“Katakan, di mana Berlian sekarang? Kalau dia nggak mau ketemu gue, gue yang akan menemuinya sendiri.” Ucapan Axel tentu saja membuat Gema bereaksi keras. Bagaimanapun, Gema memiliki keharusan untuk melindungi artisnya. Siapa yang akan tahu apa yang dilakukan oleh Axel kepada Permata hanya karena dia merasa Permata tidak menghargainya? Gema tidak bisa mengatakan apa pun kecuali hanya diam. Kepalanya tiba-tiba saja berdenyut sakit dan dia memijat pelipisnya agar terasa lebih baik. “Gema, lo juga nggak mau bilang di mana dia sekarang?” “Axel.” Gema bersuara dengan tegas. “Lo adalah sahabat gue. Dan Berlian adalah artis yang bernaung dibawah perusahaan gue. Gue nggak bisa ngebuat dia merasa tidak nyaman karena keberadaan lo di sekitarnya. Kalau lo memang tertarik sama dia ….”“Gue nggak pernah tertarik sama dia. Nggak akan pernah.” Axel memutus ucapan Gema dengan dingin. “Lo harus buang jauh-jauh pikiran lo tentang itu.”“Lantas apa?” Gema tak mau kalah. “Gue nggak pernah tahu sebena
“Aku mengatakan aku belum ingin menikah, Ma. Jadi tolong hormati keputusanku.” Jawaban yang diberikan oleh Axel membuat Nyonya Rita tampak salah tingkah di depan Leona dan kedua orang tuanya. Bukan hanya ibu Axel, Leona yang tadinya tersenyum sumringah itu mengubah raut wajahnya dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Namun Nyonya Rita segera mencairkan suasana yang sempat membeku beberapa saat. “Kita duduk dulu. Bik, tolong panggilkan Bapak.” Seorang ART naik ke lantai dua untuk melakukan permintaan majikannya. Nyonya Rita memberikan kode agar Axel ikut duduk di sampingnya dan meskipun kemarahan sudah mulai mengumpul di atas kepalanya, Axel tetap mengikuti perintah ibunya. Mereka duduk berhadapan di sofa mewah di ruang keluarga. Nyonya Rita dengan keramahannya segera berbicara dengan topik-topik menyenangkan. “Kalian sudah datang.” Itu suara ayah Axel – Tuan Wisnu – memutus obrolan. Lelaki paruh baya itu masih tampak sehat meskipun usianya sudah setengah abad. Tuan Wisnu bersalama
“Lo harus pukul gue supaya gue percaya sama lo.” Gema tentu saja tidak akan begitu saja percaya dengan ucapan Axel. Bagaimanapun, dia merasa mengenal Axel dan lelaki itu tak pernah melirik atau pun peduli dengan seorang perempuan mana pun. Bahkan Leona yang menempel pada Axel pun, tidak dipedulikan. Namun jika mengingat bagaimana interaksi Permata dan Axel sejak mereka berdua bertemu untuk pertama kalinya, tentulah itu menimbulkan kecurigaan. “Xel, lo nggak sedang bohong, kan?” Axel bukan orang yang suka mengeluarkan kata-kata tidak berguna dengan sebuah kebohongan. Setidaknya, kebohongan di masa lalu yang dilakukan kepada Permata tidak dihitung. Tapi, ini sungguh sulit untuk dimengerti oleh Gema. Axel tidak menjawabnya. Dia memilih menutup matanya dan mengabaikan Gema yang ada di sampingnya. Jika Gema tidak percaya dengannya, maka itu bukan lagi urusannya. Yang terpenting adalah dia sudah mengatakan yang sebenarnya. “Gue harap lo bisa segera melakukan pembayaran untuk Permata
“Kamu terus menolakku selama ini, tapi kamu begitu baik kepada perempuan itu?” Kebencian Leona semakin membumbung tinggi kepada Permata setelah melihat adegan malam ini. Dilihat dari tempatnya, Axel dan Permata tampak akrab dan itu melukai hatinya. Selama ini, Leona tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh Axel. Apa yang dimiliki oleh Permata sehingga membuat Axel tertarik kepada perempuan itu? Pertanyaan itu mengaung di dalam kepalanya. Axel menatap Leona tampak tak bersalah. Dia justru merasa Leona sangat mengganggunya. “Kenapa kamu di sini?” Bukannya menjelaskan sesuatu, Axel justru menanyakan sesuatu di luar konteks. “Ini sudah terlalu malam untuk seorang perempuan berkeliaran di luar rumah.” “Kalau aku tidak melakukan ini, maka aku tidak akan tahu kalau kamu bermain dengan perempuan lain tanpa sepengetahuanku.” Ekspresi Axel begitu dingin saat mendengar ucapan Leona. Atas dasar apa Leona menuduhkan ucapan semacam itu kepadanya? Leona bukan kekasihnya, bukan juga istrinya,
“Apa yang ingin Ibu bicarakan? Saya masih ada jadwal dan saya harus bekerja.” Permata menatap perempuan yang ada di depannya itu dengan tatapan datar miliknya tanpa ada perasaan takut sedikitpun. Namun itu berbanding terbalik dengan Leona yang tidak akan berhenti sampai di sana sebelum dia memeringatkan Permata tentang Axel. “Ikut denganku, maka kamu akan tahu.” Leona bersikap seperti Permata adalah karyawannya. Hal itu membuat Almeda dan Denial merasakan darahnya mendidih. Namun alih-alih marah, Permata dengan ringan menjawab, “Anda bukan bos saya yang mengharuskan saya mengikuti perintah Anda, Bu. Maka jika Anda mau berbicara dengan saya, silakan berbicara di sini. Saya akan memastikan kepada Anda kalau saya mendengarnya dengan sangat jelas.” “Kamu menolakku? Beraninya kamu!” Suaranya meninggi dan menarik perhatian beberapa orang. Bahkan beberapa staf yang melihat itu segera mendekat dan memastikan tidak ada kekacauan. “Berlian, kamu baik-baik saja?” Begitu lelaki itu bertanya.
