“Mas! Mas!” panggil Luna saat masih menuruni tangga.
“Ada apa, Sayang? Kamu kenapa?” Aditya menghampiri Luna.“Aruna, Mas! Aruna!”“Kenapa dengan Aruna? Bicara yang jelas, Lun!”Aditya ketularan panik, tapi ia tetap mencoba tenang agar Luna dapat menjelaskan apa yang terjadi. Ia takut sang anak melakukan hal-hal yang tidak terpikirkan atau melakukan hal konyol lainnya. Baru Luna akan membuka suara, Marvin memnghamiri mereka.“Ada apa dengan Aruna, Ma?” cetus Marvin ikut bertanya.“Aruna tidak menyahutiku, Mas. Aku takut terjadi sesuatu padanya.”“Ayo! Kita cek ke atas.”“Aku ikut ya, Pa?”“Tidak usah! Kamu harus tetap di sini. Ini acara pernikahan kamu, biar kami saja yang ke atas.”“Tapi aku khawatir dengan Aruna, Pa! Semua ini terjadi karena kesalahanku.”Derap langkah terdengar tergesah-gesah menaiki tangga. Bukan hanya sepasang kaki, melainkan beberapa, yang terus mendaki bertubi-tubi. Setiap detik suara itu semakin dekat. Berhenti tepat di depan pintu yang tertutup rapat, perlahan gagang pintu dibuka. Namun, tidak bisa.“Aruna?”Brak ... brak ... brak ...“Bagaimana ini, Pa?” tanya Marvin.“Sebentar!” Dengan langka besar Aditya meninggalkan tempat itu.“Coba gunakan kunci ini,” Marvin bergeser, memberi ruang pada Aditya untuk membukanya.Derit ...Mata Aditya menjelajahi setiap sudut ruangan tersebut, hanya ada ruang kosong dengan benda-benda yang masih tersusun rapi. Tak sengaja mata elang Aditya menangkap sesuatu yang ganjal. Ia mamatung tanpa bisa berkata-kata.“Jangan berdiri di pintu, Mas!“Mas? Kamu kok diam saja? Terjadi sesuatu dengan Aruna, Mas?” Luna menerobos tubuh suaminya itu.“Aru—”“Ada apa, Ma?”Dengan langkah tertatih Marvin mendekati gaun putih yang teronggok di atas ranjang, ia sentuh gaun itu. Sesetes air meluncur dari sudut matanya.“Aruna? Kamu di mana?” Marvin membuka kasar pintu kamar mandi.“Aruna? Jangan main-main, Sayang! ARUNA?” Marvin menyibak gorden.Kehilangan memang terasa ketika seseorang yang terabaikan memilih meninggalkan kita. Saat ia telah sadar bukan prioritas dan hanya di nomor duakan. Jika wanita telah memilih pergi, berarti sakit yang ia terima tidak lagi main-main. Sekarang, Marvin merasakan hal itu. Ditinggalkan oleh wanita yang belum sempat dibahagiakan.“Kenapa kamu tinggalkan aku, Aruna? Kenapa?”Tubuh kekar itu terperosot ke lantai, kaki yang kokoh tidak lagi mampu menopang. Kejadian yang tak pernah ia bayangkan menyuguhi Marvin pada kenyataan.Puluhan potong kain disambung menjadi sebuah tali, diikat pada terali besi. Itulah yang dilihat Marvin.“Mas? Aruna, Mas?“Kemana Aruna?” tangis Luna pecah dalam pelukan sang suami, mengetahui putrinya minggat dari rumah.Sekarang, siapa yang harus dipersalahkan?Aruna? Karena meninggalkan rumah begitu saja.Aditya dan Luna? Karena memberi restu pada pernikahan anaknya.Apa calon suami Aruna—Marvin? Sebab telah berjanji berubah, tapi tetap menoreh luka.Mereka tidak bisa saling menyalahkan, karena semua orang di sana berkontribusi atas kejadian ini. Luna hanya bisa menangis, sedangkan Aditya sudah menelepon anak buah untuk menemukan Aruna. Marvin juga melakukan hal yang sama, ia tidak mau kehilangan cinta untuk ke dua kalinya.Kegaduhan yang terjadi di Kamar Aruna, mengganggu ketenangan orang-orang yang berada di bawah. Erika dan Patrick pun bergegas mengecek apa yang sudah terjadi.“Ada apa ini? Lun, kamu kenapa?” Tak ada sahutan dari orang yang ditanya.