Setelah membayar baju yang ia beli. Kini Jihan dan Luna memasuki outlet kosmetik, Luna tak beli banyak barang. Kemudian mereka berdua pergi ke cafe di sekitar mall. Jihan duduk berhadapan dengan Luna yang sibuk bermain ponsel.
"Hubungan Kakak dengan Kak Aksa baik-baik saja?" tanya Jihan mencoba untuk ikut campur.Luna berhenti bermain ponsel dan menatapnya. "Kenapa tanya?""Hanya ingin tahu saja."Luna berdecak, "pria yang hatinya dihuni wanita lain, mana bisa baik-baik saja berhubungan denganku."Jihan terdiam sejenak. Setelah dipikir sedikit, Jihan akhirnya bisa mengerti. Alasan Luna dinikahkan secara paksa dan tak pernah menjalin hubungan yang baik dengan Aksa. Semua itu karena Elina. Darren begitu tergila pada Elina dan menikahi wanita itu, namun Elina malah diam-diam menjalin kasih dengan Aksa.Setidaknya itu yang Jihan simpulkan. Namun, Jihan langsung membisu dan sibuk menyeruput minuman yang dipesannya saja. Jika benar Elina menjalin hubungan dengan AkLuna nampak marah dan berjalan lebih dulu, tentu membuat Jihan yang harus berjalan ke kasir dan membayar. Meski melayani pelanggan yang lain, tapi Abian sesekali berhenti di sekitarnya ketika melintas. Contohnya sekarang, ketika Jihan sedang antre."Dasar tidak tahu malu. Mentang-mentang sudah jadi istri orang kaya, main tuntut saja. Lebih baik kita urus kehidupan masing-masing, datang ke sini sebagai pelanggan saja, jangan membuat masalah," bisik Abian kemudian berjalan pergi.Jihan mengepalkan tangan dengan kesal. Sudah bagus Jihan membantu Abian lepas dari Luna yang bisa saja membuat manajer memecat. Bukannya terima kasih, malah menyuruhnya mengurus kehidupan masing-masing dan tidak saling mengganggu.Setelah membayar, Jihan memutuskan untuk keluar dari cafe. Namun, mata Jihan sibuk mencari keberadaan Luna serta mobil yang terparkir di sekitar mall. Jihan berakhir dengan menghela napas saat merasa kalau dirinya ditinggal. Meski cukup ragu, tapi Jihan mengambil telepon dan mencoba m
Abian berusaha tersenyum dan menggenggam tangan Yuna semakin erat. "Kenapa harus dibunuh?"Yuna menatap Abian serius. "Karena aku benci padanya. Nasibnya selalu baik, sementara aku biasa saja padahal aku selalu bekerja keras. Aku ingin Darren jatuh ke tanganku. Dengan Jihan tidak ada, maka Darren bisa aku rebut."Abian langsung tersenyum. "Kalau begitu, kenapa Jihan tidak untukku lagi saja? Dengan Jihan kembali padaku, maka Darren bisa kau rebut, Sayang."Yuna nampak tak percaya. "Kau yakin, bisa membuat Jihan terjerat padamu lagi?""Tentu saja. Aku adalah cinta sekaligus suami pertama baginya. Mana bisa Jihan melupakan aku begitu saja."Mendengar ucapan Abian yang penuh percaya diri, Yuna langsung tersenyum sinis. "Gila. Darren itu sangat tampan, setiap hari bisa memandang wajah seperti itu, hati wanita mana yang tidak luluh.""Tapi Jihan itu berbeda," sahut Abian merasa paling mengenal Jihan.Yuna mendengkus. "Kalau dia memang berbeda, maka sekarang dia
"Bukan begitu," sangkal Jihan."Lantas?" Mata Darren menatap lekat.Jihan menatap wajah suaminya serius. "Aku ... sedikit bosan kalau Bella mulai sekolah."Perlahan matanya menjadi turun. Ia tak berani memandang pada Darren yang pastinya akan menunjukkan ekspresi marah. Darren juga tentunya akan menentang keras keinginan Jihan, sebab jika Jihan mendirikan cafe. Maka Bella akan sedikit tidak terurus."Mau membuat cafe apa? Cafe kopi?" tanya Darren penasaran.Kepala Jihan terangkat dan mata menatap terkejut. "Eh, memangnya boleh Mas?""Hanya cafe kan? Kau tidak minta bulan di langit. Tentu saja aku akan mengabulkannya."Jihan langsung tersenyum lebar. "Syukurlah. Aku sangat senang, aku kira Mas tidak akan setuju dan sangat melarangku."Seperti yang Luna katakan. Kalau Darren adalah sosok pria yang hanya menjadikan istri sebagai pajangan di rumah saja. Namun sepertinya Luna hanya tidak mengenal Darren saja.Tiba-tiba saja Darren menyeringai. "Ya, tapi aku sih ingin kau memenuhi sesuatu k
"Kenapa tidak boleh bawa Mama? Papa ingin bicara sama Mama loh," ujar Darren membuat Bella menggeleng."Tidak boleh!"Darren menarik napas, kemudian berjalan keluar. Jihan menjadi semakin waspada, sampai tangannya berpegangan pada salah satu meja di sisinya. Bisa saja kan Darren asal menarik Jihan begitu saja ke dalam kamar. Namun, Darren malah menunjukkan layar ponsel padanya."Coba kau lihat-lihat, kalau cocok aku belikan," ujar Darren.Jihan menatap layar ponsel yang menunjukkan beberapa gedung yang dijual. Jihan menatap terkejut pada suaminya, semua gedung yang ditawarkan berlantai dua. Darren langsung menatapnya yang tidak juga lanjut menggulir gedung lainnya."Kenapa malah menatapku? Yang tadi kurang?" celetuk Darren.Jihan menggeleng. "Kenapa semua gedungnya berlantai dua Mas?""Karena aku memang ingin membuat cafe dua lantai. Di bawah untuk kalangan biasa, di atas ruangan khusus untuk membahas bisnis atau acara keluarga," sahut Darren.Jihan menarik napas begitu mendengarnya.
