Semua tamu undangan yang hadir, staf, dan karyawan pun tampak bahagia malam ini. Store pertama akan dibuka esok hari dan semua yang ada di sana tentu saja hasil dari Crystal fashion. Acara berjalan dengan lancar, dan banyak orang saling bercengkrama. Sesekali tawa terdengar di setiap gerombolan. Bu Cintya pun dengan bangganya memperkenalkan Crystal kepada teman-temannya yang datang. Hal itu membuat Om Rudy hanya bisa menatap ke arah perempuan itu dengan hati yang hancur. ‘Andai waktu bisa diputar kembali, aku tidak akan menyia-nyiakan istriku.’ Itu adalah salah satu keluhan yang muncul di dalam kepalanya. Rasa penyesalan yang menggantung di hatinya tidak akan pernah bisa dilepaskan. Om Rudy memilih pergi ke tempat sepi menghindari bisingnya obrolan. Dia berada di balkon dengan menatap ke arah langit gelap di depannya. Langit itu segelap hatinya. “Halo, Kakek.” Angkasa, entah bagaimana bocah itu berada di sana. Berdiri di samping Om Rudy dengan pandangan lurus ke depan. “Hai, Jag
Almeda bernapas dengan lega mendengar keputusan sang ayah. Dia sudah berusaha membujuk lelaki itu lama, tapi belum juga berhasil. Malam ini, saat berada di acara Crystal, justru keputusan baik diambil. Gema tentu saja bahagianya dengan keputusan itu, pun Denial. Bagaimanapun jika ada Almeda bersamanya, itu akan lebih baik. “Hati-hati. Bye, Elang.” Denial melambaikan tangannya di depan wajah Elang yang menggapai ingin digendong. Namun sudah waktunya mereka pulang, sehingga Almeda tidak menuruti permintaan Elang untuk ikut Baba-nya. Mobil hitam milik Gema meninggalkan tempat acara. Pesta sudah selesai, dan sudah saatnya mereka beristirahat. Bu Cintya yang pergi bersama dengan Denial itu pun segera masuk ke dalam mobil. Menyandarkan tubuhnya dengan santai, dan tatapannya mengarah lurus ke luar mobil sampai mobil itu bergabung dengan kendaraan lain di jalanan. Semua orang yang ada di dalam mobil itu sama lelahnya. Pun dengan Denial, tapi dia harus membawa dua perempuan yang dicintainya
Malam itu, Denial baru saja akan membaringkan tubuhnya di atas kasur saat Almeda menghubunginya. Dia mengatakan Radit datang dan marah-marah. Tentu saja Denial tidak bisa diam saja di rumah tanpa melihat kondisi di rumah Almeda. Crystal pun ikut serta pergi ke sana dan melihat apa yang dilakukan oleh Radit. Ternyata lelaki itu murka karena ayahnya memilih tinggal di rumah Almeda. Lelaki itu mengira kalau Almeda dan Denial bersekongkol untuk menjatuhkannya dengan membawa Om Rudy bersama mereka. “Kenapa sekarang kamu kelabakan saat Papa tinggal di sini? Hari-hari kemarin kamu ke mana saja, Radit? Kamu bahkan meninggalkan Papa sendiri karena menganggap keputusan Papa salah dengan memberikan saham kepada mereka. Lalu kenapa sekarang kamu marah?” Dengan raut wajah kesal, Om Rudy bersuara lantang. Sejak saat pembagian harta saat itu, praktis Radit sangat jarang pulang ke rumah untuk melihat keadaan sang ayah. Lelaki tua itu hanya terus sendirian bersama dengan orang kepercayaannya. “Ken
“Mas akan bilang ke Mama tentang ini?” Crystal bertanya saat mereka dalam perjalanan pulang. Jalanan sudah tampak lengang. Bagaimanapun ini adalah tengah malam. Denial melajukan mobilnya sedikit kencang agar bisa segera sampai rumah dan beristirahat. Rasa lelah sudah menggerogoti tubuhnya. “Aku harus mengatakannya. Kita nggak boleh menyembunyikan keputusan sebesar ini dari Mama.” “Kalau Mama nggak ngebolehin bagaimana?” “Aku rasa Mama nggak akan pernah ngelarang. Kita coba saja nanti.” Denial menenangkan istrinya. Crystal tidak lagi membahas itu. Tapi ada yang aneh dengan Denial, lelaki itu menatap ke belakang lebih sering. Cara menyetirnya pun tidak seperti biasanya. Kadang dia melaju kencang dan terkadang pelan. Crystal menoleh pada sang suami. “Kenapa, Mas?” tanya Crystal. “Ada yang ngikutin kita.” Crystal segera menoleh ke belakang dan ada satu mobil yang mengikuti mobil Denial. Perempuan itu tentu saja takut. Namun dia tak mengeluarkan kepanikannya dan memilih diam.Denia