“Marvin, apa yang terjadi? Mana Aruna?” Kali ini Patrick yang bertanya.“Aruna pergi, Pa! Aruna meninggalkanku,” ujar Marvin tersandar lemah pada dinding.Mendengar ucapan Marvin, emosi Erica tak sabar untuk meledak. Namun, patrick menggengam tangannya.Erica tak sengaja melihat secarik kertas tergeletak di lantai. Ia memungut dan membacanya. Di sana jelas tertulis surat itu tertuju untuk Marvin. “Mungkin tulisan ini bisa lebih menyadarkan kamu, Marvin!”Sepenggal Kalimat PisahTo: Marvin Louise.Aku mengingat hari ini dengan jelas, Vin! 23.10.2017, tanggal yang aku sisipkan di bagian kenangan pahit.Saat kamu melamarku, aku sangat yakin bisa mengalihkan perasaanmu seutuhnya. Ternyata aku salah, bahkan kamu meninggalkanku sebelum ijab kabul. Kau menipuku, Vin! Mengatakan akan melupakan, tapi tetap menempatkan ia dalam relung terdalam.Mungkin aku terlalu percaya diri untuk mendapatkan cintamu. Seharusnya, dari awal aku ikuti arahan hati untuk melepaskan. Namun, egoku terlalu kuat mempertahankan.Jika dia masih bertahta dalam hatimu, kenapa kau seret aku dalam lembah luka ini? Lebih baik kau tetap memberi batas! Agar aku tak terjebak, Vin.Namun, semua telah terjadi. Tak ada yang harus disesali ataupun disalahkan. Aku ingin menekankan satu hal, Vin! Jangan pernah mencari ataupun menemuiku lagi!Satu kalimat terakhirku,‘Jika hadirku tak membuatmu lupa pada Amalia, mungkin pergiku sedikit menggoyahkan rindumu untuknya.’Salam pisah,Aruna Batari Deolinda.“A–ru–na,” lirih Marvin.Tangan Marvin bergetar, tidak hanya rintik yang jatuh dari pelupuk mata Marvin, melainkan hujan deras yang tak terbendung. Petir seakan menyambar tubuh lemah itu, hari yang seharusnya diisi dengan senyum bahagia kini berubah menjadi air mata.Erica iba menyaksikan karapuhan sang anak, Marvin lebih terpukul dibandingkan saat diputuskan Amalia dulu. Apa karena cinta Marvin lebih dalam pada Aruna? atau rasa bersalah yang tengah menguasai dirinya. Erica tidak dapat menerka hal itu, yang pasti Marvin sangat terpukul dengan kejadian yang menimpa sang anak.“Aruna tidak akan kembali dengan kamu menangis, Vin.” Erica mengusap-usap bahu Marvin.“Ma, apa aku akan kehilangan cinta lagi?”“Benarkah kamu mencintainya?”“Kenapa mama bertanya seperti itu?”“Jika kamu mencintainya, tidak mungkin kamu meninggalkan begitu saja,” tutur Erica.Marvin sadar, kesalahan yang ia lakukan kali ini sangat fatal. Namun, ia juga tidak tahu mengapa bayang Amalia bisa muncul pada saat seperti itu.“Aku sangat bersalah pada Aruna, Ma. Mungkinkah dia mau memaafkanku lagi?”“Entahlah! Kali ini kesalahanmu terlalu besar, Vin.”“Apa tidak ada kesempatan ke dua untukku, Ma?” Erica tersenyum miris.“Bahkan kamu sudah mendapatkan puluhan kali kesempatan, Vin. Tapi kamu menyia-nyiakannya.”Tak ada yang bisa Marvin ucapkan lagi, semua yang dikatakan Erica benar. Aruna merawat lukanya dengan cinta, sedangkan cinta Marvin melukai Aruna. Rasa bersalah, menyesal, dan kehilangan menjadi satu dalam diri Marvin. Namun, semua percuma! Aruna terlanjur meninggalkannya.Patrick mendekati istri dan sang anak, berjongkok di hadapan mereka. “Tidak ada yang bisa kami lakukan untukmu, Vin. Semua terjadi karena sikap egomu yang terus mengingat masa lalu. Jika sekarang kamu kehilangan masa depan, satu pesan papa! Jangan pernah menyalahkan keadaan. Perbaiki dirimu! Dan belajarlah menerima kenyataan,” ujar Patrick bijak.Marvin mengalihkan pandangan pada sepasang suami isteri yang masih berdiri, saling merangkul, merisaukan putri mereka yang pergi. Ia merangkak mendekati Aditya dan Luna. Dengan posisi berlutut, Marvin menyatukan kedua telapak tangan.