Abian menatap pada Darren. "Kenapa Bapak tidak ingin menceraikan Jihan? Padahal Bapak kan tidak suka dengan Jihan."Darren mengerutkan dahi. "Kata siapa aku tidak suka pada Jihan?"Jihan terkejut saat Darren mendekat. Tangan berada di punggung dan permukaan kursi. Kemudian Darren begitu cepat mengecup bibirnya, hanya kecupan tapi berubah menjadi sesapan. Bahkan tangan Darren meraih lehernya dan semakin memperdalam ciuman.Hanya akting, ya Darren sedang berakting. Itulah yang Jihan pikirkan, sebab jantungnya saat ini berdetak kencang. Mata Darren menatap, ketika Jihan membalas kecupan. Mereka berdua mengabaikan Abian yang memilih melengos dengan tangan mengepal erat."Apa kau mau lihat kita bersetubuh? Sekalian kau menilai apakah ada cinta tidak di antara aku dan Jihan," celetuk Darren.Abian memang menatap Darren kesal setengah mati. Tapi, berhubung Darren adalah direktur. Pastinya kalau menyentuh secuil tubuh Darren pun, maka karir Abian tamat sudah. Abian menghela napas dan mata men
Pasti Darren akan menyetujui ucapannya. Kalau sebentar lagi tugasnya selesai, maka akan diceraikan. Namun, mata Darren menatap tangannya lekat dan tak menjawab. Jihan sendiri memilih untuk diam. Mungkin memang Darren tak ingin bicara, sebab ada beberapa pembantu dan Bella yang berdiri di sekitar mereka. Susan nampak mendekat dan membuat Darren langsung membawanya ke ruang makan. Duduk di sana dan mulai mengobati."Harusnya kau matikan dulu kompornya. Atau minimal letakkan sutil di tanganmu itu," celetuk Darren memberinya saran.Jihan menatap. "Iya aku tahu. Tapi, kan ini sudah terjadi."Darren menarik napas. "Makanya aku melarang ke dapur, karena ini. Tidak masalah kalau kau hanya merusak barang-barang di dapur. Tapi, kalau kau sampai terluka, terlebih Bella juga. Aku jelas akan marah."Jihan membisu. Lagi, Darren terlihat cemas padanya karena ada pembantu dan Bella di sekeliling. Jihan menatap tangannya yang hanya memerah saja, mungkin sebentar lagi akan berair, meski sedikit tapi r
"Kenapa kau terkejut begitu? Bukankah itu salah satu bentuk perhatian, kan?" tanya Darren atas ekspresinya.Jihan menatap serius. "Iya juga sih Pak. Tapi, kan harusnya saat di rumah saja, kalau ada Bella. Sementara di tempat bude, Bella kan tidak ada.""Aku ingin menunjukkan kalau bersama denganku, kau tidak mengalami luka tubuh dan lelah mental seperti dulu. Tujuan bude-mu merekomendasikan mu padaku, jelas dia tahu seperti apa diriku dan aku tentu harus menunjukkannya," sahut Darren berhasil membuat Jihan terdiam.Benar. Jihan pun kini menyadari hal itu. Meski, bude-nya tak pernah membelanya ketika dipukuli atau dicaci oleh ibu tirinya. Tapi, bude diam-diam membantunya. Dan masalah membohonginya waktu itu untuk menikah dengan Darren. Jihan yakin kalau bude-nya bukan orang yang akan menjerumuskannya pada hal buruk.***"Habis itu belok kiri ya Pak," tutur Jihan.Darren menoleh ke arahnya. Dan Darren benar-benar mengantarnya ke penitipan anak-anak milik Bude. Jihan pun ikut menolehkan
