“Kita akan terus bersama-sama melewati hidup ini. Kamu tidak membutuhkan sosok ayah dalam hidupmu karena Mami yang akan bekerja keras untuk memberikan Apa pun yang Angkasa inginkan. Dan menjadi sosok ayah yang Angkasa butuhkan.”
Ucapan itu tegas keluar dari mulut Permata dan disaksikan dengan keheningan malam disertai dengan dentingan jarum jam. Dia sudah menjadi kuat sejak keberadaan Angkasa di dunia ini, dan akan seperti itu selamanya.
Setelah menyelimuti putranya, Permata meninggalkan kamar Angkasa dengan langkah lunglai. Dia kembali ke kamarnya, namun sisa malam itu, Permata menghabiskannya dengan duduk diam karena rasa kantuknya lenyap begitu saja.
Paginya, Berlian tampak lemah. Matanya sayu dan terlihat mengantuk. Almeda lantas mengeluarkan tanyanya, “Ada apa dengan matamu?”
“Aku semalam nggak bisa tidur.”
Permata menjawab sebelum masuk ke dalam mobil. Duduk dengan tenang di kursi belakang, kemudian memasang sabuk pengaman. Diikuti Almeda di sampingnya, dan Denial di kursi depan di dekat supir.
“Ada apa? Apa ada yang mengganggumu?”
“Nggak. Aku membaca naskah dan aku berpikir kalau cerita ini seperti kisahku. Dan aku berencana untuk menerimanya.”
“Kamu yakin?”
“Aku yakin. Aku tertarik memainkannya. Ini pertama kalinya aku bermain drama dan aku berharap akan membuat namaku lebih kukuh di dunia hiburan.”
“Baiklah. Aku akan membicarakannya dengan Pak Gema.” Almeda meyakinkan kepada Permata.
Mereka tiba di Infinity tak lama setelah itu. Mereka keluar dari mobil dan menuju ke ruangan Gema. Axel terlihat di sana sedang mengobrol dengan Gema. Sambutan Gema terdengar ramah.
“Maaf karena membuat kalian harus datang pagi-pagi sekali.” Gema memulai. “Ini adalah beberapa perhiasan yang akan kamu kenakan saat pemotretan nanti.” Gema membuka kotak perhiasan mewah dan perhiasan bertahtakan berlian biru keabuan segera tampak berkilauan.
“Roque Glacio memiliki ciri khasnya dengan berlian biru keabuannya. Karena itu kenapa perusahaan perhiasan ini diberikan nama Roque Glacio sesuai dengan cirinya.”
Gema menjelaskan kepada Permata alih-alih Axel yang melakukannya. Penjelasan itu ditujukan untuk memperkenalkan perhiasan tersebut untuk ‘mengakrabkan’ Permata dengan benda tersebut. Si pemilik Roque Glacio itu justru hanya diam dengan tatapan mata lurus menatap Permata. Permata menatap perhiasan itu dengan konsentrasi tinggi. Benda itu benar-benar tampak mewah dan berkilauan.
“Kapan kita akan melakukan pemotretan?” tanya Almeda.
“Satu minggu lagi. Pemotretan akan dilakukan di perusahaan saya.” Axel menjawab namun tatapannya sama sekali tak beralih dari Permata.
Namun Permata mengabaikan apa pun di sekitarnya dan hanya terus menatap sekotak perhiasan yang ada di depannya. Tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Permata ketika sejak datang tadi perempuan itu tidak berbicara sepatah kata pun. Permata tampak kurang bersemangat. Dia juga tidak fokus.
“Berlian.” Almeda menyenggol Permata dengan pelan untuk menyadarkan perempuan itu. “Pemotretan akan dilakukan seminggu lagi di Roque Glacio. Apa kamu setuju?”
“Lakukan saja.” Permata menjawab cepat. “Aku sudah mendengar semua yang kalian bicarakan,” lanjutnya dengan santai. “Bisakah saya pamit dan menyerahkan semuanya kepada Almeda? Ada hal yang perlu saya kerjakan.”
