"Ah iya," sahut Jihan.Jihan pun terpaksa ikut dengan Akio untuk makan bersama. Namun, ketika Akio membuka pintu depan, Jihan langsung menggeleng. Kemudian ia mengangkat tangan Bella, menunjukkan kalau Jihan tak mungkin duduk di depan dan menemani pria ini."Ah, aku lupa kalau anak cantik juga ikut," sahut Akio sembari mengangguk mengerti.Jihan duduk di kursi belakang bersama dengan Bella. Jihan sedikit heran dengan Akio yang malah tidak mengemudi juga. Hanya sibuk menatapi Jihan dari spion."Pak, kenapa masih belum jalan?" tanya Jihan heran.Akio tersenyum. "Tidak apa."Pada kenyataannya, Akio bergumam, "ah, serasa jadi sopir."***Sementara di kantor polisi. Darren sedang duduk di hadapan Abian yang menunjukkan wajah angkuh. Darren menyeringai dan nampak sedikit penasaran dapat dari mana keberanian Abian sekarang."Rupanya hanya segitu saja ya? Kekayaanmu itu tidak akan bisa membuatku di penjara. Bagaimana pun, aku adalah rakyat yang tidak bersalah."Dengan santai, Darren menyender
Akio menatap pada Bella. "Aku juga tidak ingin mengakui kok, ini memang anakmu."Darren hendak mendekat dan memukul. Namun Jihan meraih tangan suaminya dan kepala menggeleng. Jihan tidak ingin Darren menunjukkan sisi kasar di hadapan Bella. Sepertinya Darren sendiri tahu maksudnya, hingga bisa menarik napas dan nampak menahan emosi.Darren pun hanya mengambil Bella dari tangan Akio. "Anakku bisa jalan sendiri, tak perlu merepotkanmu."Akio menatap Darren serius. "Aku hanya berbaik hati, jadi tolong jangan anggap itu sebagai hal buruk."Darren memilih tak menjawab dan mendekat padanya. Ketika suaminya ingin mengajaknya pulang, bahkan sudah menarik tangannya. Jihan sedikit menahan Darren, setidaknya harus berterima kasih dulu setelah ditraktir makan."Terima kasih Pak, sudah mengajak makan bersama," tuturnya.Akio tersenyum lebar. "Tidak masalah cantik.""Aku ingin mencabut giginya," gumam Darren sangat pelan, namun masih bisa didengar oleh Jihan."Mas," sebutnya, sementara Darren melen
Abian kaget mendengar Jihan yang mengumpat. Abian juga membisu melihat Jihan yang sibuk menangis, seolah sangat menyesali kegiatan yang dilakukan secara sepihak itu. Perlahan Abian menjauh dan mengambil kamera yang diletakkan di atas rak buku. Tangis Jihan hilang sudah dan digantikan dengan ekspresi terkejut setengah mati."Abian, apa yang kau pegang?"Kepala Abian menoleh padanya, kemudian dengan angkuh mengangkat kamera di hadapannya. "Oh, hanya kamera biasa yang bisa merekam video."Jihan bagai diserang petir ketika mendengar penuturan dari Abian. Dalam benak Jihan terpikir, apakah kamera itu merekam kelakuan bejat Abian terhadapnya. Jihan tak berpikir panjang, ia langsung berdiri dan mencoba merebut kamera dari tangan Abian.Abian menyeringai dengan tangan diangkat setinggi-tingginya. "Kenapa kau panik begitu Sayang? Videonya juga tidak akan aku sebar kok, cuma jadi kenangan saja. Kalau semalam ...."Abian menghirup aroma tubuhnya. "Kita bersenang-senang.""Brengsek!" seru Jihan m
