Setelah pertemuan yang cukup menegangkan di rumah Pak Alfian dan Bu Ratna, Bu Maya dan Reyhan akhirnya pulang.Sepanjang perjalanan, Bu Maya tampak puas, sementara Reyhan hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.Begitu mobil berhenti di depan rumah, mereka disambut oleh Lila yang berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada.Senyumnya merekah, matanya berbinar penuh semangat. Rambut panjangnya yang tergerai sedikit berayun tertiup angin malam, menambah kesan percaya diri pada wajahnya yang berseri-seri.“Kak Reyhan!” serunya antusias, matanya berbinar penuh kegembiraan. “Aku dengar kabar baiknya dari Ibu! Akhirnya Kakak akan tunangan lagi dengan Kak Raisa!”Reyhan hanya mengangguk kecil, sementara Bu Maya menepuk pundak putrinya dengan bangga. “Tentu saja. Ini yang terbaik untuk keluarga kita.” Nada suaranya mengandung kebanggaan yang tidak bisa disembunyikan.Lila tersenyum puas. Baginya, ini adalah kesempatan emas untuk membersihkan namanya di kampus.Lila harus men
Pesta pertunangan Reyhan dan Raisa terus berlanjut dengan kemewahan yang dipersiapkan secara matang.Para tamu dari berbagai kalangan, mulai dari rekan bisnis hingga kolega keluarga, bercengkerama di dalam gedung yang dipenuhi dekorasi elegan.Suara orkestra mengalun lembut, menciptakan suasana yang tampak sempurna di permukaan.Di tengah kemeriahan itu, Arga melangkah mendekati pasangan yang baru saja bertukar cincin. Wajahnya tetap netral, mencerminkan profesionalismenya yang tak tergoyahkan."Selamat untuk kalian berdua," ucapnya, suaranya mantap namun datar. "Semoga pertunangan ini menjadi awal yang baik untuk masa depan kalian."Raisa yang sejak awal merasa canggung dengan kehadiran Arga segera tersenyum lega. Ia tahu betapa sulitnya bagi bosnya itu untuk datang, mengingat masalah yang telah terjadi.Ia juga sadar bahwa akhir-akhir ini kinerjanya di kantor sering mengecewakan Arga. Namun, pria itu tetap hadir, dan itu saja sudah cukup baginya."Terima kasih banyak, Pak Arga," ujar
Raisa menatap layar ponselnya, membaca pesan dari Lila dengan hati berdebar. Bagaimanapun, Lila adalah adik tunangannya.Ia tidak bisa membiarkan gadis itu tenggelam dalam skandal ini terlalu dalam. Lila terus mendesaknya untuk melakukan sesuatu, memohon agar ia membantu membersihkan namanya.Namun, ia tahu betul bahwa Reyhan tidak akan setuju jika ia ikut campur, apalagi dengan cara seperti ini.Tapi di sisi lain, ia tidak bisa membiarkan Lila menghadapi ini sendirian. Adik tunangannya itu terus memohon dengan suara bergetar ketakutan, seolah hanya Raisa yang bisa menyelamatkannya.Hatinya bimbang, tetapi melihat Lila yang begitu putus asa, ia tahu ia harus mengambil keputusan, cepat atau lambat.Raisa akhirnya mengambil keputusan. Ia menelepon ayahnya, jelas sebagai seseorang yang berpengaruh dia memiliki banyak koneksi, termasuk dengan beberapa jurnalis ternama."Papa, aku butuh bantuan," ujarnya dengan nada serius."Ada apa, Raisa?" suara sang ayah terdengar tegas di seberang telep
Reyhan menghempaskan ponselnya ke meja dengan kasar. Rahangnya mengatup rapat, matanya menatap layar yang masih menampilkan berita tentang skandal Lila. Ini sudah di luar batas.Tanpa pikir panjang, ia mengambil ponselnya lagi dan menelepon seseorang. Nada sambung berbunyi beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara berat di ujung sana."Reyhan? Jarang sekali kau menelepon langsung begini. Ada apa?""Aku butuh bantuanmu, Arman," ujar Reyhan dengan nada rendah namun tajam. "Ini bukan permintaan biasa. Aku ingin kau mencari informasi tentang seseorang."Di seberang sana, Arman seorang polisi yang sudah lama bersahabat dengan Reyhan terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kedengarannya serius. Siapa yang harus kucari?"Reyhan menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya yang masih mendidih. "Pelayan yang terlibat dalam skandal adikku. Aku ingin tahu siapa dia sebenarnya, latar belakangnya, keluarganya, dan apapun itu.”Arman terkekeh kecil. "Jadi kau ingin aku melakukan pekerjaan kotor?
