Lalu terdengar lagi sahutan dari sebrang sana. "Makanya jangan minum terus kerjaan lu! Kerjaan belum beres, lu udah minum-minum."
"Hehe, maaf Buk. Kami kira sudah beres. Sebab paketnya sudah berhasil masuk ke rumah itu, Buk.""Sekarang mereka pasti akan lebih waspada. Sebaiknya kamu lakukan rencana B dengan hati-hati.""Saya kira rencana kita yang pertama sudah berhasil, Buk. Sekarang saya lupa tentang rencana B karena terlalu banyak minum. O iya, Buk. Bagaimana kalau kita ketemu untuk membahas rencana selanjutnya.""Ok. Kamu temui saya satu jam lagi di kafe Permata. Jangan mencolok. Berlagak biasa saja. Ingat! Kali ini saya tidak mau ada kegagalan lagi.""Ok, Siap Buk."Lalu terdengar bunyi sambungan telepon terputus. Boby melihat ke arah Silvia dengan senyuman yang sumbringah."Kita berhasil Sil. Sekarang bagaimana?""Sebaiknya kita hubungi Polisi. Kita harus kerjasama dwanita itu memakai kaca mata hitam. Namun Silvia masih dapat mengenalinya dengan sangat baik. Matanya sempat membuka karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Apa aku salah lihat?"Oh tidak. Ternyata memang dia. Ternyata cinta dapat membutakan mata hati seseorang. Cinta dapat membuat seseorang menjadi lebih baik, pun sebaliknya." Silvia membatin sambil menatap wanita itu.Dada Silvia terasa sesak. Dia merasa tidak percaya kalau wanita itu akan tega berbuat hal yang sangat membahayakan untuk dirinya dan keluarganya. Dia mencoba untuk bersikap manis. Meski berpura-pura manis, tapi di dalam hatinya yang paling dalam masih ada rasa iba. Karena bagaimanapun juga wanita itu sudah pernah melakukan perbuatan baik kepadanya."Bu. Apa saya boleh tanya sedikit? Karena rencana kita ini sangat sensitif. Jadi saya harus tahu alasan Ibu melakukan ini semua," kata Silvia sembari duduk berhadapan dengannya.Wanita itu terlihat marah. Matanya membulat. Namun sesaat kemudian dia memaksakan senyumn
Silvia dan Boby mentertawakan kebodohan wanita itu."Kanaya. Sebelumnya saya salah menilai tentang kamu.""Tunggu! Siapa kalian ini. Kenapa kalian mengenal saya!" Wanita itu terlihat pucat. Dia segera berdiri dari duduknya. Dia menatap tajam ke arah Silvia dan Boby.Silvia langsung membuka topeng wajahnya. Dia tersenyum manis ke arah wanita yang bernama Kanaya tersebut."Kamu!" Kanaya menekan suaranya. Badannya gemetar menahan marah, mukanya merah padam."Ya. Saya Silvia. Orang yang akan kamu bunuh, Kanaya. MMM, sebenarnya aku kasihan sama kamu. Mau tahu kenapa?""Mau, mau, mau," ucap Boby seperti logat Upin dan Ipin."Lu mau tahu Beb. Mm,baiklah, Kanaya, kamu mau tahu gak?" Kanaya sontak merasa sakit hati, dan membentak Silvia."Apa maumu Sialan!""Bukan mauku, tapi aku mau ngasih tahu kamu kalau kamu akan mendekam di penjara sebentar lagi," ucap S
"Papa...."Dokter Dana terkejut melihat papanya dan juga ayah Silvia beserta anak buah mereka ada di sana."Maaf Papa terlambat datang, Nak." Efendi Kusuma berjalan ke arah menantunya dan membelai kepalanya dengan lembut."Ternyata menantu Papa tidak selemah yang Papa kira. Kamu bergerak lebih cepat dan berhasil melindungi keluargamu, Nak. Papa benar-benar beruntung memiliki menantu sepertimu.""Terima kasih Pa, ini juga berkat do'a papa, ayah dan mas Dana juga semua keluarga kita Pa," ucap Silvia dengan ramah."Lalu di mana Perdana? Kenapa dia tidak datang? Aku pasti akan menghukum anak itu," ucap Efendi dengan marahnya."Mas Dana ada di sini kok, Pa?" Silvia cepat mengatakan kalau suaminya ada agar papa mertuanya tidak marah kepada suaminya. Namun suaminya segera memberi isyarat agar dia tidak memberitahu penyamarannya.Efendi melihat ke arah Kanaya yang sudah dibekuk Polisi dan meminta agar segera
