Kupikir ini kesempatanku untuk menemui wanita itu dan mengetahui sedikit lebih jauh tentangnya dan semua rencana-rencana busuknya.Ed akan berkuda bersama anak-anak, sembari itu aku akan menyampaikan sedang kurang enak badan saja.“Kau sakit?” tanya Ed memeriksa keningku.“Se-sedikit, Sayang.” ucapku sembari menahan tangannya yang hendak memeriksa keningku. Karena suhu badanku normal-normal saja.“Mana yang tampak tidak nyaman?” Ed malah memaksa memeriksaku dengan cemas dan aku kembali menahannya.“Its oke, Ed. Anak-anak sudah menunggumu berkuda,” ujarku agar Ed tidak banyak bertanya lagi.“Aku hanya takut sudah membuatmu tidak nyaman karena yang tadi.”Ed malah mengingatkan kegiatan membara kami di kantornya menjelang jam istirahat kantor. Membuatku jadi senyum-senyum sendiri mengingatnya.“No, Honey. Aku menyukainya, kok. Lain kali aku digituin lagi, ya?”
“Ed mengatakan dia tidak pernah melamarmu. Jadi aku tidak merasa menjadi pelakor di sini. Lalu siapa coba yang disebut penggoda?“ Ternyata nyaliku besar dengan malah menantangnya.Wajah sinis itu semakin tidak mengenakan. Namun aku tidak lupa tentang ancamannya yang akan menjambak dan menelanjangiku di muka umum karena menganggapku pelakor.“Ingat, ini kotaku. Aku punya banyak kenalan di sini. Kalau kau macam-macam denganku mereka tidak akan tinggal diam!” Kuancam balik Jessica agar dia tidak nekat memperlakukanku seperti itu.Jujur aku sebenarnya ngeri kalau itu benar-benar terjadi.Wanita ini punya kuasa dan bisa melakukan apapun yang dia mau dengan uangnya.Untungnya sedikit kebohonganku tadi, yang menyampaikan bahwa aku punya banyak teman membuatnya pikir-pikir. Lagi pula dia juga bukan asli orang sini, nyalinya tidak akan sebesar ucapannya.Rasanya senang sekali bisa dengan mudah menekannya balik.“Kau panggil dia apa
“Memangnya dari mana tadi?” Saat malam Ed tiba-tiba bertanya seperti itu.Apa Danang mengatakan bahwa tadi kami keluar?Padahal kan tadi dia sudah menyanggupi agar tidak menyampaikan apapun pada Ed.Lalu daripada kesulitan menjelaskan sesuatu pada Ed, mending aku pura-pura tidur saja.“Hei, jangan pura-pura! Mau aku gelitikin perutmu?” Ed malah mencubit hidungku.Aku terpaksa bangun dengan muka sebal karena pria ini hampir tidak bisa dimanipulasi.“Apa sih, Ed?” tukasku kesal.“Ayo bilang saja tadi menemui siapa? Laki-lakikah?” Ed masih menggodaku.“Laki-laki dari mana?” aku cepat menyanggahnya.“Kali saja, tidak puas dengan pelayananku jadinya mau coba yang lain!”Aku tahu ucapan Ed dalam konteks bercanda. Namun walau dalam konteks bercanda pun aku benar-benar tidak terima. Amit-amit kalau sampai hal itu terj
“Tidak, Mila. Berpikirlah yang dewasa!” ucapku pada diri sendiri setelah beberapa saat mencoba meredam rasa cemburuku melihat foto dan video-video suamiku. Kemudian tanganku mengirimkan video itu ke nomor Ed agar dia bisa tahu bahwa saat ini Jessica sudah membuatku mulai salah paham lagi padanya. Intinya kalau esok sikapku sedikit kurang berkenan, kuharap Ed bisa mengerti. “Kau masih belum tidur juga?” Ed terlihat masuk setelah beberapa saat tadi kukirimkan foto dan video yang dikirim Jessica. “Sudah kucoba untuk tidur, tapi wanita itu mengangguku terus!” Aku mengeluhkan hal ini pada Ed. Entah sampai kapan pria ini membiarkanku begini. “Kemarikan ponselmu!” Ed mengambil benda pipih yang masih kupegang, lalu memilih duduk di ranjang dan menarik pinggangku ke pangkuannya. Aku berjingkat, tidak bergairah saja kalau dalam keadaan begini Ed meminta untuk dilayani.