Keesokan harinya, Reyhan duduk di meja kantornya dengan wajah datar, menyembunyikan badai di pikirannya.Tak ada seorang pun yang berani mengganggunya, kecuali satu orang yaitu Raisa. Tanpa ragu, wanita itu melangkah masuk ke ruangannya.Pikiran Reyhan masih terikat pada kondisi Lila yang semakin memburuk. Semalam, adiknya harus dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan nyaris tak sadarkan diri.Sekarang, Lila terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan infus yang menancap di lengannya. Wajahnya pucat, napasnya terdengar berat, dan tubuhnya tampak kelelahan.Hujatan di media sosial begitu deras. Setiap kata-kata itu seperti duri yang menusuk, semakin memperparah kondisinya.Namun, hingga kini Arman belum juga memberikan kepastian tentang solusi yang harus Reyhan tempuh. Ketidaksabaran dan kecemasan bercampur menjadi satu dalam benaknya."Reyhan, kau mendengar apa yang aku katakan?" Suara Raisa memecah lamunannya.Reyhan mengembuskan napas kasar. Sejak pagi, Raisa terus membicarakan tend
Seharian penuh, Arga berada dalam suasana hati yang buruk. Ia duduk di ruang kantornya dengan wajah tegang, matanya memandangi layar komputer tanpa benar-benar membaca isi dokumen yang terpampang di sana.Setiap kali telepon berdering atau asistennya masuk membawa laporan, ia hanya menjawab dengan suara datar dan dingin.Kekesalannya bukan karena pekerjaan, melainkan karena kata-kata Reyhan yang seolah menegaskan bahwa Naira masih belum bisa melupakannya.Ekspresi marah istrinya, emosi yang membara di matanya, membuat Arga gelisah dan tak bisa tenang. Apakah benar ada sesuatu yang belum selesai antara Naira dan Reyhan?Sepanjang hari, Arga enggan berbicara dengan Naira, setiap kali berpapasan, ia hanya melirik sekilas tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Sikapnya dingin, membuat suasana di antara mereka semakin tegang. Naira jelas merasa terganggu, biasanya, Arga selalu perhatian dan hangat.Tapi sekarang, ia bersikap seolah dirinya tak ada. Itu mengusiknya, meskipun ia berusaha menepis
Naira menatap punggung Arga yang menghilang di balik pintu ruang rapat. Seisi ruangan masih sunyi, seakan semua orang menahan napas setelah ketegangan yang baru saja terjadi.Atmosfer ruangan masih terasa tegang, seperti sisa badai yang belum sepenuhnya reda."Baiklah, kalau begitu, kita lanjutkan diskusi di lain waktu," ujar salah satu petinggi perusahaan, berusaha mencairkan suasana.Namun, efeknya tak seberapa. Para eksekutif mulai berdiri dan mengemasi dokumen mereka dengan gerakan yang masih terasa canggung.Semenjak sudah menikah, Arga sudah lebih manusiawi disaat rapat, tapi hari ini dia kembali menjadi seorang bos yang dingin dimata para karyawannya.Reyhan menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyembunyikan senyuman puas di balik ekspresi santainya.Ia melirik Naira sekilas, memperhatikan ekspresi wanita itu yang tampak gelisah. Dia tahu, kata-katanya tadi pagi sudah cukup untuk meretakkan kepercayaan Arga terhadap istrinya.Disisi lain ruangan Raisa yang khawatir segera menanyakan