Dia sangat mengenali suara itu. Dia tidak merasa nyaman saat mendengar suara itu. Tapi karena dia sudah terlanjur menerima panggilannya, terpaksa dia harus bersikap baik dan seolah tidak ada masalah diantara mereka."Ada apa?""Maaf kalau aku mengganggumu, Silvia. Mmm, a-aku cuma mau mengucapkan terima kasih, karena kamu sudah mau membantuku, sehingga hukumanku diringankan. Dan sekarang, aku sudah bebas dari penjara. Terima kasih banyak atas bantuanmu, Dek....""Panggil nama saja. Aku lebih nyaman jika dipanggil dengan namaku. Dan soal bantuan, itu bukan dariku. Suamiku yang membantu memberikan jaminan. Jadi tidak perlu berterima kasih kepadaku. Kalau tidak ada lagi yang mau dibicarakan, mohon maaf, saya akan matikan sambungan, sbb saya mau istirahat.""Hahaha.... Sombong sekali kamu sekarang, ya. Kamu lupa? Kamu itu dulu cuma seorang Upik abu. Jangan seperti kacang yang lupa dengan kulitnya dong," ujar Lelaki yang ternyata ada
Kata-katanya terhenti saat Dokter Dana menutup mulut Silvia dengan bibirnya. Tapi sayang sekali, saat Silvia sedang melayang dalam cumbuan Dokter Dana, terdengar lagi suara ketukan pintu yang menghentikan aksi Dokter Dana."Biar aku yang buka, Sayang. Kamu makan dulu, ya? Nanti malah keburu dingin makanannya.""Gimana, Dana? Silvia sudah bangun?" ucap seseorang yang ternyata mamanya."Sudah, Ma. Baru saja bangun. Masuk, Ma.""Apa Mama tidak mengganggu kalian?""Tidak sama sekali kok, Ma." Dokter Dana memberi jalan untuk mamanya. Mamanya yang terlihat awet muda itu berjalan ke arah Silvia yang sedang menyuap nasinya.Dengan bahagia dan penuh kasih sayang mamanya menyapa Silvia."Gimana, Sayang? Enak tidak masakan Mama?""Mmm, ini enak banget, Ma. Mama yang masak, ya?""Iya, dong. Mama sengaja masak untuk menantu kesayangan Mama. Habisin ya, Sayang?""Iya,
Jantung Silvia berdetak lebih cepat dari biasanya. "Kenapa Papa terlihat begitu marah? Apa karena Mama memberikanku hadiah yang sangat mahal ini atau karena hadiah ini dari mamanya Papa?" Silvia membatin dalam diam."Apa-apaan sih, Papa. Jangan buat menantu Mama syok dong Pa.""Tapi Mama gak bisa dong bilang ke menantu Papa kalau cuma mama saja yang bahagia." Papa mertua Silvia masih terlihat marah namun setelah melihat ke arah Silvia wajahnya berubah menjadi lembut dan berkata. "Maaf, Sayang. Papa cuma bercanda. Jangan terkejut ya Sayang," ucap papa mertuanya dengan tersenyum sambil membelai rambut Silvia."Papa kok bisa masuk main nyelonong saja ke kamar menattu Sih?" Silvia kembali tegang melihat mama mertuanya kembali memarahi papa mertuanya."Tadi pintu kamarnya terbuka, Sayang. Papa dengar dari luar tadi rame banget. Papa kan juga mau ikut nimbrung. Papa kan kangen juga sama cucu Papa, Mah. Oh iya. Papa juga bawa hadiah
