Benar ketika Denial diakui oleh Om Rudy sebagai anak kandungnya, maka sejurus kemudian ada banyak pertanyaan yang muncul di benak semua orang. Tiba-tiba saja semua orang menganggap ini dan itu. Ada banyak hal negatif yang tercetak di kepala mereka, pun banyak hal yang positif juga. Setiap Denial berjalan melewati para karyawannya, mereka menatap Denial dengan lebih lekat dari biasanya. Seolah mereka ingin mengorek informasi dari lelaki itu sampai pada akar-akarnya.Namun apakah Denial peduli dengan tatapan itu? Tentu saja tidak. Yang perlu dia lakukan adalah bekerja dengan benar. Menjadikan perusahaannya tetap berjalan dan berkembang adalah tujuannya, sehingga hal-hal seperti itu tidak masuk dalam daftar yang perlu dipikirkan. “Jadi, apa yang berubah dari putra ayahmu setelah kalian mengumumkan keberadaan dirimu dan Almeda?” Bu Cintya bertanya kepada Denial tentang perkembangan itu. “Dia nggak berani berulah pasti, Ma. Atau dia benar-benar akan menjadi gelandangan.” Sejak kemarin,
Bu Cintya tiba-tiba saja tidak bisa tidur malam ini. Isi kepalanya terlalu berisik seolah tengah memutar kejadian demi kejadian yang terjadi di masa lalu. Tentu, kejadian itu tidak bisa dilupakan sama sekali dan akan terus melekat di dalam ingatannya. Hubungan yang terjalin dengan Rudy yang pada awalnya penuh dengan cinta dan tawa pada akhirnya berakhir menyedihkan dan penuh dengan luka. Bahkan sampai saat ini. Kini, kejadian di masa lalu Bu Cintya berputar kembali pada puluhan tahun yang lalu. Di mana pertama kali Bu Cintya menjalin hubungan dengan Om Rudy. “Des, ayo kita menikah.” Saat itu weekend dan Bu Cintya, yang kala itu masih menggunakan nama Desi, tengah keluar bersama dengan Om Rudy. Mereka tidak pacaran. Mereka adalah teman baik, namun tumbuh cinta di antara keduanya. Rudy sepertinya paham betul jika Desi memiliki perasaan yang sama terhadap dirinya. Maka alih-alih memintanya menjadi seorang kekasih, dia justru langsung mengajaknya menikah. Desi tampak terkejut. Mereka
Desi tidak bisa menelan makanan karena mual yang menderanya cukup membuatnya kerepotan. Bukan hanya Desi yang merasa kerepotan, Rudy pun sama. Tak urung, orang tua Rudy akan menginap dan menemani pada trimester pertama. Sampai Desi benar-benar lebih baik. Sudah hampir tiga bulan orang tua Rudy menginap dan menemani Desi yang terus mual. Desi tentu merasa beruntung karena dia memiliki mertua yang sangat baik kepadanya. Mereka sangat menyayangi dirinya seperti anaknya sendiri.Perut Desi sudah mulai terlihat, kebahagian yang dirasakan oleh Rudy dan Desi terasa berkembang berkali lipat. Apa pun keinginan Desi, Rudy tak pernah mengabaikannya.“Tapi sekarang emang udah nggak pengen apa-apa lagi, Mas.” Desi menjawab sedikit geli ketika Rudy terus-menerus bertanya apakah dia tidak menginginkan sesuatu.“Udah nggak muntah-muntah lagi tiap pagi ya, Sayang?” Jika biasanya Rudy akan mendengar atau bahkan akan terbangun karena mendengar suara Desi muntah, akhir-akhir ini sudah tidak lagi. Hal itu
“Jadi kamu orang yang sudah membuat calon suamiku meninggal dunia? Kenapa kamu masih berkeliaran? Seharusnya kamu mendekam di penjara!” Marta dengan tangis meraung berdiri di depan Rudy dengan tangan berkacak pinggang. Mendengar suara putrinya, kedua orang tua Marta akhirnya keluar dari rumah dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian ibu Marta yang lebih dulu bertanya. “Maaf, Bapak siapa?” Karena hanya mendengar suara tangis Marta tadinya, jadi mereka tidak ada yang mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh putrinya. “Saya Rudy, Pak, Bu. Saya yang bertanggung jawab atas kematian calon suami putri Bapak dan Ibu.” Tentu saja itu hal yang mengejutkan. Pasangan paruh baya itu saling tatap sebelum mempersilakan Rudy masuk ke rumahnya. “Bapak silakan masuk dulu. Mari kita bicara di dalam.” Itu suara ayah Marta. “Nggak. Dia nggak boleh masuk, Bu. Dia sudah merenggut kebahagiaanku. Dia sudah membuatku kehilangan laki-laki yang sangat aku cintai. Dia pembunuh, Bu.” “Marta