"Jika kau berani melakukannya maka aku ...."Meski penuh emosi. Namun, Jihan bingung sendiri, hal apa yang bisa ia jadikan sebagai bahan ancaman. Apakah ... nyawanya? Abian tersenyum dan kembali mengecup pipi Jihan."Kau mau apa Sayang?"Jihan terdiam sepenuhnya. Benar, tak ada yang bisa Jihan lakukan. Meski hanya untuk mengancam saja, Jihan tak ingin menggunakan nyawanya sebagai cara untuk bisa keluar. Kepala Abian menoleh pada suara mesin mobil di luar rumah. Perlahan Abian melepaskan Jihan."Sayang, ayo kembali ke kamar," ajak Abian dengan tangan menarik paksa.Jihan menatap sengit pada Abian yang hendak menutup pintu. Jihan sempat menggenggam daun pintunya dengan cepat dan mata masih menyorot tajam. Hingga Abian mengelus wajahnya."Jangan tatap aku seperti itu Jihan.""Aku berjanji akan bunuh diri jika kau berani sebarkan video itu pada Darren," ujarnya dengan menahan emosi dan air mata.Abian membisu. Tak menjawab ancamannya ini, kemudian Abian m
Darren nampak mengambil ponsel dan menelpon seseorang. "Blokir semua penerbangan hari ini. Aku tidak peduli dengan berapa orang yang mengamuk! Aku hanya tahu kalau kau membiarkan siapa pun lolos, maka aku akan menyiapkan senapan untuk makanan kalian!"Sementara itu. Jihan menarik tangannya dari genggaman Abian, membuat mantan suaminya ini melirik. Namun, Abian tetap menarik paksa Jihan untuk keluar dari mobil. Jihan saat ini berada di depan bandara, tujuan tidak tahu akan dibawa ke negara mana."Ayo Sayang, kita harus cepat," ajak Abian menggenggam tangannya sangatlah erat."Jika Darren berhasil menemukanmu, maka kau kesulitan untuk hidup Abian. Lebih baik kau pikirkan sekali lagi dan pulangkan aku," ujar Jihan berusaha mencuci otak Abian."Tidak Sayang. Kalau aku memulangkan dirimu, sudah pasti aku akan kembali kehilanganmu, Jihan," tolak Abian."Sejak awal aku sudah bukan istrimu Abian! Kau sudah kehilangan aku sejak itu!" serunya.Abian melirik sekeliling yang ramai dan masih sempa
Kecemasan Jihan semakin berlanjut. Ketika di ruang keamanan, Darren yang tak muncul juga meski dipastikan sudah tahu kabar terbaru tentangnya. Jihan menjadi takut, jika Darren sudah tidak lagi menerima Jihan. Hal itu membuat Jihan menggigit kuku dengan mata sedikit berkaca."Aku harus bagaimana?" gumam Jihan.Hingga pintu ruang keamanan terbuka lebar. Mata Jihan menemukan Darren berlari ke arahnya dengan keringat bercucuran. Bahkan Darren sempat menarik napas panjang lebih dahulu, kemudian memutar tubuhnya yang sedang duduk."Kau baik saja kan Jihan? Tidak terjadi sesuatu padamu kan? Abian tidak melukaimu kan?"Bukannya menjawab. Jihan malah menghambur dan memeluk pinggang Darren. Hal itu membuat Darren mengelus kepalanya lembut, apalagi ketika mendengar suara tangisnya. Darren nampak sabar menunggunya tenang dan berhenti menangis."Kita pulang ya Jihan," bujuk Darren.Namun kepala Jihan menggeleng. "Tidak mau."Darren melirik sekitar, beberapa petugas bandara yang mengerti langsung b
Jihan terbangun dari tidurnya. Namun satu hal yang membuat Jihan merasa heran. Ketika menuruni anak tangga, rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Padahal selalu ada pembantu yang berkeliaran di rumah.Jihan semakin menuruni anak tangga. Hingga matanya menemukan Darren sedang memasak di dapur, Jihan menyipitkan mata, berusaha membenarkan penglihatannya yang barang kali saja kabur. Tapi, ternyata benar. Darren yang memasak, Jihan membeku melihat suaminya yang begitu tenang."Punggungku bisa berlubang, kalau ditatap begitu olehmu," sindir Darren tak meliriknya sama sekali.Jihan memutuskan untuk mendekat dan berdiri di sebelah suaminya. "Aku hanya tidak menyangka saja, kalau ternyata Mas bisa memasak."Darren tak menjawab, hanya meliriknya saja. Kemudian mengambil sedikit hasil masakan dan meminta Jihan untuk mencoba. Jihan langsung mengacungkan jempol saat merasakan hasil masakan suaminya."Enak," pujinya."Tentu," sahut Darren singkat dan nampak angkuh.Jihan tersenyum melihat suaminy
