"Calon istri?" tanya mami Alin membeo. "Tunggu, sebenarnya siapa yang Anda maksud sebagai calon istri, Tuan?"
"Dia!" Devan menunjuk Alin yang berdiri mematung.
Baik papi maupun mami Alin sangat terkejut terlebih melihat Alin yang tidak menunjukkan reaksi apapun.
"Lin, apa benar yang dikatakan Tuan Devan, Lin?" tanya mami tidak percaya.
"Benar, Mi, Pi. Maafkan Alin karena belum sempat membicarakan hal ini pada kalian berdua. Alin terpaksa—"
Ucapan Alin terpotong saat Devan menginterupsi.
"Bagaimana, Papa Mertua? Anda bisa melihat sendiri kan kalau putri Anda juga menginginkan pernikahan ini terjadi?" tanya Devan menyunggingkan senyum.
"Jadi, sebenarnya kalian sudah saling mengenal sebelumnya?" tanya papi dengan cepat.
Lelaki paruh baya itu melirik putrinya yang masih menunduk.
"Iya, Pi. Baru tadi malam," cicit Alin.
"Baru tadi malam?" Papi menghela nafasnya, "Nak, apakah kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu ini?" tanya papi lagi.
"Iya, Pi aku yakin dengan keputusan yang sudah aku ambil. Seperti kata Tuan Devan jika kesempatan tidak akan datang dua kali. Aku akan membuktikan pada Rendra dan keluarganya jika mereka sudah mengusik orang yang salah," jawab Alin dengan mantab.
"Pi, sebenarnya ada apa dengan kalian berdua? Apa yang sudah kalian sembunyikan dari Mami?" tanya Mami penasaran.
Atas persetujuan Devan, akhirnya papi menjelaskan pada mami perihal tawaran yang diberikan Devan padanya hari ini.
"Tidak, Mami tidak setuju, Pi. Bagaimana mungkin kamu mau mengorbankan putri kita hanya demi menyelamatkan perusahaan?" Mami beralih melihat putrinya dan Devan bergantian, "kalian berdua juga, apa kalian pikir menjalani pernikahan itu mudah? Pernikahan itu berat, jangan sampai kau membuat putriku sengsara hanya karena menuruti egomu semata!" ujarnya pada Devan.
"Begini Nyonya, walau kami baru saling mengenal tapi saya yakin bisa bertanggung jawab terhadap Alin. Anda tenang saja Nyonya, saya tidak akan menelantarkan putri Anda. Saya akan menjamin semua kebutuhannya bahkan bila perlu saya juga akan memberinya fasilitas dan kemewahan melebihi apa yang kalian berikan padanya," tukas Devan.
"Tapi ini bukan tentang fasilitas dan kemewahan, Tuan Devan yang terhormat!" ucap mami penuh penekanan.
"Mi, sudah Mi. Percayalah sama Alin, Mi. Alin sudah memikirkan semua ini dengan matang, Mi. Demi keluarga kita, demi harga diri Mami dan Papi," sahut Alin menenangkan ibunya.
"Lin, jangan memaksakan dirimu hanya demi mengembalikan nama baik keluarga kita. Mami dan Papi masih bisa mengatasi ini, Nak. Tidak baik menjalani pernikahan dengan keterpaksaan," ucap mami menasehati.
"Tidak ada rasa terpaksa dalam diri Alin, Mi. Tong berikan restu Mami dan Papi kepada kami," ucap Alin memohon.
"Pi kamu jangan langsung menyetujui rencana gila mereka dong, Pi. Menikah itu perlu persiapan yang matang sedangkan keluarga kita saja masih dalam kondisi seperti ini," ucap mami pada papi.
"Mi, putri kita sudah beranjak dewasa. Yakinlah jika pilihannya saat ini sudah benar. Dan kita sebagai orang tua harus mendukung keputusan anak kita, Mi," jawab papi.
Dengan berat hati, akhirnya mami menerima keputusan Alin. Sedangkan Devan melirik arloji mahalnya. Baginya waktu adalah uang dan dia sangat pantang membuang waktu.
