“Silakan masuk.” Bu Cintya tidak terlihat terkejut dengan kedatangan Sandra dan kedua orang tuanya. Entah apa yang dimaksud dengan meminta pertanggungjawaban, tapi penjelasan tentang itu harus didengar. Mereka duduk di ruang keluarga rumah Bu Cintya dengan ekspresi kaku. Namun tentu berbeda dengan Bu Cintya yang masih tampak biasa. Tidak ada gejolak emosi yang ditunjukkan. Denial yang sudah naik ke lantai dua pun tidak tahu apa-apa. Rencananya setelah ini dia akan kembali keluar untuk menjemput istrinya. Namun sepertinya, dia tidak bisa melakukannya karena ada hal yang perlu diselesaikan. Di ruang tamu, pembicaraan sudah dimulai. Ayah Sandra yang memulai lebih dulu. “Kami datang ke sini ingin bertemu dengan Denial, Bu. Ada hal yang perlu kami tegaskan dan pertanyakan.” Begitu katanya. “Tentang apa, Pak?” Bu Cintya tampak tidak terpengaruh. Ditatapnya satu per satu orang yang ada di depannya dengan tatapan lekat. Sandra tampak menutup mulutnya rapat enggan bersuara. Dia terlihat k
Ruangan itu untuk sejenak hening dan tidak ada yang berkata-kata. Ide ini memang terdengar gila, tapi bagi Denial, jalan inilah yang terbaik. Dia sudah percaya dengan Baron dan anggotanya dengan baik dan lama mereka bersama, jadi tahu persis mereka adalah orang-orang yang bisa dipercaya. “Den, kenapa kamu mengusulkan hal-hal seperti itu?” Sandra tampaknya tak nyaman dengan pembahasan tersebut. “Ini adalah opsi yang barangkali kamu bisa lakukan, Sandra. Terlebih lagi seandainya kamu nggak percaya dengan aku atau orang-orangku.” “Aku datang ke sini untuk memastikan ini. Jika memang benar, dua orang yang membawaku pulang adalah orang yang kamu suruh untuk menjemputku.” Sandra sepertinya tidak ingin memperpanjang masalah. “Kalau memang benar, aku terima kasih.” “Iya, mereka benar-benar orang yang aku suruh.” Kekecewaan yang Sandra tunjukkan lewat ekspresi wajahnya begitu kentara. Ada niat terselubung dalam setiap tindakan yang dia lakukan, tapi Denial tetaplah lelaki yang penuh dengan
Pemotretan berjalan dengan sangat baik di bawah komando Permata. Dia benar-benar ikut terjun langsung melihat jalannya pemotretan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Setelah kontrak disepakati, mereka harus segera bekerja. Karena waktu untuk launching Crystal fashion sebentar lagi akan dilakukan. “Bagaimana pemotretannya? Lancar?” Denial bertanya kepada Crystal setelah mereka sudah berada di kamar. Sekarang mereka sudah sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Crystal dengan fashionnya, dan Denial dengan dokumen-dokumen penting yang harus dicek. “Oke semua, Mas. Mbak Permata emang keren. Jam terbang mah nggak bisa bohong.” Denial tersenyum bangga mendengar istrinya memuji Permata. “Kalau nggak gitu, mana bisa dia menjadi top model di luar negeri. Dia sudah menjadi model kelas A di sana.” “Sayang ya, Mas dia milih datang ke Indonesia lagi. Tapi nggak juga sih, hanya dengan hitungan minggu, nama dia juga sudah melejit. Bukan model dari kelas A lagi. A plus malah.”