Susan langsung mengangguk tanpa ragu. Jihan menarik napas mendengar fakta bahwa Elina juga mengatakan pada Bella setiap waktu, kalau Bella bukankah anak kandung dari Elina sendiri. Jihan sama sekali tidak menyangka, ada seorang ibu yang seperti itu pada anak sendiri. Jihan pun mengusap kepala putrinya lagi."Yeay! Sampai!" seru Bella antusias begitu mobil tiba di parkiran.Jihan tersenyum. "Iya Sayang."Sopir membuka pintu, dan Susan membantu Bella juga Jihan untuk turun. Kemudian mereka bertiga memasuki supermarket dengan ditemani 5 orang pengawal. Beberapa orang yang melintas juga membeli di dalam, nampak menjadikan Jihan sebagai pusat perhatian. Jihan merasa malu sendiri."Harusnya tadi aku bawa masker atau kacamata saja," gumamnya.Susan menoleh. "Mau saya ambilkan, Nyonya?"Jihan langsung menggeleng. Menurutnya itu merepotkan untuk Susan, harus ke mobil untuk mengambil barang yang dirinya sebutkan, kemudian balik lagi ke dalam. Susan yang melihatnya menolak langsung mengangguk me
Darren pikir, kalau sang putra yang terlihat jarang menangis itu akan tetap tertidur seperti siang hari. Ternyata tidak. Di tengah malam, Jihan sibuk membuka kancing baju untuk menyusui Bilal."Ternyata begini rasanya jadi ayah," gumam Darren di tengah mata yang mengantuk.Jihan tersenyum. Mungkin sewaktu bayi, Bella benar-benar diurus oleh pembantu. Darren yang sibuk mengejar cinta Elina atau bekerja, sedikit melupakan sang putri. Jemari Darren mengusap kepala Bilal lembut. "Kapan selesainya Nak? Papa juga kan mau gantian."Jihan menatap suaminya kesal. "Apa sih Mas? Kalau masih masa nifas, istri itu tidak boleh disentuh."Darren menatap Jihan dengan dahi mengerut. "Apanya Sayang?"Tapi, kemudian bibir mengulas senyum. "Aku tak ada membahas masalah ranjang sama sekali padahal.""Terus yang gantian itu apa? Ingin ikut menyusu kan?"Darren terkekeh dan mengusap hidungnya. "Mana tega aku melakukannya padamu Jihan. Aku bermaksud untuk gantian menggendong Bilal saja."Mendengarnya. Jihan
"Yohan," panggil Luna.Suara itu begitu bergetar. Sedang mata yang bengkak itu kembali meneteskan air mata. Kesedihan telah hinggap dalam diri Luna setelah mengetahui fakta terjangkit penyakit ganas itu."Aku akan mati," lanjut Luna.Yohan terburu mendekat dan duduk di kursi. Memegang tangan Luna yang tidak diinfus. Yohan berusaha untuk tidak menunjukkan wajah sedih dan mengelus kepala Luna amat lembut."Tidak Luna. Jangan katakan hal bodoh macam itu, karena kau akan sembuh." Yohan mencium tangan Luna."Tapi tak ada yang bertahan lama, kalau punya penyakit dalam," ujar Luna nampak takut.Yohan menggeleng. "Itu kata orang lain. Tapi kata Allah beda Luna. Selama kita mau berusaha, pasti ada jalan. Yuk semangat, aku akan membantumu menjalani kemoterapi."Luna menatap Yohan nanar. Dokter telah menyampaikan, bahwa kanker stadium 4 tidak bisa disembuhkan, namun tetap harus menjalani pengobatan. Guna memperlambat penyebaran sel kanker juga meningkatkan kualitas hidup pasien.***Waktu terus
