Bab 5

“Uhuk, uhuk ....”

Mia lagi-lagi batuk keras beberapa kali. Kali ini, dia bahkan tidak dapat berdiri tegak lagi. Tubuhnya yang kecil langsung terjatuh di atas lantai. Kemudian, dia memuntahkan darah.

“Mia!” seru Aurelia dengan suara gemetar. Dia buru-buru memeriksa Mia.

Wajah Mia terlihat sangat sangat merah, sedangkan bibirnya malah begitu pucat. “Aku nggak apa-apa, Mama ....”

Mia buru-buru menggendong Mia. “Mama bawa kamu ke rumah sakit.”

Tangan Mia yang kecil memeluk erat Aurelia. Matanya terlihat sangat merah.

Begitu tiba di rumah sakit, dokter mengambil darah Mia untuk diperiksa. Setelah itu, Aurelia dan Mia menunggu hasilnya di luar.

“Mama, Papa benci banget ya sama aku ....” Setelah sakit, suara Mia yang lembut akhirnya tidak dapat menyembunyikan kerapuhannya lagi.

Begitu mendengar pertanyaan ini, Aurelia seketika tidak dapat menjawab. Dia sangat ingin memberi tahu anak ini, ‘Mia, Papa sama sekali nggak benci sama kamu. Yang dia benci itu aku. Kalau kamu itu anak Raisa, kamu pasti akan bahagia.’

Namun, Aurelia malah berbohong lagi. Dia menggeleng dengan berlinang air mata. “Nggak, Mia. Papa nggak benci sama kamu. Dia cuma terlalu sibuk ....”

Mia tersenyum tipis. Wajahnya yang pucat terlihat agak lesu. Tangannya yang kecil mengelus rambut Aurelia. “Mama harus bahagia.”

Tiga patah kata itu hampir membuat air mata Aurelia menetes. Namun, dia berusaha menahannya. Dia menyunggingkan seulas senyum yang terlihat lebih jelek daripada menangis.

“Dokter ....”

Tepat pada saat ini, terdengar suara seseorang yang dingin. Begitu mendengar suara itu, Aurelia langsung menegang.

Aurelia dan Mia mendongak secara bersamaan, lalu melihat Jackson yang sedang sibuk. Tak disangka, dia akan muncul di rumah sakit sambil menggendong seorang wanita. Wanita itu tidak lain adalah Raisa.

Mia secara refleks memanggil, “Papa ....”

Jackson dengan tajam menangkap suara itu dan menoleh. Ketika melihat Aurelia dan Mia, dia pun tertegun sejenak.

Pada saat ini, Raisa yang berada dalam pelukan Jackson juga telah melihat ibu dan anak itu. Dia mencengkeram lengan baju Jackson dengan erat dan berkata, “Jack, aku sakit ....”

Jackson baru tersadar dan menghibur, “Dokter akan segera tiba.”

Di sisi lain, dokter juga telah keluar. Jackson pun mengalihkan pandangannya dan mengatakan sesuatu pada dokter. Kemudian, dia langsung mengikuti dokter pergi tanpa ragu.

Mia menatap punggung ayahnya. Benaknya seketika kosong. “Mama, kenapa Papa menggendong seorang bibi ....”

Aurelia merasa hatinya seperti diinjak orang dengan kuat. Napasnya juga terdengar memburu. Namun, dia memaksakan seulas senyum. “Seharusnya ada karyawan perusahaan Papa yang terluka.”

“Benarkah?” Mia terlihat bingung sejenak. “Tapi, kita juga ada di rumah sakit. Kenapa Papa begitu perhatian sama orang lain, tapi nggak perhatian sama kita?”

Pada saat ini, Aurelia baru menyadari bahwa tidak peduli kebohongan seperti apa pun yang dikarangnya, semua itu sama sekali tidak berguna dalam realita. Bahkan anak-anak juga dapat merasakan seberapa jelas keberpihakan Jackson.

Aurelia mulai berlinang air mata. “Mungkin keadaan bibi itu lebih darurat ....”

Mia pun terdiam. Namun, kebungkaman Mia justru membuat Aurelia merasa tidak tenang.

Satu jam kemudian, Aurelia membawa Mia pergi mengambil hasil pemeriksaan. Siapa sangka mereka malah bertemu dengan Jackson dan Raisa yang duduk di kursi roda.

Aurelia tertegun sejenak, lalu merasa dadanya sangat sesak saking kesalnya. Pada saat ini, dia benar-benar menyesal karena pernah mengenal Jackson. Dia dapat menanggung semua rasa malu dan penghinaan yang dialaminya karena Jackson tidak mencintainya. Namun, dia tidak bisa menerima anaknya juga merasakan penderitaan yang sama.

