Perjalanan ke rumah sakit tidak membutuhkan waktu lama. Begitu tiba di rumah sakit swasta itu, Dokter Dana segera memarkir mobilnya.
Di tempat parkir yang sama Silvia melihat sebuah mobil yang sangat dikenalnya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia ingat pesan yang dikirim seseorang bernama Udin kepada suaminya untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Untung saja tadi dia mau ikut ke rumah sakit ini. Karena jika tidak, dia tidak akan bertemu dengan suaminya yang dia curigai berselingkuh itu.
Dia melihat Pazel keluar dari mobil. Dia berjalan menuju pintu yang satunya lagi. Dia membukakan pintu untuk orang itu. Lalu dia menggandeng seorang wanita cantik yang seksi dengan mesra.
Ternyata benar dugaannya. Pesan dari orang bernama Udin itu adalah seorang perempuan. Mereka tidak melihat Silvia yang masih berada di dalam mobil Dokter Dana. Mereka berjalan bergandengan di depan mata kepala Silvia.
Air matanya tumpah tanpa bisa dibendung. Dadanya terasa sesak karena tekanan emosi yang bergejolak.
Laki-laki yang ia harapkan akan menjadi pendampingnya sampai maut memisahkan ternyata bermain api di belakangnya. Sungguh pedih rasa hati yang ia rasakan saat ini. Air matanya tak kuasa ia bendung. Dia sudah berusaha menahan sesak didadanya sampai ia menutup mulutnya dengan tangannya.
Dokter Dana yang melihat Silvia seperti itu merasa kasihan, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia melihat Silvia dan orang yang sedang ditatap Silvia secara bergantian. Hal yang bisa dia lakukan adalah memberikan kotak tisu.
“Apa Mbak Silvia mengenal mereka?”
Pertanyaan itu ia utarakan setelah tangisnya mulai mereda. Bukan menjawab, tapi tangisnya semakin menjadi. Terpaksa dia harus bersabar menunggu air matanya mereda.
Disisi lain, Pazel sedang berada di ruangan Dokter Kandungan. Dia sedang harap-harap cemas menanti hasil pemeriksaan urin yang baru dilakukan Rima kekasih gelapnya.
“Bagaimana Dok? Apa saya benar-benar hamil?” pertanyaan itu ditanyakan oleh Rima, kekasih gelapnya.
“Selamat, Buk. Usia kandungan anda sudah memasuki minggu ke empat. Tolong dijaga kandungannya, Buk. Untuk sementara tidak boleh banyak pikiran dulu, dan tidak boleh melakukan pekerjaan yang berat.”
“Terima kasih, Dokter,” ucap Pazel dan kekasihnya Rima. Mereka berjalan keluar dari ruangan dokter itu, setelah mendapat resep obat yang akan ditebusnya di apotik rumah sakit
Begitu pintu dibuka, ternyata seorang wanita berdiri di depan pintu menghadang mereka. Pazel terperanjat melihat orang yang ada di depannya. Sekujur badannya terasa dingin.
Wanita itu memakai kacamata hitam. Tapi dia masih dapat mengenalinya dengan jelas, karena pakaian yang ia pakai masih yang dikenakannya tadi pagi. Wanita itu membuka kacamatanya. Terlihat jelas matanya yang masih bengkak karena habis menangis. Dia segera meraih tangan istrinya untuk menjauh dari pintu. Tapi Silvia menepis tangannya.
“Tidak perlu. Saya bisa jalan sendiri. Sebaiknya kamu ajak selingkuhanmu itu ke rumah. Nanti aku akan menyusul.”
Dia berjalan meninggalkan Pazel dan selingkuhannya.
Pazel memperhatikan jalan istrinya. Ada rasa perih di hatinya melihat istrinya berjalan seperti menahan rasa perih di kakinya. Dan yang membuat dia semakin perih lagi, saat dia harus melihat mata istrinya yang bengkak karena habis menangis. Hati Pazel seperti diiris-iris sembilu membayangkan kesedihan istrinya.