“Maafkan aku, Pa, Ma! Maafkan aku! Aku mengingkari janji, aku menyakiti anak kalian.” Air mata Marvin terus membanjir.Aditya dan Luna tidak merespon sama sekali. Entah apa yang mereka rasakan terhadap calon menantunya itu. Tubuh Marvin terduduk dengan kepala yang menunduk. Ia berada pada titik putus asa, kehilangan dan tidak memiliki dukungan.Bersambung ...Marvin sangat yakin, Aditya dan Luna membencinya karena telah menyakiti anak mereka. Namun di luar dugaan, sang mertua tetap bersikap baik padanya. Rasa bersalah menjadi-jadi menggerogoti hati Marvin. “Berdiri, Vin! Jangan seperti ini!” Aditya melepas pelukan pada sang isteri dan membantu Marvin berdiri.“Kamu memang salah, Vin! Tapi kami juga tidak mungkin menghakimimu. Lebih baik kita fokus menemukan Aruna,” ujar Luna sembari mengusap air mata.Kecewa? Tentu saja mereka kecewa. Sakit hati? Sudah pasti. Namun, mereka tidak bisa mengembankan kesalahan pada Marvin sepenuhnya. Mereka juga turut andil atas luka yang diterima Aruna. Di sebuah penthouse bernuansa abu-abu, seorang wanita muda dengan mata yang sembab dan penampilan tak karuan terlelap nyenyak. Erina duduk di tepi ranjang menatap iba pada adik sepupunya itu, ia harus mengalami rasa sakit begitu dalam karena masalah percintaan. Ia dikhianati oleh seorang laki-laki yang telah berstatus suaminya. Memang tidak dikhianati secara
“Pulang yuk, Run! Kasihan orangtua kita,” ujar Erina duduk di sebelah Aruna.“Aku masih belum siap, Kak. Atau ka—”“Jangan menyuruh aku pulang duluan, Run. Karena itu tidak akan terjadi.”“Heh ... kakak kabari mereka bahwa kita baik-baik saja. Dua hari lagi kita balik, bagaimana?”“Janji? Dua hari lagi kita pulang?” tanya Erina kegirangan. Ia tidak sabar bertemu dengan kedua orangtuanya dan menikmati hidup normal lagi.“Iya, Kak.”Luna dan Aditya kini berada di rumah orangtua Erina—Kevin dan Keyla. Mereka sangat yakin Aruna pergi bersama kakak sepupunya itu. karena tidak mungkin Erina pergi tanpa memberi kabar pada orangtua. Namun, seyakin-yakin orangtua tetap saja rasa gelisah menghantui mereka.“ Kak Key? Apa sudah ada kabar dari Erina?” tanya Luna.“Belum, Lun.” Keyla juga merasa kehilangan karena Erina pergi tanpa memberi tahu sa
“Aku tidak ada masalah, kok. Hanya merindukan mami-papi.” Elak Erina.Aruna merasa bersalah pada sang kakak. Karena ulahnya, Erina harus jadi ikut kena getah. Padahal, ia tahu kakak sepupunya itu tidak pernah betah lama-lama jauh dari orangtua.“Maaf ya, Kak! Karena ak—”“Sst ... Pikiran kamu terlalu jauh, aku baik-baik saja.” Erina dengan cepat memotong ucapan Aruna.Aruna tidak percaya seratus persen pada ucapan Erina. Meskipun benar, tapi ia merasa ada hal lain yang disembunyikan sang kakak darinya. Aruna ingin menanyakan hal itu, tapi anak dari omnya itu seperti enggan untuk berbagi. Ia juga tidak bisa memaksa Erina bercerita, lebih baik menunggu saat sang kakak siap untuk mengatakannya.Dua hari berlalu ...“Runa, bangun! Kamu janji kita pulang sekarang bukan?” Hampir setengah jam Erina membangunkan Aruna, tapi ia tetap bergeming. Erina yang mulai jengah dengan adik sepupunya itu, meny
