“Kami membutuhkan seorang karyawan dan karyawati di bagian gudang pabrik produksi.”
Dengan antusias Agatha langsung menganggukkan kepala tanpa berpikir dua kali. Ia sangat-sangat membutuhkan sebuah pekerjaan saat ini. Apa pun itu pekerjaannya, tentu Agatha akan dengan senang hati melakukannya asalkan ia tidak diusir dari apartemennya. Mau ke mana lagi ia akan tinggal jika pemilik apartemen itu benar-benar mengusirnya dari sana?“Kau kirimkan saja CV-mu kepadaku. Nanti, aku akan mengirimkannya kepada HRD supaya prosesnya lebih cepat,” jelas Gabby memberitahu. Agatha mengangguk-anggukkan kepala. “Terima kasih, Gabby. Aku janji akan mentraktirmu kalau aku sudah gajian nanti,” ucapnya sambil tersenyum lebar.“Jangan sungkan padaku, Agatha. Kita juga sudah lama berteman, bukan? Jadi sudah sewajarnya kalau kita saling menolong,” balas Gabby tersenyum seraya menyentuh pundaknya lembut. Beberapa hari setelahnya, Agatha mendapat panggilan kalau dirinya lolos seleksi CV dan interview dan ia bisa mulai bekerja di pabrik industri yang disarankan oleh Gabby tersebut. Seorang supervisor menjelaskan mengenai pekerjaan apa saja yang harus dilakukan oleh Agatha mengingat hari ini adalah hari pertama perempuan itu bekerja. Pabrik tersebut memang membutuhkan cukup banyak karyawan baru karena mereka sedang memproduksi beberapa produk terbaru yang akan di-launching secepatnya.“Apakah sampai sini kau paham dengan job desk yang kuberikan padamu, Agatha?” tanya sang supervisor.“Saya paham, Bu,” jawab Agatha mengangguk. Supervisor perempuan itu tersenyum. “Bagus. Kalau begitu selamat bergabung dengan perusahaan ini. Semoga kau betah tinggal di sini, Agatha,” ucap si supervisor dengan senyuman di sudut bibirnya.“Terima kasih, Bu,” jawab Agatha sambil tersenyum lebar dan menundukkan kepalanya sejenak sebagai rasa terima kasih. Agatha pun mulai menjalani aktivitas barunya. Kesibukan yang ia jalani selama bekerja di pabrik ternyata sedikit banyak mulai membuatnya terdistraksi agar tidak memikirkan tentang rasa sakit yang diberikan oleh Zio. Kini rutinitas Agatha sedikit sibuk, bekerja pagi-pagi sekali, lalu baru pulang pukul empat sore. Bahkan terkadang ia lembur sampai jam delapan malam. Sesampainya di rumah, ia langsung beristirahat sehingga gadis itu memang sudah benar-benar tak punya waktu untuk memikirkan mantan kekasihnya yang sangat kurang ajar itu. Di pabrik juga ia tidak mendengar berita terbaru tentang Zio dan istirnya itu karena teman-temannya tidak ada yang menggosipkan hal tersebut. Pikiran Agatha kini benar-benar tenteram karena pekerjaan barunya.*** Di depan pintu kantor berdirilah seorang pria tampan bersama seorang sekretarisnya, “Apakah aku sudah memberitahumu jika hari ini aku ada kunjungan ke pabrik?” tanya Dirga kepada sekretarisnya.“Sudah, Pak. Saya juga sudah mengosongkan jadwal meeting Anda hari ini sesuai dengan permintaan Anda,” jawab si sekretaris.“Bagus. Sekarang kita berangkat ke pabrik saja. Kalau terlalu siang takutnya jalanan semakin macet,” ucap Dirga memberi perintah.