“Maksudmu apa, Axel?”
Seharusnya hari ini menjadi hari yang membahagiakan bagi Permata, bukan sebuah duka yang menyesakkan. Tepat 24 jam yang lalu, dia dinikahi dengan seorang lelaki yang dicintai bernama Axel. Lelaki itu Menjanjikan sebuah kebahagiaan semu yang kini lenyap begitu saja. Permata tidak tahu apa yang terjadi ketika tiba-tiba Axel mengakhiri hubungan mereka.
“Apa ucapanku kurang jelas? Aku tidak ingin bersama denganmu lagi. Kita cukup sampai di sini.”
Awalnya, lelaki itu menjanjikan kebahagiaan. Namun, kebahagiaan itu rupanya hanya sebuah kebahagiaan semu yang lenyap tanpa sisa setelah ungkapan Axel tersebut. Gelombang pasang seakan menghantam tubuh Permata sampai hancur. Permata seakan kehilangan nyawanya detik itu juga. Untuk beberapa saat, dia tidak bisa memahami apa yang terjadi.
Meskipun tubuhnya terasa bergetar, tapi bibir Permata masih sanggup mengulas senyum manis. “Jangan bercanda, Axel. Kita baru saja menikah dan semalam kita bahkan sudah melakukan malam pertama. Aku tahu kamu tidak akan melakukan ini kepadaku.”
“Karena memang itulah yang menjadi tujuan awalku. Aku menikahimu dan mengambil kesucianmu hanya untuk sebuah taruhan.” Kaki Permata terasa lemas saat kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Axel. Seperti ada sambaran petir yang begitu dahsyat di atas kepalanya. Wajah Permata pucat pasi seperti darahnya tersedot habis.
“Sekarang, tujuanku sudah tercapai, untuk apa lagi aku tetap bersamamu? Dan mulai sekarang, kamu tidak perlu mencariku lagi karena aku tidak akan pernah peduli denganmu.”
Bagaimana bisa lelaki yang selalu bersikap baik kepadanya selama tiga bulan ini berubah menjadi begitu sangat kejam?
“Axel, tolong jangan keterlaluan.” Begitu katanya dengan suara bergetar. “Kamu bukan Axel yang aku kenal. Kamu tidak mungkin sejahat ini.” Setengah mati Permata menahan air matanya agar tidak tumpah.
Namun ketika tatapan Axel mengarah lurus pada mata Permata dengan dingin, Permata menyadari Axel tidak sedang bercanda. Permata merasa menggigil di tempatnya. Sikap hangat dan tatapan cinta yang Axel berikan selama ini lenyap tak berbekas.
“Keterlaluan?” Axel menyeringai kecil menatap Permata. “Sejak kapan aku suka bercanda?” tanya Axel dengan serius. “Ini benar-benar sebuah permainan, Permata. Selama ini aku tidak pernah mencintaimu. Tidak sama sekali. Dan inilah aku yang sebenarnya.” Axel menjawab santai seolah dia sedang membicarakan prakiraan cuaca bersama dengan teman-temannya.
Lelaki itu berdiri dari sofa yang diduduki kemudian melangkah mendekati Permata yang berdiri di depan ranjang. “Kamu tidak berpikir kenapa aku memutuskan menikah secara diam-diam kalau bukan hanya untuk bermain-main?” Axel menyilangkan tangannya di depan dada, kemudian melanjutkan, “Tentu saja karena aku tidak serius dengan pernikahan ini.”
Tidak ada orang tua atau teman-teman Axel saat mereka menikah. Axel beralasan kalau orang tuanya sedang ada di luar negeri dan dengan bodohnya Permata mempercayai ucapan lelaki itu.
“Apa … alasanmu melakukan ini, Axel?” Permata bersuara, tapi itu terdengar sebuah gumaman. Namun, Axel masih bisa mendengarnya.
“Hanya untuk bersenang-senang. Apalagi?”
“Bersenang-senang?” Permata tersenyum kecil saat mendengar itu. “Apa begini cara orang kaya bersenang-senang? Dengan menghancurkan hidup orang lain?”
“Entahlah.” Axel mengedikkan bahunya tak acuh. “Aku tidak tahu bagaimana orang lain menikmati hidupnya. Yang pasti, aku sekarang merasa puas.”
