Hanya itu yang ingin Abby tunjukkan, jika kenyataan itu benar, maka, Abby tidak akan segan untuk memberikan apa yang diharapkan oleh Dara. Apa yang di inginkan oleh hatinya juga. Memiliki Dara dan menjadikan gadis itu sebagai yang utama.Laki-laki itu berpindah keluar dan menuju taman di samping kolam renang miliknya. Ada dua kursi panjang dan meja kecil di tengahnya.Pancaran bulan tampak terang malam ini. Desir angin berembus dengan tenang membawa hawa dingin memeluk tubuh dengan erat. Hingga permukaan kulit merinding dengan bulu-bulu yang berdiri.Abby duduk menjulurkan kaki dan memejamkan mata di kursi tersebut. Sungguh menenangkan, kesunyian selalu membuat pikiran Abby terbuka. Sehingga itulah alasan dia selalu bisa mengontrol emosi dan diri. Bukankah orang bisa dikatakan hebat jika dia bisa memerangi ego dan juga amarahnya sendiri?Cukup lama Abby menikmati waktu dalam kesendirian, hingga Dara datang dengan hentakan kaki yang mengejutkan. Gadis itu merebahkan tubuh, melakukan ha
Dara membalikkan badannya. Keduanya kini berada di kursi yang sama. Angin menerbangkan rambut-rambut Dara, Anak-anak rambut itu menutupi wajah ayu jelita gadis itu. Abby, menyingkirkannya dengan lembut. Tidak mau memalingkan sedikit saja pandangannya dari wajah gadis yang saat ini ada di hadapannya."Aku— aku tidak tahu ini cinta atau empati atau simpati atau peduli. Yang jelas aku nyaman, dan aku menikmati waktu bersamamu," lirih Dara. Usai berkata gadis itu menunduk.Abby menarik dagu Dara agar ia menatap matanya. "Sungguh?" Malu, Dara tersipu, tetapi dia mengangguk dengan sadar.Abby kembali mengulas senyum. Kini dia betul-betul ingin mencium bibir sensual itu. Mendekatkan wajah dengan sedikit memiringkan kepala. Satu senti lagi bibir itu mendarat.Namun, ponsel Dara berbunyi. Sebuah panggilan yang tidak diinginkan. Di mana waktu yang sangat tidak tepat untuk menerima telepon. Akan tetapi jika dibiarkan saja akan sangat mengganggu.Pria itu memejamkan mata dan mengepalkan tangan, k
Kedua lengan Dara melingkar indah pada leher Abby. Memainkan rambut pria itu, meremas sesekali saat tangan Abby menyentuh ujung dadanya.Sungguhkah, sebegitu nikmat sampai desahan Dara keluar di tengah berpautnya kedua bibir mereka? Semakin Abby mengencangkan cengkeraman pada dada Dara yang begitu padat dan menggunung, semakin terlihat indah tatkala gadis itu harus membusungkan dada. Semakin kencang dan keras jua leguhan yang keluar dari mulut Dara.Hal itu justru memacu Abby kian bersemangat. "Ahh— By," rintih Dara.Siapa yang tidak melayang hingga ke awang? Saat namanya keluar dari mulut wanita yang sangat dia impikan sedari dulu. Wanita yang dia kira sebagai pria karena goresan setiap ketikkan yang selalu menjiwai tokoh dalam cerita novelnya."Yes, Baby. I'm here," balas Abby, pria itu melerai jeratan tangan di dada Dara. Berpindah menarik baju wanita di pangkuannya melewati kepala. Tidak nikmat rasanya jika harus meremas dada Dara dari balik kain penutup.Abby terbelalak ketika me
