Suasana dalam ruangan masih tegang ketika pintu konferensi terbuka, dan seorang wanita muda dengan postur anggun melangkah masuk.Dia mengenakan gaun sederhana namun berkelas, menandakan bahwa dirinya bukan orang sembarangan. Seorang tamu yang mengenalinya langsung berbisik dengan nada terkejut."Itu... Alidya Harumi!" seru seseorang dengan penuh antusias.Namun, ketika wanita itu semakin mendekat, beberapa orang mulai menyadari sesuatu yang janggal. "Tunggu, bukan! Itu bukan Alidya, itu... adiknya, Danila Harumi!"Bisik-bisik di ruangan semakin ramai, dan semua mata kini tertuju pada Danila. Wajahnya tampak tenang, namun matanya tajam, seolah menilai situasi yang tengah terjadi.Dengan langkah percaya diri, ia melangkah ke tengah ruangan dan melihat ke arah wanita yang mengaku sebagai Maison Laverne.Wanita itu yang memperkenalkan dirinya Bernama asli Kiara sempat menunjukkan tanda-tanda gugup saat melihat Danila masuk.Namun, dengan cepat ia kembali ke ekspresi percaya dirinya, terut
Suasana mendadak hening. Semua kepala serentak menoleh ke arah pintu yang kini terbuka lebar, memperlihatkan seorang wanita dengan aura kuat dan berwibawa.Langkahnya mantap, sorot matanya tajam menusuk. Semua yang hadir langsung mengenalinya."Nona Alidya!" seru beberapa orang dengan nada kaget.Danila yang awalnya bersemangat melihat kedatangan kakaknya, langsung tersenyum dan mendekat. "Kakak! Syukurlah kakak datang! Sekarang kita bisa menyingkirkan penipu ini!"Dengan penuh semangat, Danila menunjuk ke arah Naira, seolah yakin bahwa kakaknya akan segera mendukungnya.Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi.PLAK!Tamparan keras mendarat di pipi Danila, membuat semua orang terpaku dalam keheningan. Danila sendiri terhuyung mundur, menatap kakaknya dengan mata terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi."K-Kakak...?" suaranya gemetar.Raisa yang melihat celah langsung melangkah maju, berusaha mengontrol situasi. "Nona Alidya, mungkin Anda keliru. Penipu yang sebenarn
Setelah suasana ruangan kembali tenang, Alidya menoleh ke arah Naira. Sorot matanya yang tajam kini melunak, menyiratkan perasaan bersalah yang mendalam.Dengan langkah mantap, ia mendekati wanita yang selama ini ia hormati, membawa serta rasa sesal yang begitu mendalam."Guru..." suara Alidya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Lalu, dengan penuh penyesalan, ia menundukkan kepalanya dalam-dalam."Saya meminta maaf atas semua masalah yang telah terjadi. Saya seharusnya lebih cepat datang dan tidak membiarkan nama Anda dihina seperti ini."Naira terdiam sejenak, menatap muridnya yang kini menunjukkan ketulusan. Ia bisa melihat bahwa Alidya benar-benar merasa bersalah atas kejadian ini. Dengan senyum tipis, Naira menghela napas pelan."Alidya," panggilnya lembut, "kesetiaanmu sudah cukup menunjukkan siapa dirimu. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Yang penting, kau sudah bertindak dengan benar pada akhirnya."Mata Alidya berkaca-kaca, lalu mengangguk tegas. "Terima kasih, Gur