Untuk beberapa saat, tidak ada dari mereka ya yang bersuara. Axel memperhatikan Permata yang membeku di tempatnya. Perempuan itu bahkan masih mengenakan jubah mandi karena Axel memberinya ‘kejutan’ saat Permata baru saja membersihkan tubuhnya karena pergumulan semalam.
Pagi ini seharusnya menjadi pagi pertama untuk Axel dan Permata. Sarapan pagi, jalan-jalan di pinggir pantai, dan melakukan hal-hal menyenangkan seperti pasangan pengantin pada umumnya. Tapi bayangan itu hilang begitu saja tak tersisa.
“Kamu sudah mengambil sesuatu yang berharga dari diriku Axel, dan kamu tahu akibatnya.” Permata menatap Axel dengan mata bergetar. Dia ragu melanjutkan ucapannya takut dengan reaksi Axel.
Tapi mau tak mau dia tetap melanjutkan, “Bagaimana kalau aku hamil, Axel?” Permata memberanikan diri bertanya. Perempuan itu benar-benar menunggu reaksi Axel dengan kecemasan yang terus berputar di dalam hatinya.
Permata masih muda, bahkan dia belum menyelesaikan kuliahnya. Ketakutan dengan pikirannya sendiri, Permata terhuyung sampai dia terduduk di atas kasur. Kakinya terasa seperti jeli.
“Hamil?” Axel akhirnya bersuara meskipun itu terdengar seperti sebuah hinaan. “Astaga, Permata, kamu benar-benar sangat polos. Kita hanya melakukannya sekali. Kamu berpikir akan semudah itu kamu hamil?”
“Bagaimana kalau itu terjadi?” Permata mendongak menatap Axel dan kali ini air matanya tidak bisa dibendung. “Meskipun sekali, kemungkinan itu tetap ada.”
Axel terdiam. Lelaki itu tampak berpikir, namun tak lama dia kembali bersuara. “Itu anakmu. Terserah kamu akan apakan dia. Kamu bisa menggugurkannya, atau kamu bisa tetap mempertahankannya. Keputusan itu ada di tanganmu sepenuhnya.” Gamblang sekali saat menjawab pertanyaan Permata seolah dia tak bersalah. Kemudian Axel melanjutkan, “Seperti yang sudah aku katakan tadi. Menikahimu dan mengambil kesucianmu adalah sebuah permainan. Jadi, seandainya itu menghasilkan sesuatu, aku tidak akan ikut campur.”
Pisau itu lagi-lagi menusuk, kemudian merobek hati Permata dengan cara yang sangat menyakitkan. Laki-laki yang dipercaya bisa menjaga hatinya, nyatanya begitu tega memperlakukannya dengan keji.
“Aku sudah menyiapkan cek senilai 100 juta untukmu sebagai ganti rugi. Anggap saja aku membeli malam pertamamu. Dengan uang itu, kamu bisa menggunakannya untuk kehidupanmu di masa depan.”
“Apa?” Permata tak percaya Axel akan kembali menusuk hatinya dengan ucapannya yang begitu tajam. Apa Axel mengira dia perempuan murahan?
“Apa itu kurang?” tanya Axel dengan santai. “Bagaimana kalau 500 juta? Ah, atau kamu bisa menyebutkan berapa yang kamu inginkan. Aku akan memberikannya dengan senang hati.”
Apa Axel berpikir jika uang bisa menyelesaikan semua masalah? Apa lelaki itu berpikir semudah itu Permata menerima hinaan yang diberikan? Axel bahkan mengatakannya tanpa beban sedikitpun. Lelaki itu bertindak seolah sakit hati yang dirasakan oleh Permata bisa disembuhkan dengan besarnya uang yang diberikan.
“Axel, kamu benar-benar melakukan ini kepadaku? Kamu membeliku?” Tak tahan dengan perlakuan Axel, Permata masih mencoba meyakinkan ucapan Axel kepadanya.
“Ya, tentu aku melakukannya. Terserah kamu mau berpikir apa. Apakah aku membelimu atau apa pun itu.” Axel menyodorkan selembar cek yang ada di tangannya di depan permata. “Aku sudah menuliskan ceknya.”