“Kamu mau ke mana? Ada jadwalmu dua jam lagi.” Almeda mencoba menahan.
“Aku akan datang ke sana tepat waktu. Sekarang aku benar-benar harus pergi. Al, aku serahkan semuanya kepadamu. Pak Gema dan Pak Axel, Anda bisa membicarakan apa pun kepada Almeda tentang pekerjaan saya.”
Permata berdiri dari duduknya, menyandang tasnya, kemudian pamit. “Denial ikut bersamamu!” Almeda menahan Permata yang akan pergi.
“Aku akan pergi sendiri. Tenang saja, aku akan berhati-hati.”
Tanpa menunggu lagi, Permata pergi begitu saja. Hal itu membuat Almeda tampak khawatir meskipun dia berusaha berkonsentrasi. Namun yang membuat kekhawatiran Almeda bertambah tinggi adalah ketika Axel juga pamit dari sana tak lama setelah Permata pergi. Tampak terburu-buru seperti ingin mengejar Permata.
Sedangkan Permata yang sudah berada di dalam taksi itu tampak santai. Entah kenapa tiba-tiba saja dia ingin pergi ke suatu tempat. Permata sampai di depan hotel bintang lima. Bertanya kepada resepsionis apakah kamar tujuannya ada yang menempati atau tidak. Dan dia segera memesannya untuk dirinya sendiri saat kamar itu kosong.
Membuka pintu kamar hotel yang dipesannya, hatinya tiba-tiba dipenuhi dengan perasaan sedih luar biasa. Menyusuri setiap sudut tempat itu dengan langkah pelan.
“Tempat ini. Tempat ini adalah saksi bisu hancurnya perasaanku karena dirimu, Axel.”
Ekspresi Permata menegang dan pegangan tangannya pada tasnya menguat. Raut wajahnya sungguh kelam.
“Kalau kamu tidak memerangkapku dalam permainanmu, aku tidak akan pernah melangkah sejauh ini. Aku dulu sangat mencintaimu tapi kamu menyia-nyiakan cinta itu.”
Permata sudah seperti orang gila karena berbicara seorang diri. Permata menatap ranjang, dan dia masih ingat betul bagaimana terburu-burunya Axel menidurinya. Dia saat itu beranggapan kalau yang dilakukan oleh Axel karena lelaki itu melakukannya karena begitu mencintainya. Sayangnya itu hanya sebuah permainan.
Kejadian lima tahun lalu yang tidak pernah dilupakan oleh Permata itu kini seperti sebuah film yang diputar ulang dan menunjukkan adegan demi adegan yang terjadi.
Permata duduk di sofa di dekat dinding kaca sambil menatap ke arah langit. Cuaca hari ini memang cerah, tapi tidak dengan suasana hati Permata. Karena mimpinya semalam, dia menjadi ketakutan kalau Axel benar-benar mengambil Angkasa dari tangannya.
“Apa yang kamu lakukan di sana?” Permata memesan makanan dan siapa yang menduga kalau Axel yang mengantarkannya.
Lelaki itu mendorong troli makanan menuju ke arahnya. Permata menatap lelaki itu dengan datar. Tak menyangka kalau Axel akan mengikutinya.
Ada seringaian di bibir Axel ketika lelaki itu duduk di depan Permata. “Sepertinya kamu sedang bernostalgia di tempat ini. Kenapa? Kamu ingin mengulanginya?”
Permata tidak menjawab dan hanya memberikan jawaban dari pertanyaan Axel karena dia memiliki pertanyaannya sendiri.
“Bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini? Mengikutiku?”
“Untuk apa aku mengikutimu? Kamu tidak seberharga itu sampai aku harus membuang waktuku.”
“Kalau begitu pergilah. Wajahmu sangat menjijikkan sampai aku mual dibuatnya. Pergi!”
Seringaian Axel yang tadinya tampak di bibirnya itu kini menghilang karena ucapan Permata. “Sepertinya, sopan santunmu menghilang karena kelamaan berada di luar negeri.”
