Mama Alin tidak serta merta langsung mempercayai jawaban Alin. Yang dia tahu, selama ini kekasih Alin sangat menyayangi anaknya.
"Kamu jangan bercanda, Nak!” tegur mami.
"Aku tidak bercanda, Mi. Aku mengatakan yang sebenarnya," jawab Alin.
"Tapi kenapa, Nak? Bukankah kalian sebentar lagi akan melaksanakan lamaran?"
Bibir Alin mendadak kelu saat hendak menjawab pertanyaan maminya. Dia sangat berat mengatakan alasannya pada maminya.
"Apa Rendra berselingkuh di belakangmu?" tanya Rita memicing.
Degg!
Alin tersentak dengan pemikiran maminya yang tepat sasaran. Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia berusaha tenang dan merangkai kalimat yang tepat agar maminya tidak terpancing emosi.
"Benar, Mi. Mas Rendra bahkan telah mengakhiri hubungan kami tadi malam, tepat di depan seluruh keluarganya," jawab Alin dengan tenang.
Brakk!
Mami Alin menggebrak meja dengan keras. Dadanya bergemuruh menahan amarah yang sudah membuncah.
"Bukankah selama ini mereka yang selalu menginginkan kalian agar segera mengikat hubungan?"
"Iya, Mi. Tapi itu dulu, sebelum keluarga kita bangkrut," jawab Alin sendu.
"Kurang ajar si Rendra, berani-beraninya dia mempermainkan dan merendahkanmu di depan keluarganya. Lihat saja, Mama akan ke sana untuk memberinya perhitungan," ujarnya penuh amarah.
"Tidak, Mami jangan nekat ke sana. Alin nggak mau jika sampai kehadiran Mami di sana malah membuat mereka semakin menginjak harga diri Mami dan Papi. Cukup Alin saja yang mereka hina, Alin nggak rela jika Mami dan Papi juga ikut mereka rendahkan," ucap Alin mencegah.
Wajah mami Alin berubah menjadi sendu. Dia menatap putrinya yang tetap tegar walau sangat terlihat memendam kesedihan dan kekecewaan.
"Lin, kenapa mereka tega melakukan ini pada padamu, Nak? Padahal dulu keluarga kita selalu membantu mereka saat orang lain tidak peduli pada keluarga mereka," ujar Mami Alin.
"Ma, selama ini mereka tidak pernah benar-benar tulus dengan keluarga kita, Ma. Dulu, mereka mendekat karena keluarga kita masih punya power, Ma. Tapi setelah usaha keluarga kita diambang kebangkrutan, mereka mulai menunjukkan perangai asli mereka pada keluarga kita," jawab Alin menimpali.
Mami Alin langsung memeluk putrinya dengan sangat erat. Dia sangat sedih dengan nasib malang putrinya diperlakukan seperti sampah.
"Mami tahu Nak, kamu pasti sangat hancur saat ini. Menangislah Nak, keluarkan semua kekecewaanmu. Jangan dipendam dan ditahan lagi," ucap Mami Alin.
Alin menumpahkan semua air matanya dipelukan sang ibunda. Dia benar-benar mengeluarkan semua kekecewaan yang dia rasakan.
***
Sementara itu, Papi Alin yang baru saja pulang sedikit heran melihat dua wanita yang sangat dia cintai sedang berpelukan. Terlebih, saat ia melihat putrinya yang menangis di pelukan istri tercinta.
"Ma, kenapa Alin menangis?" tanya Papi penasaran.
Alin dan maminya segera melepaskan pelukannya begitu mendengar suara kepala keluarga itu mendekat ke arah mereka.
"Rendra, Pi! Tega-teganya, dia mencampakkan Alin dan menginjak harga diri kita di depan keluarganya setelah tahu keluarga kita bangkrut, Pi. Mami nggak terima putri kita diperlakukan seperti sampah!" seru Mami penuh emosi.
Papi mengepalkan tangannya untuk menyalurkan emosi yang dia pendam. Ia menghela nafasnya dengan panjang melihat kekecewaan sang istri. Lelaki itu juga melirik Alin yang tengah mengusap air matanya.
"Papi sudah mengetahui tentang hal ini, Mi. Jujur saja, Papi sendiri juga sangat terkejut dengan sikap keluarga mereka yang berubah dalam waktu singkat. Apa lagi, dulu mereka selalu menggaung-gaungkan putri kita sebagai calon menantu mereka," ucap Papi menahan amarah.