“Baik, Pak,” jawab Jessica, sekretaris Dirga. Dirga dan Jessica berjalan menuju ke lift. Setelah sampai di basement mereka berjalan menuju ke mobil yang berbeda. Benar, meskipun mereka memiliki tempat tujuan yang sama, mereka tetap memilih untuk pergi dengan mobil terpisah karena Dirga tidak terlalu nyaman jika harus satu mobil dengan orang lain yang tak ia kenal dengan akrab. Apalagi, Jessica adalah sekretarisnya. Bisa-bisa akan banyak gosip yang menyebar kalau mereka pergi dengan mobil yang sama meskipun sebenarnya hal tersebut sangatlah wajar. Jarak dari kantor ke pabrik tidaklah begitu jauh. Hanya dua kilometer saja. Dirga dulu memang sengaja membangun pabrik yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan kantor agar dia dapat dengan mudah memantau barang-barang produksi. Kebetulan sekali bulan depan mereka akan merilis produk elektronik terbaru perusahaan Gold Company sehingga dia ingin melakukan pemantauan langsung agar tidak ada barang-barang yang mengecewakan konsumen. Sebagai salah satu perusahaan induk yang memiliki banyak anak perusahaan dari berbagai jenis produk, seperti barang elektronik, produk makanan, hingga produk keperluan interior rumah. Tentunya Dirga harus memastikan kepuasan konsumen dengan memproduksi produk-produk yang tidak mengecewakan. Sesampainya di pabrik, seorang supervisor langsung menyambut kedatangan Dirga dan Jessica lalu mengarahkan Dirga dan Jessica ke ruang produksi. Di sana mereka memantau proses produksi dari nol sampai menjadi sebuah barang yang akan mereka jual.“Jadi, seberapa siap barang-barang yang akan kita launching?” tanya Dirga melirik sang supervisor.“Seperti biasa, Pak.""Aku tidak ingin kita kehabisan barang di minggu-minggu awal perilisan barang,” sambung mengingatkan sang supervisor.“Tentu, Pak. Kami sudah menyiapkan setidaknya dua ribu barang yang siap dipasarkan. Sementara itu, di hari perilisan kami yakin jika produksi kami sudah mencapai sekitar sepuluh ribu barang,” jelas si supervisor begitu detail. Dirga mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bisakah kau antar aku ke tempat penyimpanan barang-barang yang sudah siap dipasarkan?” Si supervisor mengangguk, lalu berjalan mendahului Dirga menuju ke sebuah gudang penyimpanan. Para karyawan dan karyawati tampak sedang memindahkan barang-barang dan menatanya dengan rapi.“Di sini sudah ada sekitar dua ribu produk yang kualitasnya juga sudah kami tes, Pak. Semua produk yang ada di sini sudah sesuai dengan peraturan standar negara dan dapat berfungsi dengan sangat baik,” ucap sang supervisor menjelaskan. Dirga mengangguk-anggukkan kepala, paham dengan penjelasan bawahannya itu. Matanya menyisir ke seluruh gudang yang memiliki luas 10x12 meter tersebut. Mata Dirga memicing ketika dia melihat seseorang yang tampak tak asing di matanya.“Apakah dia karyawati baru?” tanya Dirga kepada si supervisor.“Benar, Tuan. Dia baru bekerja di sini selama empat hari,” jawab si supervisor, lalu memanggil Agatha. “Agatha, kemarilah!” Agatha yang merasa dipanggil menoleh. Matanya membulat sempurna ketika ia melihat siapa pria yang tengah berdiri di samping supervisornya. ‘Kenapa pria itu ada di sini?’ tanya Agatha dalam hati. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya lalu berjalan mendekat.“Ya, Bu? Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu?” tanya Agatha dengan sopan.“Ah tidak. Perkenalkan ini adalah Pak Dirga, dia adalah pemilik perusahaan yang mengoperasikan pabrik ini,” ucap sang supervisor memberitahu. Mendengar itu, Agatha semakin terkejut bukan main. Perempuan itu tidak pernah menyangka jika ia akan kembali bertemu dengan pria yang sudah dua kali menyelamatkannya sekaligus mengagalkan aksi bunuh dirinya. Yang paling mengejutkan lagi adalah fakta kalau pria itu adalah pemilik perusahaan di mana Agatha bekerja saat ini. Itu artinya, mereka akan lebih sering bertemu dari pada sebelumnya.