Entah mengapa tiba-tiba saja terlintas di pikiranku untuk memberi pelajaran pada sepupu pengacau itu. Aku merasa saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyadarkan wanita ganjen itu. Dan sepertinya Dewi Fortuna sedang memihak padaku. Ahh, bukannya aku kejam dan pendendam, tapi mengingat dulu sepupuku itu kerap membullyku membuat jiwa kebencianku meronta-ronta. Dampak bullyng itu cukup membekas di dalam diriku hingga saat ini. “Bagaimana kalau kita biarkan saja dia tinggal di rumah kita?” usulku pada suamiku. “Bukannya kamu sendiri tadi bilang kalau tidak mau sepupumu ikut tinggal sama kita, Sayang?” ujar suamiku penuh tanya. “Aku berubah pikiran Sayang,” jawabku. Suamiku menatapku dengan saksama. Beliau tampak mencari jawaban dari manik mataku. “Sebenarnya apa yang sedang kamu rencanakan, Sayang?” Ahh suamiku memang sangat pandai menebak isi hatiku. Aku harus bisa meyakinkan suamiku agar dia mendukung rencanaku. “Aku hanya ingin mengetahui saja apa motif dia ingin ikut sama kita
Semua orang yang ada di ruangan itu refleks memandang Indah dengan tatapan yang sulit diartikan. “Indah, jaga sikapmu! Tidak pantas kamu meminta untuk tinggal bersama Alin. Alin itu sudah punya keluarga sendiri!” tegur ayah Indah. “Tapi aku ingin dekat dengan Alin, Yah. Pokoknya aku nggak mau tahu, aku mau tinggal serumah sama Alin, Yah. Kalau sampai kalian nggak mengizinkan, lebih baik aku mau pergi saja!” ujarnya mengancam. “Om, Tante, biarkan saja jika Indah ingin tinggal dengan kami,” ujar Alin. “Kalian nggak masalah, Nak?” tanya tante Alin. Wanita paruh baya itu merasa tidak enak dengan permintaan anaknya yang terkesan ngelunjak. Namun Alin dan Devan tampaknya hanya biasa saja dan tidak mempermasalahkan keinginan sepupunya itu. Ibu Alin heran dengan sikap anak dan menantunya yang berubah pikiran. ‘Kenapa mereka malah memberikan peluang pada Indah?’ gumamnya dalam hati. *** Keesokan harinya, kedua orang tua Indah ikut mengantar anaknya untuk pindah ke rumah Devan. Saat mere
Alin dan Devan tetap bersikap tenang menghadapi ibunya yang tengah mengomel. Alin paham dengan kekhawatiran yang ditunjukkan mertuanya merupakan salah satu bentuk perhatiannya kepada anak-anaknya.“Mama tenang saja, kami tidak sedang menggali lubang kami sendiri. Justru kami sedang menggiring ular untuk masuk ke lubang kematian,” ujar Alin santai.“Apa maksud kalian, Nak? Apa kalian sedang merencanakan sesuatu?” tanya ibu Devan tidak paham.Alin menjawab pertanyaan Alin dengan anggukan.“Iya, Ma. Kami sedang menyelidiki dalang lain dari bangkrutnya perusahaan Papi. Masih ada tersangka utama yang smpai saat ini berkeliaran. Alin mencurigai Om Rustam lah otak dari hancurnya bisnis Papi. Alin takut, dia akan kembali berulah setelah tahu Mas Devan menolong perusahaan Papi dari kebangkrutan.” Gadis itu menghela nafasnya, “mereka harus mendapatkan balasan atas perbuatan mereka dan kami akan memberikan mereka kejutan yang tidak akan pernah mereka sangka!” jawab Alin dengan sorot mata penuh d
Alin tidak menghiraukan pesan yang barusan Indah kirimkan padanya. Dia tahu persis siapa orang yang saat ini sedang bersama Devan. “Sudah mulai berani berulah kau rupanya, Ndah. Berani sekali kau mempengaruhiku. Kau salah orang jika ingin memanas-manasiku, jangankan panas, hangat saja tidak. Tapi tidak masalah, aku akan tetap mengapresiasi kepedulianmu ini,” gumam Alin sambil tersenyum miring. Setelah membalas pesan Indah, Alin meletakkan kembali ponselnya dan melanjutkan kegiatannya di depan layar laptop. Dia kembali berkutat menyelesaikan pekerjaannya sebelum memasak makan siang untuk devan. Tapi tiba-tiba gerakannya terhenti ketika dia mengingat tentang pesan yang dikirimkan oleh sepupunya tadi. “Kenapa aku jadi kepikiran dengan wanita yang sedang bersama Mas Devan tadi, ya? Aku harus segera menyelidikinya. Sepertinya gadis itu juga menyukai Mas Devan,” gumam Alin. Karena hari sudah beranjak siang, Alin menyudahi pekerjaannya dan segera menyiapkan bekal makan siang sebelum menyu