"Aduh."Selagi ciuman itu. Darren dikejutkan oleh Jihan yang tiba-tiba saja mengaduh, namun bibir Jihan justru tersenyum begitu menjauhkan wajah. Darren tentu saja nampak cemas dan mengelus wajahnya."Kenapa Sayang? Apa aku ada menyakitimu?"Jihan terkekeh. "Bukan. Tapi anak kita terasa menendang tadi."Kecemasan di wajah Darren pun hilang, digantikan dengan senyuman. "Sepertinya anak kita juga tak sabar ingin ditengok sama ayahnya."Jihan tersenyum. "Apa sih Mas? Bisa saja alasannya kalau lagi ingin."Perlahan Darren merebahkan dirinya di atas ranjang. Kemudian Darren menaiki tubuh Jihan amat ramah. Kancing bajunya dilepas cukup hati-hati juga."Mas, aku tidak akan hancur, meski pun kau tidak melakukannya dengan pelan," komennya.Mata Darren terangkat dan menatapnya kemudian tersenyum. "Baiklah."Bibir Jihan pun mengulas senyum saat Darren lebih bersemangat membuka bajunya. Bibir Darren mengecup kulit lehernya antusias. Jemari Jihan mengelus kepala suaminya dengan lembut.Kecupan Dar
Yohan terkekeh. "Orang? Memangnya di rumahku ada siapa Luna?"Mata Luna menjadi menyipit. "Bisa saja kan kalau kau membawa kekasihmu ke sini. Dan kalian bersenang-senang bersama."Mendengar hal itu, Yohan menarik napas. "Sejak dulu aku tak punya kekasih.""Yohan," sebut Luna kembali mendekati Yohan.Namun, sekretaris Darren itu langsung memegang kedua pundak Luna. Bukan untuk melanjutkan kegiatan ranjang, tapi mendorong tubuh Luna untuk duduk di sofa. Hal itu membuat Luna mengerutkan dahi."Yohan, kan aku meminta bantuanmu, kenapa malah menyuruhku duduk?"Yohan tersenyum miris. "Kau tahu Luna, apa yang terjadi jika sampai orang lain tahu. Tahu soal kejadian malam ini.""Aku berjanji tak akan bicara pada siapa pun. Aku hanya perlu hamil saja Yohan," ujar Luna terdengar bersikeras.Yohan menarik napas. Justru karena ada Darren dan Akio yang bersembunyi di ruang kerja. Jadi, Yohan tak bisa leluasa melakukan hal seperti itu pada Luna, ya meski hal itu terlarang."Pulanglah, aku akan menga
Mendapat pertanyaan itu, membuat Stella bergeming sejenak. Kemudian berusaha untuk tersenyum. Menjemput Aksa di negeri orang, dan menempatkan ke sisi Luna lagi. Itu artinya Stella akan benar-benar bermusuhan dengan Darren."Tentu saja, aku akan membawa Aksa kembali."Luna tersenyum. "Ya harus Bu. Karena anak ini butuh ayahnya."Stella sempat saling lirik dengan pembantu, kemudian mengajukan pertanyaan, "oh iya Nak. Cucuku ini sudah berapa minggu? Jika belum tahu, nanti aku akan memanggil dokter ke rumah."Luna nampak kaget sejenak mendengar penuturan dari Stella, kemudian Luna menjawab dengan segera, "sudah kok Bu. Aku diperiksa oleh dokter yang dipanggil dari luar. Katanya sudah 5 minggu."Stella mengulas senyum. "Begitu ya, ternyata penantian menunggu cucu lahir masih sangat lama. Butuh waktu kurang lebih 8 bulan lagi kan?"Kepala Luna mengangguk dan tersenyum ceria. Namun, begitu Stella menatap ke depan. Raut wajah Luna langsung berubah, sedikit kecemasan terlihat jelas di sana. Na
Luna perlahan mulai keluar dari kamar mandi. "Katakan pada mertuaku, kalau aku hamil."Petugas pun nampak mengerutkan dahi. "Sudah dipastikan memangnya? Bukankah lebih baik diperiksa dulu?"Luna berjalan pergi. "Cukup katakan saja padanya, aku akan memberimu banyak uang jika melakukannya."Petugas tersebut menarik napas mendengar Luna yang bersikeras, padahal belum tentu mengandung. Masalahnya orang yang akan diberi tahu adalah nyonya besar dari keluarga Gerald. Kalau salah informasi sedikit saja, maka kelar sudah hidup petugas itu.***Baru saja kembali ke rumah. Tapi, Darren dibuat kesal oleh Akio yang datang tiba-tiba. Dan memaksa supaya Darren serta Jihan kembali dari perjalanan. Namun, hal yang diberi tahukan oleh Akio justru membuat Darren semakin kesal."Si Luna dikabarkan mengandung," ujar Akio membuat Darren menghela napas."Bagaimana bisa hamil sih?"Jihan membantu Susan meletakkan minuman serta camilan di hadapan Akio. Sepertinya pembahasan mereka berdua cukup serius. Hingg