Aruna tidak kaget sama sekali, ia yakin mantan calon suaminya itu akan segera tahu dia kembali.“Katakan padanya, aku sibuk dan tidak ingin bertemu dengan siapapun,” tegas Aruna.Lea tidak beranjak, ia masih memandangi wajah Aruna dengan perasaan bertanya-tanya.“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Aruna.“Tidak! Saranku, lebih baik kamu temui dia! Marvin sepertinya sangat terpukul sejak kamu tinggalkan,” imbuh Lea.Aruna tidak menanggapi ucapan Lea, ia fokus dengan laptop dan rancangan strategi yang akan ia gunakan untuk menambah daya tarik hotelnya. Lea pun bergeming, ia ingin Aruna menyelesaikan persoalan yang menghinggapi kehidupannya, bukan selalu menghindari.Hampir 15 menit Aruna dan Lea bertanding diam. Akhirnya Aruna mengalah, ia tidak bisa mengabaikan orang yang selalu hadir saat ia butuh.“Sampai kapan kamu akan berdiri, Le? Jangan menyiksa dirimu demi orang lain,” seru Aruna.
Keraguan tidak hanya terbesit dalam kepala Aruna, tapi bersarang. Ia takut untuk mengambil resiko ini. Namun, apa yang dikatakan sang mama ada benarnya. Mungkin pilihan Aruna kemaren kurang tepat dan pilihan orangtua lebih baik untuknya. 1 Minggu berlaluHari ini Aruna akan menikah denga pria pilihan orangtuanya, tapi sampai detik ini sang kakak—Erina belum jua menampakkan diri. Dihubungi pun tidak bisa, padahal ia berharap bisa berbagi kesedihan dengan sang kakak. “Kamu di mana sih, Kak?” ucap Aruna dalam hati. Saat akan menikah dengan Marvin, Aruna berharap tidak ada kendala sama sekali. Ia sudah membayangkan bagaimana bahagianya bisa hidup dengan pria yang dicintai. Namun, kali ini ia berdoa agar ada permasalahan yang terjadi dan pernikahan batal. Terdengar konyol memang, tapi pikiran itulah yang melintas di benak Aruna. “Run! Kamu udah siap, Sayang?” Luna menghampiri sang anak yang masih di rias.“Ya, sepertinya,” jawab Aruna lesu.Luna mengerti dengan perasaan sang anak, tapi h
Aruna yang mendengar teriakan Keen dan suara tabrakan menoleh ke belakang, ternyata suaminya menjadi korban tabrak lari. Keen yang terus mengejar Aruna tidak memerhatikan jalan sama sekali, sehingga ia tidak menyadari jika ada mobil yang melaju kencang dari arah kiri.“Keen...” desis Runa.Wanita yang baru saja menikah itu bimbang, harus menolong sang suami atau tetap berlari. Ia takut jika mendekat ternyata luka Keen tidak separah itu dan laki-laki itu pasti menangkap dan tidak akan melepasnya lagi.‘Tapi.. jika tidak kutolong, kejam sekali diriku,’ bisik hati Aruna.Akhirnya Aruna memutuskan mundur ke belakang untuk memeriksa keadaan sang suami. Meskipun ia ditipu oleh Keen, paling tidak Aruna masih memiliki rasa simpati pada orang yang sedang butuh pertolongan.“Permisi, Pak..” ucap Aruna pada bapak-bapak yang sedang mengelilingi tubuh Keen. Ternyata luka pengacara itu cukup parah, tapi untungnya dia masih sadar meski meringis kesakitan.“Pak, tolong panggilkan ambulan. Saya mengen
Sesampainya di rumah sakit, Aluna langsung menuju ruangan Keen. Ia melihat Mela tengah tersedu-sedu di bangku tunggu. Sedangkan suami Mela, Luna tidak melihatnya. "Mel?" Aluna menepuk bahu sang besan. "Aluna, " tanpa basa basi, Mela menghambur dalam pelukan mertua anaknya itu. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, rasa bersalah seolah menggerogoti perasaannya. Aruna kabur dan Keen terbaring di rumah sakit, Mela merasa mendapat kutukan atas semua yang terjadi."Maafin aku, Lun," ucap Mela penuh penyesalan. Aluna hanya mengangguk, ia tidak bisa menyalahkan Mela sepenuhnya. Karena yang paling bersalah dalam situasi ini adalah ia dan suaminya--Aditya. Awalnya Erina yang akan menikah dengan Keen, tapi bercermin pada kisah percintaan sang adik, Erina menjadi ragu untuk melanjutkan pernikahan. Apalagi ia tidak mengenal Keen sama sekali. Karena merasa tersudut dengan permintaan orangtuanya untuk menikah, Erina melakukan hal yang sama seperti Aruna yaitu kabur. Namun, yang tak pernah ada d