“Angkasa awas!” Axel menangkap Angkasa yang hampir saja tertabrak oleh sepeda yang dikendarai oleh seorang anak laki-laki. Axel memeluk bocah kecil itu dan mereka terjatuh di atas rumput hias dengan Angkasa berada di atas tubuh lelaki itu. “Om, aku minta maaf.” Bocah bekisar umur sembilan tahun itu mendekat dengan wajah ketakutan. Tapi dia cukup berani untuk tidak lari dan memilih untuk meminta maaf. Bukan hanya itu, Sus Dian juga berlari untuk melihat kondisi Angkasa. “Angkasa.” Perempuan itu segera merebut Angkasa dari Axel dan memastikan jika bocah itu baik-baik saja.Sus Dian tentu saja bukan tidak memperhatikan Angkasa. Perempuan itu ada di sana dan memantau Angkasa. Hanya ada beberapa langkah dari tempatnya duduk, Angkasa tiba-tiba saja turun dari sepedanya dan berlari ke arahnya. Sus Dian belum menyadari kedatangan Axel sampai lelaki itu meneriaki Angkasa ‘awas’. “Angkasa tidak apa-apa?” Sus Dian benar-benar ketakutan saat memeriksa tubuh Angkasa. Tidak ada lecet atau apa
“Gue tahu.” Bayu tidak memiliki hak apa pun untuk mengungkapkan sesuatu atas masalah yang bukan masalahnya. “Tapi, lo masih ngelibatin diri dengan perempuan itu? Kenapa?”“Dia datang untuk menuntut balas.” Axel tanpa ragu mengungkapkan kepada Bayu. “Perbuatan yang pernah gue lakukan sama dia di masa lalu.” Setelah Axel mengatakan itu, mereka berdua diliputi keheningan. Bayu mungkin berpikir jika itu pantas dilakukan oleh Permata mengingat bagaimana Axel melakukan sesuatu yang sangat menyakitkan untuk perempuan itu di masa lalu. Dan sekarang saat Permata kembali, dia bukan lagi seorang Permata yang mudah dikelabui oleh rayuan gombal seorang lelaki. Permata fokus pada pekerjaannya dan dia dikenal di penjuru negeri ini. *** Permata sedang menidurkan Angkasa saat bocah itu berbaring tidak tenang. Sejak tadi, Angkasa seolah enggan untuk menutup matanya seolah dia sedang terganggu oleh sesuatu yang menyeramkan.“Angkasa kenapa? Angkasa sakit?” Karena bocah itu menahan dirinya untuk tida
“Kalau begitu, Onty Al akan mencari jadwal libur untuk Mami.” Sekali lagi, Angkasa tersenyum dengan anggukan semangat ketika mendengar janji yang diberikan oleh ibunya. Hal itu membuat Permata merasa perasaannya sedikit lebih baik dari sebelumnya. Dalam hati dia terus berjanji membuat putranya bahagia. Setelah obrolan pagi itu, Permata berangkat kerja bersama dengan Almeda dan Denial. Tentu saja dia selalu memberikan wejangan kepada Sus Dian untuk menjaga putranya dengan baik. Permata menutup matanya sepanjang perjalanannya ketika Almeda memekik marah.“Apa ini?” Begitu katanya. Permata tidak peduli dengan Almeda dan terus menutup matanya erat. Almeda terkadang berlebihan saat menanggapi sesuatu. “Berita apa ini?” Denial yang melihat Almeda dari kaca spion segera menoleh ke belakang. “Ada apa?” “Buka hp-mu dan kamu akan lihat.” Denial tidak mengambil banyak waktu untuk melihat apa yang dilihat oleh Almeda. Dalam sekejap berita itu menyeruak keluar. [Berlian Berkencan Dengan Kek
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C