Desi menatap rumah sederhana di depannya dari kaca mobil. Dia belum keluar dari mobil dan kembali berpikir apa dia perlu melakukan itu? Desi terus menatap ke arah rumah sederhana tersebut semakin lekat dan rumah itu tampak sepi. Yang Desi tahu dari orang yang diminta menyelidiki, orang tua madunya itu akan pergi ke ladang kalau pagi begini. Jadi sudah bisa dipastikan, gadis itu sendirian ada di rumah. Menguatkan tekad, Desi akhirnya keluar. Di tangannya ada beberapa dokumen yang diperlukan untuk memperlihatkan jika dia adalah istri sahnya. “Ibu butuh teman?” tanya sopirnya. “Ya. Bapak tolong temani saya.” Desi sebenarnya tidak ingin membuat masalah, tapi dia juga tidak bisa diam saja setelah suaminya semalam tidak pulang dan berada di sana. Rudy selalu bilang kalau dia tak pernah mencintai perempuan itu, tapi nyatanya dia menginap dan menunjukkan hal yang sebaliknya kepadanya. Mengetuk pintu kayu bercat hijau pudar itu, Desi menunggu seseorang keluar dari rumah dan membukakan pin
Setelah membuat Marta menangis meraung karena dirinya, Rudy pergi begitu saja dari rumah perempuan itu. Dia pergi untuk menemui Desi di rumahnya dan ingin berbicara dengan sang istri. Rudy sampai di rumah tengah malam dan dia terkejut ketika Desi masih terjaga di ruang keluarga. “Sayang.” Dengan langkah pelan, Rudy mendekati Desi. Ada ekspresi ketakutan yang ditunjukkan oleh Rudy ketika Desi menatapnya. Langkah kakinya membawanya pada perempuan yang dicintainya itu kemudian duduk di samping Desi. “Kamu belum tidur? Atau terbangun?” “Apa menyenangkan sekarang berada di tempat istri kedua?” Desi bertanya dengan santai, tapi ucapannya penuh dengan penekanan. “Sudah mulai jatuh cinta dengan istri kedua?” “Sayang. Aku__”“Kamu pasti sudah tahu kalau aku tadi siang menemui Marta?” Desi tidak membiarkan Rudy mengambil kesempatan untuk menjelaskan. Dia yang memimpin sekarang. “Dia bilang, dia juga sebenarnya tidak mau kamu nikahi. Kenapa kamu nekat melakukannya, Mas?” Rasa nyeri yang di
“Pak, Ibu menghilang!” Laporan itu membuat Rudy yang tengah bekerja pun menegang di tempatnya. Berusaha mengais kesadarannya, dia berusaha tenang. “Kamu sudah mencarinya di dalam rumah? Disetiap sudut rumah?” “Sudah, Pak. Dan kami tidak menemukannya.” Rudy tidak bisa menahan diri untuk segera pergi dari kantornya. Dengan tergesa dan mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh, dia sampai di rumah. Pertama kali yang dituju adalah kamar utama. Melihat beberapa barang, hanya sedikit yang dibawa. Koper masih ada di tempatnya, tapi satu tas travel menghilang. Rudy mencengkram pinggiran pintu lemari dengan erat. Tidak pernah berpikir jika pada akhirnya Desi akan pergi. Bukankah hubungan mereka baik-baik saja? Tidak! Lebih tepatnya sudah mulai membaik. Desi memperlakukannya dengan begitu baik. tapi ternyata itu hanya untuknya mengelabui. “Ke mana kalian pergi sampai tidak melihat Ibu pergi dari rumah?” Sentakan suara Rudy menggema di seluruh ruangan kamarnya. Beberapa asisten rumah tan
Desi sudah tidak punya uang. Dia juga baru saja melahirkan sehingga dia tidak bisa bekerja dengan benar. Harus setidaknya menunggu sampai beberapa bulan lagi. Kondisi fisiknya lemah dan dia tidak bisa menjaga Marvin dengan baik. Bocah kecil itu juga terus menangis. Desi menangis saat mengambil keputusan untuk menitipkan Marvin di panti asuhan. Jahat? Sangat! Untuk mencari pekerjaan, tidak akan semudah yang dibayangkan. Jadi Desi mengambil keputusan yang sangat fatal. “Maafkan Mama, Sayang. Mama janji akan segera menjemput kamu lagi setelah Mama memiliki uang.” Desi menangis dengan menyedihkan. “Mama tahu Mama egois, tapi Mama nggak akan menyerahkan kamu kepada ayahmu. Karena kamu hanya untuk Mama. Mama janji, Sayang. Mama Janji, Mama yang akan mengajari kamu bicara. Ini nggak akan lama. Sampai Mama mampu menghidupi kita berdua.” Desi meletakkan Marvin di depan panti asuhan. Mengetuk pintu panti sebelum dia bersembunyi. Seorang wanita keluar dari dalam panti dan tampak terkejut. Di
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C