Dia merasakan kesedihan istrinya yang sangat dalam dari matanya. Namun apa daya. Nasi sudah menjadi bubur. Dia ingin jujur, tapi dia masih menunggu waktu yang tepat. Tidak disangka, istrinya malah memergokinya keluar dari ruang Dokter kandungan.
Dia mengejar istrinya.
“Sayang. Kenapa kakimu?”
Tetapi tangannya di pegang oleh selingkuhannya. Dia melihat Silvia menghentikan langkahnya. Tapi Istrinya tidak menoleh ke belakang. Sesaat kemudian dia melanjutkan langkahnya beriringan dengan seorang pemuda yang menggendong seorang anak kecil.
Pazel tidak menyangka kalau dia akan bertemu dengan Silvia di rumah sakit ini. Dia ingin sekali mengejar istrinya. Tapi dia juga tidak tega meninggalkan selingkuhannya yang sedang hamil. Dia teringat dengan kata-kata Dokter, bahwa dia tidak boleh banyak pikiran.
“Rima. Ayo aku antar kamu pulang.”
“Mengantarku pulang atau mengajakku pulang, Bang?”
“Rima. Tolong mengertilah. Keadaan sekarang sedang panas. Nanti kalau suasananya sudah dingin, aku akan mengajakmu pulang ke rumah kita.
“Tapi kapan, Bang? Lebih baik sekarang, atau bisa saja kamu berubah pikiran nanti. Toh dia juga sudah tahu yang sebenarnya. Jadi untuk apa disembunyikan lagi. Aku tidak mau disembunyikan lagi.”
Pazel menggusar kepalanya yang tidak gatal. Kebiasaan itu akan selalu dia lakukan disaat dia sedang panik.
Di ruangan Dokter Dana, Silvia yang sudah berusaha menyiapkan mental untuk kemungkinan seperti ini tetap saja merasa marah dan kecewa. Tapi, dia tidak ingin membuat gaduh di depan umum. Dia berusaha menahan tangisnya sekuat tenaga. Tapi air matanya tidak mau diajak kompromi.
Tadi dia sengaja berhenti saat suaminya memanggil dan bertanya tentang kakinya. Dengan harapan suaminya akan mengejar dia. Tapi dia salah. Suaminya hanya basa basi. Dia memilih tetap berada disisi selingkuhannya.
“Mbak Silvia, ini. Minumlah dulu.” Dokter Dana memberikan sebotol minuman dingin.
“Terima kasih, Dokter.”
“Menangislah sepuasnya. Di sini adalah ruangan pribadi saya. Kamu bebas menangis sepuasmu, Mbak Silvia.”
Setelah beberapa saat Silvia berhasil menetralkan pikirannya. Dia mencoba untuk berdamai dengan keadaan. Tapi matanya masih bengkak, jadi dia meminjam kaca mata Dokter itu lagi.
“Dokter. Apa boleh kaca matanya aku pinjam lagi?”
“Tentu saja. Kamu bisa membawanya pulang. Saya akan mengantarmu pulang.”
“Tidak usah, Dokter. Saya sudah banyak merepotkan Dokter. Besok saya akan balikin kaca mata ini lagi.”
“Kamu boleh simpan saja kaca mata itu sebagai kenangan perkenalan kita. Tapi saya akan tetap mengantarmu pulang. Saya tidak mau kamu nanti loncat di jembatan. Bisa-bisa saya kena introgasi juga sama polisi.