"Dari mana Papi tahu kalau Rendra sudah membuangku, Pi?" tanya Alin tiba-tiba.
"Papi punya beberapa relasi yang masih berhubungan baik dengan Papi. Jadi tidak sulit untuk mendapatkan informasi apapun," jawab Papi sambil menatap lurus ke depan.
"Lalu bagaimana dengan nasib anak kita sekarang, Pi? Mami nggak sanggup melihat Alin bersedih seperti ini," ucap mami Alin sambil merangkul pundak putrinya.
Papi menoleh ke arah Alin yang masih sesekali menyeka air matanya. Dia tampak mengamati perban yang melingkar di kepala Alin.
"Kepalamu kenapa diperban, Nak?"
"Tadi malam habis tertabrak mobil, Pa. Tapi nanti pasti juga sembuh sendiri kok," jawab Alin dengan cepat.
"Pantas saja kamu tidak pulang semalam," ujar papi dengan tenang.
Melihat suaminya sikap yang tetap tenang saat melihat putrinya terluka membuat mami Alin sedikit terusik. Namun dia hanya bisa menahannya karena dia yakin sang suami pasti punya rencana tersendiri.
"Maafkan Alin, Pi, Mi," ucap Alin menunduk.
"Nak, coba lihat mata Papi sekarang!"
Alin mendongak menatap bola mata papinya yang setajam elang.
"Kamu boleh bersedih dan patah hati, Nak. Tapi jangan sampai kesedihanmu membuatmu menjadi hancur. Jangan membuang waktumu untuk menangisi bajingan itu, Nak. Masih ada kami yang akan terus menyayangimu melebihi apa pun," ucap papi menasihati.
Papi lalu menghapus air mata yang masih tersisa di pipi Alin. Dia juga memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Papi tidak akan membiarkan siapapun menyakiti putri kecil Papi, Lin. Berjanjilah jika ini adalah air mata terakhirmu untuk bajingan itu," ujar papi dengan tenang.
"Alin janji Mi, Pi, Alin nggak akan menangisi bajingan itu lagi. Alin akan membalas perbuatan mereka dan membuat mereka menyesal sudah merendahkan Mami dan Papi," ucap Alin bersungguh-sungguh.
"Bagus, itu baru putri Papi."
Tiiinnnn!
Tiiinnnn!
Tiiinnnn!
Perhatian ketiganya teralihkan saat mendengar bunyi klakson terdengar dari luar rumah.
"Pi, sepertinya ada yang datang bertamu," kata Alin.
"Siapa yang bertamu? Seingat Papi tidak ada teman Papi yang akan ke sini," jawab Papi.
"Biar Mami saja yang membuka pintunya, Lin. Kamu duduk saja!" ucap Mami Alin ketika putrinya hendak berdiri membuka pintu.
Alin hanya mengangguk menuruti perintah ibunya. Mami Alin segera ke depan untuk membuka pintu, namun alangkah terkejutnya dia ketika melihat banyak bodyguard yang berjaga di depan.
"Maaf, ada perlu apa kalian datang ke mari, Tuan?" tanya Mami Alin hati-hati.
Seorang lelaki berkacamata hitam tampak ke luar dari mobil mewahnya dan berjalan ke arah mami Alin yang berdiri mematung.
"Aku datang untuk menjemput calon istriku."
Mami Alin tersentak dengan pernyataan lelaki itu. Pikirannya menerka-nerka tentang calon istri lelaki di depannya ini.
'Sepertinya aku pernah melihat orang ini, tapi di mana? Siapa sebenarnya yang orang ini cari?' batinnya sambil memindai lelaki di depannya.
"Apa Anda akan membiarkan tamu Anda tetap berdiri di depan pintu, Nyonya?"
Mami Alin tersentak dengan teguran lelaki itu, dia segera mempersilahkan lelaki itu untuk masuk ke dalam. Mami Alin segera menghampiri suaminya yang sedang duduk bersama putrinya.
"Pa, ada tamu aneh. Masa dia mencari calon istrinya di sini?" ucap mami Alin sedikit berbisik.