“Senang bertemu denganmu, Agatha,” ujar Dirga sambil tersenyum miring. Demi Tuhan, Agatha serasa ingin mengoyak bibir Dirga agar pria itu tidak dapat tersenyum seperti ini lagi. Agatha memberengut kesal sambil berkata, “Senang bertemu dengan Anda juga, Pak Dirga.” Tatapan Dirga dan Agatha terkunci selama beberapa saat. Tidak-tidak. Ini bukanlah tatapan romantis atau apa. Melainkan tatapan sebal karena takdir harus mempertemukan mereka kembali.‘Kenapa aku harus bertemu dengan pria ini lagi, sih? Dan parahnya lagi ... kenapa dia adalah bosku?’ gerutu Agatha dalam hati.Hal yang sama pun dirasakan oleh Dirga, selama beberapa detik pandangannya terus tertuju kepada gadis cantik di depannya itu, Bagaimana tidak karena Dirga paling tidak menyukai seorag gadis yang terbawa perasaan, mengingat bagaimana Agatha yang terlalu berlarut dengan cinta hingga dia ingin mengakhiri hidupnya demi sang mantan kekasih. Berulang kali Agatha juga terus mengumpat kesal karena sedari tadi Dirga terus saja menatapnya dengan tatapan yang begitu tajam, terlihat jelas sekali bahwa Dirga sangat tidak menyukainya, setelah supervisor itu menjelaskan semua barang-barang produksi maka kini tugasnya Agatha untuk melanjutkannya sebagai penilaian bagi supervisor tersebut. Agatha harus menarik napas panjang karena terpaksa terjebak dengan pria yang telah menggagalkan misi bunuh dirinya itu, beruntungnya setelah tugas selesai maka pria tampan dengan manik mata biru itu langsung berpamitan karena sejak tadi Agaha menjelaskan dan mengatakan perihal barang, telepon gengam pria itu
Dirga menghentikan pergerakannya dan kini pria itu menoleh ke arah Agatha seraya mendengarkan sebuah syarat yang diinginkan gadis di depannya itu."Aku memang materialistis sekarang! Semua karena pria itu dan aku tidak ingin percaya lagi dengan pria manapun, walaupun itu Anda," ungkapnya dengan tatapan matanya yang berapi-api. Pria tampan itu tertegun dan bisa memastikan bahwa ada sebuah dendam yang tercipta di binar mata gadis itu, "Kau tenang saja, sebentar lagi sekretarisku akan datang dan menjelaskan perihal gajimu," jawab Dirga dengan tatapan penuh arti. Pucuk dicinta ulam pun tiba, akhirnya sang sekretaris datang dan menjelaskan semua perihal pekerjaan dan gaji yang akan diterima oleh Agatha karena harus menemani Dirga meeting, maka besok Agatha disuruh untuk menemui Dirga di kantor tepat pukul delapan pagi, "Saya minta Anda tepat waktu datang ke kantor karena pak Dirga adalah tipikal pria yang disiplin," bisik sang sekretaris pelan di telinga Agatha. Perempuan
"Sepertinya matamu bermasalah ya?!" sindir Dirga menoleh ke arah Agatha. Gadis itu sontak tertegun dan kini dia mengepalkan jemarinya dengan kuat, lalu menyela ucapan atasannya. "Bukan mataku yang bermasalah, tetapi jam tanganku yang rusak." Mendengar hal itu, Dirga menggelengkan kepalanya seraya menghela napas beratnya. "Pantas saja kau bisa terlambat datang ke kantor! Aku adalah seorang pria yang paling tidak suka mendengar kata terlambat namun hari ini kau baru saja bekerja maka aku memaafkanmu," ujar Dirga seraya memasang jas kesayangannya."Maafkan aku, Pak!" ucap Agatha seraya menunduk. Sejujurnya di dalam hati Agatha dia ingin meronta karena Agatha terlalu ketus berbicara padanya. Namun, bayang-bayang hutang yang terus menari-menari di dalam kepalanya membuat perempuan itu sontak menahan emosinya. "'Jika bukan karena hutang, mana mau aku bertahan," umpatnya dalam hati. Menjadi seorang asisten pribadi seorang CEO bukanlah hal yang mudah, Agatha harus membuang waktu