"Ah iya," sahut Jihan.Jihan pun terpaksa ikut dengan Akio untuk makan bersama. Namun, ketika Akio membuka pintu depan, Jihan langsung menggeleng. Kemudian ia mengangkat tangan Bella, menunjukkan kalau Jihan tak mungkin duduk di depan dan menemani pria ini."Ah, aku lupa kalau anak cantik juga ikut," sahut Akio sembari mengangguk mengerti.Jihan duduk di kursi belakang bersama dengan Bella. Jihan sedikit heran dengan Akio yang malah tidak mengemudi juga. Hanya sibuk menatapi Jihan dari spion."Pak, kenapa masih belum jalan?" tanya Jihan heran.Akio tersenyum. "Tidak apa."Pada kenyataannya, Akio bergumam, "ah, serasa jadi sopir."***Sementara di kantor polisi. Darren sedang duduk di hadapan Abian yang menunjukkan wajah angkuh. Darren menyeringai dan nampak sedikit penasaran dapat dari mana keberanian Abian sekarang."Rupanya hanya segitu saja ya? Kekayaanmu itu tidak akan bisa membuatku di penjara. Bagaimana pun, aku adalah rakyat yang tidak bersalah."Dengan santai, Darren menyender
Akio menatap pada Bella. "Aku juga tidak ingin mengakui kok, ini memang anakmu."Darren hendak mendekat dan memukul. Namun Jihan meraih tangan suaminya dan kepala menggeleng. Jihan tidak ingin Darren menunjukkan sisi kasar di hadapan Bella. Sepertinya Darren sendiri tahu maksudnya, hingga bisa menarik napas dan nampak menahan emosi.Darren pun hanya mengambil Bella dari tangan Akio. "Anakku bisa jalan sendiri, tak perlu merepotkanmu."Akio menatap Darren serius. "Aku hanya berbaik hati, jadi tolong jangan anggap itu sebagai hal buruk."Darren memilih tak menjawab dan mendekat padanya. Ketika suaminya ingin mengajaknya pulang, bahkan sudah menarik tangannya. Jihan sedikit menahan Darren, setidaknya harus berterima kasih dulu setelah ditraktir makan."Terima kasih Pak, sudah mengajak makan bersama," tuturnya.Akio tersenyum lebar. "Tidak masalah cantik.""Aku ingin mencabut giginya," gumam Darren sangat pelan, namun masih bisa didengar oleh Jihan."Mas," sebutnya, sementara Darren melen
Abian kaget mendengar Jihan yang mengumpat. Abian juga membisu melihat Jihan yang sibuk menangis, seolah sangat menyesali kegiatan yang dilakukan secara sepihak itu. Perlahan Abian menjauh dan mengambil kamera yang diletakkan di atas rak buku. Tangis Jihan hilang sudah dan digantikan dengan ekspresi terkejut setengah mati."Abian, apa yang kau pegang?"Kepala Abian menoleh padanya, kemudian dengan angkuh mengangkat kamera di hadapannya. "Oh, hanya kamera biasa yang bisa merekam video."Jihan bagai diserang petir ketika mendengar penuturan dari Abian. Dalam benak Jihan terpikir, apakah kamera itu merekam kelakuan bejat Abian terhadapnya. Jihan tak berpikir panjang, ia langsung berdiri dan mencoba merebut kamera dari tangan Abian.Abian menyeringai dengan tangan diangkat setinggi-tingginya. "Kenapa kau panik begitu Sayang? Videonya juga tidak akan aku sebar kok, cuma jadi kenangan saja. Kalau semalam ...."Abian menghirup aroma tubuhnya. "Kita bersenang-senang.""Brengsek!" seru Jihan m
"Jika kau berani melakukannya maka aku ...."Meski penuh emosi. Namun, Jihan bingung sendiri, hal apa yang bisa ia jadikan sebagai bahan ancaman. Apakah ... nyawanya? Abian tersenyum dan kembali mengecup pipi Jihan."Kau mau apa Sayang?"Jihan terdiam sepenuhnya. Benar, tak ada yang bisa Jihan lakukan. Meski hanya untuk mengancam saja, Jihan tak ingin menggunakan nyawanya sebagai cara untuk bisa keluar. Kepala Abian menoleh pada suara mesin mobil di luar rumah. Perlahan Abian melepaskan Jihan."Sayang, ayo kembali ke kamar," ajak Abian dengan tangan menarik paksa.Jihan menatap sengit pada Abian yang hendak menutup pintu. Jihan sempat menggenggam daun pintunya dengan cepat dan mata masih menyorot tajam. Hingga Abian mengelus wajahnya."Jangan tatap aku seperti itu Jihan.""Aku berjanji akan bunuh diri jika kau berani sebarkan video itu pada Darren," ujarnya dengan menahan emosi dan air mata.Abian membisu. Tak menjawab ancamannya ini, kemudian Abian m