"Dengan KB, jadi kita bisa bersetubuh tanpa rasa takut bukan?" bisik Darren membuat Jihan menggelengkan kepala."Tidak Pak, bukan begitu. Aku melakukannya--untuk--"Jihan benar-benar tak diberikan kesempatan untuk bicara sama sekali. Darren mencengkram tangannya dan bibir begitu rakus dalam menyesap. Jihan sedikit memberontak dan melengos, membuat tautan bibir terlepas. Namun, Darren tak berhenti di situ. Kulit lehernya di sesap lembut."Pak," tegurnya dengan tangan kiri berusaha mendorong pundak."Hm?"Jihan sedikit takut dengan Darren yang meraba tubuhnya. Meski, mereka sudah beberapa kali melakukannya. Tapi, kali ini Darren sedikit lembut. Itu juga yang membuat Jihan takut, takut kalau hatinya menjadi sangat goyah."Jangan seperti ini, aku mohon. Kalau seperti ini, bisa-bisa aku jatuh hati padamu Pak," terangnya."Sudah jatuh hati pun, jadi diamlah dan jangan protes," sahut Darren dan kembali menyesap bibirnya.Lidah Darren terjulur dan menjelajah, membuat tangan Jihan mencengkram
Dan tentunya, Jihan benar-benar mempertanyakan keinginan Bella, yakni bersekolah di tempat biasa. Jihan saat ini berdiri di depan rumah dan tersenyum begitu melihat mobil Darren terparkir. Darren sendiri malah mengerutkan dahi melihat dirinya yang tidak seperti biasanya.Bahkan ketika Jihan langsung meraih tas kerja di tangan suami. Darren makin meliriknya aneh, meski begitu tetap berjalan bersama Jihan memasuki rumah. Begitu tiba di kamar, Darren kembali dibuat heran oleh Jihan yang membantu melepaskan dasi dan jas."Kau seperti ini karena yang tadi siang kurang?" tanya Darren dengan mata menyipit.Mata Jihan terangkat dan menatap. "Hm, kurang apa?"Darren menyeringai dan berbisik, "sentuhanku kurang memangnya?"Mendengar hal itu, sontak Jihan langsung menjauh sedikit. "Tidak bukan begitu.""Lantas?"Darren mengeluarkan ponsel di saku dan mengambil baju santai. Nampak berjalan ke arah kamar mandi. Namun Darren berhenti sejenak dan berbalik padanya yang hanya terdiam."Mau mandi bersa
"Hari ini?" tanya Jihan dengan dahi mengerut.Darren mengangkat ponsel dan menunjukkan jam padanya. "Sudah pukul 00.01. Artinya sudah masuk hari jumat, bukan kamis lagi.""Ah ya. Terus kenapa memintaku untuk standby di sekitar hotel?" tanya Jihan mulai penasaran.Mata Darren menatapnya. "Aku akan membahas masalah kontrak dengan kakak tirimu, kau tidak penasaran soal Yuna?"Jihan membalas tatapan suaminya. "Bukankah hanya bertemu untuk membahas masalah kontrak saja?"Darren langsung menyeringai. "Naif sekali pemikiranmu Jihan."Mendengarnya, Jihan langsung mengerutkan dahi. Lantas apa yang sebenarnya suaminya maksud? Padahal kan bertemu di hotel untuk membahas kontrak kerja. Atau mungkin ... ada hal lainnya."Perusahaanku dengan atasan Yuna akan bertemu dengan pihak investor dari Jepang. Aku akan tanda tangan kontrak juga dengan utusan ini, jadi pertemuan diadakan bersama.""Tapi, atasan Yuna membutuhkan dana besar dan pertemuannya di hotel, kau mengerti maksudku Jihan?" tanya Darren m
Bella memeluk kaki Jihan, terus menangis dan tak mau dilepaskan. Ibu mertuanya bergegas mendekat dan ingin memisahkan Bella darinya. Namun, Jihan langsung menggeleng ketika tangisan Bella semakin keras saja."Biarkan Bella pergi denganku saja Bu."Luna nampak tak setuju. "Tapi suamimu itu sekarang dalam pengaruh Jihan! Dan kau akan membiarkan Bella ikut ke sana?"Jihan tersenyum. "Mas Darren tidak akan seceroboh itu, dia pasti tahu kalau di dalam minuman itu ada sesuatu dan pasti sedang mengatasinya sendiri."Luna mendengkus. "Ya kalau bisa. Sedangkan wanita dari Jepang itu menggoda Darren gimana?"Jihan membisu. Maka tak ada pilihan lain, Jihan harus ada di sana dan memukul wanita itu tidak peduli dia penting atau tidak. Karena berani menggoda suami orang. Yang jadi masalahnya adalah ... Jihan harus melayani Darren jika semua itu benar."Kalau begitu ayo kita segera pergi Kak."Sekitar 15 menit perjalanan. Jihan sudah sampai di hotel tempat pertemuan Darren dengan pihak Jepang. Di lo