Naira masih berbaring di sofa, merasakan kehangatan genggaman tangan Arga. Meski tubuhnya lelah, hatinya terasa lebih ringan setelah semua yang terjadi.Arga duduk di sampingnya, jemarinya mengusap lembut punggung tangannya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir.Naira mengangguk pelan. "Aku hanya butuh sedikit waktu untuk beristirahat. Terima kasih karena selalu ada untukku."Arga tersenyum, lalu menghela napas panjang. "Aku sudah memecat Raisa. Dia tidak akan mengganggumu lagi. Kau tidak perlu khawatir tentangnya."Naira terdiam sesaat, lalu mengangguk kecil. "Terima kasih, Arga. Aku tidak ingin hal ini berlarut-larut."Arga menatapnya dengan penuh kelembutan. "Kau sudah bekerja terlalu keras. Aku ingin kau pulang lebih awal hari ini dan beristirahat dengan baik. Aku akan mengurus semua urusan di kantor."Naira tersenyum kecil, merasa lega karena Arga begitu memperhatikannya. "Baiklah, aku akan pulang lebih awal."Arga mengusap pipinya perlahan. "Aku akan mengantarmu s
Malam itu, di kamar mereka yang remang-remang dengan pencahayaan hangat, Arga menatap Naira yang tengah bersandar di dadanya.Jemarinya dengan lembut memainkan rambut istrinya, sementara pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian hari itu."Jadi, apa rencanamu selanjutnya setelah Raisa dipecat?" Arga bertanya dengan suara rendah, matanya penuh perhatian menatap wajah Naira.Naira tersenyum tipis, sorot matanya penuh tekad. "Aku ingin dia kehilangan segalanya, pekerjaan, reputasi, dan setiap peluang di dunia bisnis. Biarkan dia merasakan kehancuran yang sama seperti yang dia rencanakan untukku."Arga mengangguk, ekspresinya tetap tenang meski ada kilatan tajam di matanya. "Aku bisa mengurus itu. Aku akan menghubungi beberapa koneksi dan memastikan tidak ada satu pun perusahaan besar yang mau menerimanya."Naira mengangkat wajahnya, menatap Arga penuh cinta. "Terima kasih, sayang. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu."Arga mengusap pipi istrinya dengan lembut, menatapnya dengan sorot mata t
Raisa duduk di depan layar laptopnya, matanya memandang kosong pada layar yang menampilkan satu lagi email penolakan.Tangannya mengepal erat, wajahnya memerah karena frustrasi. Sudah lebih dari dua puluh perusahaan yang ia lamar, namun semuanya menolak tanpa memberikan alasan yang jelas."Ini pasti ulah Arga!" desisnya marah, suaranya penuh kebencian.Ayahnya, Pak Alfian, berdiri di belakangnya dengan wajah keruh. Sebagai seorang pengusaha senior, ia masih memiliki pengaruh.Namun setiap kali ia mencoba menghubungi kenalan bisnisnya untuk membantu Raisa mendapatkan pekerjaan, mereka selalu menolak secara halus atau bahkan langsung memutuskan komunikasi, seolah takut hanya dengan menyebut nama keluarganya."Aku tidak mengerti, Raisa," kata Pak Alfian, suaranya berat dan penuh ketakutan. "Bahkan perusahaan-perusahaan yang berutang budi padaku pun menolak membantumu. Ini... ini bukan kebetulan." Raisa menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram ujung meja hingga buku-buku jarinya memu
Reyhan berdiri di depan pintu apartemen Naira, dadanya naik turun dengan napas yang tertahan.Tangannya terangkat, ragu-ragu sebelum akhirnya mengetuk. Tiga ketukan pelan namun penuh harap. Hening. Tidak ada jawaban.Ia menelan ludah, lalu mengetuk lagi. Kali ini lebih keras. Jantungnya berdetak lebih cepat saat langkah kaki terdengar dari dalam.Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok yang selama ini menghantuinya dalam setiap mimpi buruk dan penyesalan.Naira.Wanita itu berdiri di hadapannya dengan tatapan yang dingin dan datar, seolah kehadirannya bukanlah sesuatu yang berarti.Rambut panjangnya tergerai rapi, wajahnya cantik seperti yang selalu Reyhan ingat, tetapi ada sesuatu yang berbeda.Mata itu, mata yang dulu penuh cinta saat menatapnya, kini hanya dipenuhi dengan sesuatu yang jauh lebih tajam. Jauh lebih berbahaya.Reyhan merasa dadanya sesak."Ada apa?" suara Naira terdengar tenang, hampir terlalu tenang, seolah ia tidak terganggu sedikit pun denga