Belum sampai papi menjawab ucapan mami Alin, mereka dikejutkan dengan suara bariton yang menggema di seluruh ruang tamu.
"Selamat siang, Tuan Wira. Apakah saya mengganggu waktu Anda, Tuan?"
"Tu-Tuan Devan, kenapa Anda ke sini?" panik Wira.
"Kenapa Anda sangat terkejut, Tuan? Tenangkan dirimu, kedatanganku saat ini bukan untuk menagih jawabanmu. Aku datang untuk menjemput calon istriku karena nanti malam aku akan mengajaknya bertemu dengan beberapa klienku," ucap Devan datar.
Tatapannya tak sengaja bertemu dengan gadis yang ia cari. Sementara itu, Alin hanya bisa menahan diri untuk mengendalikan ekspresi terkejutnya.
"Calon istri?" tanya mami Alin membeo. "Tunggu, sebenarnya siapa yang Anda maksud sebagai calon istri, Tuan?" "Dia!" Devan menunjuk Alin yang berdiri mematung.Baik papi maupun mami Alin sangat terkejut terlebih melihat Alin yang tidak menunjukkan reaksi apapun. "Lin, apa benar yang dikatakan Tuan Devan, Lin?" tanya mami tidak percaya. "Benar, Mi, Pi. Maafkan Alin karena belum sempat membicarakan hal ini pada kalian berdua. Alin terpaksa—"Ucapan Alin terpotong saat Devan menginterupsi. "Bagaimana, Papa Mertua? Anda bisa melihat sendiri kan kalau putri Anda juga menginginkan pernikahan ini terjadi?" tanya Devan menyunggingkan senyum. "Jadi, sebenarnya kalian sudah saling mengenal sebelumnya?" tanya papi dengan cepat.Lelaki paruh baya itu melirik putrinya yang masih menunduk. "Iya, Pi. Baru tadi malam," cicit Alin. "Baru tadi malam?" Papi menghela nafasnya, "Nak, apakah kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu ini?" tanya papi lagi. "Iya, Pi aku yakin dengan keputusan yang
Bibir Alin terkunci rapat. Dia tidak berani sedikit pun bersuara tanpa perintah Devan. Tangannya terus menggenggam erat tangan lelaki di sampingnya. "Selamat malam, Tuan Drajat, Tuan Rendra. Satu kehormatan kami bisa memenuhi undangan kalian," ucap Niko mewakili. "Selamat malam Tuan Niko, Tuan Devan. Terima kasih sudah berkenan meluangkan waktu untuk hadir di sini," jawab Drajat berusaha ramah. Dua lelaki berbeda generasi itu berusaha menahan rasa terkejutnya di depan Devan.Lelaki tua itu mengulurkan tangannya pada Devan namun Devan mengabaikannya. Akhirnya lelaki itu menarik lagi tangannya dengan tetap mengukir senyum kepalsuan. "Sepertinya kalian sangat mengenal wanita yang berada di samping saya ya?" tanya Devan tiba-tiba. "Ti-tidak Tuan, kami tidak mengenalnya sama sekali," sahut Drajat gelagapan.Sedangkan Rendra, ia tak berhenti menatap Alin dengan tatapan memuja. Matanya tak berkedip menikmati kecantikan sang mantan yang semakin terlihat setelah dia usir dari hidupnya.Se
Alin masih terus menyimak setiap perkataan Devan tanpa menyelanya sedikit pun. "Walau kita menikah karena sebuah kerja sama dan tanpa di dasari cinta, tapi aku ingin kita tetap saling mengenal satu sama lain terlebih dahulu. Bagaimana menurut pendapatmu?" sambung Devan bertanya. "Aku rasa ada benarnya juga, kita memang harus saling mengenal. Sekarang katakan apa yang ingin kau ketahui dariku, Tuan?" "Sudah berulang kali kukatakan jangan panggil aku Tuan, Alin!" tegas Devan datar. "Tapi saat ini kita hanya berdua saja, Tuan. Jangan lupakan itu," jawab Alin tenang. "Kau memang bebal, Lin!" ujar Devan bersungut. "Aku ingin tahu, kenapa kau sangat menggilai lelaki pecundang seperti Rendra?"Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia sangat malas membahas perihal Rendra saat ini. "Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih berbobot? Bukankah kau sudah menyelidiki kehidupanku?" tanya Alin dingin.Devan terperanjat dengan jawaban Alin. Perubahan sikapnya membuat Devan semakin penasaran d