Setelah memakan makanan ringan. Jihan menerima baju dari Darren dan sedang mencobanya di kamar mandi. Darren dan Bella menunggu cukup lama di kamar, hingga Darren menatap sang anak dan tiba-tiba saja memberikan ponsel pada Bella."Bella main ponsel dulu ya. Papa mau bantu mama sebentar."Darren berjalan pergi meninggalkan Bella dan nampak membuka pintu pelan. Jihan yang merasa kalau itu Bella, hanya tersenyum dan melanjutkan memakai baju. Namun, resletingnya susah ditarik."Bella, bisa tolong bantu mama?"Jihan hendak berjongkok. Namun tangan Darren meraihnya, tentu membuat Jihan menoleh terkejut. Lebih terkejut lagi ketika leher Jihan baru saja dikecup. Terburu Jihan menjauh, tapi tangan Darren langsung memeluk perutnya."Wangi sekali, sabun apa yang kau pakai Jihan?" bisik Darren."Mas. Kau sedang apa? Bella kan menunggu kita di luar," keluhnya sembari berusaha melepaskan.Bibir Darren kini merambat di pipi Jihan. "Bella juga sedang main ponsel kok, aku menyuruhnya bermain dengan vo
Darren pikir, kalau sang putra yang terlihat jarang menangis itu akan tetap tertidur seperti siang hari. Ternyata tidak. Di tengah malam, Jihan sibuk membuka kancing baju untuk menyusui Bilal."Ternyata begini rasanya jadi ayah," gumam Darren di tengah mata yang mengantuk.Jihan tersenyum. Mungkin sewaktu bayi, Bella benar-benar diurus oleh pembantu. Darren yang sibuk mengejar cinta Elina atau bekerja, sedikit melupakan sang putri. Jemari Darren mengusap kepala Bilal lembut. "Kapan selesainya Nak? Papa juga kan mau gantian."Jihan menatap suaminya kesal. "Apa sih Mas? Kalau masih masa nifas, istri itu tidak boleh disentuh."Darren menatap Jihan dengan dahi mengerut. "Apanya Sayang?"Tapi, kemudian bibir mengulas senyum. "Aku tak ada membahas masalah ranjang sama sekali padahal.""Terus yang gantian itu apa? Ingin ikut menyusu kan?"Darren terkekeh dan mengusap hidungnya. "Mana tega aku melakukannya padamu Jihan. Aku bermaksud untuk gantian menggendong Bilal saja."Mendengarnya. Jihan
"Yohan," panggil Luna.Suara itu begitu bergetar. Sedang mata yang bengkak itu kembali meneteskan air mata. Kesedihan telah hinggap dalam diri Luna setelah mengetahui fakta terjangkit penyakit ganas itu."Aku akan mati," lanjut Luna.Yohan terburu mendekat dan duduk di kursi. Memegang tangan Luna yang tidak diinfus. Yohan berusaha untuk tidak menunjukkan wajah sedih dan mengelus kepala Luna amat lembut."Tidak Luna. Jangan katakan hal bodoh macam itu, karena kau akan sembuh." Yohan mencium tangan Luna."Tapi tak ada yang bertahan lama, kalau punya penyakit dalam," ujar Luna nampak takut.Yohan menggeleng. "Itu kata orang lain. Tapi kata Allah beda Luna. Selama kita mau berusaha, pasti ada jalan. Yuk semangat, aku akan membantumu menjalani kemoterapi."Luna menatap Yohan nanar. Dokter telah menyampaikan, bahwa kanker stadium 4 tidak bisa disembuhkan, namun tetap harus menjalani pengobatan. Guna memperlambat penyebaran sel kanker juga meningkatkan kualitas hidup pasien.***Waktu terus
