“Pak, Ibu menghilang!” Laporan itu membuat Rudy yang tengah bekerja pun menegang di tempatnya. Berusaha mengais kesadarannya, dia berusaha tenang. “Kamu sudah mencarinya di dalam rumah? Disetiap sudut rumah?” “Sudah, Pak. Dan kami tidak menemukannya.” Rudy tidak bisa menahan diri untuk segera pergi dari kantornya. Dengan tergesa dan mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh, dia sampai di rumah. Pertama kali yang dituju adalah kamar utama. Melihat beberapa barang, hanya sedikit yang dibawa. Koper masih ada di tempatnya, tapi satu tas travel menghilang. Rudy mencengkram pinggiran pintu lemari dengan erat. Tidak pernah berpikir jika pada akhirnya Desi akan pergi. Bukankah hubungan mereka baik-baik saja? Tidak! Lebih tepatnya sudah mulai membaik. Desi memperlakukannya dengan begitu baik. tapi ternyata itu hanya untuknya mengelabui. “Ke mana kalian pergi sampai tidak melihat Ibu pergi dari rumah?” Sentakan suara Rudy menggema di seluruh ruangan kamarnya. Beberapa asisten rumah tan
Desi sudah tidak punya uang. Dia juga baru saja melahirkan sehingga dia tidak bisa bekerja dengan benar. Harus setidaknya menunggu sampai beberapa bulan lagi. Kondisi fisiknya lemah dan dia tidak bisa menjaga Marvin dengan baik. Bocah kecil itu juga terus menangis. Desi menangis saat mengambil keputusan untuk menitipkan Marvin di panti asuhan. Jahat? Sangat! Untuk mencari pekerjaan, tidak akan semudah yang dibayangkan. Jadi Desi mengambil keputusan yang sangat fatal. “Maafkan Mama, Sayang. Mama janji akan segera menjemput kamu lagi setelah Mama memiliki uang.” Desi menangis dengan menyedihkan. “Mama tahu Mama egois, tapi Mama nggak akan menyerahkan kamu kepada ayahmu. Karena kamu hanya untuk Mama. Mama janji, Sayang. Mama Janji, Mama yang akan mengajari kamu bicara. Ini nggak akan lama. Sampai Mama mampu menghidupi kita berdua.” Desi meletakkan Marvin di depan panti asuhan. Mengetuk pintu panti sebelum dia bersembunyi. Seorang wanita keluar dari dalam panti dan tampak terkejut. Di
“Jadi kamu selama ini benar-benar hanya tinggal dengan nenek dan kakekmu?” Bu Cintya meyakinkan sekali lagi seolah dia tak mempercayai ucapan Almeda. “Iya. Saya sejak dulu tidak pernah tahu bagaimana wajah ibu dan ayah saya. Bahkan saat kami bertemu, maksud saya saya dan ibu saya, dia adalah orang yang sudah membenci saya dari awal. Jadi pertemuan itu juga hanya meninggalkan pertikaian di antara kami.”Muncullah segala cerita yang dialami oleh Almeda tentang penculikan yang dilakukan oleh Marta kepadanya dan bagaimana Denial serta orang-orangnya membalaskan semua hal yang dilakukan oleh Marta. “Saya mengerti kalau Tante memang sangat sakit hati kepada ayah saya. Saya tidak menyalahkan Tante. Saya kalau di posisi Tante, mungkin akan melakukan hal yang sama.” Bu Cintya menatap Almeda dengan tatapan sulit diartikan. Benar yang dikatakan oleh Denial, dia dan Almeda adalah korban. Mereka adalah anak-anak yang tidak beruntung. Sejak kecil tidak pernah merasakan kasih sayang yang dibutuhk
Almeda sampai rumah dan dia melihat Denial bersama Om Rudy tengah mengobrol di gazebo belakang rumah. Setelah menidurkan Elang di box bayinya, dia bergabung bersama dengan kakak dan juga ayahnya di sana. Almeda tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi sesekali, mereka tertawa bersama. “Dari mana?” Denial bertanya ketika Almeda baru saja mendaratkan bokongnya di sampingnya. “Baru dari jalan-jalan, lalu mampir ke Infinity.” Tatapan mata Almeda mengarah pada ayah dan kakaknya secara bergantian. “Lagi ngobrol apa sih? Kayaknya seru banget. Terus, Den, kamu nggak ngantor?” “Ngobrol random aja. Ini tadi baru pulang dari kantor langsung mampir. Mau nengokin Ayah sama cariin Elang, nggak tahunya nggak ada di rumah bocahnya.”“Tunggu sampai dia bangun. Pasti langsung nemplok. Heran deh sama si Elang, padahal dia juga jarang ketemu juga.” “Ikatan batin, Al. Namanya juga babanya.” Almeda masih benar-benar geli mendengar panggilan itu. Panggilan yang tadinya normal menjadi panggilan