“Aku harus bersikap sopan dengan orang yang berhak mendapatkannya. Pergilah. Jangan membuatku marah,” usir Permata lagi tapi Axel tidak pernah peduli dengan ucapan perempuan itu.
“Kenapa? Seharusnya kamu senang aku ada di sini. Karena imajinasimu mengenang malam itu akan semakin terbantu. Kamu datang ke sini tentu saja bukan tanpa tujuan bukan?”
“Kamu benar. Aku berada di tempat ini bukan tanpa tujuan.” Tatapan Permata dan Axel beradu. Ada kobaran api yang menyala di dalam mata perempuan itu. “Aku sedang kembali mengingat tentang bagaimana aku disakiti oleh lelaki bedebah bernama Axel. Aku ingat bagaimana lelaki itu menghancurkan hatiku tanpa tersisa menimbulkan luka menganga dan berdarah-darah.”
Senyuman Permata muncul setelah mengatakan itu. “Kamu tahu saat itu apa yang ingin aku lakukan? Mengakhiri hidupku. Aku ingin mati dan menghilang dari dunia ini. Untuk apa aku hidup jika aku harus menderita dan itu karena keegoisan seorang. Tapi aku merasa lebih bodoh lagi karena mudah sekali diperdaya oleh perasaan cinta yang aku miliki.”
Permata menarik nafasnya panjang. Tatapannya masih melekat pada wajah Axel yang tampak mengeratkan rahangnya.
“Aku dulu mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Kamu pasti bangga dengan dirimu sendiri, kan, karena berhasil membuat perempuan polos jatuh ke dalam pelukanmu? Namun pada akhirnya, aku tidak lagi menyalahkanmu setelahnya. Itu adalah kesalahanku kenapa aku lemah terhadap cinta semu yang tidak seharusnya aku rasakan. Bukankah Axel adalah orang paling benar? Jadi kejadian lima tahun yang lalu semata hanyalah kesalahanku. Benar-benar kesalahanku.”
Permata berdiri dan bermaksud untuk mengambil makanan yang masih ada di troli. Namun dia mengurungkannya sebab dia tak ingin Axel menambahkan sesuatu di dalamnya dan membuatnya kehilangan kesadaran. Permata berjalan mendekati Axel. Duduk di atas pangkuan lelaki itu kemudian mengalungkan tangannya di lehernya, membuat Axel terkejut.
“A – apa yang kamu lakukan?”
***
“Aku benci ketika mengingat kamu membuatku menjadi seperti seorang pelacur.” Permata tidak peduli dengan pertanyaan Axel. “Aku benci ketika kamu membayarku seolah uangmu bisa menghapus luka yang kamu torehkan kepadaku. Tidak semua perempuan miskin bersedia menjual tubuhnya hanya demi uang, Axel.” Permata dengan berani mengelus dada Axel dengan lembut seolah dia sedang menggoda lelaki itu. Tubuh mereka menempel satu sama lain bahkan mereka bisa mencium aroma parfum keduanya. Permata bisa merasakan tubuh Axel menegang dan rahangnya mengerat. Jari-jarinya bermain di atas dada Axel yang berbalut kemeja putih. Permata tampak sudah berpengalaman melakukan hal itu. “Termasuk aku,” bisik Permata tepat di telinga Axel. Dia lebih berani. “Aku juga tidak akan pernah menjual tubuhku demi uang. Tapi, aku perlu berterima kasih kepadamu. Kalau bukan karena luka yang kamu berikan kepadaku, maka aku mungkin tidak akan berada di titik ini. Bahkan seorang Axel, meminta bekerja sama denganku.” K