"Alin segera ikut saya sekarang juga, saya izin membawa Alin pergi. Waktu saya sudah terbuang banyak karena hal ini," ucap Devan tanpa bisa dibantah.
Ketiganya terdiam.
Meski khawatir, akhirnya, mami dan papi mengizinkan Devan membawa Alin.
Hanya saja, sepanjang perjalanan, keduanya saling diam tanpa ada yang memulai pembicaraan.
Devan terus fokus menatap tabletnya, sedangkan Alin memandang luar jendela. Dia menatap anak-anak kecil yang tengah berdiri dan meminta-minta.
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Jangan melamun, tidak baik untuk kesehatan jiwamu."
Alin terkesiap mendengar kalimat yang diucapkan Devan.
"Aku tidak sedang melamun. Aku hanya sedang menikmati suasana saja," ujar Alin beralasan.
"Terserah kau saja!" Devan kembali fokus ke tabletnya.
"Kita mau ke mana?" tanya Alin tiba-tiba.
"Ke salon kecantikan," jawab Devan singkat.
"Untuk apa kita ke sana?" bingung Alin.
"Untuk mendandanimu, Nona. Jangan lupa jika nanti malam kamu harus menemaniku menemui klienku. Jadi aku ingin kamu harus tampil cantik paripurna," ujar Devan tanpa memandang Alin.
"Tapi kan aku bisa dandan sendiri Tuan!"
Devan mulai jengah dengan setiap pertanyaan dan sanggahan yang Alin lontarkan.
"Sebaiknya diamlah, jangan banyak protes. Aku tidak suka kamu terlalu banyak bicara," ucap Devan dingin.
Mendengar itu, Alin langsung mengunci mulutnya. Ini kali pertama ia melihat pria itu berbicara amat serius padanya.
Jujur saja, Alin bahkan sempat lupa jika pria di hadapannya itu jauh di atasnya dan terkenal sebagai pengusaha bertangan emas.Untungnya, tak butuh lama, mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah salon kecantikan ternama.
Devan langsung turun dan menemui di pemilik salon tersebut yang mendadak heboh karena kehadiran bujangan paling diinginkan di kota itu.
"Astaga Tuan Devan, kenapa Anda tidak mengabari dulu jika akan ke sini?" tanya pria gemulai itu dengan genit.
"Berikan paket perawatan terbaik untuk calon istriku, layani dia dengan baik dan pastikan calon istriku puas dengan pelayanan salon ini. Aku ingin kau membuatnya menjadi berbeda. Kau punya waktu hingga sore nanti untuk membuatku terpukau dengan tangan dinginmu itu!" ucap Devan tanpa basa basi.
"Tuan Devan, kau selalu saja bersikap seperti kulkas. Tapi aku senang karena sebentar lagi Anda akan menikah. Akhirnya seorang Tuan Devan akan segera melepas masa lajang. Baiklah, aku akan bikin si cantik ini menjadi lebih cantik lagi," jawab si pria gemulai itu dengan semangat.
"Sudahlah jangan banyak bicara dan segera lakukan tugasmu dengan baik!" ucap Devan dingin.
Ia bahkan langsung meninggalkan Alin bersama pria gemulai tadi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sebenarnya, ada beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan di perusahaan.
Di sisi lain, Alin hanya bisa pasrah ketika dibawa oleh lelaki gemulai itu ke sebuah ruangan untuk melakukan perawatan rambut terlebih dan perawatan lainnya.
Pelayanan yang diberikan di salon itu benar-benar membuat Alin terlena.
"Bagaimana dengan pelayanan kami, cin?" tanya pria gemulai itu.
"Pelayanan kalian sangat bagus Kak, saya sangat suka," puji Alin jujur.
"Wah terima kasih cin. Kamu beruntung deh bisa mendapatkan hati Tuan Devan. Dia itu pokoknya paket lengkap deh. Sudah tajir melintir, royal lagi. Sayangnya sampai usia hampir kepala empat masih betah saja dia melajang," ujar lelaki gemulai itu jujur.