"Aduh."Selagi ciuman itu. Darren dikejutkan oleh Jihan yang tiba-tiba saja mengaduh, namun bibir Jihan justru tersenyum begitu menjauhkan wajah. Darren tentu saja nampak cemas dan mengelus wajahnya."Kenapa Sayang? Apa aku ada menyakitimu?"Jihan terkekeh. "Bukan. Tapi anak kita terasa menendang tadi."Kecemasan di wajah Darren pun hilang, digantikan dengan senyuman. "Sepertinya anak kita juga tak sabar ingin ditengok sama ayahnya."Jihan tersenyum. "Apa sih Mas? Bisa saja alasannya kalau lagi ingin."Perlahan Darren merebahkan dirinya di atas ranjang. Kemudian Darren menaiki tubuh Jihan amat ramah. Kancing bajunya dilepas cukup hati-hati juga."Mas, aku tidak akan hancur, meski pun kau tidak melakukannya dengan pelan," komennya.Mata Darren terangkat dan menatapnya kemudian tersenyum. "Baiklah."Bibir Jihan pun mengulas senyum saat Darren lebih bersemangat membuka bajunya. Bibir Darren mengecup kulit lehernya antusias. Jemari Jihan mengelus kepala suaminya dengan lembut.Kecupan Dar
Yohan terkekeh. "Orang? Memangnya di rumahku ada siapa Luna?"Mata Luna menjadi menyipit. "Bisa saja kan kalau kau membawa kekasihmu ke sini. Dan kalian bersenang-senang bersama."Mendengar hal itu, Yohan menarik napas. "Sejak dulu aku tak punya kekasih.""Yohan," sebut Luna kembali mendekati Yohan.Namun, sekretaris Darren itu langsung memegang kedua pundak Luna. Bukan untuk melanjutkan kegiatan ranjang, tapi mendorong tubuh Luna untuk duduk di sofa. Hal itu membuat Luna mengerutkan dahi."Yohan, kan aku meminta bantuanmu, kenapa malah menyuruhku duduk?"Yohan tersenyum miris. "Kau tahu Luna, apa yang terjadi jika sampai orang lain tahu. Tahu soal kejadian malam ini.""Aku berjanji tak akan bicara pada siapa pun. Aku hanya perlu hamil saja Yohan," ujar Luna terdengar bersikeras.Yohan menarik napas. Justru karena ada Darren dan Akio yang bersembunyi di ruang kerja. Jadi, Yohan tak bisa leluasa melakukan hal seperti itu pada Luna, ya meski hal itu terlarang."Pulanglah, aku akan menga
Mendapat pertanyaan itu, membuat Stella bergeming sejenak. Kemudian berusaha untuk tersenyum. Menjemput Aksa di negeri orang, dan menempatkan ke sisi Luna lagi. Itu artinya Stella akan benar-benar bermusuhan dengan Darren."Tentu saja, aku akan membawa Aksa kembali."Luna tersenyum. "Ya harus Bu. Karena anak ini butuh ayahnya."Stella sempat saling lirik dengan pembantu, kemudian mengajukan pertanyaan, "oh iya Nak. Cucuku ini sudah berapa minggu? Jika belum tahu, nanti aku akan memanggil dokter ke rumah."Luna nampak kaget sejenak mendengar penuturan dari Stella, kemudian Luna menjawab dengan segera, "sudah kok Bu. Aku diperiksa oleh dokter yang dipanggil dari luar. Katanya sudah 5 minggu."Stella mengulas senyum. "Begitu ya, ternyata penantian menunggu cucu lahir masih sangat lama. Butuh waktu kurang lebih 8 bulan lagi kan?"Kepala Luna mengangguk dan tersenyum ceria. Namun, begitu Stella menatap ke depan. Raut wajah Luna langsung berubah, sedikit kecemasan terlihat jelas di sana. Na
Luna perlahan mulai keluar dari kamar mandi. "Katakan pada mertuaku, kalau aku hamil."Petugas pun nampak mengerutkan dahi. "Sudah dipastikan memangnya? Bukankah lebih baik diperiksa dulu?"Luna berjalan pergi. "Cukup katakan saja padanya, aku akan memberimu banyak uang jika melakukannya."Petugas tersebut menarik napas mendengar Luna yang bersikeras, padahal belum tentu mengandung. Masalahnya orang yang akan diberi tahu adalah nyonya besar dari keluarga Gerald. Kalau salah informasi sedikit saja, maka kelar sudah hidup petugas itu.***Baru saja kembali ke rumah. Tapi, Darren dibuat kesal oleh Akio yang datang tiba-tiba. Dan memaksa supaya Darren serta Jihan kembali dari perjalanan. Namun, hal yang diberi tahukan oleh Akio justru membuat Darren semakin kesal."Si Luna dikabarkan mengandung," ujar Akio membuat Darren menghela napas."Bagaimana bisa hamil sih?"Jihan membantu Susan meletakkan minuman serta camilan di hadapan Akio. Sepertinya pembahasan mereka berdua cukup serius. Hingg
