Setelah beberapa minggu pemulihan, Reyhan akhirnya kembali ke kantor. Meski belum sepenuhnya pulih, ia merasa cukup kuat untuk bekerja.Namun, pikirannya terusik saat tanpa sengaja bertemu Naira di koridor kantor. Wanita itu tampak percaya diri seperti biasa, tetapi kali ini ada senyum tipis di bibirnya.Biasanya, Naira selalu menunjukkan ekspresi datar padanya, namun sekarang ada sesuatu yang berbeda.Mata mereka bertemu sesaat sebelum Naira meliriknya dan bertanya dengan nada santai, "Bagaimana kabarmu, Reyhan? Sudah merasa lebih baik?"Reyhan terkejut. Naira tak pernah berbasa-basi sejak mereka berpisah. Mengapa sekarang ia tampak begitu tenang, seolah menyimpan rahasia?Lebih buruk lagi, Reyhan mulai sering bermimpi tentang kecelakaannya. Dalam mimpi itu, Naira-lah yang berusaha menyelamatkannya, bukan Raisa.Suaranya memanggil namanya dengan panik, tangannya menariknya keluar dari mobil yang ringsek. Tapi itu tidak mungkin, bukan?Ia menggelengkan kepala, mencoba menepis kebingun
Setelah pertemuan yang cukup menegangkan di rumah Pak Alfian dan Bu Ratna, Bu Maya dan Reyhan akhirnya pulang.Sepanjang perjalanan, Bu Maya tampak puas, sementara Reyhan hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.Begitu mobil berhenti di depan rumah, mereka disambut oleh Lila yang berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada.Senyumnya merekah, matanya berbinar penuh semangat. Rambut panjangnya yang tergerai sedikit berayun tertiup angin malam, menambah kesan percaya diri pada wajahnya yang berseri-seri.“Kak Reyhan!” serunya antusias, matanya berbinar penuh kegembiraan. “Aku dengar kabar baiknya dari Ibu! Akhirnya Kakak akan tunangan lagi dengan Kak Raisa!”Reyhan hanya mengangguk kecil, sementara Bu Maya menepuk pundak putrinya dengan bangga. “Tentu saja. Ini yang terbaik untuk keluarga kita.” Nada suaranya mengandung kebanggaan yang tidak bisa disembunyikan.Lila tersenyum puas. Baginya, ini adalah kesempatan emas untuk membersihkan namanya di kampus.Lila harus men
Pesta pertunangan Reyhan dan Raisa terus berlanjut dengan kemewahan yang dipersiapkan secara matang.Para tamu dari berbagai kalangan, mulai dari rekan bisnis hingga kolega keluarga, bercengkerama di dalam gedung yang dipenuhi dekorasi elegan.Suara orkestra mengalun lembut, menciptakan suasana yang tampak sempurna di permukaan.Di tengah kemeriahan itu, Arga melangkah mendekati pasangan yang baru saja bertukar cincin. Wajahnya tetap netral, mencerminkan profesionalismenya yang tak tergoyahkan."Selamat untuk kalian berdua," ucapnya, suaranya mantap namun datar. "Semoga pertunangan ini menjadi awal yang baik untuk masa depan kalian."Raisa yang sejak awal merasa canggung dengan kehadiran Arga segera tersenyum lega. Ia tahu betapa sulitnya bagi bosnya itu untuk datang, mengingat masalah yang telah terjadi.Ia juga sadar bahwa akhir-akhir ini kinerjanya di kantor sering mengecewakan Arga. Namun, pria itu tetap hadir, dan itu saja sudah cukup baginya."Terima kasih banyak, Pak Arga," ujar