"Rasanya tidak perlu, Pak. Lebih baik aku pulang," jawab Agatha seraya memutar tubuhnya."Kenapa??" tanya Dirga ingin tahu alasan gadis itu."Tidak ada gunanya, Pak. Kacamata usang ini lebih baik, Pak." Agatha memaksa pergi namun Dirga langsung menariknya, tetapi pria bule itu tidak memaksanya hanya saja meminta Agatha untuk ikut dengannya kembali pulang ke rumahnya. Sepanjang jalan menuju ke rumahnya, Dirga terus memandangi wajah polos Agatha, di situ terlihat jelas sekali bahwa memang ada sesuatu hal yang disembunyikan Agatha. Bak sebuah luka yang tidak bisa diungkapkan namun sangat dirasakan. Tidak ingin sampai mencari masalah, maka Dirga meminta sopirnya untuk mengantar Agatha pulang ke rumahnya, ya mobil mereka harus putar balik. Agatha tidak pernah tahu bila Zio dan Dirga itu memiliki sebuah hubungan dekat. Hal itulah yang membuat Dirga sedikit khawatir. Baru satu minggu menjadi asisten Dirga, ia baru menyadari bahwa Dirga dan mantan kekasihnya memiliki sebuah hubungan de
"Wah, kau memang the best, Bela," puji Dirga dengan senyuman yang mengembang dari sudut bibirnya."Siapa dulu kalau bukan Bela gitu," jawab perempuan seksi itu balas tersenyum. Dirga tak pernah berhenti menatap kecantikan Agatha, rambut panjang yang disanggul hingga menampilkan jenjang leher putihnya dengan gaun malam berwarna silver yang membalut tubuh putihnya, meski sedikit terlihat lekukan di dadanya. Dia menyentuh kedua bahu Agatha dan berkata,"Harus aku akui, kau terlihat cantik sekali malam ini!" puji Dirga berbisik padanya. Agatha tertegun pada kecantikan dirinya sendiri apalagi di saat Dirga yang terus saja menatapnya begitu tajam membuatnya sedikit salah tingkah. "Ayo, kita pergi ke pesta sekarang," ajak Dirga tersenyum padanya. Usai menunggu Dirga mengganti pakaiannya, pria itu langsung membukakan pintu mobil dan mempersilakan Agatha masuk ke dalam."Kenapa Bapak bersikap seperti ini?" tanya Agatha merasa tak enak melihat Dirga seperti itu."Tidak apa-apa, malam
Pria itu lekas mencengkram tangan Agatha begitu kuat dengan tatapan yang bego tajam laykanya seekor harimau yang akan menerkam mangsanya, "Aku berjanji padamu, apa pun yang terjadi kau adalah tanggung jawabku," ucap Dirga seraya mengangkat tangannya seraya menyentuh rambut Agatha. Awalnya, Agatha merasakan keseriusan dari Dirga namun bayang-bayang sang mantan kekasih membuat gadis itu tak kuasa lagi menahan air matanya. Dirga menangkupkan wajah Agatha, mengetahui gadis di depannya berlinang air mata maka pria itu langsung memeluknya. Pria itu lekas mencengkeram tangan Agatha begitu kuat dengan tatapan yang begitu tajam layaknya seekor harimau yang akan menerkam mangsanya, "Aku berjanji padamu, apa pun yang terjadi kau adalah tanggung jawabku," ucap Dirga seraya mengangkat tangannya untuk menyentuh rambut Agatha. Awalnya, Agatha merasakan keseriusan dari Dirga namun bayang-bayang sang mantan kekasih membuat gadis itu tak kuasa lagi menahan air matanya. Dirga menan