Alin mulai tertarik dengan topik yang dibicarakan orang ini dengannya.
"Jadi Anda ini sudah mengenal Tuan Devan sejak lama ya?" tanya Alin penasaran.
"Iya cin, dulu waktu salon ini hampir gulung tikar Tuan Devan yang nolongin buat kasih modal sampai akhirnya salon ini bisa berdiri lagi sampai sekarang. Walau orangnya dingin, tapi sebenarnya dia sangat baik lho cin," jawab lelaki gemulai itu penuh semangat sembari melanjutkan berbagai perawatan untuk calon Nyonya Bimantara itu.
Tak terasa, Alin berada di salon itu sampai sore tiba.
Dia bahkan sudah didandani secantik mungkin oleh pemilik salon tersebut sesuai permintaan Devan. Tak lupa dia juga memakai gaun yang sudah dipesan Devan dan langsung dikirimkan ke salon itu siang tadi.
"Pantas saja Tuan Devan sampai tergila-gila, ternyata cantiknya memang nggak ketulungan. Tuan Devan pasti pangling dengan hasil karyaku," puji pria gemulai itu setelah melihat hasil polesannya.
Alin tersipu mendengar pujian orang di depannya ini.
Benar saja, Devan yang baru sampai pun sampai tidak mengedipkan matanya saat melihat Alin. Tatapannya tampak sangat terlihat memuja kecantikan Alin.
"Kamu terlihat sempurna," ucapnya terpana.
"Bagaimana Tuan? Apakah Anda puas dengan pelayanan saya?" tanya lelaki gemulai itu memancing.
"Saya sangat puas, saya akan bayar lima kali lipat untuk pekerjaan kamu hari ini!" tegas Devan.
Lelaki gemulai itu nampak kegirangan. Tidak sia-sia usahanya hari ini karena Devan selalu memberinya bayaran yang tinggi.
Sedangkan Devan, ia langsung menggandeng tangan Alin dan mengajaknya segera pergi dari tempat itu. Mereka pergi ke sebuah restoran mewah untuk menemui klien Revan.
Hanya saja, saat hendak ke luar mobil, Devan mendadak menatap Alin dalam.
Semburat merah muncul di wajah perempuan itu. "Ke--kenapa?"
"Jaga sikapmu selama di dalam nanti. Kalau tidak ada yang bertanya padamu, kau harus tetap diam," ujar Devan datar.
"Baik, Tuan."
"Tuan?" ulang Devan sedikit kesal. "Alin, kita ini pasangan. Jangan lupa panggil aku 'Mas'."
"I-iya Mas," jawab Alin kaku.
Terlebih, kala menyadari "Mas Devan" tidak melepaskan genggaman tangannya sepanjang jalan ke dalam restoran.
Dan hal itu tentu saja menarik perhatian beberapa pengunjung yang mengenal Devan.
Alin sedikit kurang nyaman dengan tatapan beberapa wanita berkelas yang terlihat seperti ingin memakannya saat ini. Namun, Devan tetap cuek dan tidak mempedulikannya.
Ceklek!
Pelayan membukakan pintu di ruangan yang sudah dipesan.
Namun, langkah Alin terhenti setelahnya. Ia terpaku melihat lelaki yang telah menunggu mereka.
"Alin, apa yang kamu lakukan di sini?"