Devan melipat tangannya di dada sambil terus memperhatikan ekspresi wajah Alin yang terlihat masih bimbang."Kalau aku tidak yakin dengan keputusanku, mana mungkin aku sampai mau merepotkan diri untuk membujukmu agar bersedia menikah denganku? Memangnya kau ini siapa?"Mata Alin memicing, senyum smirk tercetak di bibir mungilnya."Wah ternyata sepenting itu ya peran saya di hidup Anda?" tanya Alin."Jangan terlalu percaya diri dulu, aku memilihmu karena berbagai pertimbangan. Bukankah kau dan keluargamu juga diuntungkan di sini?" balas Devan sinis."Ya, kau benar. Terserah kau saja," sahut Alin ketus.Mereka saling diam dan mencoba menyelami pikiran masing-masing. Suara deburan ombak yang menghantam karang bagaikan alunan relaksasi yang menenangkan pikiran."Kapan kau akan memperkenalkanku pada seluruh keluargamu?" tanya Alin tiba-tiba."Secepatnya. Lebih cepat lebih baik," jawab Deva
Papi Alin yang sedang mengurus berkas pengajuan kerja sama dengan perusahaan Devan langsung meninggalkan pekerjaannya setelah mendapat kabar dari sang istri jika alergi yang diderita Alin kambuh. Sesampainya di rumah, lelaki itu mendapati sang istri tengah menangis di ruang sofa. "Mi, ayo kita berangkat ke rumah sakit sekarang!" ajak papi. "Anak kita, Pi. Mami takut terjadi sesuatu dengan Alin," ujarnya sambil memeluk papi. "Alin anak yang kuat, Mi. Dia tidak akan semudah itu rapuh. Bersiaplah, kita akan segera berangkat menyusul Alin." *** Mereka bergegas meluncur ke rumah sakit . Sesampainya di sana, keduanya langsung disambut oleh asisten Devan yang sengaja menunggu mereka di depan rumah sakit. "Tuan, Nyonya mari ikut saya ke ruangan Nona Alindra," ujar asisten Devan. Mereka berdua segera mengikuti langkah asisten Devan menuju ruangan tempat Alin dirawat. Sesampainya di ruangan, mami langsung mendekat ke sisi ranjang Alin. Wanita paruh baya itu menatap sendu putrinya yang m
Ancaman mama sukses membuat Devan diam tak berkutik. Selama ini Devan selalu menolak dijodohkan dengan alasan sudah mempunyai kekasih namun tidak pernah diajak ke rumah ibunya walau sang ibu selalu meminta untuk membawanya datang.“Iya Ma iya, pokoknya nanti deh Devan bakal secepatnya membawa kekasih Devan ke rumah utama,” jawab Devan menenangkan.“Jangan bohong lagi sama Mama, Van. Nggak baik lho terus menerus membohongi orang tua,” sindir sang ibu.Devan hanya cengengesan ketika menghadapi ibunya yang sedang mengomel. Tak berselang lama, pelayan datang memberi tahu jika makan siang sudah siap.“Ma, kita makan siang dulu, ya. Devan sudah lapar,” ajak Devan.Mereka bergegas menuju ke ruang makan. Saat sedang menikmati makan siang mereka, mami yang masih penasaran dengan wanita yang sempat diajak kencan oleh Devan kembali menanyakannya.“Van, sebenarnya siapa sih, Van wanita yang kamu ajak kencan semalam? Tadi Ma
Setelah mengatakan kalimat pedas itu, Devan langsung meninggalkan wanita itu sendirian di kafe. Dia bergegas menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, dia segera menuju ruangan VVIP. Saat dia membuka pintu, dia melihat Alin sedang disuapi oleh ibunya. “Om, Tante, sudah lama di sini?” tanya Devan sambil menyalami kedua orang tua Alin. “Sudah sejak pagi tadi, Nak,” jawab papi mewakili. “Lin, bagaimana keadaan kamu sekarang?” tanyanya lembut pada Alin. “Sudah jauh lebih baik, Mas. Kata Dokter besok sudah bisa pulang,” jawab Alin. “Syukurlah kalau begitu." Devan lalu beralih menatap kedua orang tua Alin bergantian, "Om, Tante maafkan saya karena lalai menjaga Alin. Ke depannya saya akan memastikan kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi,” ucap Devan memohon. “Tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri, Mas. Andai aku tahu jika di makanan yang aku makan tadi malam ada udangnya aku pasti nggak akan makan kok. Ini bukan kesalahanmu, Mas!” ujar Alin menenangkan. “Sebaiknya meman