Hari-hari berlalu, dan keadaan Lila mulai berangsur membaik. Beberapa akun media sosial yang sebelumnya menyebarkan fitnah tentang Lila telah berhasil ditakedown.Di sisi lain, Arman yang selama ini bekerja diam-diam, akhirnya mendapatkan petunjuk besar tentang keberadaan Diana.Arman sekarang tidak segan-segan menggunakan metode ilegal untuk mendapatkan informasi.Dengan bayaran besar dari Reyhan, ia menyuap beberapa informan jalanan, menyadap komunikasi, dan bahkan mengancam beberapa orang yang diduga terlibat dalam hilangnya Diana."Kita harus bergerak cepat. Aku tidak ingin ada yang lebih dulu menemukannya sebelum kita," ujar Arman dengan nada serius.Reyhan mengangguk, meskipun dalam hatinya, ada sedikit keraguan. Ia bukan orang yang terbiasa dengan cara seperti ini, tetapi Arman tampak begitu tenang, seakan-akan semua ini hanyalah rutinitas biasa baginya."Aku sudah mendapatkan informasi dari salah satu informan bahwa Diana terlihat di sebuah vila di pinggiran kota. Sepertinya di
Reyhan jatuh tersungkur di lantai dengan napas terengah-engah. Naira menatapnya dengan campuran keterkejutan dan kebingungan.Bagaimana bisa Reyhan ada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi?Pria bertopeng yang tadi menampar Naira menggeram kesal. "Bodoh! Kenapa kau membawa orang lain ke sini? Ini hanya akan menyulitkan kita!""Dia mencoba mengikuti jejak wanita ini," jawab salah satu anak buahnya. "Kami menemukannya mengintai di sekitar lokasi."Naira menatap wajah Reyhan yang penuh luka, alisnya berdarah, dan sudut bibirnya pecah. Matanya perlahan terbuka, menatapnya dengan lemah. "Naira... kau tidak apa-apa?"Naira menelan ludah, berusaha meredam emosi yang berkecamuk di dadanya. "Kenapa kau ada di sini? Apa kau datang untuk menyelamatkanku?"Reyhan tersenyum miris. "Tentu saja. Aku tidak bisa diam saja melihatmu dalam bahaya."Namun, sebelum Naira sempat membalas, salah satu pria bertopeng mengangkat tangannya, hendak memberikan pukulan lagi.Namun, sebelum tangannya bisa mendarat,
Suasana kantor masih terasa sibuk saat Naira melangkah keluar dari ruangannya. Sudah sore, tetapi karena kejar target, banyak karyawan masih lembur, termasuk Arga yang masih fokus di ruangannya.Sebelumnya, Arga sempat menawarkan diri untuk mengantarnya pulang."Aku bisa mengantarmu, sayang. Hari ini kau terlihat lebih lelah dari biasanya," katanya dengan nada penuh perhatian.Namun, Naira tersenyum kecil dan menggeleng. "Tidak perlu, aku bisa sendiri. Lagipula, aku sudah berjanji dengan ibu untuk pergi ke salon bersama."Arga menghela napas sebelum mengangguk. "Baiklah, kalau begitu hati-hati. Jangan lupa beri kabar kalau sudah sampai."Naira tersenyum, lalu melangkah mendekat dan memeluk suaminya erat. "Aku akan baik-baik saja, jangan khawatir."Arga mengecup puncak kepalanya dengan lembut. "Tetap hati-hati, sayang."Di rumah, Naira mengambil tasnya dan bersiap pergi. Sebelum keluar dari pintu, ia menoleh ke arah Arga yang masih berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan cemas.Ia k
Pagi itu, suasana kantor dipenuhi kesibukan seperti biasa. Namun, bagi Reyhan, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya.Kepalanya masih dipenuhi oleh masalah dengan Raisa dan tuntutan pernikahan yang terus menghantuinya.Saat ia melangkah masuk ke ruangannya, matanya langsung menangkap sosok Naira yang baru saja hendak keluar dari ruangan.Namun, begitu melihat Reyhan, Naira dengan cepat menghindar, berpura-pura sibuk dengan berkas di tangannya.Reyhan mengerutkan kening. "Naira."Naira