Rekaman sudah didapatkan dan itu akan menjadi bukti kuat untuk Denial menjatuhkan Radit. Jika lelaki itu berani membuat ulah lagi kepadanya, maka bukan tidak mungkin Denial akan membuat Radit semakin menderita. Rasanya sudah cukup untuknya memberikan waktu kepada lelaki itu untuk mengubah pikirannya. “Maaf, kamu pasti ketakutan.” Masuk ke dalam mobil, Crystal masih terlihat menahan ketakutannya. Seumur hidupnya dia tidak pernah melihat orang yang tengah adu jotos seperti itu. Tapi malam ini, dia melihatnya dengan kepala matanya sendiri. Salahnya kenapa dia tak mengalihkan tatapannya ke tempat lain dan justru memelotinya. Kini dia mendapatkan pelukan dari suaminya untuk menenangkannya. “Aku harus membiasakan ini sepertinya,” gumam Crystal dengan meremas baju lengan Denial. “Aku harus siap kapan saja melihat orang berantem.” Denial mengusap punggung sang istri dengan lembut tanpa mengatakan apa pun. Atensinya berpusat pada Baron yang tengah berbicara dengan tiga orang lawannya entah
Sontak saja semua orang yang ada di dalam ruangan meeting itu terkejut luar biasa. Berita macam apa yang diberikan oleh pemilik perusahaan itu kepada orang-orang yang ada di sana? Bukankah anak Om Rudy hanya satu dan itu Radit? Mereka mengetahui itu sejak lama. Tapi sekarang, Om Rudy justru membawa dua orang anak lainnya yang bagi mereka sangat asing diperkenalkan sebagai anak kandung. Lalu Radit itu siapa? Anak angkat?Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam benak semua orang yang ada di sana. Ekspresi yang Radit tunjukkan sungguh kelam luar biasa. Kepalan tangannya menguat dan amarahnya tampak keluar hebat. “Ayah benar-benar melakukan ini?” tanya Radit dengan ekspresi kesal. “Kita sudah membicarakan ini Radit. Kamu sudah tahu itu.” Om Rudy tampak melirik santai. Lantas kepalanya kembali berputar pada orang-orang yang ada di sana. Menjelaskan tentang ini dan itu. Namun tidak secara gamblang mengatakan jika Denial sudah menduduki Diratama Group. Meskipun begitu, tentu saja mereka ad
Benar ketika Denial diakui oleh Om Rudy sebagai anak kandungnya, maka sejurus kemudian ada banyak pertanyaan yang muncul di benak semua orang. Tiba-tiba saja semua orang menganggap ini dan itu. Ada banyak hal negatif yang tercetak di kepala mereka, pun banyak hal yang positif juga. Setiap Denial berjalan melewati para karyawannya, mereka menatap Denial dengan lebih lekat dari biasanya. Seolah mereka ingin mengorek informasi dari lelaki itu sampai pada akar-akarnya.Namun apakah Denial peduli dengan tatapan itu? Tentu saja tidak. Yang perlu dia lakukan adalah bekerja dengan benar. Menjadikan perusahaannya tetap berjalan dan berkembang adalah tujuannya, sehingga hal-hal seperti itu tidak masuk dalam daftar yang perlu dipikirkan. “Jadi, apa yang berubah dari putra ayahmu setelah kalian mengumumkan keberadaan dirimu dan Almeda?” Bu Cintya bertanya kepada Denial tentang perkembangan itu. “Dia nggak berani berulah pasti, Ma. Atau dia benar-benar akan menjadi gelandangan.” Sejak kemarin,
Bu Cintya tiba-tiba saja tidak bisa tidur malam ini. Isi kepalanya terlalu berisik seolah tengah memutar kejadian demi kejadian yang terjadi di masa lalu. Tentu, kejadian itu tidak bisa dilupakan sama sekali dan akan terus melekat di dalam ingatannya. Hubungan yang terjalin dengan Rudy yang pada awalnya penuh dengan cinta dan tawa pada akhirnya berakhir menyedihkan dan penuh dengan luka. Bahkan sampai saat ini. Kini, kejadian di masa lalu Bu Cintya berputar kembali pada puluhan tahun yang lalu. Di mana pertama kali Bu Cintya menjalin hubungan dengan Om Rudy. “Des, ayo kita menikah.” Saat itu weekend dan Bu Cintya, yang kala itu masih menggunakan nama Desi, tengah keluar bersama dengan Om Rudy. Mereka tidak pacaran. Mereka adalah teman baik, namun tumbuh cinta di antara keduanya. Rudy sepertinya paham betul jika Desi memiliki perasaan yang sama terhadap dirinya. Maka alih-alih memintanya menjadi seorang kekasih, dia justru langsung mengajaknya menikah. Desi tampak terkejut. Mereka
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C