Laki-laki itu menatap Dara, sebelum dia melepaskan celana milik Dara. Bahkan dia bangkit dan kembali mendekatkan wajahnya pada Dara. Mengecup bibirnya, tetapi Dara justru ingin menahan agar ciuman itu bukan hanya sebuah kecupan semata. Namun, Abby segera menarik kembali bibirnya dan berpindah pada telinga gadis itu."Baby, are you sure?" Lagi-lagi itu dipertanyakan. Bukan Abby tidak mau, tetapi apa yang telah dimulai tidak mudah untuk diakhiri saat ini. Mereka sudah sama-sama kepanasan, tetapi Abby sungguh masih waras.Pertama kali adalah siksa bagi Dara. Meyakinkan bahwa kenikmatan akan datang setelahnya tidak akan membuat semua yang terjadi terulang lagi.Abby tidak berpindah dari hadapan telinganya, pria itu justru membuyarkan konsentrasi Dara yang ingin menjawab pertanyaan dengan terus menjilat telinganya dan mendesah basah di sana. Napasnya terasa sangat berat, begitu pun dengan Dara. Apa yang dirasakan oleh Abby, juga Dara rasakan saat ini."Fuck me, Abby," bisiknya, Dara menari
Tanpa kata tapi dengan tindakan, Abby melesakkan Bezosnya, sebuah telapak tangan Dara refleks menahan bahu pria yang telah tergoda oleh gairah dan melepaskan pautan bibir mereka. Masih dengan mata terpejam dengan sangat rapat.Sakit, Dara kesakitan. "Kau mau aku melepanya, Babe?" lirih Abby. Dia tidak sampai hati memaksakan letupan birahi jika wanita itu terlihat begitu kesakitan. Benar bukan dugaan Abby bahwa Dara terlihat seperti wanita yang belum bersuami.Dara menggeleng, dia menarik lagi leher Abby agar pria itu menciumnya dan mendapatkan lagi pelampiasan akan rasa sakit yang dia derita. Bahkan jemarinya menekan lebih dalam bahu pria di atas tubuhnya itu. Kuku-kuku yang sedikit memanjang melukai pundak Abby, tetapi sungguh menahan rasa sakit di sana tidaklah semenyiksa rasa tanggung yang dirasakan oleh Abby di bawah sana.Seperti menjebol sesuatu… kulit yang rapat, ruang sempit yang menyiksa dengan ketidaksabaran Abby telah memaksa untuk masuk. Ukuran yang begitu besar membuat Da
Suara gemericik air samar terdengar masuk dalam indera pendengaran Dara. Gadis itu mengedipkan berulang kali matanya untuk beradaptasi dengan ruangan baru. Tempat di mana dia dan juga Abby menghabiskan satu malam suntuk bersama. Jika mengingat kejadian yang baru dilewati, ingin rasanya Dara mengulang kembali kisah itu.Bagaimana dia seakan menjadi musuh pria itu, akan tetapi ternyata dialah laki-laki yang berhasil membuat hatinya luruh dan bahkan berada dalam dekapannya semalaman.Sakit hati yang dirasakan oleh Dara terbayarkan dengan kenikmatan yang selama ini benar-benar sesuai dengan ekspektasi yang ada. Dulu… dulu sekali dia hanya bermimpi, sekarang semuanya menjadi nyata.Ia turunkan kaki dari ranjang, duduk di bibirtempat tidur dan menatap sekeliling ruangan itu. Sungguh sangat berantakan dan kacau balau. Tidak jauh dari ranjang ada cermin yang cukup besar, semalam dia menatap tingkah binalnya di sana. Namun, kini dia bisa mematut dirinya di sana pula.Tidak hanya satu atau dua
"Dara?! Astaga! Kamu ke mana saja? Kamu sudah lama sekali tidak datang ke sekolah, Dara. Kamu kira ini sekolah milik bapakmu? Ayolah, Dara! Tolong! Patuhi peraturan yang ada. Bahkan kamu izin resmi pun tidak bisa lebih dari satu Minggu, kecuali kamu cuti hamil!"Suara kepala sekolah itu menggema menusuk gendang telinga Dara. Rasanya memang tidak salah jika beliau marah. Semua kesalahan ada pada Dara saat ini. Dia terlalu ceroboh dan tetap saja merasa paling memiliki masalah yang kuat. Padahal di luar sana banyak sekali orang yang bahkan kesulitan mencari pekerjaan. Juga masalah yang jauh lebih besar dari dirinya."Ma… maafkan saya, Bu. Maaf, karena memang sa…""Maaf, Dara. Pihak sekolah resmi mengirimkan kamu surat pemberhentian. Sepenuhnya bukan aku yang melakukan. Dinas sosial memantau penuh, Dara. Kamu tahu, seharusnya kamu lebih berhati-hati," sergah sang kepala sekolah.Dara terdiam. Artinya, dia dipecat, pemberhentian secara paksa. Kenapa? Kenapa disaat dirinya merasakan satu sa