“Apa yang sedang kamu pikirkan, hem?”“Banyak... Sangat banyak, bahkan kepalaku rasanya tidak sanggup lagi menampungnya.” Gadis dengan piyama polkadot itu mendekati sang adik dengan membawa secangkir teh hangat. Ia tidak tahu masalah apa yang membawa saudara sepupunya tiba di sana, tapi wanita 24 tahun itu juga segan untuk bertanya.Yah... Mereka adalah Aruna dan Erina yang sedang melarikan diri dari rumah. Aruna tidak tahu jika sang kakak berada di panthouse itu, tapi ia juga tidak terkejut. Karena setelah apa yang ia alami, Aruna yakin Erina memang sengaja menghindari pernikahan dan sekarang berimbas pada dirinya.“Terimakasih,” ucap Aruna seadanya.Erina merasa ada yang janggal dengan sikap sang adik. Karena sejak awal datang, Aruna tidak pernah sekalipun menggunakan embel-embel kakak.Cukup lama Erina dan Aruna diam-diaman karena tidak ada yang membuka percakapan. Erina sibuk dengan pikirannya, begitupun dengan Aruna.“Apa tidak ada yang ingin diceritakan padaku?” ujar Aruna tiba-
“Uugghhh.. Selamat pagi, Jakarta. Sepertinya, tidurku cukup nyenyak semalam,” oceh seorang wanita muda. Ia berjalan mendekati jendela dan membuka tirai. Pemandangan Jakarta cukup berbeda dan udara pagi yang sangat menenangkan perasaan. Bukan berarti udara di sana lebih bersih dibandingkan Bali, tapi pagi ini merupakan hari pertama baginya menjalani kehidupan yang jauh lebih mudah.“Aruna... Mari pikirkan hal apa yang bisa kamu lakukan di kota metropolitan ini,” dialog Runa pada diri sendiri.Sebelum memulai aktivitas, Aruna berpikir untuk mengganti identitasnya lebih dulu. Karena dengan begitu ia lebih leluasa melakukan apa yang diinginkan. Aruna mengubah namanya dari Aruna Batari Deolinda menjadi Atari Deolin. Ia tidak menukar namanya secara utuh sebab itu merupakan pemberian orangtua yang berarti doa baginya, jadi Aruna hanya menyingkat.Ting ...Ponsel Runa berbunyi menandakan pesan masuk,[Bagaimana kehidupanmu sekarang?] teks yang tertera di layar ponsel Aruna.Ia tersenyum, [Ten
“Kemana lagi kita harus mencari mereka, Bang?” ucap Aluna dengan penuh kekhawatiran. Jika sebelumnya mereka bersama, bagaimana sekarang? Mereka pergi terpisah dengan alasan yang berbeda. Aluna sangat takut hal buruk terjadi pada puteri dan keponakannya.“Aku tidak tahu, Lun. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa agar anak-anak kita segera ditemukan.”“Bagaimana jika mereka tidak ditemukan?” timpal Keyla.“Kak Key... Kita berdoa saja, semoga mereka lekas kembali.” Bukan Aluna yang menjawab, melainkan Aditya. Ia masih setia memeluk sang isteri yang tak henti-hentinya menangis. Aditya juga sangat khawatir dengan Aruna dan Erina, tapi ia harus lebih tegar agar terus bisa menjadi sandaran bagi Aluna.“Ini semua salahku, Pi..” tukas Keyla lagi.Ia merasa sangat bersalah pada anak dan keponakannnya. Karena terus mendesak Erina menikah dengan Keen, akhirnya sang anak kabur. Sedangkan Aluna kecewa dengan ide yang Keyla cetuskan, juga memilih untuk pergi.“Sudahlah, Mi. Tidak baik menyalahkan dir