"Maafkan aku, Bu. Ini semua salahku. Jika saja aku tidak terobsesi dengan Rima, tentu kita tidak akan kehilangan Silvia. Dan jika saja aku tidak berusaha untuk menjebak Silvia, pasti aku tidak akan di penjara. Semua ini salahku, Ibu." Suaranya dan tangisnya saling berebut untuk mengambil Kendari."Tidak, Nak. Semua ini salah Ibu. Jika saja Ibu tidak menghasut kamu terus menerus, pasti semua ini tidak akan terjadi." Tangisnya tak kalah pilu dibanding anaknya. Setelah terisak beberapa saat, dia melanjutkan kata-katanya lagi."Sebaiknya kita lanjutkan hidup kita tanpa melihat ke belakang, Nak. Jadikan semua yang telah terjadi sebagai pelajaran berharga, agar tidak terjadi lagi dikemudian hari," ucapnya membujuk anaknya.Pazel terdiam mendengar kata-kata ibunya. Dia melihat ada ketulusan dari kata-kata ibunya. Dia bersyukur ibunya sekarang sudah menjadi pribadi yang lebih baik. Tidak lagi culas dan penuh dengan tipu daya seperti biasanya. Tidak
Silvia berjalan dengan senyum yang tidak lepas dari wajahnya. Dia berjalan menuju ruangan Dokter kandungan yang sudah dipesannya."Halo Dana, lama tidak ketemu" sapa seorang wanita berpakaian serba putih menghampiri Dokter Dana dan Silvia."Halo juga Dokter Wati," jawab Dokter Dana sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman."Sayang, ini Dokter Wati, dia ini Dokter kandungan terbaik di negeri ini,""O ya? Aku Silvia, Dok. Senang bertemu denganmu." Silvia mengulurkan tangannya dengan ramah."Aku juga senang bisa bertemu denganmu Silvia. Sebenarnya aku tidak se istimewa yang suamimu katakan. Karena masih banyak Dokter yang lebih baik dari aku, salah satunya Dokter Dana. Beliau Dokter yang hebat. Setiap operasi yang beliau lakukan tidak pernah gagal. Sedangkan aku hanya seorang Dokter kandungan.""Karena seorang Dokter kandungan banyak nyawa bayi yang terselamatkan. Itu saja sudah sangat istimewa men
Karena melihat raut sedih di wajah istrinya yang berkepanjangan, akhirnya Dokter Dana mendekap istrinya dan berkata dengan yakin. "Kamu jangan khawatir lagi, Sayang. Aku pastikan bayi kita akan segera bersama kita lagi, dan penculiknya akan segera mendapat hukuman yang sangat berat.""Bagaimana, Mas bisa seyakin itu? Sudah hampir seminggu lamanya kita kehilangan bayi kita. Bahkan kita sudah mencari ke mana-mana, tapi hasilnya nihil," keluhnya dalam kesedihannya."Tapi, kita tidak boleh berputus asa, Sayang," pinta Dokter Dana yang sebetulnya menahan kesedihannya demi memberi kekuatan kepada istrinya."Lalu, apa ada perkembangan dari pencarian kita dan polisi, Mas? Aku gak sabar ingin segera bertemu sama anakku, Mas. Aku rindu, aku juga khawatir orang yang menculik anak kita tidak memberikan asupan makanan yang layak untuk anak kita. Atau jangan-jangan...." Kata-katanya terhenti saat pikirannya melayang ke hal-hal yang membuatnya takut. Air matanya tidak berhenti menetes. Melihat keka
Sebenarnya Rani merasa sangat terhina saat dia diperiksa di pos keamanan untuk bisa masuk ke rumah Perdana. Sebelumnya dulu dia tidak pernah diperiksa dulu sebelum masuk. Tapi hari ini dia harus melewati beberapa pemeriksaan dulu. "It's ok. Ini demi melancarkan rencanaku," ucapnya dalam hati. Dia melangkah masuk bersama dua orang anak buahnya yang masing-masing memegang bingkisan."Assalamualaikum," ucap Rani saat dia telah berada di ruangan tamu. Di sana sudah ada Pak Efendi dan istrinya, Pak Herman dan istrinya dan juga Dokter Dana dengan istrinya. Mereka serempak menjawab salam dari Rani."Wa'alaikummussalam.""Maaf, Dana. Om dan Tante. Juga Silvia. Aku tidak tahu, kalau Dana dan Silvia sedang ada acara kumpul keluarga," ucapnya basa-basi."Tidak apa-apa kok, Rani. Tidak ada acara penting. Silakan duduk. Perdana mencoba bersikap biasa."Iya, silakan duduk." Silvia pun berusaha bersikap ramah, walau di hatinya ada kecurigaan bahwa dialah dalang dibalik hilangnya anaknya."Terima ka