Reyhan berdiri di depan pintu apartemen Naira yang kini tertutup rapat, seperti tembok yang tak mungkin ia tembus lagi.Jemarinya masih menggenggam erat gelang kecil itu, seakan bisa menghidupkan kembali waktu yang telah hilang. Tapi tidak. Waktu tak akan pernah bisa diputar kembali.Dadanya terasa sesak. Bukan hanya karena kata-kata tajam Naira, tetapi juga karena kenyataan yang harus ia hadapi.Wanita yang dulu begitu mencintainya, kini bahkan tak lagi ingin melihatnya. Wanita yang pernah ia abaikan, kini membalasnya dengan tatapan dingin yang menusuk.Dan ironisnya, di saat ia baru menyadari betapa berharganya Naira, semuanya telah terlambat.Dari balik jendela, Naira berdiri diam, menyaksikan sosok Reyhan yang mulai melangkah pergi.Ia seharusnya merasa puas, seharusnya merasa menang karena bisa melihat pria itu merasakan kepedihan yang dulu pernah ia rasakan.Tapi mengapa ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa begitu sakit? Jemarinya menggenggam kerah gaunnya, berusaha menahan s
Beberapa hari setelah kunjungan ke butik Bu Rina.Langit sore menghitam perlahan saat Naira melangkah keluar dari kafe kecil dekat kantornya.Hatinya resah, seolah ada sesuatu yang salah. Udara terasa lebih dingin dari biasanya."Naira."Suara itu serak, berat, dan penuh beban menghentikan langkahnya.Ia menoleh.Di sana, berdiri Reyhan.Tubuhnya lebih kurus, matanya cekung dan berkilat aneh, seakan dihantui sesuatu yang tak bisa ia lepaskan.Naira membeku. Jantungnya berdegup keras di dadanya."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya tegang, melindungi dirinya sendiri.Reyhan melangkah mendekat perlahan. Ada luka dalam tatapannya dan kegilaan samar yang membuat Naira bergidik."Aku cuma mau lihat kamu," bisik Reyhan. "Aku cuma mau pastikan... kamu masih Naira yang aku kenal."Naira menggenggam erat tali tasnya, menahan diri untuk tidak lari."Kita sudah selesai, Reyhan," katanya dingin. "Kamu harus terima itu."Namun Reyhan tertawa kecil, getir, seolah mendengar sesuatu yang absurd.
Tiga Bulan KemudianPagi itu, Naira melangkah masuk ke kantor, mencoba menyesuaikan diri kembali setelah berbulan-bulan absen.Meskipun senyumnya terlihat sempurna, ada perasaan yang sulit disembunyikan.Dulu, kantor ini adalah tempat penuh kebahagiaan, tetapi sekarang terasa penuh ketegangan dan kebingungan.Begitu melangkah ke ruangannya, suara manis Liza langsung menyapa, terdengar begitu ceria, bahkan sedikit berlebihan."Naira, Kak!" Liza menyapanya dengan senyum yang tampak lebih lebar dari biasanya.Naira menoleh, dan senyumnya kembali muncul meskipun sedikit terpaksa. "Hai, Liza," jawab Naira dengan nada datar, menahan perasaan yang semakin berat di dadanya.Liza melangkah lebih dekat, mata berbinar dengan tujuan yang tak jelas. "Aku dengar kamu sudah kembali. Kak Naira, kamu baik-baik saja?" tanyanya, tampaknya sangat peduli.Naira merasakan sesuatu yang ganjil. Liza terlalu berusaha baik. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik pertanyaan itu.Liza jelas berusaha menunjukkan b