berhenti sejenak, namun tidak menoleh. "Aku sedang sibuk, Reyhan. Kita tidak perlu bicara."Reyhan menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat, namun Naira justru semakin menjauh, seolah enggan berada di dekatnya lebih lama."Kau menghindariku?" tanya Reyhan dengan nada datar, namun matanya menelisik tajam.Naira tertawa kecil, tetapi tanpa humor. "Aku hanya tidak punya waktu untuk membicarakan hal yang tidak penting.""Aku baru saja kemarin mendatangi rumahmu," kata Reyhan, suaranya lebih rendah
Reyhan menatap Bu Ratna dan Pak Alfian dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada amarah, frustasi, dan kepasrahan dalam satu waktu.Pernikahan? Dengan Raisa? Semua ini terasa seperti jebakan yang sudah dirancang matang, seolah mereka hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjebaknya sepenuhnya.“Aku butuh waktu,” akhirnya Reyhan berkata, suaranya serak dan berat.“Tapi Reyhan—” Raisa mencoba berbicara, namun ia terdiam ketika melihat tatapan dingin yang diberikan Reyhan padanya.“Jangan paksa aku mengambil keputusan sekarang.” Ia mengalihkan pandangannya ke arah Bu Ratna dan Pak Alfian. “Aku akan bertanggung jawab atas anak ini, tapi pernikahan bukan sesuatu yang bisa diputuskan dalam satu malam.”Bu Ratna hendak membantah, tetapi Pak Alfian menepuk tangannya pelan, memberi isyarat agar diam. “Baiklah, Reyhan. Kami akan memberimu waktu. Tapi jangan terlalu lama. Anak ini membutuhkan kepastian.”Reyhan tidak menjawab. Ia hanya menatap Raisa sejenak sebelum berbalik dan melangkah keluar da
Reyhan berdiri di depan pintu apartemen Naira yang kini tertutup rapat, seperti tembok yang tak mungkin ia tembus lagi.Jemarinya masih menggenggam erat gelang kecil itu, seakan bisa menghidupkan kembali waktu yang telah hilang. Tapi tidak. Waktu tak akan pernah bisa diputar kembali.Dadanya terasa sesak. Bukan hanya karena kata-kata tajam Naira, tetapi juga karena kenyataan yang harus ia hadapi.Wanita yang dulu begitu mencintainya, kini bahkan tak lagi ingin melihatnya. Wanita yang pernah ia abaikan, kini membalasnya dengan tatapan dingin yang menusuk.Dan ironisnya, di saat ia baru menyadari betapa berharganya Naira, semuanya telah terlambat.Dari balik jendela, Naira berdiri diam, menyaksikan sosok Reyhan yang mulai melangkah pergi.Ia seharusnya merasa puas, seharusnya merasa menang karena bisa melihat pria itu merasakan kepedihan yang dulu pernah ia rasakan.Tapi mengapa ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa begitu sakit? Jemarinya menggenggam kerah gaunnya, berusaha menahan s
Reyhan berdiri di depan pintu apartemen Naira, dadanya naik turun dengan napas yang tertahan.Tangannya terangkat, ragu-ragu sebelum akhirnya mengetuk. Tiga ketukan pelan namun penuh harap. Hening. Tidak ada jawaban.Ia menelan ludah, lalu mengetuk lagi. Kali ini lebih keras. Jantungnya berdetak lebih cepat saat langkah kaki terdengar dari dalam.Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok yang selama ini menghantuinya dalam setiap mimpi buruk dan penyesalan.Naira.Wanita itu berdiri di hadapannya dengan tatapan yang dingin dan datar, seolah kehadirannya bukanlah sesuatu yang berarti.Rambut panjangnya tergerai rapi, wajahnya cantik seperti yang selalu Reyhan ingat, tetapi ada sesuatu yang berbeda.Mata itu, mata yang dulu penuh cinta saat menatapnya, kini hanya dipenuhi dengan sesuatu yang jauh lebih tajam. Jauh lebih berbahaya.Reyhan merasa dadanya sesak."Ada apa?" suara Naira terdengar tenang, hampir terlalu tenang, seolah ia tidak terganggu sedikit pun denga
