Guys, jangan lupa reviewnya dan masukkan ke library ya. Happy reading and happy weekend!!!
“Gema, tinggalkan kami. Ada yang ingin aku bicarakan dengan Berlian.” Ada kecanggungan yang tidak bisa dideskripsikan ketika suara Axel mengudara. Gema menatap Permata seolah dia memiliki banyak pertanyaan di dalam pikirannya. Tatapan Permata dan Axel beradu namun tidak ada keramahan yang ditunjukkan dari keduanya. Permata bahkan tampak tak seperti biasanya. Dia lebih terlihat dingin dan tak bersahabat. “Baiklah. Aku akan meninggalkan kalian. Pastikan kalian tidak berkelahi.” Gema mengeluarkan sedikit lelucon agar suasana di antara keduanya bisa sedikit mencair, tapi itu bukan apa-apa kecuali hanya lelucon garing karena baik Axel ataupun Permata tidak ada satupun yang menanggapinya.Gema menjauh setelah mendorong kursi roda Axel ke sebuah lorong sepi namun dia tak benar-benar meninggalkan lelaki itu. Menatap Axel dan Permata dari kejauhan dan memantau situasi. Dua orang yang mengatakan akan berbicara berdua itu kini menatap ke arah yang sama tanpa ada yang membuka percakapan lebih
“Dia pikir dia siapa bertindak seperti itu di perusahaanku.” Axel yang melihat seorang bodyguard di depan ruangan Permata semakin memendam kemarahan di dalam dirinya. Seharusnya dia yang berhak mengatur Permata, bukan sebaliknya. Kini Permata memutuskan sesuatu yang terasa semakin menginjak-injak harga dirinya. Selama Axel bekerja sama dengan banyak model, tak pernah dirinya diperlakukan seperti ini. “Pak Axel?” Seorang staf menyadarkan Axel dari lamunannya dan membuat lelaki itu menatap staf tersebut. “Ada yang Bapak butuhkan?” tanyanya. “Kapan pemotretan Berlian dilakukan?” tanya Axel. “Saya perlu melihat langsung dan sambungkan ke komputer saya agar saya bisa memantau. Dan, pastikan fotografernya bisa mendengarkan arahan saya.” Perintah itu segera mendapatkan anggukan dari staf tersebut. Axel kembali ke ruangannya dan duduk di kursi kebesarannya. Hampir sepuluh menit saat layar komputernya menunjukkan suasana pemotretan. Ada seringaian jahat yang tampak di wajah Axel. Entah a
“Kamu sudah bertindak terlalu jauh dan selama ini aku hanya diam saja.” Sejak pertemuan pertama mereka, Permata lah yang seolah memberikan penyerangan demi penyerangan kepada Axel, begitulah yang dipikirkan oleh lelaki itu. Dia sudah cukup diam diinjak-injak harga dirinya oleh Permata. Axel tentu saja tidak akan pernah merasa salah karena dia adalah manusia paling benar di dunia ini. Menghubungi seseorang, untuk memastikan sesuatu, Axel mengangguk-angguk puas setelahnya. “Kamu jual, aku beli, Permata. Seorang Axel tidak akan pernah dikalahkan oleh perempuan seperti dirimu,” gumamnya pada dirinya sendiri. Jika Permata mendengar itu, perempuan itu pasti akan menertawakannya dengan wajah geli yang dibuat-buat untuk memancing emosi Axel. *** Satu minggu berlalu saat dunia maya dihebohkan oleh foto Permata di dalam website resmi Roque Glacio. Wajah cantik dan mengesankannya menjadi topik pembicaraan. Banyak orang berkomentar dan mengatakan banyak pujian untuk Permata.[Tentu saja Roq
“Kamu kalah, Axel.” Permata bisa melihat bagaimana dinginnya tatapan Axel yang diberikan kepadanya. Saat orang memuji Permata habis-habisan di saat sebenarnya Axel ingin menyudutkan Permata, dari sanalah Permata mendapatkan kemenangannya. Axel tidak bisa berkutik lagi sekarang. Bahkan dia turun dari panggung dengan raut wajah kesal. “Baiklah, untuk semua tamu undangan. Anda semua bisa mendapatkan perhiasan secara pre order langsung melalui website Roque Glacio.” Permata tidak lagi peduli dengan apa pun yang dikatakan oleh pembawa acara memilih meminum minumannya dengan gerakan anggun yang mengesankan. Perempuan itu bisa merasakan sebuah tatapan tajam sedang menghujanjinya. Entah itu Axel, atau bahkan kekasih lelaki itu. Permata memilih abai dan menikmati acaranya. Saat acara berakhir, Permata pergi ke toilet untuk melakukan panggilan alam. Saat dia selesai dengan itu dan keluar dari toilet, ada perdebatan kecil yang didengar. Awalnya dia tak peduli sampai ‘namanya’ disebut. “Axel