Raisa menatap layar ponselnya, membaca pesan dari Lila dengan hati berdebar. Bagaimanapun, Lila adalah adik tunangannya.Ia tidak bisa membiarkan gadis itu tenggelam dalam skandal ini terlalu dalam. Lila terus mendesaknya untuk melakukan sesuatu, memohon agar ia membantu membersihkan namanya.Namun, ia tahu betul bahwa Reyhan tidak akan setuju jika ia ikut campur, apalagi dengan cara seperti ini.Tapi di sisi lain, ia tidak bisa membiarkan Lila menghadapi ini sendirian. Adik tunangannya itu terus memohon dengan suara bergetar ketakutan, seolah hanya Raisa yang bisa menyelamatkannya.Hatinya bimbang, tetapi melihat Lila yang begitu putus asa, ia tahu ia harus mengambil keputusan, cepat atau lambat.Raisa akhirnya mengambil keputusan. Ia menelepon ayahnya, jelas sebagai seseorang yang berpengaruh dia memiliki banyak koneksi, termasuk dengan beberapa jurnalis ternama."Papa, aku butuh bantuan," ujarnya dengan nada serius."Ada apa, Raisa?" suara sang ayah terdengar tegas di seberang telep
Reyhan menghempaskan ponselnya ke meja dengan kasar. Rahangnya mengatup rapat, matanya menatap layar yang masih menampilkan berita tentang skandal Lila. Ini sudah di luar batas.Tanpa pikir panjang, ia mengambil ponselnya lagi dan menelepon seseorang. Nada sambung berbunyi beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara berat di ujung sana."Reyhan? Jarang sekali kau menelepon langsung begini. Ada apa?""Aku butuh bantuanmu, Arman," ujar Reyhan dengan nada rendah namun tajam. "Ini bukan permintaan biasa. Aku ingin kau mencari informasi tentang seseorang."Di seberang sana, Arman seorang polisi yang sudah lama bersahabat dengan Reyhan terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kedengarannya serius. Siapa yang harus kucari?"Reyhan menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya yang masih mendidih. "Pelayan yang terlibat dalam skandal adikku. Aku ingin tahu siapa dia sebenarnya, latar belakangnya, keluarganya, dan apapun itu.”Arman terkekeh kecil. "Jadi kau ingin aku melakukan pekerjaan kotor?
Keesokan harinya, Reyhan duduk di meja kantornya dengan wajah datar, menyembunyikan badai di pikirannya.Tak ada seorang pun yang berani mengganggunya, kecuali satu orang yaitu Raisa. Tanpa ragu, wanita itu melangkah masuk ke ruangannya.Pikiran Reyhan masih terikat pada kondisi Lila yang semakin memburuk. Semalam, adiknya harus dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan nyaris tak sadarkan diri.Sekarang, Lila terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan infus yang menancap di lengannya. Wajahnya pucat, napasnya terdengar berat, dan tubuhnya tampak kelelahan.Hujatan di media sosial begitu deras. Setiap kata-kata itu seperti duri yang menusuk, semakin memperparah kondisinya.Namun, hingga kini Arman belum juga memberikan kepastian tentang solusi yang harus Reyhan tempuh. Ketidaksabaran dan kecemasan bercampur menjadi satu dalam benaknya."Reyhan, kau mendengar apa yang aku katakan?" Suara Raisa memecah lamunannya.Reyhan mengembuskan napas kasar. Sejak pagi, Raisa terus membicarakan tend
Seharian penuh, Arga berada dalam suasana hati yang buruk. Ia duduk di ruang kantornya dengan wajah tegang, matanya memandangi layar komputer tanpa benar-benar membaca isi dokumen yang terpampang di sana.Setiap kali telepon berdering atau asistennya masuk membawa laporan, ia hanya menjawab dengan suara datar dan dingin.Kekesalannya bukan karena pekerjaan, melainkan karena kata-kata Reyhan yang seolah menegaskan bahwa Naira masih belum bisa melupakannya.Ekspresi marah istrinya, emosi yang membara di matanya, membuat Arga gelisah dan tak bisa tenang. Apakah benar ada sesuatu yang belum selesai antara Naira dan Reyhan?Sepanjang hari, Arga enggan berbicara dengan Naira, setiap kali berpapasan, ia hanya melirik sekilas tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Sikapnya dingin, membuat suasana di antara mereka semakin tegang. Naira jelas merasa terganggu, biasanya, Arga selalu perhatian dan hangat.Tapi sekarang, ia bersikap seolah dirinya tak ada. Itu mengusiknya, meskipun ia berusaha menepis