Raisa duduk di depan layar laptopnya, matanya memandang kosong pada layar yang menampilkan satu lagi email penolakan.Tangannya mengepal erat, wajahnya memerah karena frustrasi. Sudah lebih dari dua puluh perusahaan yang ia lamar, namun semuanya menolak tanpa memberikan alasan yang jelas."Ini pasti ulah Arga!" desisnya marah, suaranya penuh kebencian.Ayahnya, Pak Alfian, berdiri di belakangnya dengan wajah keruh. Sebagai seorang pengusaha senior, ia masih memiliki pengaruh.Namun setiap kali ia mencoba menghubungi kenalan bisnisnya untuk membantu Raisa mendapatkan pekerjaan, mereka selalu menolak secara halus atau bahkan langsung memutuskan komunikasi, seolah takut hanya dengan menyebut nama keluarganya."Aku tidak mengerti, Raisa," kata Pak Alfian, suaranya berat dan penuh ketakutan. "Bahkan perusahaan-perusahaan yang berutang budi padaku pun menolak membantumu. Ini... ini bukan kebetulan." Raisa menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram ujung meja hingga buku-buku jarinya memu
Malam itu, di kamar mereka yang remang-remang dengan pencahayaan hangat, Arga menatap Naira yang tengah bersandar di dadanya.Jemarinya dengan lembut memainkan rambut istrinya, sementara pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian hari itu."Jadi, apa rencanamu selanjutnya setelah Raisa dipecat?" Arga bertanya dengan suara rendah, matanya penuh perhatian menatap wajah Naira.Naira tersenyum tipis, sorot matanya penuh tekad. "Aku ingin dia kehilangan segalanya, pekerjaan, reputasi, dan setiap peluang di dunia bisnis. Biarkan dia merasakan kehancuran yang sama seperti yang dia rencanakan untukku."Arga mengangguk, ekspresinya tetap tenang meski ada kilatan tajam di matanya. "Aku bisa mengurus itu. Aku akan menghubungi beberapa koneksi dan memastikan tidak ada satu pun perusahaan besar yang mau menerimanya."Naira mengangkat wajahnya, menatap Arga penuh cinta. "Terima kasih, sayang. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu."Arga mengusap pipi istrinya dengan lembut, menatapnya dengan sorot mata t
Naira masih berbaring di sofa, merasakan kehangatan genggaman tangan Arga. Meski tubuhnya lelah, hatinya terasa lebih ringan setelah semua yang terjadi.Arga duduk di sampingnya, jemarinya mengusap lembut punggung tangannya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir.Naira mengangguk pelan. "Aku hanya butuh sedikit waktu untuk beristirahat. Terima kasih karena selalu ada untukku."Arga tersenyum, lalu menghela napas panjang. "Aku sudah memecat Raisa. Dia tidak akan mengganggumu lagi. Kau tidak perlu khawatir tentangnya."Naira terdiam sesaat, lalu mengangguk kecil. "Terima kasih, Arga. Aku tidak ingin hal ini berlarut-larut."Arga menatapnya dengan penuh kelembutan. "Kau sudah bekerja terlalu keras. Aku ingin kau pulang lebih awal hari ini dan beristirahat dengan baik. Aku akan mengurus semua urusan di kantor."Naira tersenyum kecil, merasa lega karena Arga begitu memperhatikannya. "Baiklah, aku akan pulang lebih awal."Arga mengusap pipinya perlahan. "Aku akan mengantarmu s