“Inilah rumah saya. Setidaknya sampai saya meninggalkan rumah ini,” batin Silvia. Dia menghapus air matanya yang menetes lagi.“Stop di sini, Dokter. Terima kasih karena dokter sudah mengantar saya sampai ke rumah. Saya tidak akan melupakan kebaikan Dokter. Ini kaca matanya, Dokter.”“Sudahlah. Simpan saja kaca mata itu. Siapa tahu kamu masih membutuhkannya.”“Apa tidak apa-apa, Dokter?”“Tidak apa-apa, Buat kamu saja.”“Apa Dokter jijik karena Bekas saya pakai tadi?”“Tidak. Tidak. Bukan begitu maksud saya. Baiklah. Kalau begitu sini saya ambil.”“Ya sudah, Dokter. Kalu begitu saya simpan saja.”“Jangan. Jangan. Biar saya yang simpan.”“Ah, Dokter. Tadi kan sudah Dokter kasih buat saya? Kenapa diambil lagi? Ini kan sudah menjadi milik saya.”“Kan sudah kamu balikin lagi ke saya?”“”gak mau. Ini sudah punya saya.”Mereka berdua berebut seperti anak kecil. Dan akhirnya mereka tertawa bersama.“Jadi kaca mata ini sudah jadi milik saya kan, Dokter?”“Iya. Itu jadi milikmu sekarang,” ucap
Dari pada dia harus mengotori tangannya hanya untuk laki-laki tidak setia seperti Pazel, lebih baik dia membalas wanita murahan ini dengan cara yang tidak akan dia lupakan. “Apa kamu bilang? Wanita mandul? Ha, ha, ha. Apa kamu mau tahu satu rahasia penting dalam keluarga ini? Maksudku satu rahasia penting yang Cuma aku saja yang tahu?” teriak Silvia sambil mendekatkan mulutnya ke arah perempuan itu.“Baiklah, aku anggap kamu menantangku untuk berkata jujur.” Dia menarik napas dan menghembuskannya. Dia menepuk tangannya satu kali, kemudian dia berkata sambil berdiri. “ Baiklah, ini saatnya kalian tahu yang sebenarnya. Laki-laki yang katamu telah menghamilimu ini tidak dapat membuahi wanita mana pun! Karena dia mandul! Jadi sudah dipastikan bahwa anak dalam rahimmu itu adalah benih dari laki-laki lain!”Penekanan kata-kata Silvia membuat Rima ketakutan setengah mati. Namun belum cukup membuat Silvia berhenti. Dia bahkan menambahkan: ”Dan, kalau saya mau, saya bisa melaporkan kalian be
Pazel kembali mengingat kejadian satu tahun yang lalu. Pada saat itu Pazel sedang mencari kado untuk hadiah satu tahun pernikahannya dengan Silvia di sebuah toko perhiasan. Di sana dia melihat seorang wanita yang ia kenal. Dia menemui wanita itu yang ternyata adalah mantan kekasihnya Rima. Mereka saling bertukar nomor handphone. Bahkan Pazel mengurungkan niatnya untuk membeli perhiasan. Dia malah mengajak Rima untuk pergi ke sebuah restoran.Meski sudah ada istri yang cantik dan setia, dia tetap tidak bisa mengabaikan perasaannya yang masih ada untuk wanita masa lalunya ini. Setelah memesan beberapa makanan dan minuman, mereka asyik dengan candaan dan cerita tentang masa lalu mereka yang menyenangkan. Sampai akhirnya Pazel mengatakan ia sangat rindu ingin bersenda gurau seperti dulu lagi. Sayangnya nomornya sudah hilang karena dia sudah mengganti semua kontak dan nomor handphonenya semenjak menikah.“Jadi Abang sudah mengganti nomor ponsel Abang?”“Iya, semenjak menikah aku menggan