Agatha menatap pantulan dirinya di cermin. Dia mengoleskan lipstik berwarna merah terang sebagai simbol keberaniannya. Hari ini dia ingin tampil berbeda, dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Dirga. Pria itu harus tahu kalau Agatha bukanlah gadis lemah yang akan langsung bertekuk lutut di hadapan Dirga hanya karena Dirga merenggut kesuciannya.“Argh! Kalo aku memakai lipstik merah bisa-bisa Pak Dirga berpikir kalau aku ingin menggodanya,” gumam Agatha. Gadis itu bergidik ngeri. Membayangkannya saja sudah membuat Agatha mual, apalagi jika benar-benar terjadi. “Lebih baik aku mengganti warna lipstikku.” Gadis tersebut mengambil tisu basah, lalu menghapus lipstik merah meronanya dan menggantinya dengan warna lipstik yang jauh lebih gelap. Pilihannya ada di warna merah anggur. Dengan lipstik ini, Agatha akan terlihat kuat tapi juga tidak sedang menggoda pria mana pun. Agatha memeriksa penampilannya sekali lagi sembari tersenyum di depan cermin. Jika Dirga pikir pria it
Sungguh begitu terkejutnya Dirga mendengar hal itu, dia tidak menyangka bila Agatha mampu berkata seperti itu padanya, "Tidak ada yang mustahil di dunia ini," sambung Dirga menatap wajah gadis itu."Please, hentikan pembahasan masalah ini!Jika ti--" Agatha langsung mengatupkan bibirnya ketika melihat pria bule itu langsung saja memeluknya."Jika tidak apa coba?" tanya Dirga seraya membelai rambut gadis itu. Merasa risih karena pelukan pria bule itu maka Agatha berusaha kuat untuk memberontak dan melepaskan pelukannya. Namun, tetap saja kekuatan Dirga lebih kuat darinya. Agatha adalah gadis yang pantang menyerah dan ia tidak ingin sampai terbawa suasana cinta yang pernah melukai hatinya hingga mengalami keterpurukan setelah putus dari Zio."Jangan sentuh aku!" teriak Agatha histeris hingga membuat seisi kantor mulai gempar."Aku berniat baik padamu, Tha," sambung Dirga menarik tangannya."Pembahasan masalah ini diluar masalah kantor, jika Anda ingin aku tetap menjadi asiste
Peluru itu hampir saja mengenai Agatha, beruntungnya Dirga menarik tangan istriinya dan mereka jatuh hingga tidak ada yang tertembak, "Anda berani sekali mengambil pistol pihak kepolisian, Anda akan dihukum berat," gumam pria berseragam seraya menggertak. Jujur apa yang didengar oleh Agatha tadi benar-benar berita yang sangat mengejutkan, dia tidak pernah menyangka jika Saras dan Selena membuat rencana yang membuat Agatha mempertaruhkan janinnya hingga membuat Dirga marah besar dan memenjarakan ibu dan adik tirinya. "Maafkan aku, Tha! Kau harus mengalami hal seperti ini karena aku," desah Dirga merasa bersalah. Sebagai putera dar Saras, Dirga merasa malu memiliki seorang ibu yang tega mencelakai menantunya sendiri, bahkan Saras tega membunuh calon cucunya sendiri karena tidak menyukai Agatha."Aku hanya tidak pernah berpikir bila Ibumu akan sejahat ini, Ga." Agatha meneteskan air matanya. Ia tidak berhenti menangis karena benar-benar sedih dengan apa yang terjadi pada dirinya
Boy tak bisa lagi berbohong apalagi menutupinya hingga akhirnya dia mulai mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya terjadi pada Dirga dan tak pernah dia menduga bila selama tinggal di rumahnya, Selena selalu saja bersikap seolah tuan rumah dan mengintimidasi Agatha lagi. Untuk memastikan hal itu benar atau tidak. Dirga menemui bik Siti dan memastikannya. Betapa hancurnya hati Dirga ketika mendengar kabar tersebut. Pria itu tak bisa lagi menahan emosinya hingga membuat Dirga marah."Maafkan saya, Pak. Saya terpaksa menutupi kebenaran ini karena Mbka Agatha terus saja melarang saya," ucap bik Siti menunduk seraya duduk bersimpuh. Tak pernah terpikirkan oleh Dirga bila hal seperti ini terjadi, "Sejak kapan Agatha diperlakukan seperti itu, Bik?" tanya Dirga ingin tahu."Setelah Pak Dirga mengetahui kebenaran tentang kecelakaan itu, Nyonya dan Nona Selena berubah sikap kepada saya dan mbak Agatha.""Pantas saja bila Agatha terlihat kelelahan saat malam tiba, ternyata dua perempu