Dalam perjalanan mengantarkan Dara kembali ke rumah. Gadis itu banyak diam. Abby tidak pernah tahu apa yang dipikirkan oleh perempuan bermata indah itu. Sesekali, ia menoleh sekedar untuk menatap wajah Dara. Wanitanya terlihat jauh lebih cantik dari sebelum ini. Terlebih di bawah cahaya lampu yang redup, kecantikannya kian menggila."Babe, ada yang salah? Kenapa kamu diam saja?" Abby tidak bisa bertahan dan melihat Dara membisu seperti itu. Jika ada yang salah dengan dirinya saat ini, ia lebih suka Dara mengatakannya, karena dia bukan cenayang yang bisa menerawang apa yang dirasakan oleh Dara saat ini."Hei, katakan padaku, Sayang.” Abby menjulurkan tangannya menyentuh lutut Dara. Berpindah pada dagu dan menariknya agar gadis itu mengangkat wajahnya.Di tatapnya wajah Abby, melihat pada mimik muka pria yang semalam telah meluluh lantakkan segalanya. Membuat kebahagiaan baru dalam sejarah hidupnya. Dara, menggenggam tangan Abby dengan erat. Mencium telapak tangan Abby. Bukan punggung t
Selama ini dia hidup serba ada, serba bisa tetapi, siapa yang sangka bahwa anaknya berjuang mati-matian untuk bertahan hidup dan mempertahankan kehidupan. Berjuang menemukan sebuah kebahagiaan."Bisakah kita membuat janji dengannya? Aku tidak sabar bertemu dengan Prilly, Wisnu," lirih Veily."Bersabarlah, Sayang. Panggil dia Dara sampai kita berhasil meyakinkan kenyataan ini. Sepertinya kita butuh bantuan Abby untuk ini, aku yakin saat ini mereka bersama," tutur Wisnu."Sebaiknya jangan beritahu Abby sebelum kalian memberitahukannya pada Dara. Kalian bisa bayangkan kalau Dara tahu lebih lama ketimbang Abby? Ayolah, kalian pasti bisa merasakannya," sela Faiz. Apa yang dikatakannya bukankah benar, memang seharusnya mereka memberitahu Dara baru Abby, bukan terbalik, jika tidak ingin Dara kian kecewa.Entah bagaimana tanggapan wanita itu nanti, Wisnu dan Veily hanya berharap bahwa Dara menerima juga memaafkan keduanya.**Sebuah mobil silver ber
[Aku kirim sesuatu ke rumah, pakai untuk malam nanti, ya. Aku akan jemput pukul tujuh] begitulah isi pesan yang diketik oleh Abby pada Dara. Kini wanita yang tengah beristirahat di ruang guru tersebut hanya mampu cengar-cengir membayangkan pertemuan mereka setelah tiga hari. Dara selayaknya seorang remaja yang jatuh cinta, astaga memalukan! Namun, adakah kata memalukan untuk sebuah cinta? Bahkan cinta itu menuntun pada hal gila, bukankah begitu?Dara hanya membalasnya dengan satu kata, okay' kemudian dia kembali mempersiapkan materi yang akan dia berikan untuk anak didiknya di pelajaran yang akan datang. Dara juga perlu mempelajari banyak hal di sekolah itu. Mengenal seluk-beluk, apa yang diizinkan juga tidak diizinkan. Mengenal pada guru dan juga mengenal murid yang ada di sana.Sementara di sisi lain kota yang jauh dari hiruk-pikuk suara kendaraan, Wisnu dan Veily melongo hampir tidak percaya dengan yang dia lihat. Veily tidak henti-hentinya menitikan air ma