Bukan salahnya juga jika wanita itu menganggapnya lain. Dia hanya ingin berbuat baik kepada orang lain. Dia hanya ingin berbuat kebaikan kepada orang yang sedang terzalimi. Dan itu adalah perbuatan mulia. Namun, wanita itu salah kaprah terhadap kebaikan yang ditunjukannya, hingga menganggapnya sebuah tanda cinta sehingga dia menjadi tersanjung, lalu tidak terima saat melihat kenyataan yang terpampang di depan matanya."Kalau begitu, Perdana sudah melakukan perbuatan yang baik kepadamu. Lalu kenapa kamu membalasnya dengan menculik anaknya, Rani? Hentikan semua ini. Setidaknya demi Dana," bujuk Kanaya. "Bukan aku yang menculik anaknya! Tapi kamu! Kamu yang menculik anaknya, dan aku yang akan menyelamatkannya," kilah wanita itu dengan berteriak."Kamu ini sudah gila, Rani!" hardik Kanaya."Ya! Aku gila karena cinta, Kanaya. Dalam cinta semua adil," kekeh Rani yang tidak kehabisan kata-kata untuk membenarkan perbuatannya."M itueskipun begitu, tetap saja perbuatan kamu ini tidak benar, R
"Rani! Aku mohon, lepaskan aku. Aku janji akan melupakan ini semua. Kalau tidak, aku akan melaporkanmu ke polisi."Mendengar ancaman dari Kanaya, Rani jadi naik pitam. "Apa kamu bilang? Kamu mengancamku? Mau melaporkan aku ke polisi? Kamu gak sadar ya? kalau sekarang nyawamu ada di tanganku!" bentaknya. "Baiklah, kalau kamu menyetujui kesepakatan kita, aku mungkin bisa melepaskanmu," ujarnya. "Kesepakatan apa?" tanyanya dengan cemas. Ha ha ha....Setelah tertawa, dia mendekat ke muka Kania. "Sepertinya kamu sudah setuju, dan memang seharusnya kamu setuju," ocehnya yang terdengar seperti sampah di telinga Kanaya."Aku bukannya setuju. Aku hanya bertanya tentang kesepakatannya!" kilahnya dengan geram."Dengar, Kanaya. Kamu jangan menghabiskan tenagamu untuk marah-marah, karena selain kamu akan kehabisan tenaga, kamu juga akan kesulitan nantinya. kenapa? Karena aku bisa menyakitimu dan juga tiga orang yang sedang berada di ge
Sudah hari ketiga semenjak Savana menghilang. Puncak hidung Kanaya masih belum ditemukan. Nomornya sudah tidak aktif. Segala macam cara sudah dicoba untuk mencari keberadaan Kanaya, namun tak ada jejaknya. Dia bagaikan hilang ditelan bumi.Pihak kepolisian sudah menyatakan dia di daftar pencarian orang. Fotonya sudah disebar di berbagai media sosial dan di selebaran kertas sepanjang jalan di seluruh pelosok."Dasar perempuan tidak punya hati nurani," cerca Kanaya terhadap wanita yang kini tertawa lepas mendengar cercaannya. "Bisa-bisanya kamu menculik anak yang baru berumur dua hari, hanya untuk memuaskan egomu yang terluka!" hardiknya lagi.Perempuan itu menaikkan alisnya dan menghentikan tawanya lalu berkata, "Tunggu! tunggu. Tadi kamu bilang saya wanita yang tidak punya hati nurani karena menculik anak yang berumur dua hari. Betul begitu?" Perempuan itu diam sejenak seolah menunggu jawaban dari Kanaya. Namun belum sempat Kanaya berkata sepatah kata pun, dia sudah tertawa lagi terb
Ternyata ruangan itu kosong. Hanya tetesan air keran yang belum tertutup sempurna yang mengeluarkan suara tetesan air. "Sepertinya dia sengaja tidak menutup habis keran air," batin Perdana. "Dasar perempuan ular!" bentaknya sambil mengayunkan tinjunya ke udara.Dia kembali ke ruangan tengah dengan wajah yang masih merah padam.Silvia yang sudah tidak sabar mendengar keberadaan Kanaya pun bertanya."Bagaimana, Mas? Apa dia ada?"Pak Herman juga sudah tidak sabar menunggu jawaban dari menantunya itu. Dia menatap mata Perdana yang merah. Menunggu dengan tidak sabar. Meski dai tahu yang paling penting saat ini adalah keberadaan cucunya. Entah wanita itu yang menculik cucunya atau tidak, dia hanya ingin cucunya segera kembali.Pak Efendi juga satu pemikiran dengan Pak Herman. Dia ingin segera menemukan keberadaan cucunya. Tapi jika memang perempuan itu yang menculik cucunya, dia tidak akan memberikan ampun."Dia tidak ada di kamar tamu.""Jadi, dia yang menculik putri kita," ucapnya dengan