Dirga segera naik ke atas dan melihat Agatha yang begitu serius melihat ponselnya, "Tidak, Ga.Ini tidak benar? Bik Siti bukan buronan dan dia bukanlah orang yang telah mendorongku." Agatha mendekati Dirga seraya mencengkeram tangannya dan meminta pria itu untuk mencabut tuntutan itu, "Ayo, Ga. Cabut saja tuntutanmu itu, Bik Siti tidak bersalah," pintanya dnegan mata yang berlinang."Apa kau yakin?" tanya dirga ingin tahu kejadian yang sebenarnya, sejujurnya Dirga ingin menanyakan hal itu padda Agatha namun mengingat dia masih berkabung maka sang suami sengaja untuk menunda pertanyaan itu, apa yang menyebabkan Agatha bisa keguguran karena selama ini Agatha selalu berhati-hati."Aku jatuh sendiri dan tidak ada oranga yang mendorongku hanya sa-ja saat itu aku seperti menginjak sesuatu yang licin." Agatha mengingat itu dengan jelas dan dia mulai menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Dirga. Dirga langsung berkomentar, "Mungkin saat itu Bik Siti habis mengepel dan kau meng
"Jika kau sudah tahu jawabannya, kenapa kau masih bertanya?" ucap Dirga meliriknya tajam. Dirga meminta dua perempuan itu untuk meninggalkan ruangan di mana Agatha dirawat. Pria itu bahkan menutup pintu dengan kasar. Dirga langsung memutar tubuhnya dan menghampiri Agatha. "Kenapa kau terlihat takut Agatha? Apakah kau telah meragukan cintaku padamu?" tanya pria itu dengan tatapannya dingin."Bukan begitu, Ga. Aku hanya takut karena kondisiku yang seperti ini kau ingin meninggalkanku jadi ak--" Belum sempat melanjutkan kalimatnya Dirga langsung memotong ucapan Agatha. "Apa kau pikir aku hanya bermain-main saja dengan hubungan kita ini? Tidak, Ga. Aku serius padamu meskipun kau tidak bisa hamil sekalipun aku akan tetap bersamamu. Bukankah itu janji yang aku ucapkan sewaktu kita menikah dulu." Di situ Agatha mengungkapkan bahwa dia merasa benar-benar sedih dan kecewa pada dirinya sendiri karena telah gagal menjaga janinnya dengan baik sehingga dia harus mengalami hal yang begitu
"Apa yang sedang kau pikirkan, Tha? Jangan terllau banyak berpikir, lebih baik kau istirahat saja," titah Dirga memberi perintah. Pria itu menyelimuti tubuh Agatha dan menyuruhnya untuk tidur karena hari masih gelap, ditambah lagi suasana yang begitu dingin membuat Dirga pun ikut tidur di samping Agatha. Alankah terkejutnya Agatha ketika mnggerjapkan matanya dan cahaya sinaran matahari hari sungguh sangat menyilaukan matanya. "Kau harus bangun, Agatha," ucap seorang perempuan yang sangat dikenalnya."Ibu," ucap Agatha membukanya dengan lebar."Iya, aku rasa kau sudah cukup istirahatnya dan bangunlah karena aku punya kabar untukmu," jawab perempuan paruh baya itu."Kabar apa, Bu?" tanya Agatha sangat penasaran. Saras tersenyum tipis dan menunjukkan sebuah amplopberwarrna putih kepada Agatha, "sebaiknya kau baca saja isi di dalam amplop ini." Perempuan itu memberi perintah. Agatha yang sangat penasaran pun langsung duduk dan membuka amplop tersebut. Membaca isi surat ter