Berkendara selama hampir satu setengah jam, mereka berada di sebuah danau besar di pinggiran kota. Tempat itu tampak indah dan sejuk. Denial menurunkan kursi lipatnya dan memasang di bawah pohon besar yang masih belum terjamah oleh sinar matahari. Tapi tentu, untuk beberapa jam ke depan, mereka harus pindah tempat karena matahari sudah mulai meninggi dan tempat itu akan panas. “Wah, ini tempat indah banget. Ayah kalau memancing selalu di sini?” Itu suara Gema. Lelaki itu merentangkan kedua tangannya sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya. Udaranya benar-benar segar. “Sudah lama Ayah nggak datang. Untung Ayah punya anak-anak lelaki yang bisa diajak memancing dan menemani Ayah.” Lelaki tua itu tersenyum lebar merasa puas. Bagaimana tidak, dia sekarang punya tiga orang anak laki-laki yang begitu baik dan peduli kepadanya.Tentu saja itu minus Radit. Mereka berempat sudah duduk sambil memasang umpan untuk dilemparkan ke dalam air sebelum Denial bersuara. “Ayah nggak pernah ngajak Ra
Crystal tampak tidak menjawab. Matanya melirik kecil ke arah Om Rudy yang tampak menegang. Dan semakin kelam ketika suara ibu Gema terdengar dari arah pintu samping. Kebiasaan untuk orang-orang yang sudah terbiasa datang ke rumah Gema Almeda, mereka tidak akan perlu repot-repot memencet bel, menunggu pintu utama dibuka, barulah masuk. Tentu saja itu hanya membuang waktunya saja. Ketika ibu Gema datang, tak lama, ibu Axel juga datang. Denial dan Crystal bahkan harap-harap cemas. Namun tidak ada tanda-tanda Bu Cintya ikut bergabung bersama mereka. “Aku udah tahu kalau Mama nggak bakalan ikut.” Ada sedikit rasa kecewa, tapi itu akan lebih baik daripada mereka nantinya dihinggapi kecanggungan. “Aku ke dapur lagi aja.” Crystal kemudian bergabung bersama dengan para ibu-ibu di sana untuk memasak hasil ‘memancing’ beberapa jam yang lalu itu. Para bapak-bapak tentu saja saling mengobrol, sesekali tertawa. Mereka berada di ruang keluarga yang ruangannya bisa terlihat dari dapur karena hany
Denial berguling untuk mendekat pada sang istri. Lelaki itu menjadikan Crystal guling. Menimpakan kakinya di kaki sang istri, tangan kanannya mengalung di pinggang, dan napasnya teratur. Lelaki itu sepertinya sudah hampir tertidur. Bu Cintya yang melihat itu sama sekali tak menginterupsi. “Mas, kalau tidur ke atas ayo.” Denial justru mengeratkan pelukannya alih-alih melepaskan. Kepala Crystal yang berbantalan bantal sofa pun tidak lagi mengganggu sang suami. Dia hanya terus memainkan ponselnya membuka-buka media social. Dan beberapa foto yang diambil saat makan-makan tadi. Elang dan Moza yang berfoto bersama tampak lucu luar biasa. Moza yang lebih tua dari Elang itu hampir meraup wajah Elang yang tengah dibaringkan di atas kasur lantai. Dia ingin segera mendapatkan bayi-bayi menggemaskan seperti itu juga. Suatu hari nanti, dia pasti mendapatkannya. “Kalian segera pindah ke kamar. Mama juga mau ke kamar.” Bu Cintya sudah berdiri dan melirik pasangan yang tengah berbaring di karpet
Semua tamu undangan yang hadir, staf, dan karyawan pun tampak bahagia malam ini. Store pertama akan dibuka esok hari dan semua yang ada di sana tentu saja hasil dari Crystal fashion. Acara berjalan dengan lancar, dan banyak orang saling bercengkrama. Sesekali tawa terdengar di setiap gerombolan. Bu Cintya pun dengan bangganya memperkenalkan Crystal kepada teman-temannya yang datang. Hal itu membuat Om Rudy hanya bisa menatap ke arah perempuan itu dengan hati yang hancur. ‘Andai waktu bisa diputar kembali, aku tidak akan menyia-nyiakan istriku.’ Itu adalah salah satu keluhan yang muncul di dalam kepalanya. Rasa penyesalan yang menggantung di hatinya tidak akan pernah bisa dilepaskan. Om Rudy memilih pergi ke tempat sepi menghindari bisingnya obrolan. Dia berada di balkon dengan menatap ke arah langit gelap di depannya. Langit itu segelap hatinya. “Halo, Kakek.” Angkasa, entah bagaimana bocah itu berada di sana. Berdiri di samping Om Rudy dengan pandangan lurus ke depan. “Hai, Jag
Almeda bernapas dengan lega mendengar keputusan sang ayah. Dia sudah berusaha membujuk lelaki itu lama, tapi belum juga berhasil. Malam ini, saat berada di acara Crystal, justru keputusan baik diambil. Gema tentu saja bahagianya dengan keputusan itu, pun Denial. Bagaimanapun jika ada Almeda bersamanya, itu akan lebih baik. “Hati-hati. Bye, Elang.” Denial melambaikan tangannya di depan wajah Elang yang menggapai ingin digendong. Namun sudah waktunya mereka pulang, sehingga Almeda tidak menuruti permintaan Elang untuk ikut Baba-nya. Mobil hitam milik Gema meninggalkan tempat acara. Pesta sudah selesai, dan sudah saatnya mereka beristirahat. Bu Cintya yang pergi bersama dengan Denial itu pun segera masuk ke dalam mobil. Menyandarkan tubuhnya dengan santai, dan tatapannya mengarah lurus ke luar mobil sampai mobil itu bergabung dengan kendaraan lain di jalanan. Semua orang yang ada di dalam mobil itu sama lelahnya. Pun dengan Denial, tapi dia harus membawa dua perempuan yang dicintainya
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C