Permata bisa melihat dengan jelas tulisan di sana benar-benar seratus juta. Dengan tangan bergetar, permata menerima cek tersebut sehingga Axel menyeringai puas. Tapi selanjutnya, Permata menyobek kertas berharga itu menjadi lembar kecil sebelum melemparkan di depan Axel membuat Axel mengeratkan rahangnya.
“Kamu pikir aku perempuan murahan? Kamu berpikir kamu bisa membeliku dengan uangmu?” Permata melotot marah dengan deraian air mata. “Kamu sudah merusak hidupku karena permainan bodohmu itu, Axel. Kamu bahkan tidak merasa bersalah.”
Tangan Permata mengepal erat sebelum terbuka dan menampar Axel dengan keras. Wajah lelaki itu sampai terlempar ke kanan. “Ingatlah tamparan ini, Axel. Suatu saat nanti, kamu akan menyesali perbuatanmu hari ini.”
Permata bangkit dari duduknya untuk kembali masuk ke dalam kamar mandi. Mengunci dirinya di sana dan mengeluarkan tangisnya dengan cara yang menyedihkan. Tubuhnya limbung dan dia terduduk di lantai kamar mandi yang dingin. Bibirnya digigit dengan kuat agar tangisnya tidak menguar keluar. Dia bersumpah akan membuat Axel membayar luka yang sudah diberikan kepadanya.
Tak lama setelah itu, dia keluar dari kamar mandi dan Axel sudah tidak berada di sana. Sebuah catatan kecil tergeletak di atas kasur.
‘Nikmati harimu. Aku sudah membayar kamar hotel sampai dua hari. Selamat bersenang-senang!’ Bahkan diakhiri dengan emoticon tersenyum.
“Arghhh ….” Permata berteriak dengan kuat sambil meremas catatan tersebut menyalurkan rasa sakitnya yang begitu hebat menghantam hatinya.
“Kamu akan mendapatkan balasannya, Axel. Tunggulah sampai hari itu, aku akan membuatmu merasakan rasa sakit yang aku rasakan!”
Permata bergegas pergi meninggalkan hotel dengan dagu terangkat tinggi meskipun hatinya remuk redam tak karuan. Permata tidak tahu, jika seorang lagi tengah menunggunya di depan rumahnya.
Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Permata keluar dari taksi dan bergegas untuk masuk ke rumah kontrakannya. Sebuah suara memanggilnya dengan sebutan ‘Hei’ sehingga membuat Permata menghentikan langkahnya. Tanpa aba-aba, Permata mendapatkan tamparan tepat di pipinya membuat kepalanya terasa sakit.
“Perempuan murahan. Jauhi Axel atau kamu akan menyesal!” Suara itu terdengar dingin menusuk telinga Permata.
Permata menatap perempuan itu dengan diam sebelum bertanya. “Apa masalahmu?”
“Kamu tidak dengar? Jauhi Axel. Jangan berpikir kamu bisa mendapatkannya meskipun kamu sudah menginap di hotel bersamanya.”
Tanpa pertimbangan sedikitpun, tangan Permata melayang ke pipi perempuan itu dengan keras. Membalas perbuatan perempuan itu kepadanya.
“Aku tidak peduli kamu memiliki hubungan apa dengan Axel, tapi aku tidak akan tinggal diam diperlakukan seperti ini oleh siapa pun. Termasuk kamu dan Axel. Enyahlah!”
***
“Selamat malam, Pak Gema.” Suara sapaan itu terdengar manis dan lembut seolah tengah menyihir siapa pun yang mendengarnya. Seorang Perempuan berparas cantik berdiri di belakang Gema dengan penampilannya yang anggun nan menawan. Gaun berwarna biru dengan potongan rendah menutup bagian tubuhnya dengan sempurna. Namun tak mampu menutup belahan dadanya yang indah. Tubuhnya langsing dan berisi di tempat yang semestinya. Kulitnya putih nan lembut. Mata almond-nya begitu jernih. Ada senyum kecil tercetak di bibirnya menambah kecantikannya berkali-kali lipat. “Berlian?” Bibir Gema yang tadinya tertutup rapat, kini mengeluarkan senyum lebar seolah dia baru saja mendapatkan harta karun berharga. Berlian mengangguk sedikit membuat pergerakannya yang kecil tersebut mengeluarkan aroma wangi yang lembut dan menyenangkan. Gema seolah tersihir oleh kecantikan Berlian, namun dia buru-buru mengubah pikirannya dengan bersuara. “Selamat datang, Berlian. Dan terima kasih sudah memenuhi undangan saya.