Rumah Keluarga Reyhan, 04.23Pintu rumah Reyhan berderit pelan saat dibuka.Tubuh Reyhan basah kuyup, bajunya kotor dengan bercak tanah dan lumpur. Matanya merah, wajahnya keras, penuh amarah yang ditahan.Bu Maya yang sejak tadi gelisah di ruang tamu langsung bangkit, menghampiri dengan langkah tergesa."Reyhan! Gimana, Nak? Kamu ketemu Raisa, kan? Dia nggak apa-apa, kan?!" seru Bu Maya dengan nada cemas, matanya membelalak penuh harap.Reyhan hanya diam, tatapannya kosong.Tanpa menjawab, ia melepas jaket kotor itu dan melemparkan ke sofa dengan kasar, berjalan menuju kamarnya."Reyhan, jawab, Nak! Raisa gimana?! Jangan diam aja!" teriak Bu Maya, suaranya pecah.Langkah Reyhan mendadak terhenti.Ia membalikkan badan perlahan, wajahnya merah karena menahan emosi."BU!" Reyhan menghardik, suaranya meledak. "Kenapa Ibu nggak pernah berhenti BICARA?!"Bu Maya terkejut, tubuhnya gemetar."Semua ini... semua kekacauan ini... itu KARENA IBU!" teriak Reyhan, dadanya naik turun menahan amara
Jalan Raya Margasari, 23.29Hujan mengguyur semakin deras. Di tengah malam basah itu, Reyhan masih berlutut di samping tubuh Raisa, yang tergeletak tak berdaya, terbungkus dingin dan sepi.Darah bercampur air hujan, membentuk aliran kecil yang mengalir menjauh, seolah ingin membawa pergi semua dosa malam ini.Alex kini menatapnya dalam diam. Tidak ada kemarahan di wajahnya, hanya sesuatu yang jauh lebih mengerikan: kekecewaan dingin.Alex berhenti di depan Reyhan, menghela napas panjang, lalu berjongkok hingga sejajar dengan wajah bawahannya itu."Aku pikir kamu lebih pintar dari ini, Reyhan," katanya datar. "Menyembunyikan Raisa... dariku?"Reyhan ingin membela diri, ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Tubuhnya menggigil bukan hanya karena hujan, tapi karena takut.Alex menatap tubuh Raisa sesaat, lalu kembali menatap Reyhan, mata tajamnya seperti menelanjangi setiap kebohongan."Aku seharusnya membereskanmu sekarang juga," lanjutnya pelan, nadanya nyaris ramah. "Seharusnya aku
Langit kota diselimuti mendung pekat, gerimis turun menyapu aspal yang dingin. Reyhan menyetir pulang dengan kecepatan nyaris melanggar batas, dadanya terasa sesak.Pikirannya masih terguncang oleh satu pesan singkat dari Alex, bos sekaligus lelaki yang selama ini bisa menggenggam lehernya dalam satu perintah:“Aku akan membereskan satu urusan malam ini. Selesaikan proposal perencanaan malam ini.”Urusan.Reyhan langsung tahu: itu tentang Raisa."Jangan sampai…" gumamnya, jari-jarinya mencengkeram setir, napasnya memburu.Begitu sampai di rumah, dia langsung melompat keluar dari mobil, membanting pintu dan menerobos masuk.“RAISA!” suaranya menggema keras. Lila meringkuk di sudut, menutup telinga. Bu Maya muncul dari dapur dengan wajah panik.Braak!Pintu rumah dibuka dengan keras. Reyhan masuk terburu-buru, napasnya memburu. Jaketnya basah oleh hujan gerimis yang baru saja mengguyur kota."Raisa!" teriaknya dari pintu, suaranya menggema, nyaris putus asa.Tak ada jawaban. Rumah teras
Dua hari kemudian, matahari sore menyinari pelataran rumah sakit, keemasannya membias di kaca jendela, menyelimuti dunia seolah ikut bersyukur atas kembalinya satu jiwa dari ambang maut.Kursi roda didorong perlahan oleh seorang perawat, roda menggesek lantai dengan suara lirih, seolah ikut menghormati momen ini. Naira, dengan selimut tipis menutupi kakinya, tampak lemah tapi matanya tak lagi kosong.Di sampingnya, Arga berjalan setia. Setiap langkahnya bagai janji sunyi, bahwa ia tak akan membiarkan Naira terluka lagi.Rambut Naira masih belum ditata rapi, kulitnya pucat, tapi ada cahaya tak tergoyahkan di sorot matanya.Cahaya dari perempuan yang tak mau jadi korban lagi. Bukan dari siapa pun.Bu Rina, ibu mertua Naira, menahan air mata yang sudah membentuk barisan di pelupuk. Suaranya bergetar, tangan menggenggam dada.“Alhamdulillah, ya Allah… akhirnya kamu bisa pulang, Nak. Maafin Ibu kalau selama ini terlalu keras.”Naira menoleh pelan, bibirnya tersenyum tipis. “Terima kasih, B