Bibir Alin terkunci rapat. Dia tidak berani sedikit pun bersuara tanpa perintah Devan. Tangannya terus menggenggam erat tangan lelaki di sampingnya. "Selamat malam, Tuan Drajat, Tuan Rendra. Satu kehormatan kami bisa memenuhi undangan kalian," ucap Niko mewakili. "Selamat malam Tuan Niko, Tuan Devan. Terima kasih sudah berkenan meluangkan waktu untuk hadir di sini," jawab Drajat berusaha ramah. Dua lelaki berbeda generasi itu berusaha menahan rasa terkejutnya di depan Devan.Lelaki tua itu mengulurkan tangannya pada Devan namun Devan mengabaikannya. Akhirnya lelaki itu menarik lagi tangannya dengan tetap mengukir senyum kepalsuan. "Sepertinya kalian sangat mengenal wanita yang berada di samping saya ya?" tanya Devan tiba-tiba. "Ti-tidak Tuan, kami tidak mengenalnya sama sekali," sahut Drajat gelagapan.Sedangkan Rendra, ia tak berhenti menatap Alin dengan tatapan memuja. Matanya tak berkedip menikmati kecantikan sang mantan yang semakin terlihat setelah dia usir dari hidupnya.Se
Alin masih terus menyimak setiap perkataan Devan tanpa menyelanya sedikit pun. "Walau kita menikah karena sebuah kerja sama dan tanpa di dasari cinta, tapi aku ingin kita tetap saling mengenal satu sama lain terlebih dahulu. Bagaimana menurut pendapatmu?" sambung Devan bertanya. "Aku rasa ada benarnya juga, kita memang harus saling mengenal. Sekarang katakan apa yang ingin kau ketahui dariku, Tuan?" "Sudah berulang kali kukatakan jangan panggil aku Tuan, Alin!" tegas Devan datar. "Tapi saat ini kita hanya berdua saja, Tuan. Jangan lupakan itu," jawab Alin tenang. "Kau memang bebal, Lin!" ujar Devan bersungut. "Aku ingin tahu, kenapa kau sangat menggilai lelaki pecundang seperti Rendra?"Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia sangat malas membahas perihal Rendra saat ini. "Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih berbobot? Bukankah kau sudah menyelidiki kehidupanku?" tanya Alin dingin.Devan terperanjat dengan jawaban Alin. Perubahan sikapnya membuat Devan semakin penasaran d
Devan melipat tangannya di dada sambil terus memperhatikan ekspresi wajah Alin yang terlihat masih bimbang."Kalau aku tidak yakin dengan keputusanku, mana mungkin aku sampai mau merepotkan diri untuk membujukmu agar bersedia menikah denganku? Memangnya kau ini siapa?"Mata Alin memicing, senyum smirk tercetak di bibir mungilnya."Wah ternyata sepenting itu ya peran saya di hidup Anda?" tanya Alin."Jangan terlalu percaya diri dulu, aku memilihmu karena berbagai pertimbangan. Bukankah kau dan keluargamu juga diuntungkan di sini?" balas Devan sinis."Ya, kau benar. Terserah kau saja," sahut Alin ketus.Mereka saling diam dan mencoba menyelami pikiran masing-masing. Suara deburan ombak yang menghantam karang bagaikan alunan relaksasi yang menenangkan pikiran."Kapan kau akan memperkenalkanku pada seluruh keluargamu?" tanya Alin tiba-tiba."Secepatnya. Lebih cepat lebih baik," jawab Deva