Lama Aruna menimbang-nimbang untuk mengatakan pada sang kakak tentang rencananya. Ia takut Erina tidak setuju dan membocorkan pada kedua orangtuanya. Aruna hanya ingin menenangkan diri untuk sementara, jika waktu tiba ia juga akan kembali ke kehidupan semula. “Kenapa malah diem?” “Hemm... Apa kakak mau berjanji dulu padaku? Bahwa hal ini hanya antara kita, tidak siapapun termasuk mama-papa ataupun om Kevin dan tante Key.” Aruna menceritakan rencana untuk pindah dari kota yang sekarang dan berhenti bekerja di perusahaan keluarga. Namun, ia tidak ingin siapapun mengetahui kepergiannya. Aruna butuh waktu untuk memulihkan cedera perasaan yang ia alami. “Tapi kenapa tante dan om tidak boleh tahu? Jika mereka bertanya aku harus jawab apa? Emang kamu yakin mau pindah? Kemana?” tanya Erina beruntut. “Begini, Kak. Aku tidak percaya pada siapapun sekarang. Jika mama dan papa tahu, mereka pasti akan memberitahu keluarga pengacara itu. Dan aku akan kembali menjadi buronan.” Aruna menjeda ucap
“Apa yang sedang kamu pikirkan, hem?”“Banyak... Sangat banyak, bahkan kepalaku rasanya tidak sanggup lagi menampungnya.” Gadis dengan piyama polkadot itu mendekati sang adik dengan membawa secangkir teh hangat. Ia tidak tahu masalah apa yang membawa saudara sepupunya tiba di sana, tapi wanita 24 tahun itu juga segan untuk bertanya.Yah... Mereka adalah Aruna dan Erina yang sedang melarikan diri dari rumah. Aruna tidak tahu jika sang kakak berada di panthouse itu, tapi ia juga tidak terkejut. Karena setelah apa yang ia alami, Aruna yakin Erina memang sengaja menghindari pernikahan dan sekarang berimbas pada dirinya.“Terimakasih,” ucap Aruna seadanya.Erina merasa ada yang janggal dengan sikap sang adik. Karena sejak awal datang, Aruna tidak pernah sekalipun menggunakan embel-embel kakak.Cukup lama Erina dan Aruna diam-diaman karena tidak ada yang membuka percakapan. Erina sibuk dengan pikirannya, begitupun dengan Aruna.“Apa tidak ada yang ingin diceritakan padaku?” ujar Aruna tiba-
Sesampainya di rumah sakit, Aluna langsung menuju ruangan Keen. Ia melihat Mela tengah tersedu-sedu di bangku tunggu. Sedangkan suami Mela, Luna tidak melihatnya. "Mel?" Aluna menepuk bahu sang besan. "Aluna, " tanpa basa basi, Mela menghambur dalam pelukan mertua anaknya itu. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, rasa bersalah seolah menggerogoti perasaannya. Aruna kabur dan Keen terbaring di rumah sakit, Mela merasa mendapat kutukan atas semua yang terjadi."Maafin aku, Lun," ucap Mela penuh penyesalan. Aluna hanya mengangguk, ia tidak bisa menyalahkan Mela sepenuhnya. Karena yang paling bersalah dalam situasi ini adalah ia dan suaminya--Aditya. Awalnya Erina yang akan menikah dengan Keen, tapi bercermin pada kisah percintaan sang adik, Erina menjadi ragu untuk melanjutkan pernikahan. Apalagi ia tidak mengenal Keen sama sekali. Karena merasa tersudut dengan permintaan orangtuanya untuk menikah, Erina melakukan hal yang sama seperti Aruna yaitu kabur. Namun, yang tak pernah ada d