"Hai! Selamat pagi!" sapa Dara, dia berjalan menuju mejanya dan meletakkan tasnya, tanpa duduk. Berdiri di samping meja yang cukup keren di matanya.Suara balasan dari mereka sungguh membuat Dara bersemangat, mereka ramah dan mungkin remaja brutal tidak akan ada di sana, kecuali kekasihnya yang selalu bersikap demikian. Dara mengulas senyumnya ketika mengingat tiga hari dia bahkan belum bertemu dengan pria itu."Okay, saya rasa kalian sudah tahu kalau saya adalah Sandara. Guru bahasa kalian, ini adalah jam pertama untuk saya jadi, ada yang mau memulai kelas?" Dara menatap mereka satu persatu. Kagum, pakaian bersih, rapi, dan berseragam lengkap. Mereka semua cantik dan rupawan."Mulai dengan perkenalan, Bu. Bagaimana jika hari ini sedikit santai, agar kami mengenal guru terbaik kami," teriak salah satu murid yang duduk di barisan tengah dari depan pun dari samping."Okay, apa perlu membuat kartu nama layaknya anak paud?" Mereka tertawa dengan pertanyaan ya
Wisnu terus membeberkan mulai dari kelahiran, penyakit Cloe dan juga sampai kejadian Cloe menikah dan meninggal. Juga permintaan maaf karena saat Cloe ada di Indonesia dalam waktu yang cukup lama mereka bahkan tidak pulang ke Indonesia. Sungguh mungkin banyak orang mengira bahwa mereka orang tua yang pilih kasih, tidak adil juga menyebalkan. Namun, keduanya terus bercerita setiap kendala yang terjadi, bagaimana Veily down dengan berita yang berurutan, penyakit Cloe yang menyita perhatian.Larasita terus mendengarkan dengan sesekali mengangguk-angguk. Dia begitu memahami semuanya, kenapa tidak? Dia sudah tua dan banyak memakan pahit manis, asin legitnya kehidupan yang begitu terkadang menguras emosi."Jadi begitu, Bu. Kamu sungguh frustasi dengan semuanya. Menantu saya juga baru saja meninggal dua Minggu yang lalu," jelasnya lagi."Saya turut berduka untuk kehilangan itu, Tuan, Nyonya. Ya! Dara… saya menemukan bayi itu tepat saat kecelakaan itu terjadi. Kejadiannya sangat cepat dan tra
"Baik, bagus sekali! Terima kasih, Pak. Terima kasih sudah mau membantu kami," katanya. Wisnu segera mengakhiri panggilan dan segera mendekati istri dan rekannya."Kabar bagus, apa yang kita cari bisa kita temukan saat ini. Kita harus bergerak, polisi sudah mengirimkan alamat padaku." Senyum Wisnu terulas sempurna, begitupun dengan Veily dan pria yang akrab dikenal sebagai Faiz itu langsung beranjak.Ketiganya menelusuri jalanan, cukup jauh dari tempat kejadian. Pantas saja mereka tidak akan menemukan informasi apa pun di sekitar lokasi, jadi orang itu ternyata membawanya hampir keluar kota."Kita mau ke mana ini, Wisnu?" gumam Veily yang tampak kebingungan dengan jalanan yang kini mulai tampak cukup sepi, berderet-deret rumah yang berjarak cukup jauh."Kita hampir tiba, Sayang. Nah! Lihat bangunan hijau itu, di sana adalah panti asuhan. menurut informasi dari pihak kepolisian, wanita dengan nama yang selalu kita jumpai di setiap artikel membawa bayi itu
Kini bahkan Abby kembali menatapnya dengan sorot mata yang begitu memperlihatkan bahwa dia begitu mendambakan dirinya."Abby… serius?" Abby mengangguk, dia menarik kursinya agar lebih dekat dengan Dara. Menarik dagu wanita itu dan tidak menghiraukan pramusaji yang tengah sibuk dengan makanan keduanya."Apakah aku pernah bermain-main denganmu? Apakah semua yang terlewat tampak seperti sebuah sandiwara?" Lagi-lagi Dara menggelengkan kepalanya. Apakah Dara gila jika menganggap semua yang dilakukan oleh Abby adalah sebuah kebohongan. Dia bahkan rela melakukan apa pun untuk wanita itu bukan? Sejak awal, ya! Sejak awal."Tidak sama sekali, By." Abby mendekatkan bibirnya pada bibir Dara, mengecupnya pelan dan melumatnya sesaat sebelum semua perhatian beralih pada mereka berdua."Tunggu sampai papa dan mamaku tenang. Terutama Mama, kamu pasti sudah tahu semuanya bukan? Sejujurnya tanggapan mereka tidak begitu berarti, tetapi aku tetap anak mereka Dara, jika usahaku tidak dihargai maka, dengan