Wanita itu terkesiap melihat kedatangan Devan. Dia langsung berdiri dari duduknya dan berusaha terlihat ramah. “Maaf, aku ke sini atas permintaan Tante Ratna, Kak!” jawabnya.“Sekali lagi kutegaskan, aku bukan kakakmu.”“Ma-af, Tuan,” ucapnya menunduk.“Satu lagi, bukankah katamu kau akan berangkat ke luar negeri? Kenapa masih di sini?” Gadis itu menggigit ujung bibirnya, “Aku menunda keberangkatanku hingga besok,” cicitnya sambil menunduk.“Pelayan!” teriak Devan dengan menggelegar.Salah satu pelayan tergopoh-gopoh menghadap Devan.“Siapa yang menyuruhmu mempersilahkan masuk tamu tidak dikenal?” tanya Devan garang.“Maaf, Tuan, Nyonya Besar yang menyuruh saya membukakan pintu. Saya mohon Tuan, jangan pecat saya,” ucap pelayan itu dengan nada memohon.“Ya sudah lanjutkan pekerjaanmu!” “Terima kasih, Tuan.” Pelayan itu berlalu dari hadapan Devan dengan kelegaan yang luar biasa.Diam-diam gadis itu mengepalkan tangannya. Sedangkan Devan langsung berlalu mencari ibunya tanpa menghira
Tak berselang lama, polisi dan Reno datang meringkus Rendra dan juga sepupunya. Mereka juga mengamankan preman-preman itu ke kantor polisi. Sedangkan Devan dan Alin segera pergi dari tempat itu.Sepanjang perjalanan, Devan tak tahan dengan rasa ingin tahunya. Dia segera bertanya pada sang istri mengenai keadaan sang istri saat ini."Sayang, sejak kapan ingatanmu kembali?" tanya Devan."Sejak saat putra kita menghilang, Mas. Tapi saat itu aku memutuskan untuk diam dulu sambil mengamati keadaan. Aku bergerak dalam diam dan aku sengaja mengecoh orang-orang agar mereka mengira aku masih hilang ingatan," jawab Alin."Untuk apa?" tanya Devan."Untuk mengetahui siapa saja yang hendak memanfaatkan keadaanku untuk mencari keuntungan." "Apapun itu, aku bahagia karena kamu sudah mengingat semuanya Sayang. Aku bisa lebih fokus untuk mencari keberadaan putra kita sekarang," jawab Devan dengan lega.Alin tersenyum tenang, "Mas jangan khawatir. Aku sudah tahu di mana keberadaan putra kita."Devan m
Tanpa pikir panjang, Devan langsung berlari ke dalam mencari keberadaan Alin. Dia masuk ke salah satu bilik tersebut. Akan tetapi, bilik tersebut ternyata dijaga oleh beberapa preman. Devan memancing preman tersebut untuk menjauh dari depan pintu dan berkelahi di luar.Tidak sulit mengalahkan para preman itu karena Devan sangat jago ilmu bela diri. Dalam sekejap, para preman itu langsung tumbang tak sadarkan diri. "Apa hanya segitu saja kemampuan kalian? Cih payah sekali kalian ini. Badan saja besar, tapi kemampuan nol. Ayo bangun dan serang saya. Hitung-hitung pemanasan," ejek Devan.Saat salah satu preman hendak bangun dan kembali menyerang, dalam satu pukulan saja preman tersebut sudah tidak mampu lagi bergerak. Devan segera masuk ke dalam setelah memastikan seluruh preman bayaran itu tumbang. Di depan pintu, dia mengendap-endap masuk dan mendengarkan percakapan dua orang yang sedang berada di ruangan tempat Alin di sekap."Ren, menurutmu, apakah Tuan Devan akan benar-benar datan