Denial ditarik oleh anak-anak untuk main bersama dengan mereka. Tinggal tiga perempuan yang ada di dalam ruangan tamu tersebut berbincang hangat. Ada banyak hal yang mereka bicarakan, tapi Bu Cintya lebih banyak bertanya tentang Denial di masa kecilnya. Kata apa yang pertama kali keluar dari mulut Denial, bagaimana pertama kali mereka mengajari Denial belajar dan berbicara, bagaimana pertama kali Denial bisa berjalan, dan banyak lagi yang Bu Cintya tanyakan. Kehilangan momen masa kecil anak adalah hal yang sangat menyakitkan. Bu Cintya merasa dirinya sungguh menyesal dan akan terus menyesal di dalam hatinya. Tapi apa boleh buat, dia tak akan pernah bisa mengulang masa itu. “Saya menyesal, Bu.” Bu Cintya mengeluarkan tangisnya yang sejak tadi sudah ditahannya mati-matian. “Saya tidak menyangka Tuhan akan menghukum saya begitu menyakitkan.” Crystal yang ada di samping ibu mertuanya itu hanya sanggup mengelus punggung Bu Cintya dengan lembut. Dia tak bisa mengatakan apa pun. Kecuali h
Pagi ini diributkan oleh Denial yang tengah merawat Crystal karena demam. Setelah pulang dari panti asuhan kemarin, Crystal seolah sudah merasakan badannya sudah tidak nyaman. Dia merasa lemas dan mual. Dan semalam, suhu tubuhnya meningkat dan membuat panas luar biasa. Denial sudah mengkompresnya semalam, tapi panasnya tak kunjung turun. “Ke rumah sakit ya, Sayang. Aku takut kamu kenapa-napa.” Denial membujuk istrinya itu tapi gelengan Crystal selalu yang memberi jawaban. “Kalau kamu nggak ke rumah sakit, suhu tubuh kamu nggak turun-turun. Kamu bilang asam lambung kamu juga naik ‘kan? Lambung itu bahaya.” Tetap pada pendiriannya, Crystal tidak ingin ke rumah sakit. Denial tadi pagi sudah meminta bibi untuk membuatkan bubur, tapi bubur itu hanya dimakan sedikit. Obat yang sudah masuk ke dalam perut Crystal pun tak cukup mampu membuat panas Crystal menurun. Ini sungguh menyedihkan. “Gimana keadaannya Crystal, Den?” tanya Bu Cintya ketika masuk ke dalam kamar putranya. Menempelkan tel
Bu Cintya menatap Crystal yang tengah tidur setelah menumpahkan tangisnya. Banyak petuah yang diberikan oleh Bu Cintya kepada menantunya itu agar tidak memikirkannya terlalu berat atau itu hanya akan membuat kehamilannya semakin rentan. Tentu saja mereka kasihan dengan keadaan Crystal. “Kamu serahkan saja sama Mama. Mama yang akan mendampingi menantu Mama dengan baik. Kamu hanya perlu bekerja dengan benar.” Bu Cintya tidak ingin konsentrasi Denial terpecah sehingga membuat urusan mereka tidak tertangani dengan baik. Maka tugas harus dibagi. Bukannya Bu Cintya tidak membolehkan Denial untuk mengurus istrinya, tapi jika masalah itu semakin dijadikan beban, maka hanya akan berantakan. Besoknya, Denial berada di kantor dengan perasaan yang tidak tenang. Istrinya memang baik-baik saja. Perempuan itu hanya perlu berada di atas kasur dan tidak perlu melakukan apa pun. Dibolehkan berjalan-jalan dengan ringan. Tapi tetap saja Denial masih terus kepikiran. “Pak, perwakilan D’ Design ingin b
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C