Bukan hanya kesedihan. Kekalutan dan juga marah menyelimuti hati Ravella, apa yang bisa dia banggakan sekarang? Mertua prianya sekarat di rumah sakit yang tidak akan pernah tahu selamat atau tidak. Kemudian mertua perempuannya pun tidak mau tahu tentang dirinya. Dulu, cucu laki-laki itu menjadi tameng untuknya bisa bertahan hidup mewah dengan semua kepemilikan Raka yang menyeret kehidupan kelam Ravella menjadi sebuah mimpi yang menjadi nyata.Namun sekarang? Bahkan untuk bangkit dari duduk yang telah dilalui beberapa jam lalu lamanya saja tidak mampu. Anak yang merengek pun tidak berhasil menyadarkan dia dari semua yang baru saja terjadi. Menerima kenyataan di mana dia akan kembali mlarat, kere, dan tidak akan ada yang mau menampung seorang janda dengan anak.Matanya menatap kosong seluruh ruangan yang sudah mulai surut dari keramaian. Vella sendirian dengan tangisan balita yang ingin sekali dia bungkam."Diamlah! Kehadiranmu bahkan tidak membantu apa pun saat ini!" Hanya bisa terus m
“Tidak masalah, Dara. Kamu tahu, Tuan dan Nyonya Wisnu adalah orang berkelas, dia selalu memberikan dukungan pada siapapun yang terkena masalah dalam rumah tangganya. Kamu beruntung bertemu dengannya. Sayangnya kamu tahu sendiri, bahkan kehidupan anaknya sendiri rumit. Aaron… jelas kamu pasti tahu banyak tentang dia bukan?” Dara mengangguk karena memang dia sudah mengetahui semua tentang pria itu.“Baiklah. Aku tunggu kamu jam sepuluh. Jangan terlambat okay, kita akan buat kejutan untuk pria itu. Biarkan dia mendekam di penjara sampai mati dan membayar seluruh rasa sakit yang kamu alami. Setelah ini kamu akan menjadi jutawan,” kelakar pria botak yang kerap menyebut dirinya dengan nama Bobby.Sepeninggalan Bobby, Dara merasa sedikit tenang, dia harus bersiap untuk mengikuti persidangan. Sungguh dia begitu merindukan bercengkerama dengan Abby, sayangnya dia sama sekali tidak membalas pesan yang dikirim oleh Dara sampai masalah Raka usai dan Dara benar-benar membantu memenjarakan Raka bu
Dara berjalan dengan gontai, dia datang bersama dengan Abby dan keluarga, tetapi harus pulang sendiri. Beginikah rasanya kembali tidak dianggap? Tanpa terasa air matanya menetes. Dara kesal harus menjadi wanita yang lemah setelah mengenal cinta lagi. Dara ingin menjadi layaknya dulu, wanita yang kuat dan terus berjuang."Jika dulu aku bisa bertahan selama dua tahun, kenapa bersama Abby, sehari sudah layaknya seabad. Beginikah rasanya dicintai tetapi mengecewakan?" Dara menghela napasnya dengan dalam.Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di dekatnya, Dara yang berada di trotoar jalan menoleh untuk melihat siapa yang berhenti untuknya."Dara? Masuklah, Nak. Kamu sendirian? Aku kira kamu pulang bersama dengan Abby," seru Veily. Benar sekali, wanita itu ternyata belum pulang hanya duduk di sebuah mobil dan melihat segala tingkah Dayyana yang tidak puas-puasnya melukai Abby. Padahal jelas pria itu sudah dewasa dan tahu apa yang dilakukan olehnya. Dia mengerti dan bisa membedakan mana yang baik