Setelah menempuh perjalanan laut selama lima hari, akhirnya akhirnya mereka sampai di kota A di pulau seberang. Mereka sengaja membawa bayi itu jauh dari pulau asalnya agar tidak mudah terlacak. Mereka langsung membawa bayi itu ke panti asuhan setempat. Mereka disambut baik oleh pemilik panti."Mari silakan masuk Bapak, Ibu."Setelah mereka dipersilahkan duduk dan disuguhi minuman, pemilik panti langsung bertanya maksud dan tujuan keduanya datang."Kalau boleh saya tahu, ada tujuan apakah Bapak dan Ibu datang ke sini?" "Kami ingin menitipkan bayi ini di sini, Bu," jawab Wina.Pemilik panti tersebut heran dengan sikap pasangan di depannya ini. Tega-teganya mereka hendak menitipkan bayi mungil tak berdosa itu di panti asuhan."Maaf Bapak, Ibu, tapi kenapa? Bukankah itu darah daging kalian? Apa kalian benar-benar tega meninggalkan mereka di sini?" tanya wanita setengah baya tersebut. "Bayi ini bukan anak kami, Bu. Kami menemukannya secara tidak sengaja di depan rumah kami. Jadi kami me
Rendra hanya menyunggingkan senyumnya saat ibu Alin menuduhnya sebagai pelaku penculikan putra Alin. Dia terlihat santai saja dengan tuduhan yang terlontar dari mulut ibu Alin. Sedangkan Alin hanya diam saja tanpa menanggapi lelaki itu. "Atas dasar apa Anda menuduh saya dalang dibalik penculikan cucu Anda Tante? Lihatlah, Alin saja tidak banyak bicara. Kenapa Anda malah terlihat sensi sekali Tante?" tanya Rendra dengan santai."Karena Lindra adalah cucuku!" jawab ibu Alin dengan penuh emosi."Lin, kenapa dari tadi kamu diam saja? Apa kamu tidak merasa kehilangan bayimu? Atau kamu malah senang jika bayimu tidak ditemukan?" tanya Rendra pada Alin."Sebenarnya Anda ini siapa? Saya perhatikan sejak tadi Anda selalu membicarakan hal yang berbau provokasi," jawab Alin dengan tenang."Lin, aku Rendra, Lin. Orang yang pernah ada di hatimu. Tidak mungkin kamu lupa denganku, kan?" "Apa maksudnya kalau kamu pernah ada di hatiku? Dan sebenarnya, apa tujuanmu datang ke sini? Aku sungguh tidak me
Wina tampak berpikir sejenak dengan gagasan yang disampaikan lelaki itu."Baiklah, kita harus bergerak cepat malam ini juga," kata Wina."Apa? Malam ini? Apa kau sudah gila? Tidak mungkin kita jalan malam ini. Apa kamu nggak kelelahan dengan pertempuran kita tadi? Apa kamu nggak mau mengulanginya lagi?" tanya lelaki itu—menaik turunkan alisnya."Kita tidak punya banyak waktu, Tuan Tama yang terhormat. Kalau kita menunda-nunda, mereka pasti akan menemukan dan menangkap kita," ucap Wina penuh penekanan."Sepertinya kau sangat takut sekali dengan si Devan itu ya?" tanya lelaki itu."Bagaimana aku tidak takut? Aku pernah menjalin hubungan dengannya, sudah pasti aku tahu bagaimana watak Devan. Kau sendiri saudaranya tapi malah tidak memahami bagaimana karakter saudaramu sendiri," ujar Wina meremehkan."Aku memang tidak tahu banyak tentang kehidupan Devan karena aku jarang bertemu dengannya. Aku juga sangat jarang berinteraksi dengannya selama ini karena aku sering berada di luar negeri. Wa