“Kamu sangat mencintai dia, kan? Maka aku akan menjauhkanmu darinya. Sejauh mungkin sampai kamu tidak bisa mencapainya.” Leona pernah masuk dalam kehidupannya di masa lalu. Tentu saja dia harus terlibat dalam urusannya yang sekarang. Bukan perkara sulit hanya untuk membuat perempuan itu menderita. Tapi dia tidak akan terburu-buru, lebih baik dilakukan dengan santai dan menikmati setiap permainan. “Kamu dari mana saja?” Almeda yang sudah menunggu sejak tadi itu mengeluarkan protesnya karena Permata terlalu lama. Permata tidak mengatakan apa pun dan segera masuk ke dalam mobil. Setelah dia merasa nyaman, dia menceritakan kejadian yang baru saja dihadapi sehingga dia telat. Setiap kata yang dikeluarkan oleh Permata menjelaskan betapa dia sangat kesal luar biasa. “Jadi, selama ini Axel sama sekali nggak cinta sama dia? Dan lima tahun lalu, dia mendatangimu karena semata hanya cemburu tanpa alasan?” “Kamu benar. Itulah kenapa aku sekarang merasa kalau dia juga pantas mendapatkan balas
“Katakan, di mana Berlian sekarang? Kalau dia nggak mau ketemu gue, gue yang akan menemuinya sendiri.” Ucapan Axel tentu saja membuat Gema bereaksi keras. Bagaimanapun, Gema memiliki keharusan untuk melindungi artisnya. Siapa yang akan tahu apa yang dilakukan oleh Axel kepada Permata hanya karena dia merasa Permata tidak menghargainya? Gema tidak bisa mengatakan apa pun kecuali hanya diam. Kepalanya tiba-tiba saja berdenyut sakit dan dia memijat pelipisnya agar terasa lebih baik. “Gema, lo juga nggak mau bilang di mana dia sekarang?” “Axel.” Gema bersuara dengan tegas. “Lo adalah sahabat gue. Dan Berlian adalah artis yang bernaung dibawah perusahaan gue. Gue nggak bisa ngebuat dia merasa tidak nyaman karena keberadaan lo di sekitarnya. Kalau lo memang tertarik sama dia ….”“Gue nggak pernah tertarik sama dia. Nggak akan pernah.” Axel memutus ucapan Gema dengan dingin. “Lo harus buang jauh-jauh pikiran lo tentang itu.”“Lantas apa?” Gema tak mau kalah. “Gue nggak pernah tahu sebena
“Aku mengatakan aku belum ingin menikah, Ma. Jadi tolong hormati keputusanku.” Jawaban yang diberikan oleh Axel membuat Nyonya Rita tampak salah tingkah di depan Leona dan kedua orang tuanya. Bukan hanya ibu Axel, Leona yang tadinya tersenyum sumringah itu mengubah raut wajahnya dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Namun Nyonya Rita segera mencairkan suasana yang sempat membeku beberapa saat. “Kita duduk dulu. Bik, tolong panggilkan Bapak.” Seorang ART naik ke lantai dua untuk melakukan permintaan majikannya. Nyonya Rita memberikan kode agar Axel ikut duduk di sampingnya dan meskipun kemarahan sudah mulai mengumpul di atas kepalanya, Axel tetap mengikuti perintah ibunya. Mereka duduk berhadapan di sofa mewah di ruang keluarga. Nyonya Rita dengan keramahannya segera berbicara dengan topik-topik menyenangkan. “Kalian sudah datang.” Itu suara ayah Axel – Tuan Wisnu – memutus obrolan. Lelaki paruh baya itu masih tampak sehat meskipun usianya sudah setengah abad. Tuan Wisnu bersalama
“Lo harus pukul gue supaya gue percaya sama lo.” Gema tentu saja tidak akan begitu saja percaya dengan ucapan Axel. Bagaimanapun, dia merasa mengenal Axel dan lelaki itu tak pernah melirik atau pun peduli dengan seorang perempuan mana pun. Bahkan Leona yang menempel pada Axel pun, tidak dipedulikan. Namun jika mengingat bagaimana interaksi Permata dan Axel sejak mereka berdua bertemu untuk pertama kalinya, tentulah itu menimbulkan kecurigaan. “Xel, lo nggak sedang bohong, kan?” Axel bukan orang yang suka mengeluarkan kata-kata tidak berguna dengan sebuah kebohongan. Setidaknya, kebohongan di masa lalu yang dilakukan kepada Permata tidak dihitung. Tapi, ini sungguh sulit untuk dimengerti oleh Gema. Axel tidak menjawabnya. Dia memilih menutup matanya dan mengabaikan Gema yang ada di sampingnya. Jika Gema tidak percaya dengannya, maka itu bukan lagi urusannya. Yang terpenting adalah dia sudah mengatakan yang sebenarnya. “Gue harap lo bisa segera melakukan pembayaran untuk Permata
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C