“Saya belum pernah bertemu dengan Bapak. Mungkin Bapak melihat saya di majalah atau sejenisnya?” Permata belum lama di Indonesia dan dia bahkan langsung bekerja tak lama setelah itu. Terlebih lagi karena di masa lalu pun dia tak mengenal orang-orang kalangan atas selain Axel. Tentu saja Permata dengan yakin mengatakan yang sesungguhnya.“Tidak-tidak. Anda seperti tidak asing di mata saya.” Lelaki itu masih kukuh. Tapi selanjutnya dia menggeleng. “Lupakan saja. Yang penting sekarang adalah kerja sama kita.” Lelaki itu tersenyum kemudian memperkenalkan diri. “Saya Bayu. Yang bertanggung jawab untuk kerja sama ini.” Permata segera mengenalkan dirinya dan dua kawannya yang ada di sampingnya. Saat mereka mengurus kontrak, tim lelaki itu langsung berurusan dengan Infinity sehingga mereka belum sempat untuk bertemu. Dan hari ini untuk pertama kalinya pertemuan itu dilakukan. Ada kepuasan di mata lelaki itu saat melihat Permata bekerja dengan sangat baik.Permata kembali pulang saat malam
“Mami … Mami ….” Permata dibuat terkejut karena Angkasa menyadari keberadaannya. Dengan panik, Permata berlari ke belakang sebuah mobil untuk bersembunyi. Jantungnya hampir meledak saking gugupnya. Melongokkan kepalanya, dia masih bisa melihat Angkasa berdiri sambil menatap ke arahnya. “Maafkan, Mami, Sayang.” Gumamnya pelan.Dari tempatnya bersembunyi, Permata bisa melihat Axel juga menatap ke arah yang sama dengan Angkasa. Entah apa yang diucapkan oleh Axel kepada Angkasa, karena setelah itu putranya kembali dengan kegiatannya. Bocah itu terlihat bahagia dan yang menjadi pertanyaan Permata adalah kenapa Axel tetap bersama dengan Angkasa seolah sedang mengajari sesuatu kepada putranya. Setelah keadaan aman, Permata dengan pelan berjalan mengendap-endap seperti seorang pencuri sampai tiba di mobil Angkasa. “Kamu benar-benar mengambil resiko tinggi.” Denial yang berada di sana segera mengeluarkan rutukannya. “Kamu tahu aku setengah mati tetap berada di dalam mobil agar Axel tidak m
“Lepaskan atau aku akan teriak!” Permata sadar dan segera memberontak. Kedua tangannya berusaha mendorong dan memukul Axel. Tapi itu hanya sebuah kesia-siaan. Semakin dia bergerak, pelukan Axel semakin erat. Permata mengencangkan rahangnya erat dan kepalanya dipenuhi dengan emosi. Tak bisa dipungkiri Permata ketakutan.“Teriak saja. Itu tak berarti apa pun.” Axel semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang Permata. Meskipun hanya satu tangan, tapi kekuatan Permata tidak sebanding dengan Axel. “Kenapa kamu ketakutan? Ke mana keberanianmu yang kamu banggakan selama ini? Bukankah saat di hotel kamu berusaha menggodaku?” Tangan kanan Axel yang bebas bergerilya di wajah Permata. Mengelus wajah putih perempuan itu seperti yang dilakukan Permata ketika menggodanya saat itu. Permata mematung di tempatnya. Jantungnya berdentum tak karuan seperti dia akan mendapatkan hukuman mati. Permata berusaha mendorong dada Axel menggunakan kedua tangannya, tapi itu benar-benar tak terpengaruh. “Lepa
“Jangan pergi, Denial!” Permata mencegah agar lelaki itu tidak bertindak gegabah. Tapi Denial tidak peduli dengan teriakan Permata dan dia pergi begitu saja tanpa menoleh ke belakang. Deruan mesin mobil segera terdengar tak lama setelah itu membuat Permata dan Almeda menarik nafas panjang. Denial tampaknya sudah sangat marah dengan perlakukan Axel yang merendahkan Permata. “Besok aku akan bertemu dengan Pak Gema dan berbicara tentang masalah ini.” Almeda bersuara. “Kita harus menjadwal ulang untuk pemotretan Roque Glacio.“Apa yang akan kamu katakan kepada Pak Gema? Kita nggak mungkin mengungkap yang sebenarnya.” “Akan lebih baik kalau Axel di sana. Sehingga mudah buatku memancingnya memberikan jawaban yang sebenarnya.” Bukan hanya Permata yang merasakan sakit karena ulah Axel. Tapi orang-orang yang sudah bersama dengan Permata selama ini, pun merasakan sakit yang sama seperti yang dirasakan oleh Permata. Permata tidak banyak bicara setelah itu. Dia pamit kepada Almeda untuk perg