Naira menatap punggung Arga yang menghilang di balik pintu ruang rapat. Seisi ruangan masih sunyi, seakan semua orang menahan napas setelah ketegangan yang baru saja terjadi.Atmosfer ruangan masih terasa tegang, seperti sisa badai yang belum sepenuhnya reda."Baiklah, kalau begitu, kita lanjutkan diskusi di lain waktu," ujar salah satu petinggi perusahaan, berusaha mencairkan suasana.Namun, efeknya tak seberapa. Para eksekutif mulai berdiri dan mengemasi dokumen mereka dengan gerakan yang masih terasa canggung.Semenjak sudah menikah, Arga sudah lebih manusiawi disaat rapat, tapi hari ini dia kembali menjadi seorang bos yang dingin dimata para karyawannya.Reyhan menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyembunyikan senyuman puas di balik ekspresi santainya.Ia melirik Naira sekilas, memperhatikan ekspresi wanita itu yang tampak gelisah. Dia tahu, kata-katanya tadi pagi sudah cukup untuk meretakkan kepercayaan Arga terhadap istrinya.Disisi lain ruangan Raisa yang khawatir segera menanyakan
Beberapa hari setelah Naira sadar. Naira duduk di kursi roda, didampingi Tari. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju taman kecil di belakang gedung.Angin malam menyapa lembut, dan bunga melati mulai bermekaran, menyebarkan aroma tenang. Tapi hati Naira tidak tenang.Tatapannya jauh. Kosong, tapi dalam.“Na… kamu yakin mau keluar malam-malam gini?” tanya Tari sambil mendorong pelan kursi roda.Naira tersenyum kecil. “Aku cuma… butuh lihat langit. Rasanya udah lama banget nggak hidup…”Tari menunduk. Lalu berbisik lirih, “Kamu masih ingat sesuatu?”Naira menoleh. Tatapannya berubah. Lebih tajam. Lebih sadar.“Sedikit,” bisiknya. “Aku ingat... ada suara. Lembut, tapi seperti pisau. Ada sesuatu disuntikkan. Aku merasa sangat ngantuk. Terlalu ngantuk.”Tari berhenti mendorong. “Kamu yakin?”Naira mengangguk. “Dan aku yakin… itu bukan suster. Bukan dokter.”Sunyi.Angin mendesis pelan seperti menyampaikan peringatan.“Liza,” kata Tari pelan. “Aku juga curiga. Waktu itu aku p
Hujan tak lagi turun pelan, tapi mengguyur kota dengan derasnya seolah langit pun tak kuat menahan beban rahasia yang selama ini tertahan.Petir menyambar di kejauhan, bayangannya memantul di kaca jendela kamar rumah sakit yang temaram.Tari masih duduk di sisi ranjang, wajahnya letih, matanya sembab. Buku doa di tangannya mulai lusuh karena terlalu sering dibuka.Sesekali ia membisikkan ayat-ayat pendek di telinga sahabatnya, seperti menuntun jiwa Naira untuk kembali dari dunia sunyi yang tak bisa dijangkau siapa pun.Tapi malam itu... ada yang berbeda.Jemari Naira bergerak.Sekilas. Sangat pelan. Tapi cukup untuk membuat napas Tari terhenti.Dia membeku. Lalu menoleh cepat."Naira...?" suaranya lirih, penuh ketakutan, harapan, dan ketidakpercayaan. Ia mendekat, wajahnya nyaris sejajar dengan wajah pucat sahabatnya.Kelopak mata Naira bergetar. Pelan. Lalu terbuka… seperti kelopak bunga yang merekah setelah badai panjang.Mata itu masih sayu. Pandangannya kabur. Tapi saat ia menatap