Papi Alin yang sedang mengurus berkas pengajuan kerja sama dengan perusahaan Devan langsung meninggalkan pekerjaannya setelah mendapat kabar dari sang istri jika alergi yang diderita Alin kambuh. Sesampainya di rumah, lelaki itu mendapati sang istri tengah menangis di ruang sofa. "Mi, ayo kita berangkat ke rumah sakit sekarang!" ajak papi. "Anak kita, Pi. Mami takut terjadi sesuatu dengan Alin," ujarnya sambil memeluk papi. "Alin anak yang kuat, Mi. Dia tidak akan semudah itu rapuh. Bersiaplah, kita akan segera berangkat menyusul Alin." *** Mereka bergegas meluncur ke rumah sakit . Sesampainya di sana, keduanya langsung disambut oleh asisten Devan yang sengaja menunggu mereka di depan rumah sakit. "Tuan, Nyonya mari ikut saya ke ruangan Nona Alindra," ujar asisten Devan. Mereka berdua segera mengikuti langkah asisten Devan menuju ruangan tempat Alin dirawat. Sesampainya di ruangan, mami langsung mendekat ke sisi ranjang Alin. Wanita paruh baya itu menatap sendu putrinya yang m
Ancaman mama sukses membuat Devan diam tak berkutik. Selama ini Devan selalu menolak dijodohkan dengan alasan sudah mempunyai kekasih namun tidak pernah diajak ke rumah ibunya walau sang ibu selalu meminta untuk membawanya datang.“Iya Ma iya, pokoknya nanti deh Devan bakal secepatnya membawa kekasih Devan ke rumah utama,” jawab Devan menenangkan.“Jangan bohong lagi sama Mama, Van. Nggak baik lho terus menerus membohongi orang tua,” sindir sang ibu.Devan hanya cengengesan ketika menghadapi ibunya yang sedang mengomel. Tak berselang lama, pelayan datang memberi tahu jika makan siang sudah siap.“Ma, kita makan siang dulu, ya. Devan sudah lapar,” ajak Devan.Mereka bergegas menuju ke ruang makan. Saat sedang menikmati makan siang mereka, mami yang masih penasaran dengan wanita yang sempat diajak kencan oleh Devan kembali menanyakannya.“Van, sebenarnya siapa sih, Van wanita yang kamu ajak kencan semalam? Tadi Ma
Setelah mengatakan kalimat pedas itu, Devan langsung meninggalkan wanita itu sendirian di kafe. Dia bergegas menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, dia segera menuju ruangan VVIP. Saat dia membuka pintu, dia melihat Alin sedang disuapi oleh ibunya. “Om, Tante, sudah lama di sini?” tanya Devan sambil menyalami kedua orang tua Alin. “Sudah sejak pagi tadi, Nak,” jawab papi mewakili. “Lin, bagaimana keadaan kamu sekarang?” tanyanya lembut pada Alin. “Sudah jauh lebih baik, Mas. Kata Dokter besok sudah bisa pulang,” jawab Alin. “Syukurlah kalau begitu." Devan lalu beralih menatap kedua orang tua Alin bergantian, "Om, Tante maafkan saya karena lalai menjaga Alin. Ke depannya saya akan memastikan kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi,” ucap Devan memohon. “Tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri, Mas. Andai aku tahu jika di makanan yang aku makan tadi malam ada udangnya aku pasti nggak akan makan kok. Ini bukan kesalahanmu, Mas!” ujar Alin menenangkan. “Sebaiknya meman
Wanita itu terkesiap melihat kedatangan Devan. Dia langsung berdiri dari duduknya dan berusaha terlihat ramah. “Maaf, aku ke sini atas permintaan Tante Ratna, Kak!” jawabnya.“Sekali lagi kutegaskan, aku bukan kakakmu.”“Ma-af, Tuan,” ucapnya menunduk.“Satu lagi, bukankah katamu kau akan berangkat ke luar negeri? Kenapa masih di sini?” Gadis itu menggigit ujung bibirnya, “Aku menunda keberangkatanku hingga besok,” cicitnya sambil menunduk.“Pelayan!” teriak Devan dengan menggelegar.Salah satu pelayan tergopoh-gopoh menghadap Devan.“Siapa yang menyuruhmu mempersilahkan masuk tamu tidak dikenal?” tanya Devan garang.“Maaf, Tuan, Nyonya Besar yang menyuruh saya membukakan pintu. Saya mohon Tuan, jangan pecat saya,” ucap pelayan itu dengan nada memohon.“Ya sudah lanjutkan pekerjaanmu!” “Terima kasih, Tuan.” Pelayan itu berlalu dari hadapan Devan dengan kelegaan yang luar biasa.Diam-diam gadis itu mengepalkan tangannya. Sedangkan Devan langsung berlalu mencari ibunya tanpa menghira