Semua orang yang berada di bawah naungan Infinity Entertainment sedang menikmati pesta. Semua orang bersenang-senang dan bahagia. Bahkan Permata pun tampak tidak terpengaruh dengan ucapan Axel yang merendahkannya beberapa saat lalu. Toh dia sudah membayarnya beserta bunganya. “Terima kasih kepada semua rekan-rekan yang sudah menerima saya dan menjadikan saya bagian dari keluarga besar Infinity. Saya berharap kita bisa menjalin hubungan baik satu sama lain mulai malam ini.” Permata Berlian, atau dulu selalu dipanggil dengan Permata, sekarang kembali dengan identitas yang berbeda dan lebih dikenal dengan nama Berlian. Berlian yang tentu saja memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding Permata. Dulu dia dibuang, tapi sekarang semua orang memujinya habis-habisan. Bahkan dia sekarang bisa menjawab kata-kata Axel yang menyakitkan itu percaya diri yang tinggi. Semua itu tentu karena Berlian, bukan Permata. “Sebuah kehormatan bagi saya berada di tempat ini, dan terima kasih kepada Pak Gema
“Tidak ada salahnya, kan kalau kita mencoba bermain-main lagi setelah sekian lama?” Permata ingat betul dengan kejadian lima tahun yang lalu di kamar hotel setelah pernikahannya. Bagaimana Axel yang dengan tidak punya belas kasihan menusuk hati Permata dengan kata-kata tajam yang menyakitkan. Dia dibuang begitu saja setelah Axel berhasil merenggut kesuciannya. Bahkan dengan bangganya Axel mengatakan jika pernikahan yang mereka lakukan semata adalah sebuah permainan. Mengingat itu, amarah Permata seolah menguar begitu saja. Tapi dia tahu jika akal sehatnya harus terus berjalan. Jika dulu Permata begitu mudah untuk ditumbangkan, maka tentu tidak berlaku untuk sekarang. Lima tahun dia berada di negeri orang dengan banyak hal buruk yang pernah terjadi kepadanya, dan itu mampu membuat dirinya berdiri tegak untuk menghadapi dunia. “Jangan berpikir karena kamu sudah berubah, lantas bisa mengubah semuanya. Saya, bahkan masih memandang dirimu seseorang yang pernah dicampakkan. Kamu tetap w
Setelah satu minggu berlalu, akhirnya Permata memulai jadwalnya dengan sebuah pemotretan untuk sebuah majalah fashion. Keberadaannya yang selalu diagung-agungkan menjadikan Permata seperti Tuan Putri yang datang dari sebuah kerajaan. Dia sangat diterima keberadaannya di negeri ini. Semua staf yang bekerja sama dengannya terlihat menikmati pekerjaan mereka. Terlebih lagi, Permata mudah diarahkan oleh sang fotografer sehingga pekerjaan mereka menjadi lebih cepat. Sebelum Permata keluar dari ruangan tersebut, dia menghadap ke semua orang yang ada di sana. “Terima kasih untuk hari ini, Teman-teman. Silakan menikmati makan siang kalian. Senang bekerja sama dengan kalian.” Ucapannya yang tidak seberapa itu mendapatkan tepuk tangan dan ucapan terima kasih berkali-kali dari setiap staf. Untuk merayakan kembalinya dia bekerja, Permata mentraktir semua staf yang ada di sana. Setelahnya, Perempuan itu keluar dari ruangan pemotretan untuk pergi dari tempat itu diikuti oleh manajernya bernama A
“Apa?” Almeda terkejut mendengar jawaban Permata yang baginya sangat tidak masuk akal. “Kita perlu membicarakan ini nanti, Berlian.” Almeda memecahkan keheningan yang beberapa saat lalu menyelimuti mereka.Dalam pikiran Almeda, perusahaan Axel bahkan akan diberikan penolakan pertama dibandingkan perusahaan lain. Ekspresi yang ditunjukkan oleh Almeda kelam luar biasa ketika pikirannya tidak sesuai dengan pikiran Permata. Kalau sekarang mereka hanya berdua saja, sudah pasti Almeda akan mengeluarkan kekesalannya kepada Permata. Bahkan Axel yang mendengar keputusan Permata saja tampak terkejut. Lelaki itu menoleh pada Permata yang ada di sampingnya seolah mencari jawaban atas keputusan perempuan itu. “Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang datang kepada kita, Al. Kita tahu Pak Axel memiliki perusahaan besar dan aku rasa itu sebuah lompatan yang baik untukku berada di sana. Bukankah begitu, Pak Gema?”Permata menatap Gema dengan matanya yang jernih dan entah kenapa itu seperti
