya. Itu adalah sebuah buku mewarnai. Membuka di halaman pertama dan gambar satu keluarga tercetak di sana. Satu anak dan kedua orang tuanya, bergandengan tangan. Namun yang membuat jantung Permata dan suasana di dalam menjadi mencekam adalah ketika Permata bertanya,
“Kenapa Angkasa tidak mewarnai semuanya? Kenapa gambar ayah tidak Angkasa beri warna?”
Bocah itu berkedip pelan seolah sedang berpikir. Tapi setelah itu, dia memberikan jawaban yang cukup menohok.
“Mami, apakah Angkasa punya ayah?” Jika Angkasa sudah mengerti bagaimana kehidupan ibunya yang begitu susah di masa lalu, dia tentu tak akan pernah mengeluarkan pertanyaan itu.
Sayang sekali dia hanya bocah berusia 4 tahun yang belum mengerti tentang kehidupan yang sebenarnya. Sehingga dia dengan mudahnya mempertanyakan tentang keberadaan seseorang yang mungkin dia anggap seharusnya orang itu ada bersama dengannya dan juga ibunya.
“Mami, Angkasa tidak tahu seperti apa ayah Angkasa. Karena itu Angkasa tidak mewarnai gambarnya. Mami, apa Angkasa akan bertemu dengan ayah Angkasa nanti?”
Bukan hanya Permata yang tampak kehilangan nyawanya, Almeda juga merasakan hal yang sama. Beruntung, tidak ingin membuat bocah itu menjadi bingung, Denial membalikkan tubuhnya untuk menatap Angkasa.
“Angkasa, kenapa Angkasa tidak membayangkan Uncle Denial digambar Angkasa? Anggap saja Uncle Denial adalah ayah Angkasa.”
“Tapi, Uncle bukan ayah. Kata Miss Windy, Uncle is uncle, dan Daddy is daddy. Mereka tidak sama.”
Ya, Angkasa memang baru berusia 4 tahun. Meskipun sejak kecil Denial sudah bersama dengannya, tapi dia tahu kalau Denial bukanlah ayahnya. Padahal, jika ada kegiatan yang mengharuskan dirinya didampingi oleh ayah, Denial selalu ada di sana bersama Angkasa. Tapi Angkasa terlalu pintar untuk membedakan mana ayah yang sebenarnya dan mana yang bukan.
Permata meneguhkan dirinya untuk memberikan jawaban kepada putranya. Dia berusaha mengulas senyum di bibirnya untuk putranya yang terlalu cerdas.
“Sayang, tidak masalah menganggap Uncle Denial sebagai ayah Angkasa. Karena ayah Angkasa sekarang tidak ada bersama kita. Suatu hari nanti, kita pasti akan bertemu dengannya.”
“Mami, apakah ayah Angkasa sekarang sedang ada di luar angkasa?”
Pertanyaan polos itu membuat Permata terkekeh kecil. Tapi dia tak pernah mengajari Angkasa kebohongan. Maka dia menyangkalnya.
“Ayah Angkasa sekarang sedang bekerja. Dia sekarang sedang berbisnis. Jadi kita belum bisa bertemu dengannya. Karena itu, sampai waktunya nanti tiba, Angkasa boleh menganggap Uncle Denial adalah ayah Angkasa. Angkasa mengerti?”
“Baiklah, Mami. Angkasa akan melakukannya.” Bocah itu mengangguk kecil dan sebuah senyuman yang menunjukkan gigi-giginya yang kecil dan putih.
“Good boy.”
Permata memeluk putranya, tapi itu tak mampu membuat perasaannya membaik. Justru seperti ada kobaran api di dalamnya. Kebenciannya terhadap Axel terasa semakin menggebu.
“Aku benar-benar akan membuat kamu menyesal sudah membuang Angkasa, Axel.”
***
Anak-anak itu polos ya. Kadang bingung sih menjelaskan kepada anak kecil tentang pertanyaan yang tiba-tiba kayak gitu. Kalau menurut teman-teman nih, gimana ya menanggapi anak kayak Angkasa ini?