Mereka semua terkekeh dengan candaan yang dilontarkan mama Devan. Setelah dipersilahkan duduk, mama Devan segera menyuruh pelayan membuatkan minuman dan camilan. “Kamu usianya berapa, Nak Alin?” tanya mama. “Baru jalan 23 tahun, Tante,” jawab Alin menunduk. “Wah masih belia, ya. Kami yakin mau menerima anak Tante yang sudah bujang lapuk itu?” sindir mama pada anaknya. “Mama, jangan gitu dong. Masa anak sendiri di katain bujang lapuk?” ujar Devan protes. “Iya, Tante saya akan menerima Mas Devan dengan segala kekurangannya.” “Kamu jangan gugup gitu dong, Sayang. Tante nggak akan makan kamu kok, tenang saja!” ujar mama Devan mencairkan suasana. Mereka berbincang hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan jam makan siang. “Lin, makan siang di sini saja ya. Tante sudah menyuruh pelayan memasak banyak tadi. Ayo ayo kita kita ke ruang makan.” “Iya, Tante.” Mama Devan menggiring Alin ke ruang makan dan mengabaikan Devan yang masih ada diantara mereka. Di ruang makan pun, mama Devan se
Tak berselang lama, polisi dan Reno datang meringkus Rendra dan juga sepupunya. Mereka juga mengamankan preman-preman itu ke kantor polisi. Sedangkan Devan dan Alin segera pergi dari tempat itu.Sepanjang perjalanan, Devan tak tahan dengan rasa ingin tahunya. Dia segera bertanya pada sang istri mengenai keadaan sang istri saat ini."Sayang, sejak kapan ingatanmu kembali?" tanya Devan."Sejak saat putra kita menghilang, Mas. Tapi saat itu aku memutuskan untuk diam dulu sambil mengamati keadaan. Aku bergerak dalam diam dan aku sengaja mengecoh orang-orang agar mereka mengira aku masih hilang ingatan," jawab Alin."Untuk apa?" tanya Devan."Untuk mengetahui siapa saja yang hendak memanfaatkan keadaanku untuk mencari keuntungan." "Apapun itu, aku bahagia karena kamu sudah mengingat semuanya Sayang. Aku bisa lebih fokus untuk mencari keberadaan putra kita sekarang," jawab Devan dengan lega.Alin tersenyum tenang, "Mas jangan khawatir. Aku sudah tahu di mana keberadaan putra kita."Devan m
Tanpa pikir panjang, Devan langsung berlari ke dalam mencari keberadaan Alin. Dia masuk ke salah satu bilik tersebut. Akan tetapi, bilik tersebut ternyata dijaga oleh beberapa preman. Devan memancing preman tersebut untuk menjauh dari depan pintu dan berkelahi di luar.Tidak sulit mengalahkan para preman itu karena Devan sangat jago ilmu bela diri. Dalam sekejap, para preman itu langsung tumbang tak sadarkan diri. "Apa hanya segitu saja kemampuan kalian? Cih payah sekali kalian ini. Badan saja besar, tapi kemampuan nol. Ayo bangun dan serang saya. Hitung-hitung pemanasan," ejek Devan.Saat salah satu preman hendak bangun dan kembali menyerang, dalam satu pukulan saja preman tersebut sudah tidak mampu lagi bergerak. Devan segera masuk ke dalam setelah memastikan seluruh preman bayaran itu tumbang. Di depan pintu, dia mengendap-endap masuk dan mendengarkan percakapan dua orang yang sedang berada di ruangan tempat Alin di sekap."Ren, menurutmu, apakah Tuan Devan akan benar-benar datan