Dirumah Reyhan, lampu kuning temaram menggantung di sudut ruangan, menyinari tubuh Raisa yang terbaring di sofa panjang.Selimut tipis membungkus tubuhnya, tapi bagian lengannya yang terbuka masih menunjukkan bekas luka-luka menghitam dan memar yang belum sepenuhnya hilang.Beberapa masih segar, garis merah keunguan menyapu kulit pucatnya.Ia memejamkan mata, mencoba tidur. Tapi suara dari dapur membuatnya mendengus pelan.Bu Maya tak pernah lelah berbicara tentang apapun, kepada siapa pun, bahkan jika tak ada yang mendengarkan.“Sudah seminggu tinggal di sini, nggak ada perkembangan. Kerja juga nggak, bantu-bantu juga nggak,” ocehnya sambil memotong sayuran.Suaranya cukup keras untuk sampai ke ruang tengah. “Cuma diam aja kayak patung. Anak zaman sekarang, memang keterlaluan.”Raisa membuka mata perlahan. Kedua bola matanya tajam. Ia menggeser duduk, membetulkan selimutnya.“Sudah Reyhan kasih makan, kasih kamar, sekarang tinggal nyuruh-nyuruh. Dasar nggak tahu diri.”Ia mencoba men
Beberapa hari setelah Naira sadar. Naira duduk di kursi roda, didampingi Tari. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju taman kecil di belakang gedung.Angin malam menyapa lembut, dan bunga melati mulai bermekaran, menyebarkan aroma tenang. Tapi hati Naira tidak tenang.Tatapannya jauh. Kosong, tapi dalam.“Na… kamu yakin mau keluar malam-malam gini?” tanya Tari sambil mendorong pelan kursi roda.Naira tersenyum kecil. “Aku cuma… butuh lihat langit. Rasanya udah lama banget nggak hidup…”Tari menunduk. Lalu berbisik lirih, “Kamu masih ingat sesuatu?”Naira menoleh. Tatapannya berubah. Lebih tajam. Lebih sadar.“Sedikit,” bisiknya. “Aku ingat... ada suara. Lembut, tapi seperti pisau. Ada sesuatu disuntikkan. Aku merasa sangat ngantuk. Terlalu ngantuk.”Tari berhenti mendorong. “Kamu yakin?”Naira mengangguk. “Dan aku yakin… itu bukan suster. Bukan dokter.”Sunyi.Angin mendesis pelan seperti menyampaikan peringatan.“Liza,” kata Tari pelan. “Aku juga curiga. Waktu itu aku p
Hujan tak lagi turun pelan, tapi mengguyur kota dengan derasnya seolah langit pun tak kuat menahan beban rahasia yang selama ini tertahan.Petir menyambar di kejauhan, bayangannya memantul di kaca jendela kamar rumah sakit yang temaram.Tari masih duduk di sisi ranjang, wajahnya letih, matanya sembab. Buku doa di tangannya mulai lusuh karena terlalu sering dibuka.Sesekali ia membisikkan ayat-ayat pendek di telinga sahabatnya, seperti menuntun jiwa Naira untuk kembali dari dunia sunyi yang tak bisa dijangkau siapa pun.Tapi malam itu... ada yang berbeda.Jemari Naira bergerak.Sekilas. Sangat pelan. Tapi cukup untuk membuat napas Tari terhenti.Dia membeku. Lalu menoleh cepat."Naira...?" suaranya lirih, penuh ketakutan, harapan, dan ketidakpercayaan. Ia mendekat, wajahnya nyaris sejajar dengan wajah pucat sahabatnya.Kelopak mata Naira bergetar. Pelan. Lalu terbuka… seperti kelopak bunga yang merekah setelah badai panjang.Mata itu masih sayu. Pandangannya kabur. Tapi saat ia menatap