"Sialan, siapa kau? Berani-beraninya mengancam ku!" sentak lelaki itu."Kau tidak perlu tahu siapa aku, cukup kau dengarkan saja perintahku. Jangan pernah mengusik keluarga Alin atau kau akan menyesal."Setelah mengatakan itu, penelepon itu memutuskan panggilan secara sepihak. "Siapa yang menelepon?" tanya wanita itu."Nomor tidak jelas. Berani-beraninya dia mengancam ku agar tidak mengganggu Devan dan Alin.""Kurang ajar, sepertinya mereka mengutus mata-mata untuk mengawasi kita," jawab wanita itu."Aku tidak yakin, tapi sepertinya orang itu bukan suruhan Devan. Lelaki itu tidak mungkin bisa mengendus gerak gerik kita. Kita harus berhati-hati, jangan melakukan hal yang bisa membuat mereka curiga dan kedok kita terbongkar," kata orang itu.***Sedangkan di sisi lain, Rendra dan sepupunya saat ini sedang mencari informasi tentang Alin."Bagaimana? Apa kamu sudah mendapatkan informasi?" tanya sepupu Rendra."Alin sudah melahirkan, tapi sekarang penjagaan semakin diperketat. Sangat suli
Hari demi hari mereka lalui dengan sukacita. Devan juga sudah mulai beraktivitas di luar rumah. Dia yang berpikir semua sudah aman mulai lengah dari penjagaan. Lelaki itu tidak menyadari jika bahaya sedang mengintai keluarga kecil mereka. Hari ini, dia harus berangkat ke Surabaya karena salah satu klien berpengaruh meminta mengadakan pertemuan dengan Devan secara langsung di Surabaya."Tidak apa-apa Mas, berangkatlah. Aku bisa menjaga diri dan anak kita," kata Alin meyakinkan Devan."Kalau ada apa-apa segera hubungi Mas. Mas sudah mengabari Mami agar ke sini menemanimu," kata Devan.Lelaki itu mengecup kening sang istri dengan penuh cinta sebelum meninggalkannya pergi ke Surabaya."Jagoan Daddy baik-baik di rumah sama Mommy ya. Jangan nakal dan jangan rewel, kasihan Mommy. Daddy tinggal sebentar ke Surabaya," ucap Devan pada bayi mungil itu.Dengan berat hati, Devan meninggalkan mereka. Bertepatan dengan itu, hari ini baby sitter yang di rekomendasikan oleh salah satu saudara Devan d
Devan langsung menuju ruang perawatan bayi untuk memastikan keadaan sang anak. Setelahnya, lelaki itu langsung memanggil seluruh suster, dokter dan pihak keamanan yang bertugas menjaga sang anak. Sang kakak pun tidak mengira jika mereka lalai. “Apa saja pekerjaan kalian? Menjaga bayi saja kalian tidak becus. Untung saja anakku tidak hilang,” kata Devan marah. “Ampuni kami, Tuan, kami lalai menjaga bayi Tuan. Tadi ada seseorang yang menyamar sebagai suster hendak masuk ke ruangan Tuan kecil. Kami kira, dia memang benar-benar suster yang hendak memeriksa Tuan kecil. Tapi ternyata dia hendak membawa kabur Tuan kecil. Andai kami tahu dari awal, kami pasti tidak akan membiarkannya membawa Tuan kecil, Tuan. Ampuni kami,” ucap penjaga dengan gemetar. Devan mengangguk, “ya sudah tidak apa-apa. Jangan diulangi lagi, dan aku ingin kalian perketat keamanan di sini. Aku tidak mau hal seperti ini terulang kembali,” kata Devan.Setelah mengatakan hal itu, Devan langsung pergi meninggalkan mereka
Sang sepupu sangat menyayangkan sikap Rendra yang cenderung lembek. Wanita itu sangat dendam dengan Alin dan juga sang suami karena gara-gara mereka kini dia kehilangan pekerjaannya."Ndra, kamu itu laki-laki jangan lembek seperti ini. Apa kamu nggak kasihan sama kedua orang tua kamu? Apa kamu nggak mikirin mereka juga?" Rendra tampak terdiam dan menimbang-nimbang. Sedangkan sang sepupu terus saja meracuni pikiran Rendra agar mau bekerja sama dengannya."Apa kamu tidak sakit hati melihat kebahagiaan Alin di sana, sedangkan kamu di sini menderita? Lihatlah, mereka tertawa di atas kesedihan dan penderitaanmu. Pikirkan itu baik-baik," ujar sang sepupu sebelum berlalu pergi."Tunggu, apa ada yang bisa menjamin keamanan dan keselamatan kita jika kita kembali membuat ulah dan mengusik keluarga mereka? Kau tentu belum lupa kan bagaimana manusia-manusia itu menyingkirkan mu dari perusahaan? Bagi mereka, melenyapkan orang seperti kita bukanlah hal yang sulit dilakukan. Apalagi kita tidak puny