Setelah menempuh perjalanan laut selama lima hari, akhirnya akhirnya mereka sampai di kota A di pulau seberang. Mereka sengaja membawa bayi itu jauh dari pulau asalnya agar tidak mudah terlacak. Mereka langsung membawa bayi itu ke panti asuhan setempat. Mereka disambut baik oleh pemilik panti."Mari silakan masuk Bapak, Ibu."Setelah mereka dipersilahkan duduk dan disuguhi minuman, pemilik panti langsung bertanya maksud dan tujuan keduanya datang."Kalau boleh saya tahu, ada tujuan apakah Bapak dan Ibu datang ke sini?" "Kami ingin menitipkan bayi ini di sini, Bu," jawab Wina.Pemilik panti tersebut heran dengan sikap pasangan di depannya ini. Tega-teganya mereka hendak menitipkan bayi mungil tak berdosa itu di panti asuhan."Maaf Bapak, Ibu, tapi kenapa? Bukankah itu darah daging kalian? Apa kalian benar-benar tega meninggalkan mereka di sini?" tanya wanita setengah baya tersebut. "Bayi ini bukan anak kami, Bu. Kami menemukannya secara tidak sengaja di depan rumah kami. Jadi kami me
Rendra hanya menyunggingkan senyumnya saat ibu Alin menuduhnya sebagai pelaku penculikan putra Alin. Dia terlihat santai saja dengan tuduhan yang terlontar dari mulut ibu Alin. Sedangkan Alin hanya diam saja tanpa menanggapi lelaki itu. "Atas dasar apa Anda menuduh saya dalang dibalik penculikan cucu Anda Tante? Lihatlah, Alin saja tidak banyak bicara. Kenapa Anda malah terlihat sensi sekali Tante?" tanya Rendra dengan santai."Karena Lindra adalah cucuku!" jawab ibu Alin dengan penuh emosi."Lin, kenapa dari tadi kamu diam saja? Apa kamu tidak merasa kehilangan bayimu? Atau kamu malah senang jika bayimu tidak ditemukan?" tanya Rendra pada Alin."Sebenarnya Anda ini siapa? Saya perhatikan sejak tadi Anda selalu membicarakan hal yang berbau provokasi," jawab Alin dengan tenang."Lin, aku Rendra, Lin. Orang yang pernah ada di hatimu. Tidak mungkin kamu lupa denganku, kan?" "Apa maksudnya kalau kamu pernah ada di hatiku? Dan sebenarnya, apa tujuanmu datang ke sini? Aku sungguh tidak me
Wina tampak berpikir sejenak dengan gagasan yang disampaikan lelaki itu."Baiklah, kita harus bergerak cepat malam ini juga," kata Wina."Apa? Malam ini? Apa kau sudah gila? Tidak mungkin kita jalan malam ini. Apa kamu nggak kelelahan dengan pertempuran kita tadi? Apa kamu nggak mau mengulanginya lagi?" tanya lelaki itu—menaik turunkan alisnya."Kita tidak punya banyak waktu, Tuan Tama yang terhormat. Kalau kita menunda-nunda, mereka pasti akan menemukan dan menangkap kita," ucap Wina penuh penekanan."Sepertinya kau sangat takut sekali dengan si Devan itu ya?" tanya lelaki itu."Bagaimana aku tidak takut? Aku pernah menjalin hubungan dengannya, sudah pasti aku tahu bagaimana watak Devan. Kau sendiri saudaranya tapi malah tidak memahami bagaimana karakter saudaramu sendiri," ujar Wina meremehkan."Aku memang tidak tahu banyak tentang kehidupan Devan karena aku jarang bertemu dengannya. Aku juga sangat jarang berinteraksi dengannya selama ini karena aku sering berada di luar negeri. Wa
"Sialan, siapa kau? Berani-beraninya mengancam ku!" sentak lelaki itu."Kau tidak perlu tahu siapa aku, cukup kau dengarkan saja perintahku. Jangan pernah mengusik keluarga Alin atau kau akan menyesal."Setelah mengatakan itu, penelepon itu memutuskan panggilan secara sepihak. "Siapa yang menelepon?" tanya wanita itu."Nomor tidak jelas. Berani-beraninya dia mengancam ku agar tidak mengganggu Devan dan Alin.""Kurang ajar, sepertinya mereka mengutus mata-mata untuk mengawasi kita," jawab wanita itu."Aku tidak yakin, tapi sepertinya orang itu bukan suruhan Devan. Lelaki itu tidak mungkin bisa mengendus gerak gerik kita. Kita harus berhati-hati, jangan melakukan hal yang bisa membuat mereka curiga dan kedok kita terbongkar," kata orang itu.***Sedangkan di sisi lain, Rendra dan sepupunya saat ini sedang mencari informasi tentang Alin."Bagaimana? Apa kamu sudah mendapatkan informasi?" tanya sepupu Rendra."Alin sudah melahirkan, tapi sekarang penjagaan semakin diperketat. Sangat suli