Aruna yang mendengar teriakan Keen dan suara tabrakan menoleh ke belakang, ternyata suaminya menjadi korban tabrak lari. Keen yang terus mengejar Aruna tidak memerhatikan jalan sama sekali, sehingga ia tidak menyadari jika ada mobil yang melaju kencang dari arah kiri.“Keen...” desis Runa.Wanita yang baru saja menikah itu bimbang, harus menolong sang suami atau tetap berlari. Ia takut jika mendekat ternyata luka Keen tidak separah itu dan laki-laki itu pasti menangkap dan tidak akan melepasnya lagi.‘Tapi.. jika tidak kutolong, kejam sekali diriku,’ bisik hati Aruna.Akhirnya Aruna memutuskan mundur ke belakang untuk memeriksa keadaan sang suami. Meskipun ia ditipu oleh Keen, paling tidak Aruna masih memiliki rasa simpati pada orang yang sedang butuh pertolongan.“Permisi, Pak..” ucap Aruna pada bapak-bapak yang sedang mengelilingi tubuh Keen. Ternyata luka pengacara itu cukup parah, tapi untungnya dia masih sadar meski meringis kesakitan.“Pak, tolong panggilkan ambulan. Saya mengen
Keraguan tidak hanya terbesit dalam kepala Aruna, tapi bersarang. Ia takut untuk mengambil resiko ini. Namun, apa yang dikatakan sang mama ada benarnya. Mungkin pilihan Aruna kemaren kurang tepat dan pilihan orangtua lebih baik untuknya. 1 Minggu berlaluHari ini Aruna akan menikah denga pria pilihan orangtuanya, tapi sampai detik ini sang kakak—Erina belum jua menampakkan diri. Dihubungi pun tidak bisa, padahal ia berharap bisa berbagi kesedihan dengan sang kakak. “Kamu di mana sih, Kak?” ucap Aruna dalam hati. Saat akan menikah dengan Marvin, Aruna berharap tidak ada kendala sama sekali. Ia sudah membayangkan bagaimana bahagianya bisa hidup dengan pria yang dicintai. Namun, kali ini ia berdoa agar ada permasalahan yang terjadi dan pernikahan batal. Terdengar konyol memang, tapi pikiran itulah yang melintas di benak Aruna. “Run! Kamu udah siap, Sayang?” Luna menghampiri sang anak yang masih di rias.“Ya, sepertinya,” jawab Aruna lesu.Luna mengerti dengan perasaan sang anak, tapi h
Aruna tidak kaget sama sekali, ia yakin mantan calon suaminya itu akan segera tahu dia kembali.“Katakan padanya, aku sibuk dan tidak ingin bertemu dengan siapapun,” tegas Aruna.Lea tidak beranjak, ia masih memandangi wajah Aruna dengan perasaan bertanya-tanya.“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Aruna.“Tidak! Saranku, lebih baik kamu temui dia! Marvin sepertinya sangat terpukul sejak kamu tinggalkan,” imbuh Lea.Aruna tidak menanggapi ucapan Lea, ia fokus dengan laptop dan rancangan strategi yang akan ia gunakan untuk menambah daya tarik hotelnya. Lea pun bergeming, ia ingin Aruna menyelesaikan persoalan yang menghinggapi kehidupannya, bukan selalu menghindari.Hampir 15 menit Aruna dan Lea bertanding diam. Akhirnya Aruna mengalah, ia tidak bisa mengabaikan orang yang selalu hadir saat ia butuh.“Sampai kapan kamu akan berdiri, Le? Jangan menyiksa dirimu demi orang lain,” seru Aruna.
“Aku tidak ada masalah, kok. Hanya merindukan mami-papi.” Elak Erina.Aruna merasa bersalah pada sang kakak. Karena ulahnya, Erina harus jadi ikut kena getah. Padahal, ia tahu kakak sepupunya itu tidak pernah betah lama-lama jauh dari orangtua.“Maaf ya, Kak! Karena ak—”“Sst ... Pikiran kamu terlalu jauh, aku baik-baik saja.” Erina dengan cepat memotong ucapan Aruna.Aruna tidak percaya seratus persen pada ucapan Erina. Meskipun benar, tapi ia merasa ada hal lain yang disembunyikan sang kakak darinya. Aruna ingin menanyakan hal itu, tapi anak dari omnya itu seperti enggan untuk berbagi. Ia juga tidak bisa memaksa Erina bercerita, lebih baik menunggu saat sang kakak siap untuk mengatakannya.Dua hari berlalu ...“Runa, bangun! Kamu janji kita pulang sekarang bukan?” Hampir setengah jam Erina membangunkan Aruna, tapi ia tetap bergeming. Erina yang mulai jengah dengan adik sepupunya itu, meny