Dan bodohnya dia karena begitu mudahnya percaya. Hari ini dia akan keluar dari rumah suaminya, dan digantikan oleh wanita lain. Wanita yang datang sebagai penghancur rumah tangganya.Hanya dalam hitungan menit dia akan meninggalkan orang yang pernah dianggapnya sebagai pengganti ibunya dan meninggalkan orang yang pernah ia harapkan akan menemaninya sampai di usia senja nanti.Semua harapan yang pernah ia gantungkan pada rumah tangganya hancur tak berbekas. Yang ada kini hanya kesedihan dan air mata.Tapi ia tidak akan menunjukkan kesedihannya lagi. Ia akan menjadi wanita yang mampu berdiri tanpa penopang untuk kemudian hari setidaknya ia akan berusaha kuat sampai ia keluar dari neraka rumah tangganya dan untuk seterusnya.Ia harus menunjukkan kalau ia mampu untuk bahagia tanpa suami. Toh selama ini dia hanya dianggap beban rumah tangga oleh suami dan mertuanya.Dulu dia terpaksa harus berhenti dari pekerjaannya sebagai asi
Begitu sampai di rumah ibu tirinya dia disambut dengan suka cita.“Mari masuk, Nak.” Wanita itu mengajak Silvia duduk di ruang tengah. Tidak lupa dia menyuguhkan secangkir teh hangat.“Sayang, kenapa kamu datang dengan membawa koper? Ada apa? Pernikahanmu dengan nak Pazel baik-baik saja kan?” Pertanyaan itu diutarakan ibu tirinya yang bernama Bu Iyes, saat mereka sedang duduk di ruang tamu.Rumahnya hanya mempunyai dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Ibu tirinya tinggal berdua dengan adik tirinya satu ayah lain ibu. Adik tirinya bernama Tiara, baru berumur lima belas tahun. Mereka hidup sangat sederhana. Ayah kandung Silvia pergi dari rumah semenjak adiknya berumur lima tahun.Semenjak ayahnya tidak pulang, dari sepuluh tahun yang lalu, dialah yang menjadi tulang punggung keluarganya. Sampai setelah dia menikah, dia masih membiayai ibu dan adik tirinya dengan uang belanja bulanan yang dia terima dari Pazel.
“ Beby!” teriak Silvia dengan sangat girang. Seorang laki-laki bertubuh tegap, kulit putih, rambut diikat dengan rapi dengan pakaian yang rapi pula berdiri di depan pintu. Dia adalah sahabat lama Silvia. “Gue juga mau ikutan dong,” ucap Boby yang dipanggil Beby oleh Silvia. Dulu dia lelaki yang gemuk, tetapi sekarang tubuhnya sangat ideal. Dia berlari menghampiri Silvia dan keluarganya. Mereka kembali berpelukan. Silvia tidak bisa menahan haru saat bertemu dengan sahabatnya ini. Begitu juga dengan Boby. “Bagaimana kabar lu Sil, senang bangat gue ketemu Elu,” ucapnya setelah melepas pelukan dan duduk bersebelahan dengan Silvia. “Kabar gue baik, lu sendiri bagaimana kabarnya sekarang? Bukannya lu di luar negeri, kenapa tiba-tiba ada di sini?”“Tiba-tiba gua kangen sama lu, Sil.”“Masa sih? Gue juga kangen Ama lu Beb.”“Makanya gua pulang ke Indonesia. Mungkin gua akan lama di Indonesia. Gua mau mela
Pazel benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan wanita yang sudah menemaninya selama dua tahun belakangan. Dan kenapa juga dia bisa lupa kalau dia sudah menalak wanita itu. Dia benar-benar merasa dipermalukan oleh emosinya sendiri. “Ya, kami mau beli baju pengantin, kami senang sekali karena kamu mau membantu kami memilihkan model yang akan kami pakai,” ucap wanita itu yang kembali merangkul lengan Pazel.Boby menyela pembicaraan mereka.“Sil, kakimu masih sakit. Lebih baik kamu duduk saja, ya? Biar aku yang layani mereka.”“Tidak apa-apa kok, Beb. Kakiku hanya luka sedikit. Biar aku yang melayani mereka. Tenang saja, aku gak apa-apa, kok.” Seketika mata Pazel membulat saat mendengar panggilan beb dari mulut Silvia kepada laki-laki yang ada di depannya. Dia berpikir kalau Silvia sudah berselingkuh di belakang dirinya, sama seperti yang dia lakukan di belakang Silvia. Di tatapnya laki-laki yang agak berisi ya