Rumah Sakit hari kelima Naira di rawat.Hujan turun perlahan, menyentuh kaca jendela kamar VIP yang sepi. Di dalamnya, Naira masih terbaring dengan infus dan alat bantu napas.Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, tapi garis hidup di monitor masih stabil dan itu satu-satunya harapan yang membuat Arga tetap bertahan.Ia duduk di sisi ranjang, belum pernah meninggalkan kamar itu.Matanya merah, tubuhnya mulai lemah, tapi genggaman tangannya pada tangan Naira tak pernah longgar."Kamu harus bangun, sayang… aku nggak bisa hidup tanpa kamu…,” bisiknya pelan, hampir seperti doa.Pintu terbuka perlahan.Sosok ramping dengan rambut panjang masuk pelan-pelan, membawa termos kecil dan kantong makanan.Liza.“Kak Arga…” ucapnya lembut, dengan nada manja. “Aku bawain makan. Kakak belum makan dari tadi pagi, kan?”Arga hanya menggeleng, menatap kosong ke arah Naira.Liza mendekat, meletakkan makanan di meja. Ia berdiri di belakang Arga, lalu menunduk, menyentuh bahunya dengan lembut.“Kakak nggak akan k
2 hari kemudian di Safehouse milik Wijaya Group malam itu sepi. Terlalu sepi.Bima yang berjaga di pos depan menguap pelan. Ia tak tahu, di kejauhan, beberapa mobil hitam tanpa plat tengah merayap senyap.Di dalamnya, para pria bertubuh kekar dan berwajah datar, dengan komunikasi lewat isyarat tangan, siap menjalankan misi: hilangkan saksi.Di dalam safehouse, Dion dan Raisa sudah mulai tenang. Luka-luka mereka telah dibersihkan sekadarnya. Dion, meski masih lemah, terlihat jauh lebih lega setelah berjam-jam disiksa Arga.“Raisa…” Dion melirik pelan, suaranya parau. “Aku… makasih udah nggak nyeret aku sendiri. Aku tahu aku pengecut. Tapi aku pikir... kalau kita bisa keluar dari sini, aku bisa... bisa minta maaf ke semua orang.”Raisa hanya diam, duduk di pojok ruangan. Nafasnya berat. Matanya kosong.Tapi detik berikutnya—DUARRR!Ledakan kecil menghantam pintu belakang safehouse. Asap mulai memenuhi lorong. Lampu padam. Alarm darurat menyala merah.“APA ITU?!”Bima langsung teriak le
Rumah Sakit – Malam HariLampu lorong rumah sakit mulai diredupkan. Hanya lampu dinding yang menyala samar, menciptakan suasana sunyi dan mencekam.Para perawat mulai bergantian berjaga. Di ruang rawat VIP, Naira masih terbaring lemah, tak menunjukkan tanda-tanda sadar.Arga sedang pulang sebentar ke rumah atas desakan Pak Pratama untuk mandi dan beristirahat sejenak. Ia enggan, tapi akhirnya menurut. Tak sampai dua jam.Di saat yang sama, seseorang masuk ke area rumah sakit dengan hoodie hitam, wajahnya tertutup masker.Reyhan.Ia menyelinap lewat lorong belakang, mengenal betul tata letak rumah sakit dari zaman ia masih menjadi suami Naira. Ia berjalan cepat, menunduk setiap kali ada perawat lewat.Sampai akhirnya… ia tiba di depan pintu kamar Naira.Perlahan, ia membuka pintunya.Ceklek.Lampu ruangan redup. Naira masih dalam posisi yang sama, matanya tertutup rapat, wajahnya tenang namun memucat.Reyhan melangkah pelan mendekati ranjang. Nafasnya memburu pelan. Matanya menatap Nai
Ruang Bawah Tanah – Safehouse Wijaya GroupRaisa duduk bersandar di dinding besi dingin, tangan terikat ke belakang. Wajahnya sudah penuh luka mata kanan membiru, bibir pecah.Tapi sorot matanya masih tajam, seperti ular yang belum puas menggigit.Dion di kursi baja, tangan dan kakinya diborgol rapat, wajah pucat pasi. Ia tak berhenti berkeringat, tubuhnya gemetar menahan sakit setelah interogasi ringan dari anak buah Bima.Pintu baja terbuka dengan dentuman keras.Langkah berat terdengar, lalu muncul siluet Arga. Tubuhnya masih mengenakan kemeja berdarah, mata merah menyala seperti binatang buas.Tak ada senyum. Tak ada kata-kata pembuka. Hanya satu hal yang tampak jelas: dendam.Tanpa aba-aba, Arga menarik rambut Dion kasar dan menghantamkan kepalanya ke meja baja.Bunyi retakan terdengar, darah langsung mengalir dari pelipis Dion yang menjerit kesakitan.“Aaarrgh—!”Arga mencengkram dagunya, memaksanya menatap mata merahnya.“Kenapa kalian ganggu istriku?” katanya pelan. Tapi nada