“Kontrak akan berjalan selama enam bulan untuk percobaan. Kalau itu membuat pengaruh yang baik bagi perusahaan, maka kontrak akan diperpanjang.” Akhirnya meeting kembali dilakukan keesokan harinya setelah Permata menerima kerja sama dari perusahaan Axel sehari yang lalu. Tampaknya sebelum pertemuan itu dilakukan, Axel dan Gema sudah saling membahas tentang kontrak. Dan bahkan tidak main-main, enam bulan masa percobaan. Itu sedikit mengejutkan. Almeda menoleh kepada Permata dan memberikan kesempatan kepada perempuan itu untuk bicara. “Itu terlalu lama, Pak Gema. Saya bisa melakukannya hanya dalam satu bulan.” Meskipun itu terdengar sangat sombong, tapi Permata tidak akan berbicara besar jika dia tak mampu. “Tapi, Berlian, bukankah lebih baik mengambil jeda waktu juga?” Gema bernegosiasi. “Setelah launching, foto pasti akan disebar ke public dan dari sanalah kita akan tahu seberapa besar antusias konsumen terhadap perhiasan yang dikeluarkan oleh Roque Glacio. Tapi kita harus tah
“Jadi mereka masih bersama?” Permata bergumam dengan suara kecil. Dia tidak pernah menyangka kalau Axel akan bertahan dengan perempuan yang sama dalam waktu yang lama. Pantas saja kalau perempuan itu murka dengan mendatanginya di masa lalu. Perempuan itu pastilah menyangka kalau dia adalah selingkuhan Axel. Apakah mungkin, perempuan itu menguntit dirinya dengan Axel sebelumnya untuk mendapatkan bukti? Lalu, apakah perempuan itu juga sudah tahu kalau Axel hanya menggunakan Permata sebagai mainan? Membuangnya setelah lelaki itu mencapai keinginannya? Apakah jika waktu mempertemukan mereka kembali, perempuan asing itu akan mengenalinya dan menyerangnya lebih dulu? Tapi bukankah itu pantas dilakukan oleh perempuan yang sakit hati karena diduakan? Tiba-tiba saja, perasaan Permata memburuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Dia datang untuk membalaskan dendamnya kepada Axel dan perempuan itu, kenapa melihat kejadian hari ini justru dia merasa dirinyalah yang bersalah karena berada d
“Aku benar-benar akan membuat kamu menyesal sudah membuang Angkasa, Axel. Kamu akan memohon maaf kepadaku atas perbuatan keji yang sudah kamu lakukan kepada putraku.” Batin Permata menjerit pilu. Anak-anak seusia Angkasa masih sangat membutuhkan sosok orang tua yang utuh. Tapi bocah kecil itu justru tidak tahu bagaimana rupa ayahnya, atau bagaimana suaranya. Jika ayahnya meninggal, itu tentu beda permasalah. Sayangnya, ayah Angkasa pun tak tahu kalau dia memiliki putra menggemaskan di dunia ini. Almeda mengusap punggung Permata dan menguatkan perempuan itu. “Jangan tunjukkan kesedihanmu di depannya.” “Aku mengerti.” Selama ini, Permata selalu menunjukkan ekspresi bahagia setiap bersama dengan Angkasa. Seberat apa pun hari yang dilalui, dia akan tetap bersedia menemani putranya belajar jika bocah itu menginginkannya. Malam tiba. Permata membaringkan tubuh lelahnya di atas kasur dan mendesah nyaman. Dia baru saja menidurkan Angkasa di kamar bocah itu dan kini gilirannya mengisti
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C