“Aku benar-benar akan membuat kamu menyesal sudah membuang Angkasa, Axel. Kamu akan memohon maaf kepadaku atas perbuatan keji yang sudah kamu lakukan kepada putraku.” Batin Permata menjerit pilu. Anak-anak seusia Angkasa masih sangat membutuhkan sosok orang tua yang utuh. Tapi bocah kecil itu justru tidak tahu bagaimana rupa ayahnya, atau bagaimana suaranya. Jika ayahnya meninggal, itu tentu beda permasalah. Sayangnya, ayah Angkasa pun tak tahu kalau dia memiliki putra menggemaskan di dunia ini. Almeda mengusap punggung Permata dan menguatkan perempuan itu. “Jangan tunjukkan kesedihanmu di depannya.” “Aku mengerti.” Selama ini, Permata selalu menunjukkan ekspresi bahagia setiap bersama dengan Angkasa. Seberat apa pun hari yang dilalui, dia akan tetap bersedia menemani putranya belajar jika bocah itu menginginkannya. Malam tiba. Permata membaringkan tubuh lelahnya di atas kasur dan mendesah nyaman. Dia baru saja menidurkan Angkasa di kamar bocah itu dan kini gilirannya mengisti
“Kita akan terus bersama-sama melewati hidup ini. Kamu tidak membutuhkan sosok ayah dalam hidupmu karena Mami yang akan bekerja keras untuk memberikan Apa pun yang Angkasa inginkan. Dan menjadi sosok ayah yang Angkasa butuhkan.” Ucapan itu tegas keluar dari mulut Permata dan disaksikan dengan keheningan malam disertai dengan dentingan jarum jam. Dia sudah menjadi kuat sejak keberadaan Angkasa di dunia ini, dan akan seperti itu selamanya. Setelah menyelimuti putranya, Permata meninggalkan kamar Angkasa dengan langkah lunglai. Dia kembali ke kamarnya, namun sisa malam itu, Permata menghabiskannya dengan duduk diam karena rasa kantuknya lenyap begitu saja. Paginya, Berlian tampak lemah. Matanya sayu dan terlihat mengantuk. Almeda lantas mengeluarkan tanyanya, “Ada apa dengan matamu?” “Aku semalam nggak bisa tidur.” Permata menjawab sebelum masuk ke dalam mobil. Duduk dengan tenang di kursi belakang, kemudian memasang sabuk pengaman. Diikuti Almeda di sampingnya, dan Denial di kursi
“Aku benci ketika mengingat kamu membuatku menjadi seperti seorang pelacur.” Permata tidak peduli dengan pertanyaan Axel. “Aku benci ketika kamu membayarku seolah uangmu bisa menghapus luka yang kamu torehkan kepadaku. Tidak semua perempuan miskin bersedia menjual tubuhnya hanya demi uang, Axel.” Permata dengan berani mengelus dada Axel dengan lembut seolah dia sedang menggoda lelaki itu. Tubuh mereka menempel satu sama lain bahkan mereka bisa mencium aroma parfum keduanya. Permata bisa merasakan tubuh Axel menegang dan rahangnya mengerat. Jari-jarinya bermain di atas dada Axel yang berbalut kemeja putih. Permata tampak sudah berpengalaman melakukan hal itu. “Termasuk aku,” bisik Permata tepat di telinga Axel. Dia lebih berani. “Aku juga tidak akan pernah menjual tubuhku demi uang. Tapi, aku perlu berterima kasih kepadamu. Kalau bukan karena luka yang kamu berikan kepadaku, maka aku mungkin tidak akan berada di titik ini. Bahkan seorang Axel, meminta bekerja sama denganku.” K
“Saya belum pernah bertemu dengan Bapak. Mungkin Bapak melihat saya di majalah atau sejenisnya?” Permata belum lama di Indonesia dan dia bahkan langsung bekerja tak lama setelah itu. Terlebih lagi karena di masa lalu pun dia tak mengenal orang-orang kalangan atas selain Axel. Tentu saja Permata dengan yakin mengatakan yang sesungguhnya.“Tidak-tidak. Anda seperti tidak asing di mata saya.” Lelaki itu masih kukuh. Tapi selanjutnya dia menggeleng. “Lupakan saja. Yang penting sekarang adalah kerja sama kita.” Lelaki itu tersenyum kemudian memperkenalkan diri. “Saya Bayu. Yang bertanggung jawab untuk kerja sama ini.” Permata segera mengenalkan dirinya dan dua kawannya yang ada di sampingnya. Saat mereka mengurus kontrak, tim lelaki itu langsung berurusan dengan Infinity sehingga mereka belum sempat untuk bertemu. Dan hari ini untuk pertama kalinya pertemuan itu dilakukan. Ada kepuasan di mata lelaki itu saat melihat Permata bekerja dengan sangat baik.Permata kembali pulang saat malam