Jihan menggeliat dalam tidurnya, ketika jemari Darren memainkan bulu matanya. Jihan yang merasa tidurnya terganggu, langsung menyingkirkan tangan suaminya kemudian berbalik memunggungi. Darren terkekeh melihat Jihan yang masih ingin tidur.Tak berhenti sampai disitu. Jemari Darren mulai iseng dan meraba punggungnya, tanpa permisi tiba-tiba saja selimut disibak. Tentu Jihan menolehkan kepala dengan mata yang masih mengantuk berusaha dibuka untuk menatap tajam. Sementara tangan meraih selimut lagi untuk menutupi tubuh polosnya."Mas!" keluhnya.Darren tersenyum. "Masih ngantuk?""Masih."Jihan berbalik lagi. Mendekati Darren kemudian memeluk suaminya yang juga tak berbusana. Darren tersenyum dan tangan mulai berhenti menjahilinya. Jihan pun akhirnya bisa memulai tidurnya lagi."Meski kelihatan kecil perutnya, tapi ketika bertemu kerasa ganjel Jihan," gumam suaminya.Jihan malas meladeni suaminya dan hanya menjawab singkat, "iya."Darren mengerutkan dahi mendengar nada suara malasnya. "B
Sementara Jihan menemani Bella belajar di kamar. Bella sudah tak perlu tidur ditemani Susan lagi, pasalnya Jihan tak harus bersandiwara dan menemani Darren di rumah sakit lagi."Ma," sebut Bella membuatnya menatap."Ya Sayang, ada apa?""Wali kelas memberi tugas, untuk membuat karangan ketika jalan-jalan. Tapi, kita kan tidak pernah pergi bersama-sama seharian penuh ya Ma?" tanya Bella.Jika dipikir kembali. Memang benar, selama menikah. Darren hampir tak pernah mengajaknya mau pun Bella pergi jalan-jalan seharian penuh. Jihan pun tersenyum karena sepertinya mendapat kesempatan untuk menghirup udara segar. Bosan juga rasanya dikurung di rumah karena masalah Aksa dan Luna."Kapan tugasnya harus dikumpulkan?" tanya Jihan sembari mengelus kepala putrinya."Lusa.""Ya sudah, nanti malam mama bilang sama papa ya. Biar besoknya kita jalan-jalan dan pulangnya Bella bisa langsung mengerjakan tugas untuk diserahkan besoknya," ujarnya sembari tersenyum."Benar ya Ma? Yeay!"Sesuai permintaan Be
Jihan berusaha mengalihkan pandangannya dari ibu mertuanya. Alangkah baiknya memang Jihan berpura tidak tahu apa pun. Hanya perlu ikut menatap dalam diam perdebatan antara suaminya dengan Akio."Kenapa langsung nuduh tanpa bukti sih? Serius, aku mendengar kalau Ibumu berkata seperti itu," ujar Akio penuh semangat, kemudian mata melirik pada Stella, "bukankah begitu Nyonya Stella?"Lagi, Akio bertanya. Namun, kali tersebut Stella menatap pada Darren sekilas. Kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Akio soal kebohongan Darren sudah diketahui sejak awal. "Serius?" tanya Darren dengan wajah kaget.Kepala Stella mengangguk lagi. "Ya, ibu sudah tahu."Dan Stella pun menggunakan ibu untuk menyebut diri sendiri. Sorot mata Stella nampak sedih, begitu saling bertukar mata dengan sang anak. Darren sendiri hanya diam saja, sementara Jihan yang merasa pundak ibu mertuanya sedikit bergetar dan tak kuasa menahan emosi hingga berakhir dengan terisak. Jihan langsung mendekat dan memeluk pelan pun