Ternyata Dokter Dana sudah ada di sampingnya. Dia sungguh tidak menyangka akan bertemu dengan Dokter Dana di ruang antrean.“Dokter? Dokter ada di sini?” tanya Silvia heran.“Iya, ayo ikut ke ruangan saya,” ajak Dokter Dana sambil berdiri bersiap untuk melangkah meninggalkan ruang tunggu rumah sakit itu.Silvia merasa tidak enak hati untuk menolak, tapi dia sudah mengambil nomor antrean. Jadi dia menolak secara halus.“Terima kasih, Dok. Saya sudah dapat nomor antrean. Sekarang tunggu dipanggil saja, kok.““Ga usah, ikut saya saja,” ajak Dokter Dana agak memaksa. Karena sebetulnya, dia sengaja datang ke rumah sakit, hanya untuk menunggu Silvia. Dia sangat senang saat melihat kedatangan Silvia ke rumah sakit itu.Tadinya dia sudah bersiap untuk pulang karena dia merasa Silvia tidak akan datang ke rumah sakit itu. Tapi begitu dia melihat wanita pujaannya turun dari angkutan umum, dia mengurungkan niatnya untuk pe
Karena melihat raut sedih di wajah istrinya yang berkepanjangan, akhirnya Dokter Dana mendekap istrinya dan berkata dengan yakin. "Kamu jangan khawatir lagi, Sayang. Aku pastikan bayi kita akan segera bersama kita lagi, dan penculiknya akan segera mendapat hukuman yang sangat berat.""Bagaimana, Mas bisa seyakin itu? Sudah hampir seminggu lamanya kita kehilangan bayi kita. Bahkan kita sudah mencari ke mana-mana, tapi hasilnya nihil," keluhnya dalam kesedihannya."Tapi, kita tidak boleh berputus asa, Sayang," pinta Dokter Dana yang sebetulnya menahan kesedihannya demi memberi kekuatan kepada istrinya."Lalu, apa ada perkembangan dari pencarian kita dan polisi, Mas? Aku gak sabar ingin segera bertemu sama anakku, Mas. Aku rindu, aku juga khawatir orang yang menculik anak kita tidak memberikan asupan makanan yang layak untuk anak kita. Atau jangan-jangan...." Kata-katanya terhenti saat pikirannya melayang ke hal-hal yang membuatnya takut. Air matanya tidak berhenti menetes. Melihat keka
Sebenarnya Rani merasa sangat terhina saat dia diperiksa di pos keamanan untuk bisa masuk ke rumah Perdana. Sebelumnya dulu dia tidak pernah diperiksa dulu sebelum masuk. Tapi hari ini dia harus melewati beberapa pemeriksaan dulu. "It's ok. Ini demi melancarkan rencanaku," ucapnya dalam hati. Dia melangkah masuk bersama dua orang anak buahnya yang masing-masing memegang bingkisan."Assalamualaikum," ucap Rani saat dia telah berada di ruangan tamu. Di sana sudah ada Pak Efendi dan istrinya, Pak Herman dan istrinya dan juga Dokter Dana dengan istrinya. Mereka serempak menjawab salam dari Rani."Wa'alaikummussalam.""Maaf, Dana. Om dan Tante. Juga Silvia. Aku tidak tahu, kalau Dana dan Silvia sedang ada acara kumpul keluarga," ucapnya basa-basi."Tidak apa-apa kok, Rani. Tidak ada acara penting. Silakan duduk. Perdana mencoba bersikap biasa."Iya, silakan duduk." Silvia pun berusaha bersikap ramah, walau di hatinya ada kecurigaan bahwa dialah dalang dibalik hilangnya anaknya."Terima ka