Azan subuh berkumandang bersahut-sahutan membangunkan umat muslim untuk beribadah menghada sang pencipta. Dokter Dana juga bangun untuk melaksanakan ibadah dua rakaat. Dia sengaja tidak membangunkan Silvia karena Silvia masih dalam masa nifas.Tapi karena sudah terbiasa bangun di waktu subuh, dia tetap terbangun. Semalam tidurnya terasa nyenyak, sebab dia tidak menyusui anaknya secara langsung. Savana minum susu formula yang dibuatkan oleh pengasuhnya. Hanya beberapa menit Dokter Dana pun selesai melaksanakan shalat subuh. Dia mendekat ke arah istrinya untuk memberikan sebuah ciuman."Savana gak nangis semalam ya, Mas?" tanyanya saat dia memeluk lengan suaminya."Kayaknya gak, Sayang. Yuk kita lihat," ucapnya sambil beranjak ke kamar anaknya dengan memapah Silvia.Dokter Dana mulai memutar gagang pintu kamar anaknya. Mereka masuk dan melihat ke arah suster yang terlelap sambil mengorok. Lalu dialihkannya penglihatan mereka kearah kasur bayi. Alangkah terkejutnya mereka saat mendapati
"Kaila..." Silvia dan Perdana menyebut namanya dengan setengah berteriak. Silvia tidak bisa berlari mengejar Kaila. Dia hanya merentangkan tangannya menyambut Kalia yang berlari ke arahnya diikuti seorang wanita cantik dari belakangnya."Tante. Tila kangen sama tante.""Tante juga kangen sama Kaila. Bicaramu sekarang sudah jelas, Ya?" ucap Silvia sambil mencubit pipinya."Iya dong, Tante..., Kan sekarang Tila sudah punya dedek bayi. Ini kado buat dedek bayinya, Tante," ucapnya sambil menyerahkan sebuah bungkusan kepada Silvia."Mmm, Terima kasih ya, Sayang? Repot-repot deh, Kamu," ucap Kanaya gemes sambil menerima kado dari Kaila."Gak repot kok, Tante. Aku cuma bilang bagus aja.""Cuma bilang bagus gimana sih, Sayang?""Jadi, Yang cari kadonya mama sama aku. Aku cuma ditanya sama mama, yang ini bagus, gak? Aku bilang bagus. Jadi aku gak repot, Tante."Semua orang yang mendengar jadi tertawa."Jadi kamu gak repot ya, Sayang?""Gak, Tante. Mana dedek bayinya, Tante?""Ini dedek bayinya
"Aku tidak tahu. Tapi untuk sekarang ini kamu boleh tinggal di rumah ini. Demi Aira."Mira senang sekali mendengar jawaban dari Pazel. Dia segera mengemas semua pakaiannya ke dalam lemari lagi, saat Pazel beranjak ke ruang keluarga membawa Aira sambil bercanda dengan riang. Bercanda dengan sikecil Aira membuatnya bisa menghilangkan beban pikirannya. Dia memang sudah lama menginginkan seorang anak. Kali ini dia tidak ingin melepaskannya, meski dia tahu kalau anak itu bukanlah darah dagingnya.Sementara keesokkan harinya, di sebuah rumah besar nan megah, Silvia sedang berbahagia dengan kehadiran putri mungilnya. Hari ini sedang diadakan acara pemberian nama untuk bayinya. Sekaligus acara potong rambut pertamanya. Silvia tampil cantik dengan balutan busana yang tertutup tapi elegan dan anggun. Warna dan coraknya senada dengan pakaian yang dikenakan oleh Perdana dan putri kecilnya."Saya ucapkan banyak terima kasih kepada saudara, fami