Senin pagi, pukul 08.05Langit Jakarta masih mendung, seolah mencerminkan kabut tebal yang perlahan menutup kehidupan Naira.Di ruang rapat lantai 17, suasana mencekam.Laporan keamanan di meja membuat kepala bagian IT dan tim keamanan gelisah. Ada indikasi kuat bahwa sistem internal mereka sempat disusupi dari luar jejak IP anonim yang berhasil menembus firewall selama tiga menit dua hari lalu.Arga berdiri di depan layar, wajahnya gelap. Di sampingnya, Naira duduk dengan tatapan tajam."Kalau benar sistem kita bisa ditembus segampang ini, maka semua data klien dan proyek rahasia kita dalam bahaya," ucap Arga, nada suaranya tegas."Dan kalau penyusupan ini ada hubungannya dengan kaburnya Raisa... maka kita sedang diawasi," tambah Naira, suaranya lebih pelan, tapi sama menusuk.Seorang staf IT yang baru direkrut beberapa minggu lalu tampak gugup. Ia menunduk, mengetik cepat untuk memeriksa ulang log.Tapi tidak ada yang tahu bahwa anak muda itu Vino, lulusan teknik komputer jenius ada
Malam hari, dua minggu setelah kaburnya Raisa.Rumah Naira dan Arga kini dijaga ketat oleh satuan keamanan pribadi yang disewa langsung oleh Arga dari unit elite. CCTV terpasang di setiap sudut, gerbang dilengkapi sistem sidik jari, dan para penjaga bergantian patroli sepanjang malam.Namun, bahaya tidak selalu datang dari luar.Di ruang kerja Naira, layar laptopnya menyala dengan presentasi rapat yang belum selesai ia siapkan. Tapi perhatiannya terganggu oleh bunyi notifikasi email yang muncul di sudut kanan bawah layar.[Pengirim Tidak Dikenal: Aku lihat kamu masih suka warna biru, Na.]Naira mengerutkan kening. Ia menekan tombol enter dan membuka pesan itu. Hanya ada satu foto di dalamnya dari kejauhan, tampak dirinya pagi tadi saat turun dari mobil, mengenakan blazer biru muda, berdiri di depan kantor sambil memegang map.Itu bukan foto dari media sosial. Sudut pengambilannya terlalu privat. Terlalu dekat. Terlalu nyata.Naira langsung menutup laptop dan memanggil Arga, yang baru
Pukul 01.17 dini hari.Di ruang kontrol CCTV, dua sipir senior tampak terlelap, tak menyadari bahwa sistem kamera telah dimanipulasi.Feed lorong menuju sel Raisa kini menjadi “blind spot” selama tiga menit, cukup untuk seseorang menyelinap.Langkah kaki ringan terdengar di lorong. Seorang perempuan berseragam sipir, salah satu staf baru yang wajahnya selalu tertutup masker medis berdiri di depan sel Raisa.Tanpa bicara banyak, ia menyelipkan kunci sel manual dan jaket hitam ke bawah jeruji.“Sudah waktunya. Truk menunggu di belakang,” bisiknya datar.“Siapa kamu?” tanya Raisa cepat, meski tangannya sudah bekerja membuka kunci sel.“Jalan sudah dibuka. Truk sudah menunggu. Kau punya waktu dua menit,” ucapnya singkat.Raisa tak bertanya. Ia hanya mengangguk, lalu mengganti pakaiannya dengan cepat, menyembunyikan wajah dan rambutnya di balik hoodie.Beberapa menit kemudian, ia sudah bersembunyi di belakang truk pengangkut sampah. Truk bergerak perlahan, lalu menghilang dalam hujan malam