Jihan menggeliat dalam tidurnya, ketika jemari Darren memainkan bulu matanya. Jihan yang merasa tidurnya terganggu, langsung menyingkirkan tangan suaminya kemudian berbalik memunggungi. Darren terkekeh melihat Jihan yang masih ingin tidur.Tak berhenti sampai disitu. Jemari Darren mulai iseng dan meraba punggungnya, tanpa permisi tiba-tiba saja selimut disibak. Tentu Jihan menolehkan kepala dengan mata yang masih mengantuk berusaha dibuka untuk menatap tajam. Sementara tangan meraih selimut lagi untuk menutupi tubuh polosnya."Mas!" keluhnya.Darren tersenyum. "Masih ngantuk?""Masih."Jihan berbalik lagi. Mendekati Darren kemudian memeluk suaminya yang juga tak berbusana. Darren tersenyum dan tangan mulai berhenti menjahilinya. Jihan pun akhirnya bisa memulai tidurnya lagi."Meski kelihatan kecil perutnya, tapi ketika bertemu kerasa ganjel Jihan," gumam suaminya.Jihan malas meladeni suaminya dan hanya menjawab singkat, "iya."Darren mengerutkan dahi mendengar nada suara malasnya. "B
Sementara Jihan menemani Bella belajar di kamar. Bella sudah tak perlu tidur ditemani Susan lagi, pasalnya Jihan tak harus bersandiwara dan menemani Darren di rumah sakit lagi."Ma," sebut Bella membuatnya menatap."Ya Sayang, ada apa?""Wali kelas memberi tugas, untuk membuat karangan ketika jalan-jalan. Tapi, kita kan tidak pernah pergi bersama-sama seharian penuh ya Ma?" tanya Bella.Jika dipikir kembali. Memang benar, selama menikah. Darren hampir tak pernah mengajaknya mau pun Bella pergi jalan-jalan seharian penuh. Jihan pun tersenyum karena sepertinya mendapat kesempatan untuk menghirup udara segar. Bosan juga rasanya dikurung di rumah karena masalah Aksa dan Luna."Kapan tugasnya harus dikumpulkan?" tanya Jihan sembari mengelus kepala putrinya."Lusa.""Ya sudah, nanti malam mama bilang sama papa ya. Biar besoknya kita jalan-jalan dan pulangnya Bella bisa langsung mengerjakan tugas untuk diserahkan besoknya," ujarnya sembari tersenyum."Benar ya Ma? Yeay!"Sesuai permintaan Be
Jihan berusaha mengalihkan pandangannya dari ibu mertuanya. Alangkah baiknya memang Jihan berpura tidak tahu apa pun. Hanya perlu ikut menatap dalam diam perdebatan antara suaminya dengan Akio."Kenapa langsung nuduh tanpa bukti sih? Serius, aku mendengar kalau Ibumu berkata seperti itu," ujar Akio penuh semangat, kemudian mata melirik pada Stella, "bukankah begitu Nyonya Stella?"Lagi, Akio bertanya. Namun, kali tersebut Stella menatap pada Darren sekilas. Kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Akio soal kebohongan Darren sudah diketahui sejak awal. "Serius?" tanya Darren dengan wajah kaget.Kepala Stella mengangguk lagi. "Ya, ibu sudah tahu."Dan Stella pun menggunakan ibu untuk menyebut diri sendiri. Sorot mata Stella nampak sedih, begitu saling bertukar mata dengan sang anak. Darren sendiri hanya diam saja, sementara Jihan yang merasa pundak ibu mertuanya sedikit bergetar dan tak kuasa menahan emosi hingga berakhir dengan terisak. Jihan langsung mendekat dan memeluk pelan pun