“Mami … Mami ….” Permata dibuat terkejut karena Angkasa menyadari keberadaannya. Dengan panik, Permata berlari ke belakang sebuah mobil untuk bersembunyi. Jantungnya hampir meledak saking gugupnya. Melongokkan kepalanya, dia masih bisa melihat Angkasa berdiri sambil menatap ke arahnya. “Maafkan, Mami, Sayang.” Gumamnya pelan.Dari tempatnya bersembunyi, Permata bisa melihat Axel juga menatap ke arah yang sama dengan Angkasa. Entah apa yang diucapkan oleh Axel kepada Angkasa, karena setelah itu putranya kembali dengan kegiatannya. Bocah itu terlihat bahagia dan yang menjadi pertanyaan Permata adalah kenapa Axel tetap bersama dengan Angkasa seolah sedang mengajari sesuatu kepada putranya. Setelah keadaan aman, Permata dengan pelan berjalan mengendap-endap seperti seorang pencuri sampai tiba di mobil Angkasa. “Kamu benar-benar mengambil resiko tinggi.” Denial yang berada di sana segera mengeluarkan rutukannya. “Kamu tahu aku setengah mati tetap berada di dalam mobil agar Axel tidak m
“Lepaskan atau aku akan teriak!” Permata sadar dan segera memberontak. Kedua tangannya berusaha mendorong dan memukul Axel. Tapi itu hanya sebuah kesia-siaan. Semakin dia bergerak, pelukan Axel semakin erat. Permata mengencangkan rahangnya erat dan kepalanya dipenuhi dengan emosi. Tak bisa dipungkiri Permata ketakutan.“Teriak saja. Itu tak berarti apa pun.” Axel semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang Permata. Meskipun hanya satu tangan, tapi kekuatan Permata tidak sebanding dengan Axel. “Kenapa kamu ketakutan? Ke mana keberanianmu yang kamu banggakan selama ini? Bukankah saat di hotel kamu berusaha menggodaku?” Tangan kanan Axel yang bebas bergerilya di wajah Permata. Mengelus wajah putih perempuan itu seperti yang dilakukan Permata ketika menggodanya saat itu. Permata mematung di tempatnya. Jantungnya berdentum tak karuan seperti dia akan mendapatkan hukuman mati. Permata berusaha mendorong dada Axel menggunakan kedua tangannya, tapi itu benar-benar tak terpengaruh. “Lepa
“Jangan pergi, Denial!” Permata mencegah agar lelaki itu tidak bertindak gegabah. Tapi Denial tidak peduli dengan teriakan Permata dan dia pergi begitu saja tanpa menoleh ke belakang. Deruan mesin mobil segera terdengar tak lama setelah itu membuat Permata dan Almeda menarik nafas panjang. Denial tampaknya sudah sangat marah dengan perlakukan Axel yang merendahkan Permata. “Besok aku akan bertemu dengan Pak Gema dan berbicara tentang masalah ini.” Almeda bersuara. “Kita harus menjadwal ulang untuk pemotretan Roque Glacio.“Apa yang akan kamu katakan kepada Pak Gema? Kita nggak mungkin mengungkap yang sebenarnya.” “Akan lebih baik kalau Axel di sana. Sehingga mudah buatku memancingnya memberikan jawaban yang sebenarnya.” Bukan hanya Permata yang merasakan sakit karena ulah Axel. Tapi orang-orang yang sudah bersama dengan Permata selama ini, pun merasakan sakit yang sama seperti yang dirasakan oleh Permata. Permata tidak banyak bicara setelah itu. Dia pamit kepada Almeda untuk perg
“Perempuan nakal tak tahu malu?” Denial mengulangi ucapan Axel dengan suara dingin yang membekukan. Selama dia mengenal Permata, tak pernah sekalipun Permata berperilaku yang menunjukkan ‘kenakalan’ seperti yang dikatakan oleh Axel. Perempuan itu justru menghindar jika ada laki-laki yang bemaksud tidak baik kepadanya. “Kamu menilai Permata terlalu tinggi, Tuan. Dia tidak sepolos yang Anda bayangkan. Dia adalah perempuan liar yang bisa menggoda siapapun.” Axel kembali mencemooh Permata. Tak tahan dengan ucapan Axel, Denial menyerang Axel kembali dengan hantaman kepalan tangannya di perut lelaki itu. Axel tertunduk berlutut. Lelaki itu memegangi perutnya dan tampak kesakitan. “Kalau mulutmu hanya berisi sampah, maka lebih kamu diam. Kamu tidak pernah tahu apa pun tentang Permata kecuali hanya menggunakan dia sebagai alat untuk mendapatkan keinginanmu.” Denial menjambak Axel sampai kepala lelaki itu mendongak. “Ingatlah kata-kataku. Perbuatanmu yang pengecut itu telah menjadikan P
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C