Dirga diperkenankan masuk oleh dokter, tak lupa juga pria itu meminta dokter untuk memeriksa Agatha lagi. Mengikuti langkah dokter, Dirga menghentikan laju langkahnya ketika mendapati wajah sang istri nampak pucat sekali pasca keguguran itu. Dirga menyentuh jemari sang istri begitu kuat seraya memandangi wajah Agatha. Entah bagaimana perasaan Agatha bila dia thau bahwa bayinya kini sudah tidak ada lagi. "Kuharap kedepannya kau mau menerima kenyataan ini, Tha," ucap Dirga berurai air mata. Sehari semalam Agatha dirawat namun perempuan tiu belum juga sadar, dokter juga merasa heran deengan knidisi Agatha. Namun, melihat hasil dari pemeriksaan dokter semuanya nampak baik-baik saja."Mungkin ada sesuatu hal yang membuat pasien enggan untuk bangun!" seru dokter itu menatap Dirga."Apa itu, Dok? Tolong, bantu istri saya," ucapnya sambil menyentuh lengan pria berjas putih itu. Pria itu mengeaskan, jalann satu-satunya adalah Dirga sendiri. Kemampuann Dirga bisa membangunkan is
"Tidak, Nyonya. Aku bersumpah bukan aku pelakunya." Mendengar suara sirine ambulan, bik Siti langsung memanggil anggota medis dan ikut ke dalam mobil ambulan. Sedangkan Saras dan Selena berpura-pura menangis karena dia ingin membersihkan sesuatu sebelum menuju ke rumah sakit dan juga ingin menelepon Dirga. Ketika sampai di sebuah rumah sakit, bik Siti nampak sangat panik sekali disebabkan Agatha terkulai lemas dengan tetesan darah segar di tubuhnya. Pikiran bik Siti mulai kalut, dia yakin sekali bahwa perempuan itu pasti mengalami pendarahan karena telah jatuh dari tangga namun dia tetap berdoa semoga bayi dalam kandungan Agatha baik-baik saja. Mendengar derap langkah sepatu pantopel yang sangat khas, bik Siti menoleh ke arah sumber suara, matanya berlinang saat itu. "Mbak Agatha jatuh dari tangga, Pak," ucapnya menguraikan air mata."Ini ulah perempuan tua ini, Ga," sambung seorang pria dengan menunjuk ke arah bik Siti. Bukan itu saja Selena yang ikut hadir di rumah s
Saras tak bisa lagi menahan amarahnya hingga perempuan tua itu melemparkan seua alat kosmetik yang ada di atas laci. "Kenapa Dirga selalu saja percaya orang lain dari apda ibu kandungnya sendiri!" Saras benar-benar tidak bisa terima hal itu. Bukankah selam ini Saras yang mengurus Dirga, sejak dalam kandungan hingga dia sedewasa ini. "Tuhan, kenapa Dirga bisa bersikap seperti ini padaku?" gumamnya serya terus memadangi langit dari jendela kamarnya. Buliran bening jatuh membasahi pipinya, jauh di dalam lubuk hatinya Saras sangat menyayangi Dirga namun mengingat pria itu sangat membela istrinya membuatnya mulai membenci Dirga. Dia menggertakkan giginya karena geram dengan tingkah putera kandungnya itu. Hingga kedatangan Selena pun tak disadari oleh Saras, melihat ibunya menangis peremouann itu mendekatinya dan bertanya, "Apakah kau sesayang itu pada Dirga? Kenapa kau tidak mendekatinya? Ingatlah Bu, ikatan antara anak dan Ibu itu kuat jadi aku yakin, perlahan Dirga akan mema
Sejak hari itu, Saras dan Selena terus berusaha mengintimidasi Agatha. Mereka bahkan menyuruh Agatha yang melayani kebutuhan mereka, layaknya seorang pemabntu. Seoerti itulah Saras dan Selena memperlakukan Agatha sewaktu Dirga tidak ada. Melihat bik Siti yang selalu saja membantu Agatha membuat Selena mulai menemukan sebuah ide bahwa dia bisa mengusir bik Siti dengan sebuah cara yang sangat manjur, cara yang ada di dalam otaknya pun langsung dia katakan kepada Saras membuat perempuan paruh baya itu tersenyum dan mengatakan bahwa rencana Selena sungguh merupakan ide brilian. Dia rasa cara itu adakah sebuah cara yang tepat agar bisa menyelamatkan keturunannya dari si perempuan miskin itu. "Tidak ada salahnya kita mencoba dan pastikan bahwa pelakunya adalah pembantu tua itu.""Ibu tenang saja, aku pasti akan menyusun rencana ini dengan baik," jawab Selena tersenyum menyeringai. Tidak ingin sampai seseorang mengetahui rencananya maka Saras mencari cara yang paling efektif agar