Mia tiba-tiba memanggil, “Papa ....”

Jackson dan Raisa pun menoleh secara bersamaan. Ekspresi Jackson sedikit berubah, tetapi masih termasuk tenang. “Mia.”

Mia mengalihkan pandangannya pada Raisa dan bertanya, “Papa, siapa bibi ini ....”

Wajah Jackson yang tampan jelas menegang sesaat. Kemudian, dia menjawab, “Dia ....”

Baru saja Jackson hendak berbicara, Raisa malah mencengkeram tangan Jackson, lalu berkata sambil tersenyum, “Dik, aku ini ... teman papamu.”

Seusai berbicara, wajah Raisa terlihat makin pucat. Bahkan suaranya juga gemetar.

Kasihan sekali. Bahkan Aurelia juga ingin mengasihani Raisa setelah melihat tampangnya.

Sementara itu, ekspresi Jackson malah terlihat suram. Kemudian, dia tiba-tiba berkata dengan suara berat, “Mia, dia ini pacar Papa.”

Begitu mendengar ucapan itu, Aurelia merasa hatinya bagaikan disiram dengan besi yang mendidih dan seketika mati rasa. Dia terlihat sangat tenang. Sesuai dugaan, Jackson tidak tega membiarkan Raisa sedih sedikit pun. Jadi, dia tahu bahwa pada saat ini, dia sudah tidak dapat menyembunyikan apa pun.

“Mia, dia itu Bibi Raisa, pacar papamu.” Suara Aurelia terdengar luar biasa tenang.

Sementara itu, wajah Mia malah memucat. Aurelia pun berjongkok, lalu mengelus wajahnya.

“Sayang, sebenarnya Mama belum kasih tahu kamu soal ini. Papa dan Mama sudah pisah .... Tapi, nggak peduli sampai kapan pun itu, Papa tetap adalah papamu, sedangkan Mama juga tetap adalah mamamu ....”

Awalnya, Jackson mengira Aurelia sengaja datang bersama Mia untuk membuat keributan di tempat ini. Bagaimanapun juga, trik yang dilakukan Aurelia dulu tidaklah sedikit.

Jadi, tadi Jackson mengungkapkan status Raisa sebenarnya juga karena ingin balas dendam. Namun, dia tidak menyangka Aurelia akan langsung berkata jujur pada Mia. Apa dia salah paham?

Mia merasa pikirannya sangat kacau. Namun, dia merasa lebih sedih. “Jadi, gimana dengan Mama ....”

Aurelia pun tertegun.

Air mata Mia mulai menetes. “Mia punya Papa dan Mama. Tapi, Mama nggak punya siapa-siapa ....”

Pada saat ini, Aurelia merasa seperti ada yang meremas jantungnya sampai hancur, tetapi Mia malah perlahan-lahan menyatukannya kembali.

Benar juga, Aurelia sudah tidak memiliki keluarga, juga akan segera kehilangan anaknya. Dia benar-benar hanya sendirian di dunia ini dan sepertinya akan segera kehilangan segalanya.

Aurelia mengelus kepala Mia. “Mama kan punya kamu. Sudah, ayo sapa Bibi Raisa.”

Mia merasa hatinya terasa sangat pahit dan sesak. Namun, ibunya pernah berpesan bahwa dia harus menjadi anak yang sopan. Dia pun menahan air mata, lalu menatap wanita yang tangannya digenggam oleh ayahnya dan memaksakan seulas senyum yang lebih jelek daripada menangis.

“Halo, Bibi Raisa ....”

Setelah mendengar Mia menyapanya dengan paksa, ekspresi Raisa terlihat jelek. Namun, Jackson juga ada di sini. Dia hanya bisa menggigit bibir sambil mengangguk, lalu memaksakan seulas senyum. “Halo, Mia.”

Jackson tertegun sejenak. Dia melihat Mia menyapa Raisa, lalu duduk kembali di sisi Aurelia dengan tenang. Dia tidak menimbulkan keributan apa pun. Bahkan Aurelia juga sama sekali tidak melirik ke arahnya. Ini jelas-jelas merupakan situasi yang harmonis. Namun, kenapa dia merasa tidak nyaman?

Pada saat ini, Rizky yang telah selesai membayar biaya pengobatan berjalan mendekat. Aurelia menyerahkan Mia kepada Rizky, lalu berkata pada Jackson, “Kita bisa bicara sebentar?”

“Apa yang mau kamu ributkan di hadapan anak?”

Ekspresi Jackson penuh kejengkelan. Tanpa berpikir panjang, dia hendak langsung menolak.