Hari demi hari mereka lalui dengan sukacita. Devan juga sudah mulai beraktivitas di luar rumah. Dia yang berpikir semua sudah aman mulai lengah dari penjagaan. Lelaki itu tidak menyadari jika bahaya sedang mengintai keluarga kecil mereka. Hari ini, dia harus berangkat ke Surabaya karena salah satu klien berpengaruh meminta mengadakan pertemuan dengan Devan secara langsung di Surabaya."Tidak apa-apa Mas, berangkatlah. Aku bisa menjaga diri dan anak kita," kata Alin meyakinkan Devan."Kalau ada apa-apa segera hubungi Mas. Mas sudah mengabari Mami agar ke sini menemanimu," kata Devan.Lelaki itu mengecup kening sang istri dengan penuh cinta sebelum meninggalkannya pergi ke Surabaya."Jagoan Daddy baik-baik di rumah sama Mommy ya. Jangan nakal dan jangan rewel, kasihan Mommy. Daddy tinggal sebentar ke Surabaya," ucap Devan pada bayi mungil itu.Dengan berat hati, Devan meninggalkan mereka. Bertepatan dengan itu, hari ini baby sitter yang di rekomendasikan oleh salah satu saudara Devan d
Devan langsung menuju ruang perawatan bayi untuk memastikan keadaan sang anak. Setelahnya, lelaki itu langsung memanggil seluruh suster, dokter dan pihak keamanan yang bertugas menjaga sang anak. Sang kakak pun tidak mengira jika mereka lalai. “Apa saja pekerjaan kalian? Menjaga bayi saja kalian tidak becus. Untung saja anakku tidak hilang,” kata Devan marah. “Ampuni kami, Tuan, kami lalai menjaga bayi Tuan. Tadi ada seseorang yang menyamar sebagai suster hendak masuk ke ruangan Tuan kecil. Kami kira, dia memang benar-benar suster yang hendak memeriksa Tuan kecil. Tapi ternyata dia hendak membawa kabur Tuan kecil. Andai kami tahu dari awal, kami pasti tidak akan membiarkannya membawa Tuan kecil, Tuan. Ampuni kami,” ucap penjaga dengan gemetar. Devan mengangguk, “ya sudah tidak apa-apa. Jangan diulangi lagi, dan aku ingin kalian perketat keamanan di sini. Aku tidak mau hal seperti ini terulang kembali,” kata Devan.Setelah mengatakan hal itu, Devan langsung pergi meninggalkan mereka
Sang sepupu sangat menyayangkan sikap Rendra yang cenderung lembek. Wanita itu sangat dendam dengan Alin dan juga sang suami karena gara-gara mereka kini dia kehilangan pekerjaannya."Ndra, kamu itu laki-laki jangan lembek seperti ini. Apa kamu nggak kasihan sama kedua orang tua kamu? Apa kamu nggak mikirin mereka juga?" Rendra tampak terdiam dan menimbang-nimbang. Sedangkan sang sepupu terus saja meracuni pikiran Rendra agar mau bekerja sama dengannya."Apa kamu tidak sakit hati melihat kebahagiaan Alin di sana, sedangkan kamu di sini menderita? Lihatlah, mereka tertawa di atas kesedihan dan penderitaanmu. Pikirkan itu baik-baik," ujar sang sepupu sebelum berlalu pergi."Tunggu, apa ada yang bisa menjamin keamanan dan keselamatan kita jika kita kembali membuat ulah dan mengusik keluarga mereka? Kau tentu belum lupa kan bagaimana manusia-manusia itu menyingkirkan mu dari perusahaan? Bagi mereka, melenyapkan orang seperti kita bukanlah hal yang sulit dilakukan. Apalagi kita tidak puny