Bukan salahnya juga jika wanita itu menganggapnya lain. Dia hanya ingin berbuat baik kepada orang lain. Dia hanya ingin berbuat kebaikan kepada orang yang sedang terzalimi. Dan itu adalah perbuatan mulia. Namun, wanita itu salah kaprah terhadap kebaikan yang ditunjukannya, hingga menganggapnya sebuah tanda cinta sehingga dia menjadi tersanjung, lalu tidak terima saat melihat kenyataan yang terpampang di depan matanya."Kalau begitu, Perdana sudah melakukan perbuatan yang baik kepadamu. Lalu kenapa kamu membalasnya dengan menculik anaknya, Rani? Hentikan semua ini. Setidaknya demi Dana," bujuk Kanaya. "Bukan aku yang menculik anaknya! Tapi kamu! Kamu yang menculik anaknya, dan aku yang akan menyelamatkannya," kilah wanita itu dengan berteriak."Kamu ini sudah gila, Rani!" hardik Kanaya."Ya! Aku gila karena cinta, Kanaya. Dalam cinta semua adil," kekeh Rani yang tidak kehabisan kata-kata untuk membenarkan perbuatannya."M itueskipun begitu, tetap saja perbuatan kamu ini tidak benar, R
"Rani! Aku mohon, lepaskan aku. Aku janji akan melupakan ini semua. Kalau tidak, aku akan melaporkanmu ke polisi."Mendengar ancaman dari Kanaya, Rani jadi naik pitam. "Apa kamu bilang? Kamu mengancamku? Mau melaporkan aku ke polisi? Kamu gak sadar ya? kalau sekarang nyawamu ada di tanganku!" bentaknya. "Baiklah, kalau kamu menyetujui kesepakatan kita, aku mungkin bisa melepaskanmu," ujarnya. "Kesepakatan apa?" tanyanya dengan cemas. Ha ha ha....Setelah tertawa, dia mendekat ke muka Kania. "Sepertinya kamu sudah setuju, dan memang seharusnya kamu setuju," ocehnya yang terdengar seperti sampah di telinga Kanaya."Aku bukannya setuju. Aku hanya bertanya tentang kesepakatannya!" kilahnya dengan geram."Dengar, Kanaya. Kamu jangan menghabiskan tenagamu untuk marah-marah, karena selain kamu akan kehabisan tenaga, kamu juga akan kesulitan nantinya. kenapa? Karena aku bisa menyakitimu dan juga tiga orang yang sedang berada di ge
Sudah hari ketiga semenjak Savana menghilang. Puncak hidung Kanaya masih belum ditemukan. Nomornya sudah tidak aktif. Segala macam cara sudah dicoba untuk mencari keberadaan Kanaya, namun tak ada jejaknya. Dia bagaikan hilang ditelan bumi.Pihak kepolisian sudah menyatakan dia di daftar pencarian orang. Fotonya sudah disebar di berbagai media sosial dan di selebaran kertas sepanjang jalan di seluruh pelosok."Dasar perempuan tidak punya hati nurani," cerca Kanaya terhadap wanita yang kini tertawa lepas mendengar cercaannya. "Bisa-bisanya kamu menculik anak yang baru berumur dua hari, hanya untuk memuaskan egomu yang terluka!" hardiknya lagi.Perempuan itu menaikkan alisnya dan menghentikan tawanya lalu berkata, "Tunggu! tunggu. Tadi kamu bilang saya wanita yang tidak punya hati nurani karena menculik anak yang berumur dua hari. Betul begitu?" Perempuan itu diam sejenak seolah menunggu jawaban dari Kanaya. Namun belum sempat Kanaya berkata sepatah kata pun, dia sudah tertawa lagi terb
Ternyata ruangan itu kosong. Hanya tetesan air keran yang belum tertutup sempurna yang mengeluarkan suara tetesan air. "Sepertinya dia sengaja tidak menutup habis keran air," batin Perdana. "Dasar perempuan ular!" bentaknya sambil mengayunkan tinjunya ke udara.Dia kembali ke ruangan tengah dengan wajah yang masih merah padam.Silvia yang sudah tidak sabar mendengar keberadaan Kanaya pun bertanya."Bagaimana, Mas? Apa dia ada?"Pak Herman juga sudah tidak sabar menunggu jawaban dari menantunya itu. Dia menatap mata Perdana yang merah. Menunggu dengan tidak sabar. Meski dai tahu yang paling penting saat ini adalah keberadaan cucunya. Entah wanita itu yang menculik cucunya atau tidak, dia hanya ingin cucunya segera kembali.Pak Efendi juga satu pemikiran dengan Pak Herman. Dia ingin segera menemukan keberadaan cucunya. Tapi jika memang perempuan itu yang menculik cucunya, dia tidak akan memberikan ampun."Dia tidak ada di kamar tamu.""Jadi, dia yang menculik putri kita," ucapnya dengan