Devan semakin melebarkan senyumannya padahal Alin tengah mengancamnya. Lelaki itu merasa di atas awan karena sikap istrinya yang terkesan takut dirinya akan mendua. “Kamu tenang saja, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan wanita lain masuk dalam hidupku. Hanya kamu saja satu-satunya dan takkan pernah bisa tergantikan, Sayang.” “Kuharap kamu bisa memegang apa yang kamu katakan ini,” gumam Alin. Dengan sigap, Devan memeluk erat istrinya yang sedang cemburu itu. Dia menciumi pucuk kepala Alin dengan penuh cinta. Dia sangat paham dengan kekhawatiran dan ketakutan istrinya mengingat kisah kelam percintaan yang pernah dia alami sebelumnya. "Pokoknya aku nggak mau kamu terlalu berinteraksi dengannya, Mas!" ujar Alin mewanti-wanti.“Iya, Sayang. Sepertinya aku nanti akan pulang telat. Ada urusan yang harus aku selesaikan, Sayang,” kata Devan.“Iya, Mas jangan lama-lama ya,” jawab Alin.Tak lama kemudian, gadis itu pamit puulang karena dia hendak pergi ke rumah mertuanya. Sedangkan Deva
Yasmin terdiam dalam lamunannya. Pikirannya menerawang pada keluarganya yang selalu menuntutnya untuk mencari pendamping yang setara dengan keluarga mereka. Dan kini, ketika dia sudah menemukan tambatan hatinya di usia yang tidak lagi muda, dia harus menerima kenyataan jika lelaki pilihannya sudah beristtri. “Anda sungguh beruntung karena memiliki orang tua yang selalu mendukung apa yang Anda lakukan, Tuan.” Wanita itu tersenyum getir dengan kehidupan yang saat ini tengah dia jalani. Terlalu sibuk mengejar karir membuatnya lupa jika dia adalah seorang wanita yang juga membutuhkan seorang pendamping. Dia sedikit menyesali sikapnya yang terlalu abai dalam urusan asmara. Apalagi orang tuanya selalu mematok kriteria tinggi dalam mencari menantu. Namun lamunannya buyar saat Devan kembali mengajaknya berbicara. “Nona, saya tahu Anda pasti kecewa dengan jawaban saya tadi. Tapi Anda harus ingat, tidak semua yang kita inginkan harus terwujud. Anda ini cantik juga cerdas. Saya yakin di luar
Indah langsung menghentikan gerakannya dan memandang Alin yang tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.“Lin, kenapa kammu bicara seperti itu? Apa kamu sebenarnya memang tidak suka jika aku ikut tinggal di sini?” tanyanya.“Cukup, kita sedang di meja makan, tolong jangan buat keributan dan makanlah dengan tenang!” tegur Devan.Mereka berdua terdiam dan segera memulai makan malam mereka. Seusai makan malam, Alin tidak langsung kembali ke kamarnya. Dia memanggil Indah untuk bicara berdua dengannya.“Apa maksudmu di meja makan tadi?” tanya Alin.Indah yang duduk bersebrangan dengannya tersenyum samar, “tidak ada maksud apapun, Lin. Aku hanya berinisiatif untuk membantumu saja, tidak lebih.”“Apapun alasanmu, aku tidak suka dengan caramu tadi. Jika kau masih ingin tinggal di sini, maka jagalah sikapmu. Ingat, Ndah, aku bukan Alin yang dulu yang bisa k
Ibu Devan menghela nafasnya saat putranya menanyakan perihal kedatangan Yasmin ke rumahnya. Dia sendiri bingung bagaimana hendak menjawabnya. “Mama juga tidak tahu apa sebenarnya tujuan anak itu datang ke rumah. Mama mengenalnya sewaktu ada perjamuan beberapa waktu lalu. Kebetulan sekali, dia anak teman Mama dulu saat masih di bangku kuliah. Katanya sih, dia hanya mampir karena arah ke kantor satu jalur dengan arah rumah ini,” jelas Mama. Tapi Devan malah menangkap hal lain dari tujuan Yasmin berkunjung ke rumahnya. “Apa saja yang kalian bahas sewaktu dia datang, Ma?” tanya Devan lagi. “Aduh Van, kamu itu kok mendadak cerewet seperti detektif sih?” protes mama. “Sudahlah Ma jawab saja dulu,” ujar Devan tidak sabar. Ibu Devan tersenyum getir, “dia membahas masalah anak.” Devan dan Alin saling memandang satu sama lain. Mereka seakan berkomunikasi lewat tatapan mata. “Memangnya apa yang dia inginkan, Ma?” tanya Alin. “Dia menawarkan diri untuk menjadi istri kedua Devan karena ber