Paginya aku terbangun kesiangan dan kudapati jam di dinding menunjukan pukul 07.30. Bukankah setengah jam lagi sekolah anak-anak akan dimulai dan aku harus mengantar mereka? Lalu dengan sedikit tergopoh, setelah membersihkan tubuh aku keluar mencari si kembar. Walau sampai di sekolahan sedikit terlambat, masih bisa lah diusahakan berangkat sekolahnya. “Anak-anak sudah berangkat tadi diantar papanya.” Ibu yang kini sudah tampak sehat melihatku baru keluar dari kamar. “Kamu tambah malas saja, Mila. Harusnya bangun lebih pagi untuk ngurus anak dan suamimu itu. Ini malah molor!” Tambah ibu memarahiku. "Ya habisnya Ed juga sih, Bu, enggak bangunin Mila." "Dulu juga enggak ada yang bangunin 'kan? Manja amat! " Ledek ibu padaku. “Kepala Mila pusing t
“Kita ajak anak-anak sekalian menemui Pak Prabowo!”Ed menatap dua anaknya setelah kami selesai makan siang bersama di tempat favorit Meida dan Gala.“Pak Prabowo itu siapa sih, Ed?” tanyaku padanya.Suamiku itu baru sadar belum mengenalkan sosok pria yang akan kami temui itu.Ditariknya jemariku yang duduk di hadapannya yang hanya terpisah meja makan sambil menatapku lekat.“Aku belum menceritakan padamu tentang alasanku membangun resort dan hotel di kota ini, ya?” tanyanya.Aku mencebik karena satu-satunya alasan yang masih kuingat adalah, Ed mau menginvestasikan modalnya karena permintaan Jessica yang ingin membantu temannya itu.“Tidak perlu diceritakan. Bahkan Pak Bupati tahu kalau kau datang ke kota ini karena dibujuk oleh Jessica agar mau andil membantu pembangunan di kota ini,” jawabku. “Astaga, wanita pencemburuku!” Ed terkekeh semakin meremas jemariku.Pemikiranku tentang tujuan Ed—yang membangun hotel dan resort di kota ini karena rasa cintanya pada Jessica—sebenarnya su
Untuk apa juga Ed sampai harus membuat hotel dan resort hanya untuk mengungkapkan perasaannya padaku. Walau Ed bilang hotel dan resort akan menggunakan namaku, bagaimana kalau aku sama sekali tidak menyadari tujuan dari pembuatan tempat itu? Wanita dengan nama Kamila ‘kan banyak?“Aku akan menjadi wanita yang begitu merana seumur hidup kalau sampai suaminya sendiri tidak mau menemuiku lagi!” Keluhku setengah menyesali sikap Ed.“Jangankan dirimu, bahkan aku sampai saat ini pun masih menyesali kelemahanku itu, Mila. Aku sangat tidak menerima sebuah penghianatan. Akan beda jika kau meninggalkanku sebelum kita terikat suami istri. Tapi bagiku, kau adalah istriku. Hidup matimu adalah milikku. Egoku tidak bisa ditolerir dalam hal ini.” Ed menandaskan.Namun, merasa ucapannya membuatku sedih, dia pun mengukir senyum dan menempelkan telapak tangannya ke pipiku untuk bisa membelainya dengan lembut.“Sekarang aku sudah ditunjukan bahwa sikapku benar-benar salah. Apalagi karena kesalahpahaman
Memasuki pelataran rumah joglo dengan atap tinggi menjulang yang masih begitu terawat keasriannya, anak-anak yang sudah kubangunkan agar ikut turun tampak terkagum-kagum.Mereka pasti baru pertama melihat model rumah yang begini unik. Maklum, begitu lahir mereka sudah di perumahan yang bangunanya lebih modern. “Ini rumah Pak Prabowo, Mila!” Ed mengingatkan karena aku lupa bahwa dia mengajakku ke rumah pria itu.“Oh!” jawabku yang sudah pikun saja.“Pak Prabowo memang ingin totalitas tinggal menyatu dengan warga sekitar. Jadi dia memilih membeli rumah joglo di pedesaan ini.” Ed menambahi penjelasannya sebelum kami semua turun.Seorang pria payuh baya yang menggunakan blangkon di kepalanya di dampingi wanita yang masih tampak cantik di usianya tidak muda lagi menghampiri kami untuk menyambut.Wanita itu tertarik melihat dua bocah berwajah mirip menyalimi tangannya.“Putra-putrinya, Nyonya?” tukasnya mengelus kepala si kembar.“Benar, ini adik saya Meida Permana dan saya Gala Perma