Azan subuh berkumandang bersahut-sahutan membangunkan umat muslim untuk beribadah menghada sang pencipta. Dokter Dana juga bangun untuk melaksanakan ibadah dua rakaat. Dia sengaja tidak membangunkan Silvia karena Silvia masih dalam masa nifas.Tapi karena sudah terbiasa bangun di waktu subuh, dia tetap terbangun. Semalam tidurnya terasa nyenyak, sebab dia tidak menyusui anaknya secara langsung. Savana minum susu formula yang dibuatkan oleh pengasuhnya. Hanya beberapa menit Dokter Dana pun selesai melaksanakan shalat subuh. Dia mendekat ke arah istrinya untuk memberikan sebuah ciuman."Savana gak nangis semalam ya, Mas?" tanyanya saat dia memeluk lengan suaminya."Kayaknya gak, Sayang. Yuk kita lihat," ucapnya sambil beranjak ke kamar anaknya dengan memapah Silvia.Dokter Dana mulai memutar gagang pintu kamar anaknya. Mereka masuk dan melihat ke arah suster yang terlelap sambil mengorok. Lalu dialihkannya penglihatan mereka kearah kasur bayi. Alangkah terkejutnya mereka saat mendapati
"Kaila..." Silvia dan Perdana menyebut namanya dengan setengah berteriak. Silvia tidak bisa berlari mengejar Kaila. Dia hanya merentangkan tangannya menyambut Kalia yang berlari ke arahnya diikuti seorang wanita cantik dari belakangnya."Tante. Tila kangen sama tante.""Tante juga kangen sama Kaila. Bicaramu sekarang sudah jelas, Ya?" ucap Silvia sambil mencubit pipinya."Iya dong, Tante..., Kan sekarang Tila sudah punya dedek bayi. Ini kado buat dedek bayinya, Tante," ucapnya sambil menyerahkan sebuah bungkusan kepada Silvia."Mmm, Terima kasih ya, Sayang? Repot-repot deh, Kamu," ucap Kanaya gemes sambil menerima kado dari Kaila."Gak repot kok, Tante. Aku cuma bilang bagus aja.""Cuma bilang bagus gimana sih, Sayang?""Jadi, Yang cari kadonya mama sama aku. Aku cuma ditanya sama mama, yang ini bagus, gak? Aku bilang bagus. Jadi aku gak repot, Tante."Semua orang yang mendengar jadi tertawa."Jadi kamu gak repot ya, Sayang?""Gak, Tante. Mana dedek bayinya, Tante?""Ini dedek bayinya
"Aku tidak tahu. Tapi untuk sekarang ini kamu boleh tinggal di rumah ini. Demi Aira."Mira senang sekali mendengar jawaban dari Pazel. Dia segera mengemas semua pakaiannya ke dalam lemari lagi, saat Pazel beranjak ke ruang keluarga membawa Aira sambil bercanda dengan riang. Bercanda dengan sikecil Aira membuatnya bisa menghilangkan beban pikirannya. Dia memang sudah lama menginginkan seorang anak. Kali ini dia tidak ingin melepaskannya, meski dia tahu kalau anak itu bukanlah darah dagingnya.Sementara keesokkan harinya, di sebuah rumah besar nan megah, Silvia sedang berbahagia dengan kehadiran putri mungilnya. Hari ini sedang diadakan acara pemberian nama untuk bayinya. Sekaligus acara potong rambut pertamanya. Silvia tampil cantik dengan balutan busana yang tertutup tapi elegan dan anggun. Warna dan coraknya senada dengan pakaian yang dikenakan oleh Perdana dan putri kecilnya."Saya ucapkan banyak terima kasih kepada saudara, fami