“Perempuan nakal tak tahu malu?” Denial mengulangi ucapan Axel dengan suara dingin yang membekukan. Selama dia mengenal Permata, tak pernah sekalipun Permata berperilaku yang menunjukkan ‘kenakalan’ seperti yang dikatakan oleh Axel. Perempuan itu justru menghindar jika ada laki-laki yang bemaksud tidak baik kepadanya. “Kamu menilai Permata terlalu tinggi, Tuan. Dia tidak sepolos yang Anda bayangkan. Dia adalah perempuan liar yang bisa menggoda siapapun.” Axel kembali mencemooh Permata. Tak tahan dengan ucapan Axel, Denial menyerang Axel kembali dengan hantaman kepalan tangannya di perut lelaki itu. Axel tertunduk berlutut. Lelaki itu memegangi perutnya dan tampak kesakitan. “Kalau mulutmu hanya berisi sampah, maka lebih kamu diam. Kamu tidak pernah tahu apa pun tentang Permata kecuali hanya menggunakan dia sebagai alat untuk mendapatkan keinginanmu.” Denial menjambak Axel sampai kepala lelaki itu mendongak. “Ingatlah kata-kataku. Perbuatanmu yang pengecut itu telah menjadikan P
“Gema, tinggalkan kami. Ada yang ingin aku bicarakan dengan Berlian.” Ada kecanggungan yang tidak bisa dideskripsikan ketika suara Axel mengudara. Gema menatap Permata seolah dia memiliki banyak pertanyaan di dalam pikirannya. Tatapan Permata dan Axel beradu namun tidak ada keramahan yang ditunjukkan dari keduanya. Permata bahkan tampak tak seperti biasanya. Dia lebih terlihat dingin dan tak bersahabat. “Baiklah. Aku akan meninggalkan kalian. Pastikan kalian tidak berkelahi.” Gema mengeluarkan sedikit lelucon agar suasana di antara keduanya bisa sedikit mencair, tapi itu bukan apa-apa kecuali hanya lelucon garing karena baik Axel ataupun Permata tidak ada satupun yang menanggapinya.Gema menjauh setelah mendorong kursi roda Axel ke sebuah lorong sepi namun dia tak benar-benar meninggalkan lelaki itu. Menatap Axel dan Permata dari kejauhan dan memantau situasi. Dua orang yang mengatakan akan berbicara berdua itu kini menatap ke arah yang sama tanpa ada yang membuka percakapan lebih
“Dia pikir dia siapa bertindak seperti itu di perusahaanku.” Axel yang melihat seorang bodyguard di depan ruangan Permata semakin memendam kemarahan di dalam dirinya. Seharusnya dia yang berhak mengatur Permata, bukan sebaliknya. Kini Permata memutuskan sesuatu yang terasa semakin menginjak-injak harga dirinya. Selama Axel bekerja sama dengan banyak model, tak pernah dirinya diperlakukan seperti ini. “Pak Axel?” Seorang staf menyadarkan Axel dari lamunannya dan membuat lelaki itu menatap staf tersebut. “Ada yang Bapak butuhkan?” tanyanya. “Kapan pemotretan Berlian dilakukan?” tanya Axel. “Saya perlu melihat langsung dan sambungkan ke komputer saya agar saya bisa memantau. Dan, pastikan fotografernya bisa mendengarkan arahan saya.” Perintah itu segera mendapatkan anggukan dari staf tersebut. Axel kembali ke ruangannya dan duduk di kursi kebesarannya. Hampir sepuluh menit saat layar komputernya menunjukkan suasana pemotretan. Ada seringaian jahat yang tampak di wajah Axel. Entah a
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C